Home / Pernikahan / Kesuksesan Istri Berdaster / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Kesuksesan Istri Berdaster: Chapter 1 - Chapter 10

37 Chapters

Bab 1

"Mas, tolong pegangin Arum sebentar, ya. Aku mau mandi," ucap Marwa sambil menyerahkan bayi berusia dua tahun kepada suaminya. Marwa hendak menitipkan anaknya karena dirinya ingin melakukan hal lain. "Apaan, sih! Suami baru pulang kerja, kok disuruh jaga anak!" ketus Galih tak memedulikan tubuh anak yang diserahkan. "Arum demam, Mas, jadi rewel. Ga mau ditinggal sendirian. Tadi pun aku masak sama bersihkan rumah sambil gendong. Cuma kalau mandi, kan, ga mungkin dibawa," jelas perempuan berusia dua puluh empat tahun itu. "Alasan aja, Kamu! Kan, bisa waktu Arum tidur terus kamu mandi," kesal Galih sambil melihat penampilan istrinya yang terlihat kucel. Selalu saja seperti itu ketika ia pulang kerja, menggunakan daster lusuh yang menurutnya tak enak dipandang mata, terlebih dalam keadaan belum mandi, membuat lengkap sudah pencemaran matanya. "Lagian kerjaanmu apa, sih, sampe mandi aja ga sempat," sungutnya lagi. "Arum maunya digendong, Mas. Kalau ditaruh di ranjang, dia bakalan keban
Read more

Bab 2

Marwa mengerjapkan mata ketika merasakan pergerakan di samping tubuhnya."Ya Allah, Arum!" Matanya membelalak ketika melihat kedua kaki dan tangan anaknya menghentak-hentak dengan mata yang mendelik. Ia segera bangkit duduk dan meraih tubuh anaknya. Galih yang mendengar jeritan istrinya juga terbangun dan beringsut menghampiri sang anak."Jangan digendong, Marwa, biarkan saja di atas tempat tidur. Miringkan tubuhnya!" perintah Galih ketika istrinya akan mengangkat tubuh Arum."Tapi, Mas ...." "Lakukan saja!"Meskipun tak tega, perempuan yang wajahnya dipenuhi kepanikan menuruti perkataan sang suami. Air matanya mengalir menatap putrinya yang kejang, sedangkan ia bingung harus berbuat apa. Ini pengalaman pertamanya. Namun, ketika manik hitamnya menatap mulut sang anak ia teringat tetangganya yang pernah mengalami hal serupa. Mulutnya dikasih sendok agar tidak menggigit lidahnya."Mau kemana?" tanya Galih meli
Read more

Bab 3

Seulas senyum terukir di wajah Marwa melihat anaknya yang tertidur lelap. Panas tubuh Arum telah turun, pun terlihat lebih segar, tidak pucat seperti pagi tadi.Mata bulatnya mengarah ke sebuah jam yang diletakkan di atas nakas. Pukul dua belas. Wajahnya menegang, sudah waktunya makan siang. Sang suami akan marah jika makanan belum tersaji, apalagi ada mertuanya, bisa dobel ia diomeli. Gegas Marwa meletakkan anaknya di kasur dan memberi penjagaan dengan beberapa bantal di pinggir ranjang, melangkah keluar kamar dan berjalan perlahan menuju ruang tamu, hendak bertanya mau dibelikan lauk apa untuk makan siang. Saat ini, ia belum sempat memasak.Langkahnya terhenti tatkala sayup terdengar pembicaraan sang mertua dengan suaminya. Ia mundur kembali dan bersembunyi di balik tembok pemisah antara kamar dan ruang tamu."Penyakitan?" lirih Marwa.Ada perasaan tidak suka ketika mendengar ibu mertuanya mengatakan tak ingin cucu-cucunya
Read more

Bab 4

Marwa turun dari ranjang. Mengendap-endap perlahan. Sekali lagi ia menengok ke arah sang suami memastikan jika sudah terlelap. Setelahnya, ia duduk di lantai dan mengambil ponsel yang sudah diamankan sebelumnya di kantong daster. Dalam kegelapan, Marwa membuka benda persegi panjang itu dan mulai menuliskan tentang cara memulai usaha online, lalu membaca dengan seksama setiap informasi yang ditemukan."Kalau sebagai firsthand sepertinya ga mungkin, karena membutuhkan modal lebih besar," gumamnya. "Udah gitu, harus nyetok barang di rumah pastinya," lanjutnya sambil menggeleng.Sekali lagi ia menelaah dan mencermati keterangan mengenai beberapa cara memulai usaha online. "Hem, reseller atau dropship, ya?" Wajahnya yang terpancar cahaya ponsel terlihat bingung. "Ah, sepertinya dropship saja yang tak harus menyetok barang." Dengan yakin ia memantapkan pilihan. Bukan tanpa sebab. Setelah mempelajari semuanya Marwa memili
Read more

Bab 5

"Bu, jangan diambil semua!"Atik tak memedulikan larangan perempuan yang tak disukainya. Tangannya terus saja memasukkan potongan ayam ke dalam plastik yang ditemukan di dapur. Setelah memastikan terikat rapat, ia mengambil kangkung tumis dan memindahkannya hingga tandas, tak ketinggalan sambal terasinya."Loh, Bu, nanti saya makan apa?"Atik masik bergeming. Tak peduli. Ia masih kesal dengan perlawanan menantunya. Setelah selesai mengangkut semua, ia hendak bergegas keluar tanpa pamit."Tunggu!" perintah Marwa. Tak digubris dan Atik terus melangkah."Jika Ibu terus jalan, saya tidak mau masak!" Langkahnya terhenti. Wajahnya memerah menahan amarah. Marwa kali ini benar-benar kelewatan. Sudah berani menyuruh bahkan menentang. Kini, ia pun diancam. Terlalu! Ia akan melaporkan kejadian ini kepada anak sulungnya, Gita."Halah kamu ini. Makin berani aja, ya. Makanan segini aja kamu ributkan. Ini buat Pandu sama Fit
Read more

Bab 6

Marwa menghentikan langkah sejenak, berdiri di depan sebuah gedung, mendongak dan memastikan tempat yang dituju sudah benar."Bismillah."Kakinya terayun kembali dan tersenyum melihat Arum yang terlelap dalam buaian. Ia sudah menyiapkan beberapa camilan juga susu dan air putih untuk anaknya serta satu boneka untuk Arum bermain. Semoga Arum tidak rewel.Pagi ini ia akan membuat rekening untuk melancarkan usaha onlinenya. Sebelumnya ia telah membaca dan bertanya kepada Sela seputar syarat dan cara pengajuannya. Ini"Selamat pagi, Bu," sapa security."Pagi, Pak. Saya mau buka rekening.""Silahkan ambil nomor dulu dan duduk di sebelah sana, menunggu dipanggil!""Iya, Pak. Terima kasih," ucapnya tersenyum dan melangkah ke tempat yang dituju, lalu duduk di sofa yang disediakan, menunggu antrian.Sejenak, ia terpana melihat keadaan sekitarnya. Suasananya terasa nyaman untuk mereka yang bekerja di dalamnya. Melihat customer service yang sedang berbicara kepada seorang nasabah, membuatnya teri
Read more

Bab 7

Terhina, itu yang dirasakan Marwa saat ini jika terbukti Galih membelikan kakaknya mobil. Bahkan, ia merasa terluka membayangkan suaminya membatasi setiap keuangan dengan alasan berhemat untuk membeli rumah. Nyatanya, justru suaminya dengan mudah mengeluarkan uang banyak untuk kakaknya. Perempuan yang matanya mulai berembun itu tidak masalah jika Galih memberikan hadiah atau membantu keluarganya, tetapi ia hanya berharap perlakuannya seimbang dan tidak membuat kesehariannya tercekik dengan jatah bulanan yang minim. "Ayo Marwa, kamu pasti bisa!" Semangatnya untuk diri sendiri. "Kamu bisa menghasilkan uang sendiri!" Gumamnya menyakinkan diri. "Kamu dan anakmu berhak bahagia, Marwa!" tekadnya. "Fokus ke depan, jangan pikirkan yang lain!" Hembusan napas dilepaskannya perlahan. Bukan saatnya untuk meratapi nasib, tetapi waktunya segera bangkit. Setelah menidurkan Arum di kamar, Marwa menghangatkan baso yang tadi dibawa pulang. Nafsu makannya menghilang ketika tadi di tukang baso ia
Read more

Bab 8

"Sial! Pada kemana, sih, orang-orang? Masa ga ada yang bisa nanganin problem di sana!" Galih memarahi supervisor yang berdiri kikuk di hadapannya.Beberapa klien memberikan komplen perihal jaringan internet mereka yang mati. Masalah yang terjadi secara bersamaan membuat beberapa karyawan di divisi network ke luar kantor untuk memeriksa keadaan di lapangan. "Semuanya pada keluar, Pak. Banyak yang mati juga." Jelas Ardi gugup."Coba telepon Joni, tanyain udah selesai belum? Kalau sudah suruh langsung ke Pantai Indah Kapuk. Ke rumah Pak Hariawan," titah Galih.Ardi yang masih gemetar langsung mengambil ponsel ketika mendapat tatapan tajam dari bosnya. Melakukan sesuai yang diperintahkan. Galih bekerja pada sebuah perusahaa swasta yang memberikan layanan jasa internet. Ia berada di divisi Network. Awalnya, ia bekerja sebagai karyawan yang mensupport masalah instalasi internet melalui komputer, membantu memperbaiki jaringan jika orang-orang di lapangan mendapat masalah.Kinerjanya yang b
Read more

Bab 9

"Maaf, Galih ga bisa Bu!" tegas Galik menolak permintaan sang ibu.Resah di hatinya semakin bertambah-tambah. Kemarin ia baru saja mengeluarkan uang banyak untuk membelikan ibunya mobil. Padahal ia pun sudah berusaha untuk menolak keinginan perempuan yang telah melahirkannya dengan sehalus dan selembut mungkin. Bukannya perhitungan, akan tetapi biaya mobil terlalu mahal dan akan menguras sebagian besar tabungannya. Jika dituruti, impiannya membeli rumah akan terundur lagi. Namun, ibunya mengancam dengan kelemahan yang ia miliki sehingga Galih memenuhi keinginan ibunya.Kini, sang Ibu meminta untuk mempekerjakan supir. Tentu saja itu masalah baru buatnya. Uang simpanannya telah berkurang banyak, dan kini ia harus mengeluarkan uang sejuta setiap bulan untuk menggaji orang yang diminta ibunya. Jika seperti ini, keinginan memiliki rumah sendiri akan sulit terwujud. Belum lagi, ia masih kesal mobil yang dengan berat hati dibelikannya itu dihadiahi kepada kakaknya. Sejak dulu ibunya tida
Read more

Bab 10

[Durhaka Kau, Marwa! Pergi keluar rumah tanpa izin suami!] Satu pesan terbaca yang dikirim Galih. Marwa menatap nanar ponsel yang masih menyala. Sesak di hatinya semakin bertambah. Kesedihan berbalut luka ditambah rasa bersalah yang menggelayut di dada. Suaminya sangat tidak peka. Pukul dua belas malam. Suasana di rumah duka tidak terlalu ramai, beberapa tetangga memutuskan pulang. Pagi nanti mereka akan kembali. Tinggallah hanya keluarga yang menunggui di rumah tiga petak yang dihuni ayah dan adiknya. Marwa duduk di samping pembaringan sang Ayah. Tubuhnya tersentak ketika teringat belum mengabari sang suami. Segera, ia mengambil ponsel, ingin mengabarkan tentang ayahnya yang telah berpulang. Namun, sebuah pesan dengan sebaris kata itu membuat tubuhnya menegang. Kenapa pula Galih harus marah? Padahal suaminya yang mengingkari janji. Ia pun sadar telah melakukan kesalahan. Setidaknya, cobalah Galih bertanya, bukan menghakimi. Akhirnya, Marwa mengabaikan pesan itu. Tak dibalas dan mem
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status