"Bu, itu benar Mas Danu yang meninggal?"
Masih tak percaya dengan pendengaran sendiri, aku berlari ke warung menemui Ibu."Iya, Nak."Tubuhku seketika lemas mendengar jawaban Ibu. Baru tadi pagi Mas Danu memperlihatkan senyum sumringah padaku karena diberi uang oleh Lek Sutar. Tapi kini ...."Kamu gak apa-apa, Nak?" Ibu langsung menghampiriku yang begitu syok mendengar kabar duka tersebut."Bu, baru tadi pagi lho, aku bertemu dengan Mas Danu. Dia pun terlihat baik-baik saja," gumamku masih tak menyangka.Ibu mengelus bahuku berusaha menguatkan."Sekarang kamu percaya kan kalau tumbal bulan suro di kampung ini nyata?"Refleks aku menatap wajah Ibu."Tapi tumbal itu dipersembahkan oleh siapa dan untuk siapa, Bu? Kenapa hanya di desa kita saja yang seperti ini?"Ibu hanya menggeleng lemah tanpa menatapku, lalu bangkit berdiri karena ada pembeli datang.Tak mau membuang waktu, aku langsuTanpa buang waktu aku langsung balik badan hendak melarikan diri. Bisa gawat jika Lek Sutar mendapati aku telah menguping pembicaraannya.Tapi begitu menoleh aku dibuat hampir terjengkang karena mendapati kakek misterius yang tadi pagi hampir kutabrak sudah berdiri tepat di hadapanku.Jantungku makin bertalu-talu tak menentu saat merasa hawa tak enak di sekeliling.Situasiku terkepung kini. Di belakang ada Lek Sutar dan Pak Dasiman yang sedang mencariku, sedangkan di hadapanku ada kakek aneh yang selalu saja muncul tiba-tiba.Syukurnya tak berapa lama terdengar suara Bulek Sutini--istri Lek Sutar, memanggil-manggil Lek Sutar dengan heboh. Hingga dua orang di belakangku itu akhirnya mengurungkan niat untuk mencariku."Pak, ayo pulang, Pak! Karin, Pak ... Karin!" Bulek Sutini berteriak begitu heboh sembari menangis meraung-raung."Kenapa Karin, Bu?" Terdengar suara Lek Sutar juga tak kalah khawatir."Karin hilang, Pak."
Dengan hati tak menentu, aku berlari keluar dari rumah Mbah Darsih untuk mencari pertolongan. Rasa takut menjalari seluruh hatiku saat tadi tak merasakan denyut nadi pada Mbah Darsih. Firasatku benar-benar tak enak. Bagaimana jika wanita malang itu benar-benar meninggal?Berlari sejauh lima belas meter, akhirnya aku menemukan rumah tetangga Mbah Darsih."Pakde Kromo, tolong saya, Pakde ...." Sembari mengatur napas yang ngos-ngosan, aku meminta tolong pada seorang lelaki paruh baya yang sepertinya akan berangkat ke sawah itu."Satria? Ada apa?" Tanyanya dengan terheran-heran."Pakde, Mbah Darsih, Pakde ....""Mbah Darsih kenapa?" Tanyanya cepat sembari langsung meletakkan sabit yang tadi ia bawa.Aku pun menceritakan tentang kondisi Mbah Darsih, dan kekhawatiranku yang menyangsikan ia masih hidup.Tanpa membuang waktu, kami berdua pun langsung berlari menuju rumah Mbah Darsih.Namun begitu sampai di halaman, aku dibuat terheran-heran saat melihat pintu depan rumah Mbah Darsih sudah ter
Sraak!Butiran beras kuning tiba-tiba meluncur mengenai tubuh Karin."Aaaaa ...." Refleks Karin berteriak seolah begitu kesakitan. Lalu detik berikutnya ia kembali terkapar tak berdaya.Kami yang sedang tegang melihat Karin yang seperti tengah dirasuki itu, spontan melihat ke arah pintu masuk. Di sana sudah berdiri dukun yang waktu itu membantu pencarian Karin. Terlihat ia tengah memegang piring aluminium berisi beras kuning."Mbah Suroso ... Syukurlah Mbah datang di saat yang tepat." Dengan penuh kegembiraan, Lek Sutar menyambut tamu istimewanya itu."Anakmu itu sedang tak baik-baik saja, Sutar.""Tolong bantu saya, Mbah. Hanya Mbah lah saat ini yang bisa saya harapkan."Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Lek Sutar memohon pada dukun tersebut. Ucapannya sudah seperti seseorang yang tak punya Tuhan saja."Saya akan berusaha," sahut dukun tersebut dengan begitu mantap.Ia lalu berjalan menuju Karin yang kini kembali pingsan.Lalu tangannya beralih memegang perut Karin yang mem
Entah berapa lama aku pingsan, dengan kepala bagian belakang yang terasa begitu sakit, aku mulai membuka mata. Aku terkejut saat mendapati tubuh sudah terikat di sebatang pohon, hingga untuk bergerak pun aku kesulitan. Tubuhku merinding hebat kala melihat tepat di depan mata ada sebuah makam yang sepertinya sudah sangat tua. Makam siapa yang berada di tengah-tengah hutan begini?"Sudah bangun?"Aku tersentak saat mendengar suara dari arah belakang.Lalu muncul lah sang pemilik suara yang tak lain adalah Lek Sutar."Lek, apa yang Palek lakukan? Lepaskan aku, Lek!" Teriakku kesal saat melihat lelaki itu memandangiku dengan sinis."Lalu setelah aku melepaskanmu, kau akan mengadukan pada orang-orang tentangku, iya? Aku tak sebodoh itu, Satria," sahut Lek Sutar penuh penekanan."Mengadu apa, Lek? Aku bahkan tak tahu apapun!" Tandasku tak mau kalah."Lalu untuk apa kau mengikutiku kemari? Kau pasti mencurigaiku yang macam-macam kan?" Balas Lek Sutar dengan menatap nyalang."Tidak, Lek. Ak
Mataku nanar melihat sosok wanita tua yang tak lain adalah Mbah Darsih. Sedang apa wanita ini ada di hutan? "Cepat pergi!" Sentaknya padaku yang masih tertegun. Membuat aku langsung tersadar dan mengedarkan pandangan menatap sosok-sosok berwajah pucat yang kini telah menyadari bahwa aku telah lepas dari ikatan.Tanpa membuang waktu, aku langsung mengambil inisiatif untuk berlari, saat akan membawa serta Mbah Darsih, sialnya satu sosok berwajah pucat sudah lebih dulu menarik Mbah Darsih."Mbaaah!" Aku berteriak sembari hendak berlari menuju Mbah Darsih yang kini tengah terombang-ambing di antara makhluk-makhluk aneh itu."Jangan kemari! Cepat pergi, selamatkan diri!"Tentu aku tak rela meninggalkan wanita tua yang telah menolongku itu dengan para makhluk mengerikan.Tanpa banyak berpikir, aku langsung menerjang ke arah Mbah Darsih, namun mendadak langkahku tertahan saat di hadapan tiba-tiba muncul makhluk tinggi hitam yang kemari
Jantung serasa merosot hingga ke ujung kaki saat melihat tatapan Kak Airin yang seolah ingin melahapku hidup-hidup. Ia benar-benar bukan Kak Airin yang kukenal. Tanpa menggubris perkataan Kak Airin, Ayah menariknya secara paksa keluar dari kamarku. Walau Kak Airin sempat memberontak, tapi Ayah membisikkan sesuatu yang entah apa, yang membuat ia akhirnya menurut."Sebenarnya ada apa dengan Kak Airin, Bu?" Tanyaku setelah Ayah dan Kak Airin berlalu.Ibu menghela napas berat lalu duduk di atas ranjangku dengan lemas."Entahlah, Nak. Sejak beberapa bulan ini kakakmu itu kelakuannya begitu. Bahkan sering kesurupan."Aku terperanjat demi mendengar penjelasan Ibu. Manik matanya seolah menunjukkan beban yang begitu berat saat memberi tahuku."Kenapa tak coba diruqyah, Bu?""Sudah, Sat. Tapi ya tetap saja begitu. Tak ada perubahan."Aku mengernyit heran mendengar jawaban Ibu. Harusnya mereka jangan menyerah walaupun bel
Kunci motor yang kupegang jatuh begitu saja demi mendengar pengumuman dari Masjid. Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi. Tapi menilik dari situasi kemarin, memang sangat tipis harapan untuk Mbah Darsih selamat."Bu ... Mbah Darsih meninggal, Bu," desisku dengan air mata yang tak lagi dapat dibendung."Lalu?"Aku terperangah melihat respon Ibu yang masa bodoh dengan kabar kematian Mbah Darsih."Kok Ibu begitu sih tanggapannya?""Ck! Semenjak kematian anaknya itu, Ibu gak suka dengan wanita itu."Kutatap wajah wanita yang telah melahirkanku itu dengan penuh keheranan."Memang apa masalahnya dengan kematian anaknya, Bu? Harusnya Ibu simpati pada Mbah Darsih yang sudah renta, tapi tak lagi punya siapapun." Aku mulai terbawa emosi melihat sikap arogan Ibu.Ibu berubah. Benar-benar berubah. Dulu Ibu bukan orang yang seperti ini. Ia orang yang penuh dengan kasih sayang. Bukan hanya pada keluarganya, tapi juga pada orang lain.Tapi melihat respon Ibu yang seperti ini pada Mbah Darsih, aku sad
Lamunanku terpecah saat mendengar suara Pak Muhsin mengajakku untuk menyolatkan jenazah Mbah DarsihSegera kualihkan perhatian dari lelaki tua bernama Mbah Sedan itu, dan kembali fokus untuk melaksanakan sholat jenazah.Sepertinya lelaki tua itu memang memiliki kekuatan tak biasa. Sampai bisa bertelepati denganku. Eh, tapi bukannya Mbah Darsih juga bisa bertelepati denganku kemarin?Ah, sudahlah. Mungkin memang orang-orang tua zaman dulu punya kekuatan istimewa seperti itu. Aku tak mau terlalu ambil pusing.Aku beranjak masuk ke dalam rumah, dan ikut di deretan orang yang akan melaksanakan sholat jenazah. Tak banyak yang ingin menyolatkan Mbah Darsih. Apalagi saat mereka membaui aroma ruangan yang penuh dengan bau busuk berasal dari jenazah Mbah Darsih.Di tengah-tengah kekhusyukan sholat, indera penciumanku membaui aroma daging gosong yang entah dari mana. Sepertinya bukan hanya aku yang mencium aroma itu, karena dari ekor mata nampak para jama'ah lain terlihat gelisah juga.Setelah
"Sudah-sudah! Dari pada bergunjing seperti itu, lebih baik kita bantu sekalian untuk menguburkan jasad Airin ini," ujar Ustadz Arif yang akhirnya bisa menenangkan para warga itu.Jadilah kini dua jasad diurus sekaligus dalam rumah Satria itu.Hanin yang tadinya begitu sedih, langsung berubah sikap dan raut wajahnya.Air matanya berhenti seketika. Matanya nanar melihat ke jasad anaknya tersebut. Lalu dengan cepat ia masuk ke kamar.Satria yang melihat perubahan pada sikap ibunya itu lantas langsung mengejarnya.Walau dalam hati ia sudah bisa menebak, bahwa ibunya turut andil dengan masalah Airin ini. Tapi setidaknya ibunya sudah mau berubah dan menyesali perbuatannya."Bu ...." Satria ikut masuk ke kamar ibunya dan mengunci pintunya rapat-rapat."A--aku jahat! Aku orang yang jahat!" Kembali ibunya terlihat kacau dan frustasi, ia melepas kerudung yang sejak tadi digunakannya dan mengacak rambutnya kasar."Bu, suda
POV Author"Seorang mayat pria ditemukan mengambang di sebuah parit besar di desa Tandan Hilir ....""Sat! Satriaa! Sini!" Hanin yang baru saja mendengar berita yang dibawakan oleh seorang Reporter di TV itu langsung berteriak memanggil anaknya.Ia tak tahu, padahal sejak tadi Satria sudah memandanginya dengan gelisah di balik pintu kamar. Beberapa saat lalu, Satria baru saja menerima telepon dari Seno. Ia juga bertanya-tanya, bagaimana Seno bisa memiliki nomor teleponnya yang baru. Namun, setelah ia tanya lebih lanjut, ternyata nomor tersebut didapat Seno dari Aini--bibinya.Seno menghubunginya untuk memberi kabar duka bahwa ayahnya telah meninggal. Aswin ditemukan mengambang tak bernyawa di sebuah parit besar. Ada dugaan Aswin bunuh diri karena begitu frustasi melihat warung keduanya terbakar. Remuk hati Satria mendengar kabar itu. Walaupun ayahnya sudah begitu jahat karena sudah menumbalkan kakaknya, namun tetap saja ia masi
Mataku nanar melihat lembaran uang dalam genggaman. "Iya, Pak. Kan sudah beberapa hari ini Bapak gak belanja ke pasar, jadi pemasukan benar-benar berkurang, Pak," ujar Seno sembari tertunduk dalam. Mungkin ia takut aku menuduhnya macam-macam. Apalagi aku juga baru saja ditipu oleh karyawanku yang lain."Tapi kan, No--."Ucapanku terhenti saat sadar siapa yang sedang aku ajak bicara. Mana Seno tahu menahu soal uang pesugihan yang selalu lancar kuterima setiap hari."Kenapa, Pak?""Em, tak. Tak apa. Ya sudahlah kalau gitu kamu tutup saja warungnya. Besok saya belanja," ujarku gusar lalu berlalu hendak masuk ke rumah.Lagi-lagi keganjilan muncul. Kenapa uang hasil pesugihan tak datang kepadaku? Sebenarnya apa yang terjadi? Mbah Sedan pun ikut menghilang.Saat langkah ini baru akan melangkah keluar warung, terdengar suara pembeli datang.Sontak aku menghentikan langkah karena merasa asing dengan suara yang tak kuke
Belum sempat aku membalas pesan yang dikirim bodyguard tersebut. Pesan dari nomor misterius yang menerorku kembali muncul.[Bukannya aku sudah bilang jangan macam-macam denganku? Sekarang kau tanggung akibatnya!]Sial! Seolah tahu aku tengah galau soal kematian bodyguard tersebut, wanita itu malah kembali mengancamku.Tak kusangka, ternyata wanita tersebut bukanlah orang sembarangan. Aku telah menganggapnya terlalu remeh.Setelah memberi instruksi pada bodyguard yang kukirim terakhir, aku memilih menutup warung lebih awal. Sungguh, suasana hatiku kacau balau kini.Aku tak mau percaya karma, bagiku karma itu bisa dilawan jika kita berusaha. Tapi kenapa sekarang aku malah tertimpa masalah bertubi-tubi.Langit sudah mulai meremang. Matahari perlahan pun mulai kembali ke peraduannya. Gegas kulajukan kuda besi hendak pulang ke rumah. Namun, entah karena masalah yang sedang menimpaku, aku memilih membelokkan motor ke jalan setapak di samping kebun tebu yang biasanya menjadi akses aku untuk
Tok! Tok!"Pak! Bapak di dalam?" Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya terdengar suara Seno dari luar.Dengan penuh semangat aku bangkit setelah sedari tadi lunglai di atas lantai."Iya, No. Saya di sini. Tolong bukakan pintu ini, No," teriakku menyahuti."Tapi pintu ini tergembok, Pak. Kuncinya tak ada. Coba biar saya dobrak ya, Pak?""Iya, No. Terserah kamu saja. Yang terpenting pintu bisa terbuka. Saya harus ke bank pagi ini," ujarku kalut.Bukan tanpa alasan perasaanku kalut. Karena baru saja aku kembali menerima sebuah pesan dari orang misterius yang memerasku itu. Lebih terkejut lagi kala yang ia kirim kali ini adalah videoku tadi malam menyiksa Aini. Kali ini ia mengancam, jika aku tak menemuinya hari ini dan tak memberikan uang, maka video aku menyiksa Aini akan sampai ke tangan polisi dan aku akan terkena pasal berlapis, karena sudah mengurung dan menyiksanya.Benar-benar aku dibuat penasaran, bagaimana bisa orang tersebut merekam kejadian malam tadi. Atau bisa jadi oran
Masih POV AswinHatiku makin gusar menatapi layar ponsel. Hariku sudah kacau karena Satria dan Hanin kabur, ditambah lagi karyawanku sendiri menusuk dari belakang. Dan sekarang ... Masuk pesan ancaman entah dari siapa.Jemariku lekas menekan nomor tak tak dikenal tersebut, bermaksud untuk menghubungi. Namun sial, sepertinya orang tersebut memang sengaja ingin bermain-main denganku, panggilanku ditolaknya.Tlung!Dering pesan masuk kembali bergema dari ponsel. Begitu dibuka ternyata ada pesan masuk lagi dari orang tersebut.[Jangan coba-coba menghubungi atau mencari tau soal aku. Kalau tak, bukti-bukti ini akan kusebarkan.][Lalu apa maumu?] Balasku tak senang.[Sudah pasti yang kuinginkan pertama kali adalah uang.] Jawabnya cepat.Aku mendengus kesal begitu mengetahui keinginannya tak jauh-jauh dari materi semata.***Aku mengacak rambut frustasi saat melihat keadaan warung di Desa sebelah yang porak-poranda. Pelanggan yang biasa berbelanja di warungku manyampaikan simpatinya dengan m
POV Aswin (Ayah Satria)Aku tergeragap saat mendengar suara gedoran pintu dari luar. Makin terkejut saat melihat jarum jam sudah menunjuk ke angka lima lewat tiga puluh menit.Gawat! Bagaimana aku bisa sampai kesiangan. Seharusnya jam segini aku sudah pulang belanja keperluan warung dan sudah mulai membuka warung.Cepat aku bangkit hendak membuka pintu saat mendengar Seno yang terus-menerus memanggil sembari menggedor pintu."Bapak kesiangan?" Tanya Seno begitu aku membuka pintu."Iya, No. Entah kenapa saya kok bisa tertidur sampai tak sadar apapun."Firasat tak enak mulai melintas di kepalaku. Apalagi aku belum pernah tidur senyenyak itu."Jadi sekarang bagaimana, Pak? Di luar sudah ramai orang mau belanja," tanya Seno saat melihat aku hanya tercenung."Kamu buka saja dulu warungnya. Tak apa kita tak belanja hari ini. Yang penting warung tetap buka."Seno mengangguk patuh, lalu berbalik hendak menuju warung. Tapi aku kembali menahannya."Sekalian telponkan Iwan, suruh ambil kunci kem
Walau tak paham apa rencana makhluk itu, aku tetap menurutinya.Berusaha terlihat sesantai mungkin, aku keluar dari kamar.Melihat pintu kamarku terbuka, Ayah yang sedang duduk di sofa ruang tamu menoleh. Namun, aku berusaha mengacuhkannya dan menuju ke arah belakang.Sampai di dapur, terlihat asisten tadi tengah membuat kopi untuk Ayah. Terlihat pula sosok Kak Airin sudah berdiri di dekat wastafel yang sedikit berjarak dari wanita itu.Dengan bahasa isyarat, sosok Kak Airin tersebut menyuruhku masuk ke kamar mandi. Aku pun lantas menurutinya.Penasaran aku mengintip keluar, namun sudah tak ada sosok Kak Airin. Kini hanya tinggal Asisten tersebut, ia tengah celingak-celinguk mencari sesuatu. Sembari berjalan menjauhi meja dapur, menuju pintu belakang."Cepaat masukkan obatnya!" Aku kembali terkejut saat sosok Kak Airin sudah ada di dalam kamar mandi bersamaku.Dengan mengendap-endap aku berjalan mendekati cangk
"Aku tak meminta yang macam-macam. Aku hanya ingin, jika semua ini berakhir, tolong kuburkan jasadku dengan layak."Aku terenyuh mendengar permintaan jin qorin Kak Airin itu. Rasa geram seketika menyeruak pada Ayah. Tak hanya tega membunuh, ia pun sampai hati melihat jasad anaknya digunakan oleh jin jahat.Aku pun menyetujui persyaratan darinya. Kami segera mengatur siasat bagaimana supaya bisa kabur dari rumah Ayah dan membawa Ibu kepada Kyai teman Ustadz Arif.Dari hasil pembicaraanku tadi malam bersama Bi Aini, ia ingin membawaku kabur dari tembok belakang. Ia punya pintu rahasia yang selama ini selalu menjadi aksesnya keluar masuk. Tadi malam ia hendak membawa kami kabur dari sana, tapi akhirnya harus gagal karena kemunculan Nyai Surti.Setelah mengatur siasat, sosok jin qorin Kak Airin itu pun bercerita bahwa sebenarnya Ibu berhalusinasi seperti itu bukan karena gangguan darinya atau korban-korban tumbal yang lain. Memang benar setelah meninggal jin-jin qorin korban tumbal Ayah b