"Tante Sinta sama nenek sangat jahat terhadap Niken, Ma. Sedikit saja Niken berbuat kesalahan, mereka berdua sudah mencak-mencak. Sering sekali Niken dijewer. Dicubit. Sakit banget rasanya.""Hari itu mereka pernah marahi Niken, saat Niken makan ayam goreng. Niken gak tau kalau ayam goreng tersebut punya tante Sinta. Kaki Niken dipukul memakai sapu, Ma. Sakit banget karena kena tulang kering." Niken menunjukkan biru hampir pudar tapi masih nampak sisa lebam bekas pukulan. Hatiku teriirs mendengarnya, sangat sakit."Sabar ya, sayang. Mungkin tante Sinta lagi banyak pikiran jadinya gampang marah." ujarku berusaha menghibur anak semata wayang kami. Walaupun sakit hati ini tetapi aku tidak ingin anakku mengatakan hal-hal jelek tentang adik dari ayahnya tersebut.'Akan aku balas perbuatan kalian. Lihat saja pembalasanku, Sinta. Kamu lihat saja, akan kubuat hidupmu tidak akan tenang.' gumamku geram seraya menggepal tangan. 'Kalian lihat saja pembalasanku. Dan kau Rama. Tidak akan kuberikan
Pasti perbuatan Mas Rama yang mengambil sendiri uang aku tanpa meminta izin dahulu."Mas ... Mas." Teriak aku dengan suara lantang. Tidak perduli mau didengar tetangga atau siapapun. Selama ini aku sudah terlalu bersabar tetapi tidak ada gunanya dimata mereka."Mas ... " teriak aku memanggil lelaki yang telah mengucapkan ijab kabul didepan penghulu delapan tahun yang lalu."Ada apa, sih. Suaramu itu loh. Kayak orang gak berpendidikan saja." Mas Rama dengan santai masuk ke kamar tanpa merasa bersalah sedikitpun."Mas yang ambil uang Adek dalam dompet ini?" Kutunjukkan dompet yang kosong sebagai bukti bahwa tas aku ada yang geledah barusan."Mana Mas tau. Dompet 'kan kamu sendiri yang pegang kok malah menuduh Mas sih, Dek?" jawab Mas Rama santai. Biasanya kalau aku kehilangan uang dia sangat sibuk mencari kesana kemari dan mengeluarkan kata-kata makian tetapi hari ini dia santai saja, membuat aku semakin yakin jika dialah pelakunya."Mas, jujur saja. Kemana uang aku, kamu bawa? Kamu sud
"Kamu sudah mulai kurang ajar, ya! Pergi kau dari sini. Aku sudah gak berniat lagi terhadapmu, Nes. Silahkan keluar kalau mau mengambil jalanmu sendiri." Teriak Mas Rama dengan wajah merah padam karena sudah dikuasai oleh emosi. Mas Rama telah berani mengusir aku. Heran ya ... yang salah dia karena sudah lancang mengambil uang aku tetapi malah dia pula yang marah-marah."Gak usah kamu usir aku, Mas. Aku akan keluar sendiri dari rumah ini. Mas pikir aku betah tinggal disini?" Segera saja aku berlalu ke kamar untuk mengambil barang yang akan aku bawa ke rumah baru.Sekilas aku lihat ibu mertua senyum-senyum. Mungkin beliau lagi bahagia karena sudah berhasil membuat aku diusir oleh Mas Rama. Tidak masalah. Kita lihat saja nanti, apa mereka akan lebih bahagia tanpa kehadiranku disampingnya?'Dan ingat ya Mas. Akan ku buat perhitungan dengan kamu dan keluargamu. Aku seorang istri yang kamu zholimi. Semoga saja kalian mendapat balasan setimpal atas perbuatan yang telah kalian perbuat terhad
"Silahkan masuk, Bu Agnes. Rumahnya sudah saya bersihkan. Tinggal susun barangnya aja," ujar petugas kebersihan ramah. Beliau bersama sang istrinya dengan sukarela membersihkan rumah yang akan kami tempati."Waduh ... kenapa Bapak bersihkan. Saya jadi gak enak jadinya," ujarku seraya masuk ke dalam rumah sambil meletakkan tas yang berisikan baju kami berdua."Gak apa-apa, Bu. Dibikin santai saja." timpal Bu Ijah istri dari petugas kebersihan seraya meletakkan gelas berisikan teh hangat diatas tikar yang sudah digelar sebelum kami sampai tadi."Diminum, Bu. Dibelakang ada ceret dan udah saya isikan air juga. Nanti kalau ada waktu baru ibu bisa beli dispenser. Sebelum Ibu beli dispenser ambil saja air dirumah." Pak Ahmad dan istrinya sangat baik terhadap kami berdua."Dan didapur juga ada makanan seadanya buat ibu dan Niken. Sudah saya simpan dibawah tudung saji, ya, Bu. Saya mohon Ibu jangan tersinggung. Saya lakukan ini karena saya takut ibu gak sempat beli makanan," ucap Bu Ijah.Aku
"Nak, kawani Mama belanja ke pasar, ya? Mama mau membeli tempat tidur dan lemari," ujarku mengalihkan pembicaraan."Boleh juga, Ma," ujar anakku dengan wajah sendu seakan tidak bersemangat."Nanti Niken minta beliin apa, Nak? Mama lagi banyak uang nih. Baru dapat uang sertifikasi," ujarku menghibur. Sebenarnya uang hanya cukup sampai beberapa hari kedepan tetapi melihat anakku sedih begitu, ingin rasanya kuberikan apa saja yang aku punya yang penting anakku kembali ceria lagi."Gak usah, Ma. Takutnya nanti kita gak makan karena kehabisan uang,""Gak habis, Nak. Ayo, kita jalan-jalan sekalian belanja." Aku berusaha tersenyum didepan Niken seraya menunjukkan isi dompetku yang penuh sesak. Padahal karena uang receh sehingga nampak banyak."Ayo!" Ujar Niken antusias.Setelah mengganti baju akhirnya kami berangkat ke pasar dengan naik becak yang sudah dipesan oleh pak Ahmad.Seketika wajah Niken kembali ceria. Dia bercerita panjang lebar."Besok kalau Niken mau ke sekolah enak ya, Ma. Deka
Sepulang dari pasar, aku begitu terkejut melihat Mas Rama sudah berada di halaman rumah dan berbincang-bincang dengan pak Ahmad. Entah angin apa yang telah membawanya kemari."Assalamualaikum." Sapaku tetapi tidak dengan Niken dia langsung berlalu saja dari hadapan papanya seakan tidak pernah mengenali sama sekali."Wa alaikum salam. Niken gak kenal lagi sama Papa ya, Nak?" Tanya Mas Rama yang sedang berdiri di halaman rumah dan menatap nanar kepada anak gadis semata wayang kami."Saya tinggal dulu, Pak Rama." Pak Ahmad permisi pulang karena orang yang ditunggu Mas Rama sudah datang."Oh ya ya, Pak. Terima kasih teh manis dan gorenganya." Ucap Mas Rama sumringah. Iyalah Mas Rama bahagia karena sudah mendapat teh manis dan gorengan gratis. Kalau beli mana mau dia membelinya. Suamiku kan makhluk paling pelit sedunia. Jangankan untuk orang lain untuk dirinya sendiri aja pelitnya minta ampun.Setelah kepergian Pak Ahmad, nampaknya Mas Rama ingin mengajak Niken berbicara. Mungkin dia sudah
"Oh iya. Kenalin dong selingkuhan kamu sama aku." Setelah menyakiti dan mengkhianati masih berani juga lelaki berkaos biru itu menjumpai kami lagi. "Apa maksudmu, Dek?" "Saranku ya? Mas! Lebih baik kamu itu nikahin aja dia dan ceraikan aku. Dia itu nampaknya cocok jadi istri dan menantu ibu, dibandingkan aku hanya perempuan desa yang tidak ada kerennya sedikitpun. Wanita yang hanya bisa dikuras uangnya saja. Tetapi malu untuk diajak bertemu kawan atau kerabat." Sindir aku. "Kamu apa-apaan sih." Lelaki yang masih berstatus suamiku itu tetap tidak mengakui kesalahannya. Lelaki sok suci dan tidak tahu malu. "Mas, Aku ini bukan wanita yang bisa menghabiskan uang untuk beli skincare dan baju-baju mahal. Lagian bagaimana mau keren jika uang dari hasil aku bekerja habis buat membiayai keluarga suamiku. Ups!" Aku berpura-pura keceplosan dengan menutup mulutku dengan telapan tangan. "Selingkuhan apa sih, kamu jangan menuduh Mas macam-macam. Mas itu gak pernah selingkuh. Atau kamu itu seng
"Kamu mau kemana, Dek?" Tanya Mas Rama saat aku keluar, hendak menunggu taksi online yang sudah aku pesan sejak tadi diwaktu kami masih di dalam kamar."Mas gak perlu tau kemana kami mau pergi. Mas urus saja selingkuhan dan adik Mas yang lebih membutuhkan perhatian. Saya ini hanya orang lain jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ujarku seraya berjalan menuju ke pinggir jalan untuk menunggu jemputan. Ingin rasanya segera menghilang saja dari hadapan Mas Rama. Lelakiku hanya datang saat dia butuh saja. Jika tidak, bayangannya saja tidak nampak dari hadapanku."Yang Mas nanya lain, kenapa malah jawabnya lain, Dek? Bikin naik darah aja kamu. Jangan buat kesabaran suamimu ini habis." Dengan kesal Mas Rama menonjok dinding ruang tamu sekejap aku melihat beliau menggigit kepalan tangannya. Mungkin Mas Rama sedang menahan rasa sakit. Biasalah, lelaki yang hanya berlindung diketiak mamaknya, sekarang sok jagoan. Baru segitu saja sudah kesakitan."Udahlah, Mas. Tolong jangan ganggu kami lag
Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul
"Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj
"Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas
Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit
Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca
Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t
"Rama, kawanin Ibu ke toko ponsel sebentar. Ibu mau membeli ponsel tercanggih." titah ibu membuat aku bertanya-tanya. "Untuk apa, Bu? Kan ponsel Ibu masih bagus?" "Ibu mau menelpon Sinta, Nak. Ibu sudah sangat rindu sama permata hati Ibu." Suara ibu serak seakan ada tangisan yamg sedang ditahankan."Ibu berhentilah meratapi kepergian Sinta. Kasian dia tersiksa di sana," ucapku dengan air mata sudah menganak sungai tidak dapat lagi aku tahankan. Cobaan hidup terberat dalam hidupku adalah ditinggal pergi ayah untuk selamanya dan sekarang menyusul adik semata wayangku, Sinta."Ibu tidak meratapi Sinta. Hanya ingin menelpon dia aja, menanyakan kabar dia. Apa ada yang salah?" tanya wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini dengan tatapan kosong."Ibu, Sinta sudah enggak ada lagi di dunia ini. Mana bisa di telpon sih, Bu. Kita sudah berbeda alam dengannya," ujarku seraya memijat lembut betis wanita yang sangat aku sayangi itu."Berbeda alam? Hahaha. Kita sudah berbeda alam, Nak. Jadi ba
"Bu, jenazah Sinta mau dimandikan," ungkap Rama membuyarkan lamunanku."Jenazah? Apa maksud kamu, Rama? Jangan sok tau kamu. Sinta belum mati. Dia hanya tidur saja. Pengaruh obat bius." Ku tepis tangan Rama yang berusaha memeluk bahu ini. "Bu, ikhlasin Sinta. Jangan beratin jalannya," ucap Romi, mantan suami Sinta. Air matanya berlinang. Pasti dia itu berpura-pura sedih. Aku tahu itu. Tidak mungkin dia menangisi anakku yanag sudah menjadi mantan di dalam hidupnya. Apalagi sekarang dia sudah memiliki pengganti Sinta."Ugh ... ini semua gara-gara kamu. Keluar kau dari rumahku." Seketika kudorong tubuh Romi hingga dia hampir terjatuh mengenai tubuh anakku yang masih terbaring diruang tamu."Bu, maafkan saya, tapi saya masih mencintai Sinta. Tidak ada yang bisa menyamainya." tutur Romi membuat aku semakin jijik melihatnya. Tidak perlu lagi ucapan itu keluar dari mulut sampahnya.Jika dia tidak menceraikan Sinta dan menikah dengan wanita lain, tidak mungkin Sinta akan menjajakan diri kepa
Rasanya duniaku hampir runtuh. Siang ini ada seseorang datang ke rumah, memberi kabar bahwa Sinta anak yang sangat aku sayangi, jatuh pingsan dipasar waktu berbelanja keperluan warung.Sekarang dia sudah di bawa ke rumah sakit, menurut informasi yang aku terima Sinta belum sadar dan terpaksa di rawat di ruang ICCU.Dan yang membuat aku hampir berhenti bernafas saat dokter mengatakan penyakit yang diderita Sinta. Penyakit menular seksual yang sangat mematikan itu.Aku malu, anak yang selama ini selalu aku banggakan ternyata selama di kota bekerja sebagai penjaja seks komersial. Putri semata wayang yang kubanggakan, kusayangi dia sepenuh hati, dia sangat ku manja bahkan semua yang dia inginkan pasti aku penuhi, tak peduli dari mana uang itu aku peroleh, yang penting anakku bahagia. Tak kusangka nasib dia seburuk ini."Bu, bagaimana kondisi Sinta?" tanya Rama. Anak yang tidak pernah aku harapkan kehadirannya dimuka bumi ini menanyakan kabar adiknya."Masih belum sadarkan diri," jawabku