Kartasakti duduk di teras rumah. Dia menatap langit malam bertabur bintang. Indah, bagai senyum teduh Rukmini, Ibunya."Mbok, apa sampean melihat aku yang kesepian ini dari atas sana?" gumamnya dengan tangan terangkat seolah ingin menyentuh langit."Itu ndak tergapai, Kang! Jauh," ujar Maryati yang entah sejak kapan duduk di samping Kartasakti."Oh! hm, aku tau itu." Kartasakti menyahut singkat."Kalau sudah tau, kenapa mau gapai langit?" cecar Maryati.Kartasakti kembali menatap langit lalu menyahut, "Aku cuma merindukan Emakku. Mungkinkah dia melihatku dari atas sana?"Maryati ikut menatap langit. "Entahlah, mungkin iya, bersama Ibuku," sahutnya."Omong-omong gimana keadaan Pak Tohir?" tanya Kartasakti.Maryati menghela napas panjang. "Belakangan ini Bapak sering batuk darah, tapi selalu berlaku seolah baik-baik saja. Dia sembunyikan sakitnya dariku," desah Marysti."Pak Tohir cuma ndak mau buat sampean sedih," timpal Kartasakti."Aku tau itu, Kang. Tapi ndak mungkin aku ndak sedih,
Read more