“Alhamdulillah, Mas, kamu kecopetan,” ucapku yang membuatnya mengernyitkan dahi. Ditatapnya wajahku dengan raut muka kebingungan. “Dijah, kamu gak demamkan?” tanyanya.“Maksudnya, Mas?”“Aku itu kena musibah.”“Musibahmu kecil, Mas. Justru karena musibah itu kamu terhalang dari musibah yang besar.”Mas adam masih terlihat kebingungan, dan terkadang ia meringis menahan rasa sakitnya. “Pesawat yang hendak Mas Adam tumpangi kecelakaan, Mas.” Aku mendekat ke arahnya, dan menyapukan sapu tangan bersih ke luka lebam di wajahnya.“Innalillahi wa inna ilahi rojiun.”“Dijah sangat bahagia bisa melihat Mas Adam kembali.” Kulihat wajah yang memar yang menyelimuti kulit indahnya, paras yang seharusnya tak kutatap sedekat ini. lalu kembali mendekatkan bongkahan es batu yang sudah kututup dengan kain bersih tersebut.“Aduh,” ucapnya yang tiba-tiba memegang lenganku. Sebuah sengatan listrik terjadi. Dan dengan cepat kami saling menjauh satu sama lain. “Maaf,” ucapnya. “Lakukan sendiri ya, Mas, a
“Kamu makan dulu, Dijah. Biar Zahra sama aku,” ucap Mas Adam ketika aku datang ke ruang makan bersama Tito dan bayi kecilku dalam gendongan.“Kamu saja yang makan dulu, Mas. Tadi pagi kamu belum sarapan kan?”“Tahu dari mana?”“Dari ibu.”“Beliau bilang apa?”“Dijah, suamimu itu belum sempat sarapan tadi. Dari subuh hafalin lafal akad.” Aku menirukan suara ibu, yang membuat lelaki kecil di sebelahku terkekeh.“Ah, ibu kenapa buka kartu?’ dengkusnya sebal sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.Aku duduk di kursi makan, juga Tito yang duduk di sampingku. Kuambilkan piring untuknya, dan menuangkan nasi. “Tito bisa ambil sendiri, Tante.”“Lo, kok panggilnya tante?” protes Mas Adam.“Oh iya lupa. Tito bisa ambil sendiri bunda,” ucap lelaki kecil di sebelahku sambil mememerkan senyumnya yang indah.“Bunda?” tanyaku dengan menatapnya dengan berbinar.“Iya. Biar beda sama Mama Anita. Jadi panggilnya Bunda. Bolehkan bunda Dijah?”Aku menoleh ke arah suamiku yang baru beberapa jam, ia ters
Aku terpejam, mataku tertutup. Namun, pikiranku terus berkelana.Hingga di menit kemudian terasa sebuah kecupan di dahiku, dengan suara lirih yang menyejukkan, “Aku mencintaimu, Dijah. Lebih dari siapapun.”Aku membuka mata, dimana sepasang manik mata coklat itu tengah menatapku. Ditariknya sudut bibir, hingga lengkungan indah itu tercipta. “Maaf, aku membangunkanmu.” “Tidak apa, Mas.” Lelaki dengan perawakan sempurna dan paras tampan itu tengah berubah posisi. Yang tadinya berada di sebelah Zahra dengan bayi mungil di tengah kami. Kini ia pindah di sebelahku, dengan melingkarkan lengan di pinggangku. Aku membalas menghadapnya, yang kini mulai membelakangi Zahra. “Maaf, sudah bikin kamu cemburu, Sayang.” Dipegangnya daguku, serta dielus pipiku dengan tangannya. Sentuhan lembut yang begitu menenangkan. “Dijah juga minta maaf telah ...”“Hust. Gak ada yang perlu dimaafkan. Permintaan maafmu kepadaku sudah terlalu banyak,” ucapnya. Aku terkekeh. Lalu mulai memejamkan mata ketika b
Dengan cepat Mas Adam banting setir, hingga roda kendaraan ini melewati jalan beraspal. Masuk ke dalam rimbunan rerumputan yang berada ditepi jalan, dan akhirnya berhenti secara mendadak. Tubuhku sedikit terpental,hingga Zahra yang berada dalam pelukanku kupeluk erat. Juga tubuh Tito yangterlelap kupegangi dengan tangan yang satunya. Sedangkan kepalaku sedikitterbentur ke arah jok di depanku.“Astagfirullah,” ucapku lirih.Juga terdengar bacaan istigfar dari bibir Mas Adam. Titoterbangun, dan Zahra menangis keras.“Dijah, kamu gak papa?” tanya Mas Adam yang terlihat begitupanik. Ia turun dari kendaraannya dan membuka pintu mobil belakang. DipeluknyaTito yang tengah ketakutan, sambil memastikan keadaannya.“Kamu gak papa, Jagoan?” tanya Mas Adam dengan melihat tubuhanak laki-lakinya.“Gak papa, Ayah.”“Dijah, kamu dan Zahra bagaimana? Ada yang terluka?”tanyanya yang kini menatapku dan bayi kecilnya.“Gak papa, Mas,” ucapku sambil mengayun-ngayunkan tubuhZahra, menghibur bayi gemoy itu
“Mas, kenapa selalu saja buat Dijah terbang?” Mas Adam terkekeh. “Iyakah?”“Mas Adam selalu baik dan perhatian dengan Dijah. Makasih ya.”“Mau balas budi?” tanyanya yang menoleh ke arahku. Lalu sejurus kemudian menatap kembali ke jalanan. “Mau dibalas pakai apa?”Meskipun menatapnya dari arah samping, tapi tetap saja senyum lelaki itu terlihat. Ditunjuknya pipinya yang memerah. “Balasnya pakai ini.”“Maksudnya, Mas?” “Dijah, kamu lucu sekali. Kenapa gak paham? Apa mesti ngomong langsung?”“Maaf, Mas. Dijah gak paham. Tahu sendiri kan, Dijah gak makan bangku sekolahan.”“Emang doyan?” Mas Adam terkekeh.“Kan perumpamaan, Mas.”“Maksudku balasnya pakai ...” lelaki itu menggantungkan kalimatnya, yang ada pipi yang tersipu itu semakin memerah. “Apa, Mas?”“Sun.”Aku tersenyum, lalu melempar pandangan ke depan kembali, tak ingin terlihat olehnya kalau sekarang pipiku lah yang memerah layaknya buah tomat layak panen. “Gimana, Sayang? Bisa?”“Ehm, ....”“Kalau gak bisa ya gak papa. Aku
“Mas, ini apa?’ tanyaku kembali mengulang kalimat yang sama.Mas Adam tersenyum, lalu menarik lenganku lembut. “Wanita istimewa butuh diperlakukan istimewa, Sayang. Aku mohon kamu tidak keberatan.”Aku terdiam. Rasanya semua berlebihan. Hanya untuk beberapa stel pakaian saja harus menghabiskan uang jutaan rupiah. Uang senilai itu, bisa untuk kehidupanku dan emak selama sebulan. Belum lagi, cara mendapatkannya yang butuh ekstra perjuangan. Dimana emak akan menjadi buruh tani tiap paginya, melawan terik mentari yang mulai merangkak dan menyinari dengan terik tubuh tuanya dan terkadang aku membantunya dengan mencuci dan menggosok pakaian tetangga. Itupun hasilnya tak lebih banyak dengan jumlah nominal harga pakaian yang dibelikan oleh Mas Adam. “Sayang, yang mau dibeli apa? kenapa diam saja?’ tanya Mas Adam sambil mendorong keranjang belanja. “Eh, maaf.” Aku tak sadar telah turun ke lantai dasar, dimana barang rumah tangga berjejer rapi. Perjalanan turun yang menggunakan lift pun tak t
Aku kesusahan meneguk salivaku sendiri. Jejeran angka yang tertulis benar-benar membuatku terkejut. Disini, uang tersebut bisa dibelikan sawah satu hektar dan bisa digunakan untuk hidup sehari-hari. Ah, knapa rasanya malah sayang kalau uang tersebut diendapkan di rekening?“Sayang, ayo beli diapersnya. Jadi gak?”“Eh, iya, Mas.”Aku mengekori langkah kaki Mas Adam yang terayun, dan mengambil Zahra ketika sampai di motor maticnya. Kami kembali berjalan menyusuri jalanan, yang terkadang menyapa para warga ketika melewatinya.“Sayang, kita mampir ke sawah mau?” tanyanya seusai membeli apa yang kuinginkan. 1 ball diapers dan minyak rambut untuk Zahra.“Terserah mas adam saja. Kan Dijah di belakang, ngikut pak sopirnya.”Dari pantulan spion yang mengarah ke arah Mas Adam, terlihat sudut bibirnya yang tertarik. Lalu diraihnya tanganku untuk memegangnya lebih erat. “Mas, Dijah malu kalau dipegangi seperti ini. kayak abegeh saja,” protesku yang sedikit berbisik ke telinganya.“Gak papa, Sayan
Mentari mulai turun dari paraduan, dan digantikan oleh rembulan yang mulai meninggi. Kuhabiskan waktu bersama Mas Adam dengan duduk di teras menatap langit yang tengah berkilau karena banyaknya bintang yang muncul. Sama seperti hatiku yang tengah berkilau dengan kebahagiaan demi kebahagiaan yang terus menyapaku. Janji Allah benar adanya, akan ada pelangi seusai hujan. Akan ada kebahgaiaan setelah beberpa hari terpendam dengan kesedihan. “Kamu gak ngantuk, Sayang?” tanya lelakiku yang menoleh ke arahku. Satu tangan kanannya dijadikan tumpuan bantal kepala zahra, sedang tangan kiri itu mengelus punggung tanganku dengan lembut.Aku menggeleng. ‘Ya Tuhan, disentuh oleh Mas Adam seperti ini saja mampu membuat jantungku berdetak tak karuan. Lalu apa jadinya ketika kita saling memberikan hak dan kewajiban?’“Zahra sudah tidur. Kasihan kalau terus-terusan kena angin malam. Ngobrolnya di kamar saja yuk!”Aku mengangguk. Dengan suasana hati yang semakin tak mampu kupahami. Berdetak begitu cep
Seorang istri akan menjadi ratu ketika berjumpa dengan suami yang tepat. Ya, aku benar-benar meyakini pernyataan itu. Demi apapun, Mas Adam seorang lelaki yang terbaik dengan segala kekurangannya. Meskipun sejujurnya, tak nampak sedikitpun kekurangan itu di mataku. Dari awal kita menikah, hingga janin ini ada di rahimku. Ia adalah suami siaga, yang selalu ada dan emnerima semua kekuranganku. “Apa kita batalin pertemuannya saja, Sayang?” tanya Mas Adam yang memandangku lekat. Aku berbaring di ranjang kamar hotel, dengan dua bantal yang kuajdikan tumpuan belakang punggungku. Sedangkan minyak putih terus menguar dalam indra, berikut dengan sensasi panas di bawah hidung. Semenjak pulang dari praktik dokter tadi, aku sudah diresepkan obat dan vitamin. Namun, rasa mual itu tak pernah memberiku jeda untuk sekedar beristirahat. Hanya bisa berbaring dengan ember kecil yang di letakkan di bawah ranjang, supaya aku tak harus wira-wiri ke kamar mandi saat hendak mengeluarkan isi perutku kembal
“Dijah gak ngambek, mas. Dijah hanya ....”“Hanya apa? nesu ... atau mrengut ...?” tanyanya dengan bahas jawa medhok, membuatku terkekeh.“Hanya rindu.”Mas adam menarik sudut bibirnya, lalu mengusap lembut rambut panjangku. “Ijinkan ibu menghabiskan waktu untuk cucunya ya, sayang.”Aku mengangguk.Waktu terus berlalu. Namun kini bukan hanya sifat manjaku yang dominan, tapi ego dan mood ku yang berubah begitu cepat. Bahkan untuk kesalahan yang bagiku biasa saja, mampu menghadirkan emosi yang menggunung. Mas Adam yang melupakan handuk di kasur. Mas adam yang lupa mematikan air kran kamar mandi. Masalah spele begitu saja, membuatku mendiamkannya berjam-jam. Sebenarnya iba juga menatapnya, tapi entah kenapa bawaannya pengen emosi. Namun, di balik itu semua, bukan Mas adam namanya jika tak mampu lagi mengambil hatiku. Dengan telaten dan sabarnya, ia menghadirkan senyuman dan tawa kecil kembali.“Apa gak sebaiknya kamu di rumah saja, Sayang? Dua harian lagi juga aku pulang,” ucap Mas Adam
Waktu terus berlalu begitu cepat, detikan jam yang berjalan selalu kuisi dengan senyuman. Mas Adam terus memanjakanku, dengan segala perhatian dan kasih sayangnya nan hangat. Ia adalah sosok suami dan ayah yang siaga, yang terus telaten menghadapi sikapku yang mendadak manja dan selalu ingin menang sendiri. Ya, aku tak tahu bagaimana sikap ini muncul begitu saja. padahal dulunya, aku adalah seorang wanita yang mandiri. “Mas Adam, boleh Dijah meminta ....”“Boleh, Sayang,” ucapnya sambil mengembangkan senyum di paras tampannya. Tanpa menyelesaikan kalimatku, Mas Adam seakan tahu apa yang aku pikirkan.Lelaki yang baru saja masuk dengan tabung gas melon di tangannya itu langsung menuju ke dapur, dan memasangnya. Hal yang dulunya bisa kulakukan sendiri tanpa minta bantuan siapapun. “Ada lagi yang mau dibantu, Ratuku?” tanyanya yang membuatku terkekah. Diberi pertanyaan seperti itu membuatku malu sendiri, kalau aku sering merepotkan lelaki yang beberapa bulan ini menemani hariku. “Air
“Ada apa, Mas?” tanyaku. Alih-alih menjawab, lelaki dengan handuk kecil itu justru menenggelamkan diri ke dalam kamar. Aku beranjak, menuju sumber jeritan berasal. “Dek, ada apa?” tanyaku. Pipi yang biasa berwarna merah muda itu kini menjadi lebih merah dari biasanya. Tak kalah dari Mas Adam.“Dek, ada apa?” tanyaku lagi mengulang pertanyaan karena tak kunjung dijawab.“Mbak, ini Zahra. Dinda mau masuk kamar dulu,” ucapnya yang langsung mengangkat tubuh gemoy anakku.Akupun mengambil alih, sejurus kemudian wanita cantik dengan jilbab segi empat warna merah muda itu lari ke kamarnya, membuatku geleng kepala kebingungan.“Mas Adam, tolong ajak main Zahra ya. Dijah mau mandi,” ucapku masuk kamar menatap lelakiku yang duduk terpaku di bibir ranjang. Ia menoleh dan meringis, masih dengan wajah yang kemerah-merahan. “Mas, sebenarnya ada apa? kenapa mas adam dan dinda aneh?” tanyaku dengan dahi mengernyit. Kuletakkan tubuh gemoy anakku ke dalam pangkuannya.“Sumpah, Sayang. Sumpah bukan
Di dalam gedung yang dijadikan kelas anak-anak itu disiapkan panggung dengan spanduk besar yang menjangkau seluruh panggung kayu tersebut. Nama komunitas tertulis jelas, bersamaan dengan nama-nama para anggota. Termasuk nama almarhum Mas Ammar yang tertulis di bagian paling atas, karena sebelumnya beliau adalah ketuanya. Termasuk novel pertama dan terakhir yang menjadi karya terindah untukku, terpotret jelas di spanduk tersebut. Aku tersenyum, andai Mas Ammar masih ada, tentu ia akan begitu bangga dengan pencapaiannya yang luar biasa. Hingga aku tersadar dengan lamunanku ketika Mas Adam mengusap air mata yang membasahi pipiku dengan sapu tangan miliknya. “Sayang, yang kuat ya,” ucapnya dengan tangan kiri yang tak pernah lepas dari menggengam tanganku.Aku diminta duduk di bagian meja depan paling dekat dengan panggung. Juga dengan Mas adam yang selalu ada di sisiku. Sedangkan zahra kini asyik dengan tantenya dan beberapa panitia yang tergabung dari komunitas ciptaan Mas Ammar. Seora
“Mas, kamu sudah bangun?” tanyaku yang sedikit menjauh dari tubuhnya. Dengan cepat ia menahan tanganku, dan membawanya kembali ke dalam pucuk kepalanya. “kenapa berhenti? Aku suka diperlakukan seperti tadi. Apa aku harus terpejam lagi supaya kamu kembali melakukannya, Sayang?”“Mas, aku malu.”Lelaki itu terkekeh, dengan pelupuk mata yang kembali ditutup. “Malu kenapa? Aku saja terpejam seperti ini?”“Mas ....”Mas Adam melingkarkan lengannya ke perutku, hingga aku kembali dibuat hangat dan nyamana dalam dekapannya. “Mas, boleh Dijah tanya sesuatu?”“Apa, sayang?”“Sebenarnya Dijah penasaran dari beberapa bulan yang lalu, tapi malu untuk bertanya.”“Apa itu? Kok sampai ditahan beberapa bulan?”“Sebelum kita nikah ....”“Iya .”“Kenapa selalu ada untuk Dijah? Dari rumah bocor, lampu teras yang mati, selokan yang mampet?” Aku mengernyit, menatap lelakiku yang justru terkekeh.“Gak dijawab, malah ditertawakan?” tanyaku lagi.“Sampai sekarang tidak tahu?”Aku menggeleng.“Di teras kan ak
“Ya Allah, Dek, kenapa bilangnya mendadak sekali? kan kita belum ada persiapan apapun?” ucapku. “Mas Raffa juga bilangnya mendadak, Mbak. Sebenarnya sih Dinda maunya ketika Dinda sudah lulus, tapi keluarga Mas Raffa maunya sekarang.”“Kamu sudah yakin, Dek?”“Iya, Mbak. Dinda juga sudah salat istiharah sebelumnya tentang hubungan Dinda dan mas Raffa.”“Lalu?”“Ada mas Raffa dalam mimpi Dinda, Mbak. Lagian ia berjanji akan mengijinkan Dinda mengambil S2 nantinya kalau sudah menikah. Dinda gak akan merepotkan mbak lagi dengan semua biaya-biayanya.”Kupeluk tubuh semampai adikku. Entah mengapa, aku merasa gagal menjadi kakak yang baik untuknya. Selama ini ia terus berjuang sendiri untuk kehidupannya, tanpa campur tanganku.“Tolong restui hubungan kami ya, Mbak? Terlebih dengan semua kesalahan yang pernah Dinda dan Mas Raffa lakukan.”Aku mengangguk.**Sebuah senyum terbit kala menatap adikku yang semringah menatap cincin yang melingkar di jarinya. Keluarga Raffa sudah pergi sedangkan
“Kamu marah, Sayang?” tanya Mas Adam yang menarik sudut bibirnya. Aku menggeleng. Tak menjawab pertanyaan itu dengan kalimat.“Bagaimanapun Anita ada di bagian hatiku, sama seperti Ammar yang masih ada di hatimu. ”Aku mengangguk. Masih malas untuk memberikan jawaban. Kuhabiskan sisa makanan di depanku dengan cepat, dan langsung menuju kamar mandi.Kunyalakan kran hingga suara riuh dari air yang mengalir mengimbangi suara tangisku. Berikut dengan suara-suara rintihan hatiku, yang tak menentu. Aku tahu aku salah, aku tahu cemburuku berlebihan. Aku terlalu takut dengan pikiran-pikiran buruk yang terus menyapa. “Sayang, Zahra terbangun. Dia ingin asi,” ucap Mas Adam dengan ketukan pintu kamar mandi.Kuusap wajahku yang basah dengan air mata. “Iya, Mas. Sebentar.”Aku mempercepat mandiku, membasuh tubuhku mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu dengan cepat menutup tubuhku dengan haduk, dan keluar dari tempat ini. Baru saja aku buka pintu dan mengayunan langkah sekali. Sebuah pe
Mentari mulai turun dari paraduan, dan digantikan oleh rembulan yang mulai meninggi. Kuhabiskan waktu bersama Mas Adam dengan duduk di teras menatap langit yang tengah berkilau karena banyaknya bintang yang muncul. Sama seperti hatiku yang tengah berkilau dengan kebahagiaan demi kebahagiaan yang terus menyapaku. Janji Allah benar adanya, akan ada pelangi seusai hujan. Akan ada kebahgaiaan setelah beberpa hari terpendam dengan kesedihan. “Kamu gak ngantuk, Sayang?” tanya lelakiku yang menoleh ke arahku. Satu tangan kanannya dijadikan tumpuan bantal kepala zahra, sedang tangan kiri itu mengelus punggung tanganku dengan lembut.Aku menggeleng. ‘Ya Tuhan, disentuh oleh Mas Adam seperti ini saja mampu membuat jantungku berdetak tak karuan. Lalu apa jadinya ketika kita saling memberikan hak dan kewajiban?’“Zahra sudah tidur. Kasihan kalau terus-terusan kena angin malam. Ngobrolnya di kamar saja yuk!”Aku mengangguk. Dengan suasana hati yang semakin tak mampu kupahami. Berdetak begitu cep