“Mas, ini apa?’ tanyaku kembali mengulang kalimat yang sama.Mas Adam tersenyum, lalu menarik lenganku lembut. “Wanita istimewa butuh diperlakukan istimewa, Sayang. Aku mohon kamu tidak keberatan.”Aku terdiam. Rasanya semua berlebihan. Hanya untuk beberapa stel pakaian saja harus menghabiskan uang jutaan rupiah. Uang senilai itu, bisa untuk kehidupanku dan emak selama sebulan. Belum lagi, cara mendapatkannya yang butuh ekstra perjuangan. Dimana emak akan menjadi buruh tani tiap paginya, melawan terik mentari yang mulai merangkak dan menyinari dengan terik tubuh tuanya dan terkadang aku membantunya dengan mencuci dan menggosok pakaian tetangga. Itupun hasilnya tak lebih banyak dengan jumlah nominal harga pakaian yang dibelikan oleh Mas Adam. “Sayang, yang mau dibeli apa? kenapa diam saja?’ tanya Mas Adam sambil mendorong keranjang belanja. “Eh, maaf.” Aku tak sadar telah turun ke lantai dasar, dimana barang rumah tangga berjejer rapi. Perjalanan turun yang menggunakan lift pun tak t
Aku kesusahan meneguk salivaku sendiri. Jejeran angka yang tertulis benar-benar membuatku terkejut. Disini, uang tersebut bisa dibelikan sawah satu hektar dan bisa digunakan untuk hidup sehari-hari. Ah, knapa rasanya malah sayang kalau uang tersebut diendapkan di rekening?“Sayang, ayo beli diapersnya. Jadi gak?”“Eh, iya, Mas.”Aku mengekori langkah kaki Mas Adam yang terayun, dan mengambil Zahra ketika sampai di motor maticnya. Kami kembali berjalan menyusuri jalanan, yang terkadang menyapa para warga ketika melewatinya.“Sayang, kita mampir ke sawah mau?” tanyanya seusai membeli apa yang kuinginkan. 1 ball diapers dan minyak rambut untuk Zahra.“Terserah mas adam saja. Kan Dijah di belakang, ngikut pak sopirnya.”Dari pantulan spion yang mengarah ke arah Mas Adam, terlihat sudut bibirnya yang tertarik. Lalu diraihnya tanganku untuk memegangnya lebih erat. “Mas, Dijah malu kalau dipegangi seperti ini. kayak abegeh saja,” protesku yang sedikit berbisik ke telinganya.“Gak papa, Sayan
Mentari mulai turun dari paraduan, dan digantikan oleh rembulan yang mulai meninggi. Kuhabiskan waktu bersama Mas Adam dengan duduk di teras menatap langit yang tengah berkilau karena banyaknya bintang yang muncul. Sama seperti hatiku yang tengah berkilau dengan kebahagiaan demi kebahagiaan yang terus menyapaku. Janji Allah benar adanya, akan ada pelangi seusai hujan. Akan ada kebahgaiaan setelah beberpa hari terpendam dengan kesedihan. “Kamu gak ngantuk, Sayang?” tanya lelakiku yang menoleh ke arahku. Satu tangan kanannya dijadikan tumpuan bantal kepala zahra, sedang tangan kiri itu mengelus punggung tanganku dengan lembut.Aku menggeleng. ‘Ya Tuhan, disentuh oleh Mas Adam seperti ini saja mampu membuat jantungku berdetak tak karuan. Lalu apa jadinya ketika kita saling memberikan hak dan kewajiban?’“Zahra sudah tidur. Kasihan kalau terus-terusan kena angin malam. Ngobrolnya di kamar saja yuk!”Aku mengangguk. Dengan suasana hati yang semakin tak mampu kupahami. Berdetak begitu cep
“Kamu marah, Sayang?” tanya Mas Adam yang menarik sudut bibirnya. Aku menggeleng. Tak menjawab pertanyaan itu dengan kalimat.“Bagaimanapun Anita ada di bagian hatiku, sama seperti Ammar yang masih ada di hatimu. ”Aku mengangguk. Masih malas untuk memberikan jawaban. Kuhabiskan sisa makanan di depanku dengan cepat, dan langsung menuju kamar mandi.Kunyalakan kran hingga suara riuh dari air yang mengalir mengimbangi suara tangisku. Berikut dengan suara-suara rintihan hatiku, yang tak menentu. Aku tahu aku salah, aku tahu cemburuku berlebihan. Aku terlalu takut dengan pikiran-pikiran buruk yang terus menyapa. “Sayang, Zahra terbangun. Dia ingin asi,” ucap Mas Adam dengan ketukan pintu kamar mandi.Kuusap wajahku yang basah dengan air mata. “Iya, Mas. Sebentar.”Aku mempercepat mandiku, membasuh tubuhku mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu dengan cepat menutup tubuhku dengan haduk, dan keluar dari tempat ini. Baru saja aku buka pintu dan mengayunan langkah sekali. Sebuah pe
“Ya Allah, Dek, kenapa bilangnya mendadak sekali? kan kita belum ada persiapan apapun?” ucapku. “Mas Raffa juga bilangnya mendadak, Mbak. Sebenarnya sih Dinda maunya ketika Dinda sudah lulus, tapi keluarga Mas Raffa maunya sekarang.”“Kamu sudah yakin, Dek?”“Iya, Mbak. Dinda juga sudah salat istiharah sebelumnya tentang hubungan Dinda dan mas Raffa.”“Lalu?”“Ada mas Raffa dalam mimpi Dinda, Mbak. Lagian ia berjanji akan mengijinkan Dinda mengambil S2 nantinya kalau sudah menikah. Dinda gak akan merepotkan mbak lagi dengan semua biaya-biayanya.”Kupeluk tubuh semampai adikku. Entah mengapa, aku merasa gagal menjadi kakak yang baik untuknya. Selama ini ia terus berjuang sendiri untuk kehidupannya, tanpa campur tanganku.“Tolong restui hubungan kami ya, Mbak? Terlebih dengan semua kesalahan yang pernah Dinda dan Mas Raffa lakukan.”Aku mengangguk.**Sebuah senyum terbit kala menatap adikku yang semringah menatap cincin yang melingkar di jarinya. Keluarga Raffa sudah pergi sedangkan
“Mas, kamu sudah bangun?” tanyaku yang sedikit menjauh dari tubuhnya. Dengan cepat ia menahan tanganku, dan membawanya kembali ke dalam pucuk kepalanya. “kenapa berhenti? Aku suka diperlakukan seperti tadi. Apa aku harus terpejam lagi supaya kamu kembali melakukannya, Sayang?”“Mas, aku malu.”Lelaki itu terkekeh, dengan pelupuk mata yang kembali ditutup. “Malu kenapa? Aku saja terpejam seperti ini?”“Mas ....”Mas Adam melingkarkan lengannya ke perutku, hingga aku kembali dibuat hangat dan nyamana dalam dekapannya. “Mas, boleh Dijah tanya sesuatu?”“Apa, sayang?”“Sebenarnya Dijah penasaran dari beberapa bulan yang lalu, tapi malu untuk bertanya.”“Apa itu? Kok sampai ditahan beberapa bulan?”“Sebelum kita nikah ....”“Iya .”“Kenapa selalu ada untuk Dijah? Dari rumah bocor, lampu teras yang mati, selokan yang mampet?” Aku mengernyit, menatap lelakiku yang justru terkekeh.“Gak dijawab, malah ditertawakan?” tanyaku lagi.“Sampai sekarang tidak tahu?”Aku menggeleng.“Di teras kan ak
Di dalam gedung yang dijadikan kelas anak-anak itu disiapkan panggung dengan spanduk besar yang menjangkau seluruh panggung kayu tersebut. Nama komunitas tertulis jelas, bersamaan dengan nama-nama para anggota. Termasuk nama almarhum Mas Ammar yang tertulis di bagian paling atas, karena sebelumnya beliau adalah ketuanya. Termasuk novel pertama dan terakhir yang menjadi karya terindah untukku, terpotret jelas di spanduk tersebut. Aku tersenyum, andai Mas Ammar masih ada, tentu ia akan begitu bangga dengan pencapaiannya yang luar biasa. Hingga aku tersadar dengan lamunanku ketika Mas Adam mengusap air mata yang membasahi pipiku dengan sapu tangan miliknya. “Sayang, yang kuat ya,” ucapnya dengan tangan kiri yang tak pernah lepas dari menggengam tanganku.Aku diminta duduk di bagian meja depan paling dekat dengan panggung. Juga dengan Mas adam yang selalu ada di sisiku. Sedangkan zahra kini asyik dengan tantenya dan beberapa panitia yang tergabung dari komunitas ciptaan Mas Ammar. Seora
“Ada apa, Mas?” tanyaku. Alih-alih menjawab, lelaki dengan handuk kecil itu justru menenggelamkan diri ke dalam kamar. Aku beranjak, menuju sumber jeritan berasal. “Dek, ada apa?” tanyaku. Pipi yang biasa berwarna merah muda itu kini menjadi lebih merah dari biasanya. Tak kalah dari Mas Adam.“Dek, ada apa?” tanyaku lagi mengulang pertanyaan karena tak kunjung dijawab.“Mbak, ini Zahra. Dinda mau masuk kamar dulu,” ucapnya yang langsung mengangkat tubuh gemoy anakku.Akupun mengambil alih, sejurus kemudian wanita cantik dengan jilbab segi empat warna merah muda itu lari ke kamarnya, membuatku geleng kepala kebingungan.“Mas Adam, tolong ajak main Zahra ya. Dijah mau mandi,” ucapku masuk kamar menatap lelakiku yang duduk terpaku di bibir ranjang. Ia menoleh dan meringis, masih dengan wajah yang kemerah-merahan. “Mas, sebenarnya ada apa? kenapa mas adam dan dinda aneh?” tanyaku dengan dahi mengernyit. Kuletakkan tubuh gemoy anakku ke dalam pangkuannya.“Sumpah, Sayang. Sumpah bukan
Seorang istri akan menjadi ratu ketika berjumpa dengan suami yang tepat. Ya, aku benar-benar meyakini pernyataan itu. Demi apapun, Mas Adam seorang lelaki yang terbaik dengan segala kekurangannya. Meskipun sejujurnya, tak nampak sedikitpun kekurangan itu di mataku. Dari awal kita menikah, hingga janin ini ada di rahimku. Ia adalah suami siaga, yang selalu ada dan emnerima semua kekuranganku. “Apa kita batalin pertemuannya saja, Sayang?” tanya Mas Adam yang memandangku lekat. Aku berbaring di ranjang kamar hotel, dengan dua bantal yang kuajdikan tumpuan belakang punggungku. Sedangkan minyak putih terus menguar dalam indra, berikut dengan sensasi panas di bawah hidung. Semenjak pulang dari praktik dokter tadi, aku sudah diresepkan obat dan vitamin. Namun, rasa mual itu tak pernah memberiku jeda untuk sekedar beristirahat. Hanya bisa berbaring dengan ember kecil yang di letakkan di bawah ranjang, supaya aku tak harus wira-wiri ke kamar mandi saat hendak mengeluarkan isi perutku kembal
“Dijah gak ngambek, mas. Dijah hanya ....”“Hanya apa? nesu ... atau mrengut ...?” tanyanya dengan bahas jawa medhok, membuatku terkekeh.“Hanya rindu.”Mas adam menarik sudut bibirnya, lalu mengusap lembut rambut panjangku. “Ijinkan ibu menghabiskan waktu untuk cucunya ya, sayang.”Aku mengangguk.Waktu terus berlalu. Namun kini bukan hanya sifat manjaku yang dominan, tapi ego dan mood ku yang berubah begitu cepat. Bahkan untuk kesalahan yang bagiku biasa saja, mampu menghadirkan emosi yang menggunung. Mas Adam yang melupakan handuk di kasur. Mas adam yang lupa mematikan air kran kamar mandi. Masalah spele begitu saja, membuatku mendiamkannya berjam-jam. Sebenarnya iba juga menatapnya, tapi entah kenapa bawaannya pengen emosi. Namun, di balik itu semua, bukan Mas adam namanya jika tak mampu lagi mengambil hatiku. Dengan telaten dan sabarnya, ia menghadirkan senyuman dan tawa kecil kembali.“Apa gak sebaiknya kamu di rumah saja, Sayang? Dua harian lagi juga aku pulang,” ucap Mas Adam
Waktu terus berlalu begitu cepat, detikan jam yang berjalan selalu kuisi dengan senyuman. Mas Adam terus memanjakanku, dengan segala perhatian dan kasih sayangnya nan hangat. Ia adalah sosok suami dan ayah yang siaga, yang terus telaten menghadapi sikapku yang mendadak manja dan selalu ingin menang sendiri. Ya, aku tak tahu bagaimana sikap ini muncul begitu saja. padahal dulunya, aku adalah seorang wanita yang mandiri. “Mas Adam, boleh Dijah meminta ....”“Boleh, Sayang,” ucapnya sambil mengembangkan senyum di paras tampannya. Tanpa menyelesaikan kalimatku, Mas Adam seakan tahu apa yang aku pikirkan.Lelaki yang baru saja masuk dengan tabung gas melon di tangannya itu langsung menuju ke dapur, dan memasangnya. Hal yang dulunya bisa kulakukan sendiri tanpa minta bantuan siapapun. “Ada lagi yang mau dibantu, Ratuku?” tanyanya yang membuatku terkekah. Diberi pertanyaan seperti itu membuatku malu sendiri, kalau aku sering merepotkan lelaki yang beberapa bulan ini menemani hariku. “Air
“Ada apa, Mas?” tanyaku. Alih-alih menjawab, lelaki dengan handuk kecil itu justru menenggelamkan diri ke dalam kamar. Aku beranjak, menuju sumber jeritan berasal. “Dek, ada apa?” tanyaku. Pipi yang biasa berwarna merah muda itu kini menjadi lebih merah dari biasanya. Tak kalah dari Mas Adam.“Dek, ada apa?” tanyaku lagi mengulang pertanyaan karena tak kunjung dijawab.“Mbak, ini Zahra. Dinda mau masuk kamar dulu,” ucapnya yang langsung mengangkat tubuh gemoy anakku.Akupun mengambil alih, sejurus kemudian wanita cantik dengan jilbab segi empat warna merah muda itu lari ke kamarnya, membuatku geleng kepala kebingungan.“Mas Adam, tolong ajak main Zahra ya. Dijah mau mandi,” ucapku masuk kamar menatap lelakiku yang duduk terpaku di bibir ranjang. Ia menoleh dan meringis, masih dengan wajah yang kemerah-merahan. “Mas, sebenarnya ada apa? kenapa mas adam dan dinda aneh?” tanyaku dengan dahi mengernyit. Kuletakkan tubuh gemoy anakku ke dalam pangkuannya.“Sumpah, Sayang. Sumpah bukan
Di dalam gedung yang dijadikan kelas anak-anak itu disiapkan panggung dengan spanduk besar yang menjangkau seluruh panggung kayu tersebut. Nama komunitas tertulis jelas, bersamaan dengan nama-nama para anggota. Termasuk nama almarhum Mas Ammar yang tertulis di bagian paling atas, karena sebelumnya beliau adalah ketuanya. Termasuk novel pertama dan terakhir yang menjadi karya terindah untukku, terpotret jelas di spanduk tersebut. Aku tersenyum, andai Mas Ammar masih ada, tentu ia akan begitu bangga dengan pencapaiannya yang luar biasa. Hingga aku tersadar dengan lamunanku ketika Mas Adam mengusap air mata yang membasahi pipiku dengan sapu tangan miliknya. “Sayang, yang kuat ya,” ucapnya dengan tangan kiri yang tak pernah lepas dari menggengam tanganku.Aku diminta duduk di bagian meja depan paling dekat dengan panggung. Juga dengan Mas adam yang selalu ada di sisiku. Sedangkan zahra kini asyik dengan tantenya dan beberapa panitia yang tergabung dari komunitas ciptaan Mas Ammar. Seora
“Mas, kamu sudah bangun?” tanyaku yang sedikit menjauh dari tubuhnya. Dengan cepat ia menahan tanganku, dan membawanya kembali ke dalam pucuk kepalanya. “kenapa berhenti? Aku suka diperlakukan seperti tadi. Apa aku harus terpejam lagi supaya kamu kembali melakukannya, Sayang?”“Mas, aku malu.”Lelaki itu terkekeh, dengan pelupuk mata yang kembali ditutup. “Malu kenapa? Aku saja terpejam seperti ini?”“Mas ....”Mas Adam melingkarkan lengannya ke perutku, hingga aku kembali dibuat hangat dan nyamana dalam dekapannya. “Mas, boleh Dijah tanya sesuatu?”“Apa, sayang?”“Sebenarnya Dijah penasaran dari beberapa bulan yang lalu, tapi malu untuk bertanya.”“Apa itu? Kok sampai ditahan beberapa bulan?”“Sebelum kita nikah ....”“Iya .”“Kenapa selalu ada untuk Dijah? Dari rumah bocor, lampu teras yang mati, selokan yang mampet?” Aku mengernyit, menatap lelakiku yang justru terkekeh.“Gak dijawab, malah ditertawakan?” tanyaku lagi.“Sampai sekarang tidak tahu?”Aku menggeleng.“Di teras kan ak
“Ya Allah, Dek, kenapa bilangnya mendadak sekali? kan kita belum ada persiapan apapun?” ucapku. “Mas Raffa juga bilangnya mendadak, Mbak. Sebenarnya sih Dinda maunya ketika Dinda sudah lulus, tapi keluarga Mas Raffa maunya sekarang.”“Kamu sudah yakin, Dek?”“Iya, Mbak. Dinda juga sudah salat istiharah sebelumnya tentang hubungan Dinda dan mas Raffa.”“Lalu?”“Ada mas Raffa dalam mimpi Dinda, Mbak. Lagian ia berjanji akan mengijinkan Dinda mengambil S2 nantinya kalau sudah menikah. Dinda gak akan merepotkan mbak lagi dengan semua biaya-biayanya.”Kupeluk tubuh semampai adikku. Entah mengapa, aku merasa gagal menjadi kakak yang baik untuknya. Selama ini ia terus berjuang sendiri untuk kehidupannya, tanpa campur tanganku.“Tolong restui hubungan kami ya, Mbak? Terlebih dengan semua kesalahan yang pernah Dinda dan Mas Raffa lakukan.”Aku mengangguk.**Sebuah senyum terbit kala menatap adikku yang semringah menatap cincin yang melingkar di jarinya. Keluarga Raffa sudah pergi sedangkan
“Kamu marah, Sayang?” tanya Mas Adam yang menarik sudut bibirnya. Aku menggeleng. Tak menjawab pertanyaan itu dengan kalimat.“Bagaimanapun Anita ada di bagian hatiku, sama seperti Ammar yang masih ada di hatimu. ”Aku mengangguk. Masih malas untuk memberikan jawaban. Kuhabiskan sisa makanan di depanku dengan cepat, dan langsung menuju kamar mandi.Kunyalakan kran hingga suara riuh dari air yang mengalir mengimbangi suara tangisku. Berikut dengan suara-suara rintihan hatiku, yang tak menentu. Aku tahu aku salah, aku tahu cemburuku berlebihan. Aku terlalu takut dengan pikiran-pikiran buruk yang terus menyapa. “Sayang, Zahra terbangun. Dia ingin asi,” ucap Mas Adam dengan ketukan pintu kamar mandi.Kuusap wajahku yang basah dengan air mata. “Iya, Mas. Sebentar.”Aku mempercepat mandiku, membasuh tubuhku mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu dengan cepat menutup tubuhku dengan haduk, dan keluar dari tempat ini. Baru saja aku buka pintu dan mengayunan langkah sekali. Sebuah pe
Mentari mulai turun dari paraduan, dan digantikan oleh rembulan yang mulai meninggi. Kuhabiskan waktu bersama Mas Adam dengan duduk di teras menatap langit yang tengah berkilau karena banyaknya bintang yang muncul. Sama seperti hatiku yang tengah berkilau dengan kebahagiaan demi kebahagiaan yang terus menyapaku. Janji Allah benar adanya, akan ada pelangi seusai hujan. Akan ada kebahgaiaan setelah beberpa hari terpendam dengan kesedihan. “Kamu gak ngantuk, Sayang?” tanya lelakiku yang menoleh ke arahku. Satu tangan kanannya dijadikan tumpuan bantal kepala zahra, sedang tangan kiri itu mengelus punggung tanganku dengan lembut.Aku menggeleng. ‘Ya Tuhan, disentuh oleh Mas Adam seperti ini saja mampu membuat jantungku berdetak tak karuan. Lalu apa jadinya ketika kita saling memberikan hak dan kewajiban?’“Zahra sudah tidur. Kasihan kalau terus-terusan kena angin malam. Ngobrolnya di kamar saja yuk!”Aku mengangguk. Dengan suasana hati yang semakin tak mampu kupahami. Berdetak begitu cep