“Bu, Mas Adam ....” ucapku parau. Untuk kedua kalinya terjadi hal yang sama. Harusnya aku menahan ia untuk pergi, bukannya mengijinkan. Sama seperti ketika Mas Ammar pamit.“Ibu tahu itu, Nak,” jawab ibu dengan bibir bergetar. Aku yakin sekali, beliaupun turut merasakan apa yang aku rasa.j ustru lebih menyakitkan. Kehilangan dua putra bukanlah hal yang mudah. “Ibu mau ke bandara ikut kakakmu, kamu di rumah sama Zahra ya?” imbuhnya.“Bu, boleh Dijah ikut?”Wanita itu tersenyum getir. “kamu di rumah saja, kasihan Zahra.”Aku mengangguk, “Baik, Bu.” Aku tak berani memaksa, meskipun rasa inginku begitu membuncah. Aku ingin memastikan, dan berharap kabar duka ini tidaklah benar.‘Ya Allah, berilah keajaiban untuk Mas Adam,’ batinku dengan hati yang bercampur aduk.Ibu mengganti pakaiannya, sedangkan dari tadi Zahra justru menangis tiada henti. Beberapa kali sudah kutawari ia asi, tapi bayi kecilku itu menolak. Bahkan kugendong dan kuayunkan seperti yang Mas Adam lakukan dulu, namun, ia b
Last Updated : 2023-07-15 Read more