Semua Bab HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS: Bab 11 - Bab 20

123 Bab

Bab 11. Aku Menantu Bukan Babu

"Mas, Adek mau berangkat sekarang." Aku minta pamit pada Mas Rama untuk pulang kampung menjenguk bapakku sakit."Apa gak bisa nunggu gajian saja pulangnya. Kita pulang bareng sama ibu dan juga Sinta. Kata Sinta dia sekalian mau berbulan madu ke desa.""Mas ..." pekikku."Tolonglah. Saya mau menjenguk orang tua yang sakit. Bukan mau main-main." jawabku dengan lantang."Jadi bagaimana? Bukannya Mas gak ijinin menjenguk bapak, Dek. Kita disini pun banyak tugas yang belum selesai." Berbagai alasan selalu saja Mas Rama lontarkan."Tugas apa lagi? Tolonglah Mas mengerti perasaan saya saat ini. Adek hanya minta ijin pulang. Tidak lebih. Segala biaya ongkos atau apapun biarlah Adek tanggung sendiri." Emosiku sudah sampai ke ubun-ubun, tapi tetap berusaha terlihat biasa saja di depan mas Rama. Bagaimana pun aku tidak ingin menjadi istri pembangkang."Mas tau, Dek. Mas bingung mau mengambil keputusan. Coba Adek bayangkan, sebentar lagi keluarga mertua Sinta mau datang. Siapa yang layani? Disini
Baca selengkapnya

Bab 12. Tolong Hargai Aku

Di rumah mertua, diri ini diperlakukan bagaikan seorang pembantu. Ya ... pembantu yang tidak pernah di gaji. Enak benar hidup mereka bukan? Kadang aku berfikir, aku ini bodoh apa terlalu bucin? Bisa-bisanya seorang wanita karir dan lulusan sarjana seperti aku, tidak berdaya di hadapan seorang wanita yang bernama bu Lastri.Mungkin wanita lain akan berontak jika diperlakukan begini. Pekerjaan rumah tangga semua aku kerjakan, dari memasak sampai mencuci baju seluruh anggota keluarga Mas Rama. Pantas saja mereka tidak mempekerjakan pembantu, mungkin karena sudah ada aku, wanita pintar di sekolah tetapi tak berdaya di rumah.Walaupu aku ini bukan anak kandungnya apa pantas ibu dan ipar memperlakukan seenak hati."Bu, jangan biasakan jam segini Sinta masih tidur. Dia anak perempuan dan suatu saat akan punya tanggung jawab sebagai seorang istri." nasehat aku kepada wanita paruh baya itu."Dia anakku. Wajar dong aku mrmanjakan dia dan Rama pun tidak keberatan. Kenapa kamu pula yang sewot." M
Baca selengkapnya

Bab 13. Dimana Hati Nurani Kalian

"Dek, Bapak terus saja memanggil namamu dan mulai tadi pagi Bapak tidak selera makan dan minum. Mungkin Bapak kangen berat sama kamu, Dek. Bisa gak, jika kamu harus pulang sekarang?" Suara tangis Kak Ayu diseberang telepon terdengar semakin kencang membuat kaki ini seakan tidak menapak lagi di bumi ini."Iya, Kak. Agnes pulang sekarang. Ini sedang bersiap-siap." ujarku berusaha menenangkan kak Ayu yang sangat frustasi dengan kondisi sang bapak."Cepat datang ya, Dek. Tapi kamu juga harus hati-hati di jalan. Jangan banyak pikiran." Sempat-sempatnya Kak Ayu memberi nasehat kepadaku untuk berhati-hati, padahal aku tahu pikirannya sangat kalut saat ini."Iya, Kak. Kakak juga, jangan banyak pikiran. Ibu bagaimana? Sehat kan?" Tanyaku lagi."Nampaknya ibu juga kurang sehat. Beliau melamun saja seperti orang sedang banyak pikiran. Mungkin karena melihat bapak yang sedang terbaring lemah dan tidak berdaya dirumah sakit."Kemudian tanpa basa basi tiba-tiba saja Kak Ayu menutup teleponnya sepiha
Baca selengkapnya

Bab 14. Firasat

"Niken gaka usah ikut ke rumah sakit, ya Mas. Kasian. Di sana banyak penyakit menular." Ujarku memohon pada mas Rama untuk menjaga Niken selama dia masih di rumah."Ya udahlah. Terserah kamu saja." Jawabnya malas. Mas Rama masih rebahan saja di kamar. Dari raut wajahnya aku melihat seakan dia itu keberatan jika aku mengurus bapak di rumah sakit. Tapi jika mengurus ibu atau saudaranya dia sangat ceria, banyak bicara. Penuh semangat. Sangat tidak adil.Kemudian aku keluar kamar dan menjumpai kak Ayu yang masih mempersiapkan perlengkapan yang akan di bawa ke rumah sakit, seperti cemilan dan juga air panas yang sudah diisi dari tadi."Niken bisa ditingal 'kan? Gak akan rewel dia?" Tanya kak Ayu. Dia selalu mencemaskan anakku. "Gak apa-apa, Kak. Kita berangkat saja ke rumah sakit sekarang. Niken pasti gak akan rewel. Lagian ada ayahnya." Aku tidak perduli bagaimana raut wajah Mas Rama. Bagaimana reaksinya aku gak mau tau. Yang penting aku harus menjumpai bapak karena rasa rinduku sangat m
Baca selengkapnya

Bab 15. Firasat

"Ibumu mana, Nak." tanya Bapak saat beliau sudah siuman."Ibu masih dirumah, Pak. Beliau istirahat sebentar, gantian sama Agnes." ujarku seraya tersenyum semanis mungkin dihadapan bapak."Maafkan Bapak ya, Nak. Sudah merepotkan kalian semua." Ujar bapak dengan suara berat."Gak merepotkan kok, Pak. Agnes malah bahagia bisa terus bersama Bapak." sergahku."Betulkah begitu, Nes? Alhamdulillah kalau begitu, Bapak sangat senang mendengarnya." ucap Bapak terbata-bata."Betul kok, Pak. Apa gunanya berbohong. 'Kan Bapak selalu mengajari kami supaya tidak berbohong. Ya kan?" Aku berusaha mengajak bapak untuk mengingat masa-masa indah kami dulu. Berkumpul bersama dan bapak selalu bercerita tentang masa kecilnya. Beliau juga sangat mahir dalam mengarang cerita dongeng."Iya ya, Nak. Kamu masih aja ingat ya?" Ujarnya tersenyum.Aku terus memijit lembut tangan keriput bapak. Tangan yang sudah bekerja keras menghidupi keluarga sehingga kami bisa seperti sekarang ini. Panas terik tidak dihiraukan y
Baca selengkapnya

Bab 16. Kehilangan

"Rama sudah kembali ke rumah ibunya dari tadi subuh. Kata dia tadi sudah memberitahukan sama kamu.""Oh ya. Agnes lupa. Hmmm ... Niken mana Kak?" Padahal mas Rama tidak pernah minta izin pulang. Pandainya dia berbohong."Dan Niken gak Kakak ajak ke rumah sakit. Kasian dia masih kecil, di sini sarangnya penyakit-penyakit menular. Jadi dia Kakak titip saja sama Bik Rum." Jelas Kak Ayu panjang lebar."Oh ya udah kalau begitu. Agnes ke kantin dulu ya, Kak. Mau minum teh hangat. Kakak mau pesan apa?" Aku pamit pada kak Ayu dan bergegas menuju ke kantin untuk menenangkan diri. "Gak. Kakak masih kenyang." ucap kak Ayu tersenyum sambil mengelus perutnya.Sebenarnya aku tidak selera makan atau minum. Ke kantin hanya untuk menghindari dari Kak Ayu atau Ibu. Aku tidak ingin mereka mengetahui jika aku sangat sakit hati dan terluka atas perlakuan Mas Rama.Aku hanya bisa terdiam dalam kesakitan. Tega suamiku, sudah datang kemari bukannya mau menjenguk bapak di rumah sakit. Jadi tugas dia hanya me
Baca selengkapnya

Bab 17. Kehilangan ( 2 )

"Nes, Ba ... ba ... Bapak." Teriak kak Ayu histeris. Suara Kak Ayu terhenti dan tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia langsung ambruk dalam pelukanku. Hal yang aku takutkan akhirnya terjadi juga.Aku sudah tau apa yang akan dikatakan Kak Ayu dan aku berharap semua ini hanya mimpi. Tidak sanggup untuk mendengarkan. Kututup kedua telinga ini. Tubuh ini lemas seakan tidak bertulang. Seketika saja luruh ke lantai. Duniaku seakan berhenti berputar.Aku tidak sadarkan diri lagi. Tidak tahu juga entah berapa lama diri ini tidak sadarkan diri. Yang aku ketahui mata ini terbuka, tubuhku sudah berada di atas ranjang di kamar.Diluar sana, suara kesibukan para pelayat begitu mengganggu pendengaranku. Aku gak mau mereka datang untuk melayat. Aku yakin jika bapak masih hidup. Kenapa pula para tetangga berbondong-bondong datang kerumah untuk berbelasungkawa? Ingin rasanya mengusir mereka pergi menjauh dari hadapanku."Bik, kenapa di rumah kita begitu ramai? Mereka bukan datang untuk melayat 'kan, Bik
Baca selengkapnya

Bab 18. Tidak Punya Hati

" Hmm ... panas banget ya di rumahmu, Nes? Apa gak ada AC? Ibu gak tahan ini, keringatan terus." ujar mertua dengan tanpa merasa bersalah, padahal semua orang sedang melihat dengan tatapan benci terhadapnya."Gak ada AC, Bu. Hmmm ... bagaimana jika saya tambah kipas angin lagi, Bu?" Tanyaku."Heran aku, AC saja orang tua kamu gak mampu beli." Ujarnya ketus dengan mata mendelik."Bu, gak baik ngomong begitu." Ujar Sinta sambil mengelus pelan pundak ibunya. Tumben hari ini Sinta tidak ikut julid seperti ibunya, padahal biasanya dia yang paling nyinyir. Hari ini pasang muka polos dan baik hati karena di depan suaminya. Jaga image. Ada ya manusia seperti itu. Di depan baik tapi di belakang menusuk."Gak apa-apa, Sin. Biar Kakak pinjam aja kipas anginnya." Ujarku seraya berjalan keluar untuk menemui Bik Rum."Kipas angin aja harus pinjam." Bisik ibu mertua tetapi aku masih bisa mendengarnya. Biar sajalah dia mau berkata apa. Aku tidak peduli. "Assalamualaikum." Aku ucapkan salam begitu
Baca selengkapnya

Bab 19. Dimana Hati Nurani

"Apa yang dikatakan Rama itu ada benarnya, Nes. Buat apa lagi kamu disini. Bapakmu 'kan sudah gak ada. Jadi sudah selesailah tugasmu," ujar ibu mertua."Bu, alangkah baiknya saya pulang setelah tujuh hari bapak meninggal. Saya juga masih kangen dengan rumah ini. Masih kangen sama ibu dan juga Kak Ayu. Sebagai anak, saya juga ingin menghibur ibu. Saya sangat tau, bagaimana perasaan ibu saat ini. Bagaimana rasanya ditinggal oleh orang terkasih yang sudah menemani hidupnya selama puluhan tahun." Kali ini aku harus berani melawan mereka. Rasanya tidak manusiawi banget harus meninggalkan ibu seorang diri di rumah. Aku tidak tega melihat ibu kesepian tanpa ada Bapak lagi disamping beliau."Kakakmu 'kan tinggal disini. Apa dia gak bisa menemani ibumu? Apa dia gak bisa menghibur ibumu? Kamu 'kan punya suami dan anak yang harus kamu urus. Punya pekerjaan yang tidak bisa kamu tinggalkan begitu saja. Heran deh. Siapa yang gak sayang sama orang tuanya? Tapi jangan korbankan yang sudah menjadi tan
Baca selengkapnya

Bab 20. Tidak Tahu Malu

Saat ini aku tidak perduli lagi Mas Rama mau marah atau tidak. Toh bagaimana pun aku berbakti kepada suami dan mertua, tidak akan nampak juga di mata mereka. Dan tidak pernah ada timbal baliknya. Keluarganya saja aku mati-matian mengurus sementara orang tuaku seperti sudah tidak memiliki anak lagi. "Kalau Mas mau mencari wanita lain, silahkan Mas. Adek gak pernah melarang, kok. Kita lihat saja berapa hari perempuan itu akan bertahan dengan kamu." sergahku. Wanita yang mana akan tahan jika diperlakukan seperti ini? Seperti pembantu. Tidak digaji malah aku yang diperas. Kadang aku berfikir sendiri, aku ini bucin apa bodoh?"Kau semakin kurang ajar sama suamimu sekarang ya, Nes," ujar Mas Rama sangat marah."Namanya orang tuaku gak ngajarin ya beginilah, Mas." Jawabku santai. Kulihat wajah mas Rama memerah seperti udang rebus, mungkin menahan amarahnya."Oh ya, Mas ... ATM gaji saya sama Mas 'kan? Boleh saya minta? Saya perlu buat biaya makan saya sama Niken selama tujuh hari kedepan.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
13
DMCA.com Protection Status