Saat ini aku tidak perduli lagi Mas Rama mau marah atau tidak. Toh bagaimana pun aku berbakti kepada suami dan mertua, tidak akan nampak juga di mata mereka. Dan tidak pernah ada timbal baliknya. Keluarganya saja aku mati-matian mengurus sementara orang tuaku seperti sudah tidak memiliki anak lagi. "Kalau Mas mau mencari wanita lain, silahkan Mas. Adek gak pernah melarang, kok. Kita lihat saja berapa hari perempuan itu akan bertahan dengan kamu." sergahku. Wanita yang mana akan tahan jika diperlakukan seperti ini? Seperti pembantu. Tidak digaji malah aku yang diperas. Kadang aku berfikir sendiri, aku ini bucin apa bodoh?"Kau semakin kurang ajar sama suamimu sekarang ya, Nes," ujar Mas Rama sangat marah."Namanya orang tuaku gak ngajarin ya beginilah, Mas." Jawabku santai. Kulihat wajah mas Rama memerah seperti udang rebus, mungkin menahan amarahnya."Oh ya, Mas ... ATM gaji saya sama Mas 'kan? Boleh saya minta? Saya perlu buat biaya makan saya sama Niken selama tujuh hari kedepan.
"Ya Tuhan, Nes. Kamu itu terlalu bucin atau bodoh sih. Heran Kakak lihat kamu ini, loh. Bisa-bisanya atm kamu dikuasai Rama. Kamu ini terlalu polos, ya? Sakit hati Kakak mendengarnya.""Jadi buat apa bekerja jika hasil jerih payah gak kamu nikmati? Jangan mau dibodohin sama laki-laki. Dia itu gak ada niat untuk membahagiakan kamu. Dalam pikirannya hanya memikirkan dirinya sendiri beserta ibu dan adiknya. Kamu itu hanya dijadikan sapi perah mereka saja." Kak Ayu sangat emosi dan begitu kaget saat mendengar jika Atm gaji aku dipegang sama Mas Rama."Bukan bucin, Kak. Dan aku juga gak sebodoh yang Kakak pikirkan. Jadi ceritanya begini. Beberapa hari yang lalu sebelum berangkat menjenguk bapak di rumah sakit, aku minta tolong Mas Rama buat belanja keperluan kami selama di sini. Saat itu aku sangat bingung gak tau mau ngapain lagi. Aku betul-betul seperti orang linglung, Kak. Yang ada dalam pikiranku saat itu hanyalah, bisa menjumpai bapak. Yang ada dalam pikiranmu saat itu, hanya satu. Ba
"Bukan marah sih, Kak. Aku hanya kaget saja." Entah kenapa Adnan sangat sensitif sekarang dia gampang marah. Tidak seperti dulu lagi."Iya, deh. Kakak minta maaf. Tapi tadi Kakak udah ngucapin salam, loh. Kamu aja gak dengar." ujarku seraya menepuk bahu Adnan."Kakak ini ya? Udah salah, main pukul aja. Dasar karung goni," ejek Adnan. Kami sering melontarkan kata-kata ejekan tetapi antara kami tidak ada yang sakit hati. Karena itu semua hanya gurauan semata."Hey, kaleng kerupuk. Kakakmu yang cantik ini tadi udah ngucapin salam. Kamu aja yang gak dengar karena asyik main gitar aja. Kayak orang lagi putus cinta aja," ujarku ikut mengejek sepupuku yang sudah aku anggap sebagai adik sendiri."Mana ada Kakak ngucapin salam. Aku bukan orang pikun dan aku juga belum budeg," ujar lelaki memakai kaos putih dan celana boxer seraya meletakkan gitarnya. Nampaknya dia sudah tidak minat lagi untuk bermain gitar."Makanya jangan main gitar aja. Jadi gak dengar ada orang masuk." Setelah mengatakan it
"Kakak ada nyimpan uang?" tanyaku pada Kak Ayu saat baru pulang dari bank."Ada. Berapa kamu perlunya? Dan untuk apa?" tanya wanita berwajah lembut yang sangat menyayangi adik kandungnya ini. Diantara kami berdua tidak pernah berselisih pendapat atau saling iri hati seperti kakak beradik pada umumnya. Diantara kami berdua saling menyayangi. "Untuk membayar kontrakan, Kak. Gak perlu banyak, hanya untuk bayar sebulan aja karena uang Agnes di atm sudah ludes semua diambil Mas Rama." Kumantapkan hati ini untuk mengontrak rumah saja, itu lebih bagus untuk menjaga kewarasan hati ini."Bayar untuk setahun aja atau setengah tahun. Daripada pusing mikirin uang kontrakan tiap bulan," saran Kak Ayu memang ada benarnya juga. Tetapi aku juga perlu membeli perabotan seperti tempat tidur dan lemari."Nanti aja, Kak. Sekarang bayar bulanan aja dulu karena mau beli perabotan lagi." "Iyalah. Mana baiknya saja. Pokoknya kamu jangan tinggal lagi bersama keluarga toxic itu.""Iya, Kak."Setelah acara t
"Kontrakan? Kenapa harus ngontrak sih, Dek. Mubazir namanya. Adek gak tau lagi mau bawa duit, ya? Kan buang-buang uang namanya." Aku baca lagi pesan masuk dari Mas Rama yang sangat menyebalkan itu. Dasar lelaki egois. Bosan lama-lama menghadapi lelaki model Mas Rama."Kalau Mas gak mengijinkan Adek ngontrak, ya udah gak apa-apa. Kami mau menempati rumah guru saja. Gratis kok." Sebenarnya di komplek sekolah tempat aku mengajar ada dua rumah dan satu pintu yang masih kosong. Rumah itu diperuntukkan untuk tenaga kebersihan dan juga petugas keamanan. Tetapi karena petugas kebersihan sudah memiliki rumah sendiri, jadi rumah tersebut kosong.Kemaren aku sudah menelpon ibu Kepala Sekolah untuk minta ijin menempati rumah tersebut.Sekolah tempat aku mengajar tidak terlalu jauh dari rumah mertua. Tak apalah yang penting aku bisa pisah tidak seatap lagi dengan keluarga toxic itu."Ya udahlah. Terserah kamu ajalah. Tapi maaf ya, Mas tidak bisa tinggal di rumah sempit kayak gitu. Jadi Mas tetap m
"Tante Sinta sama nenek sangat jahat terhadap Niken, Ma. Sedikit saja Niken berbuat kesalahan, mereka berdua sudah mencak-mencak. Sering sekali Niken dijewer. Dicubit. Sakit banget rasanya.""Hari itu mereka pernah marahi Niken, saat Niken makan ayam goreng. Niken gak tau kalau ayam goreng tersebut punya tante Sinta. Kaki Niken dipukul memakai sapu, Ma. Sakit banget karena kena tulang kering." Niken menunjukkan biru hampir pudar tapi masih nampak sisa lebam bekas pukulan. Hatiku teriirs mendengarnya, sangat sakit."Sabar ya, sayang. Mungkin tante Sinta lagi banyak pikiran jadinya gampang marah." ujarku berusaha menghibur anak semata wayang kami. Walaupun sakit hati ini tetapi aku tidak ingin anakku mengatakan hal-hal jelek tentang adik dari ayahnya tersebut.'Akan aku balas perbuatan kalian. Lihat saja pembalasanku, Sinta. Kamu lihat saja, akan kubuat hidupmu tidak akan tenang.' gumamku geram seraya menggepal tangan. 'Kalian lihat saja pembalasanku. Dan kau Rama. Tidak akan kuberikan
Pasti perbuatan Mas Rama yang mengambil sendiri uang aku tanpa meminta izin dahulu."Mas ... Mas." Teriak aku dengan suara lantang. Tidak perduli mau didengar tetangga atau siapapun. Selama ini aku sudah terlalu bersabar tetapi tidak ada gunanya dimata mereka."Mas ... " teriak aku memanggil lelaki yang telah mengucapkan ijab kabul didepan penghulu delapan tahun yang lalu."Ada apa, sih. Suaramu itu loh. Kayak orang gak berpendidikan saja." Mas Rama dengan santai masuk ke kamar tanpa merasa bersalah sedikitpun."Mas yang ambil uang Adek dalam dompet ini?" Kutunjukkan dompet yang kosong sebagai bukti bahwa tas aku ada yang geledah barusan."Mana Mas tau. Dompet 'kan kamu sendiri yang pegang kok malah menuduh Mas sih, Dek?" jawab Mas Rama santai. Biasanya kalau aku kehilangan uang dia sangat sibuk mencari kesana kemari dan mengeluarkan kata-kata makian tetapi hari ini dia santai saja, membuat aku semakin yakin jika dialah pelakunya."Mas, jujur saja. Kemana uang aku, kamu bawa? Kamu sud
"Kamu sudah mulai kurang ajar, ya! Pergi kau dari sini. Aku sudah gak berniat lagi terhadapmu, Nes. Silahkan keluar kalau mau mengambil jalanmu sendiri." Teriak Mas Rama dengan wajah merah padam karena sudah dikuasai oleh emosi. Mas Rama telah berani mengusir aku. Heran ya ... yang salah dia karena sudah lancang mengambil uang aku tetapi malah dia pula yang marah-marah."Gak usah kamu usir aku, Mas. Aku akan keluar sendiri dari rumah ini. Mas pikir aku betah tinggal disini?" Segera saja aku berlalu ke kamar untuk mengambil barang yang akan aku bawa ke rumah baru.Sekilas aku lihat ibu mertua senyum-senyum. Mungkin beliau lagi bahagia karena sudah berhasil membuat aku diusir oleh Mas Rama. Tidak masalah. Kita lihat saja nanti, apa mereka akan lebih bahagia tanpa kehadiranku disampingnya?'Dan ingat ya Mas. Akan ku buat perhitungan dengan kamu dan keluargamu. Aku seorang istri yang kamu zholimi. Semoga saja kalian mendapat balasan setimpal atas perbuatan yang telah kalian perbuat terhad
Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul
"Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj
"Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas
Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit
Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca
Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t
"Rama, kawanin Ibu ke toko ponsel sebentar. Ibu mau membeli ponsel tercanggih." titah ibu membuat aku bertanya-tanya. "Untuk apa, Bu? Kan ponsel Ibu masih bagus?" "Ibu mau menelpon Sinta, Nak. Ibu sudah sangat rindu sama permata hati Ibu." Suara ibu serak seakan ada tangisan yamg sedang ditahankan."Ibu berhentilah meratapi kepergian Sinta. Kasian dia tersiksa di sana," ucapku dengan air mata sudah menganak sungai tidak dapat lagi aku tahankan. Cobaan hidup terberat dalam hidupku adalah ditinggal pergi ayah untuk selamanya dan sekarang menyusul adik semata wayangku, Sinta."Ibu tidak meratapi Sinta. Hanya ingin menelpon dia aja, menanyakan kabar dia. Apa ada yang salah?" tanya wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini dengan tatapan kosong."Ibu, Sinta sudah enggak ada lagi di dunia ini. Mana bisa di telpon sih, Bu. Kita sudah berbeda alam dengannya," ujarku seraya memijat lembut betis wanita yang sangat aku sayangi itu."Berbeda alam? Hahaha. Kita sudah berbeda alam, Nak. Jadi ba
"Bu, jenazah Sinta mau dimandikan," ungkap Rama membuyarkan lamunanku."Jenazah? Apa maksud kamu, Rama? Jangan sok tau kamu. Sinta belum mati. Dia hanya tidur saja. Pengaruh obat bius." Ku tepis tangan Rama yang berusaha memeluk bahu ini. "Bu, ikhlasin Sinta. Jangan beratin jalannya," ucap Romi, mantan suami Sinta. Air matanya berlinang. Pasti dia itu berpura-pura sedih. Aku tahu itu. Tidak mungkin dia menangisi anakku yanag sudah menjadi mantan di dalam hidupnya. Apalagi sekarang dia sudah memiliki pengganti Sinta."Ugh ... ini semua gara-gara kamu. Keluar kau dari rumahku." Seketika kudorong tubuh Romi hingga dia hampir terjatuh mengenai tubuh anakku yang masih terbaring diruang tamu."Bu, maafkan saya, tapi saya masih mencintai Sinta. Tidak ada yang bisa menyamainya." tutur Romi membuat aku semakin jijik melihatnya. Tidak perlu lagi ucapan itu keluar dari mulut sampahnya.Jika dia tidak menceraikan Sinta dan menikah dengan wanita lain, tidak mungkin Sinta akan menjajakan diri kepa
Rasanya duniaku hampir runtuh. Siang ini ada seseorang datang ke rumah, memberi kabar bahwa Sinta anak yang sangat aku sayangi, jatuh pingsan dipasar waktu berbelanja keperluan warung.Sekarang dia sudah di bawa ke rumah sakit, menurut informasi yang aku terima Sinta belum sadar dan terpaksa di rawat di ruang ICCU.Dan yang membuat aku hampir berhenti bernafas saat dokter mengatakan penyakit yang diderita Sinta. Penyakit menular seksual yang sangat mematikan itu.Aku malu, anak yang selama ini selalu aku banggakan ternyata selama di kota bekerja sebagai penjaja seks komersial. Putri semata wayang yang kubanggakan, kusayangi dia sepenuh hati, dia sangat ku manja bahkan semua yang dia inginkan pasti aku penuhi, tak peduli dari mana uang itu aku peroleh, yang penting anakku bahagia. Tak kusangka nasib dia seburuk ini."Bu, bagaimana kondisi Sinta?" tanya Rama. Anak yang tidak pernah aku harapkan kehadirannya dimuka bumi ini menanyakan kabar adiknya."Masih belum sadarkan diri," jawabku