Share

Bab 3

Author: Maya Har
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Seulas senyum terukir di wajah Marwa melihat anaknya yang tertidur lelap. Panas tubuh Arum telah turun, pun terlihat lebih segar, tidak pucat seperti pagi tadi.

Mata bulatnya mengarah ke sebuah jam yang diletakkan di atas nakas. Pukul dua belas. Wajahnya menegang, sudah waktunya makan siang. Sang suami akan marah jika makanan belum tersaji, apalagi ada mertuanya, bisa dobel ia diomeli.

Gegas Marwa meletakkan anaknya di kasur dan memberi penjagaan dengan beberapa bantal di pinggir ranjang, melangkah keluar kamar dan berjalan perlahan menuju ruang tamu, hendak bertanya mau dibelikan lauk apa untuk makan siang. Saat ini, ia belum sempat memasak.

Langkahnya terhenti tatkala sayup terdengar pembicaraan sang mertua dengan suaminya. Ia mundur kembali dan bersembunyi di balik tembok pemisah antara kamar dan ruang tamu.

"Penyakitan?" lirih Marwa.

Ada perasaan tidak suka ketika mendengar ibu mertuanya mengatakan tak ingin cucu-cucunya nanti penyakitan.

"Apa maksudnya? Apakah ibu menganggap setiap anak yang kejang akan menjadi penyakitan atau dikira terkena penyakit epilepsi?" gumamnya.

Marwa menggeleng dengan wajah heran. Kok, bisa-bisanya berpikiran seperti itu. Tidak semua anak yang memgalami kejang itu berarti terkena epilepsi. Lagipula dulu, kakaknya memang sering mengalami kejang, tetapi sesudahnya terlihat sehat dan tumbuh berkembang seperti anak pada umumnya. Hanya musibah terjadi di saat berusia delapan tahun, sang kakak meninggal karena tenggelam, terpleset ketika sedang bermain di pinggir danau.

"Astagfirulloh!"

Marwa membulatkan mata dengan mulut ternganga mendengar ucapan perempuan yang sedang bersama suaminya. Jadi selama ini ibu mertuanya yang menyuruh Galih membatasi keuangan. Terlalu!

"Jangan kencang-kencang, Bu! Nanti Marwa dengar!"

Suaminya berbisik kepada ibunya, tetapi masih terdengar oleh Marwa yang sedang syok di balik tembok. Ia tahu sang ibu mertua kurang suka dengan kehadirannya di keluarga mereka, tetapi tidak terpikirkan sampai mempengaruhi begitu rupa.

Ternyata, perlakuan suaminya sebab perintah sang ibu dan itu sangat mencekik kesaharian keluarga kecil mereka.

"Ga mungkin, palingan juga ia ketiduran. Dasar pemalas! Udah jam segini belum ada makanan apapun!"

"Arum, kan, lagi sakit, Bu. Jadi, Marwa belum sempat masak."

"Halah, anak dijadikan alasan. Ibu dulu bisa, kok, menghandle semua."

"Ya udah, nanti biar Galih aja yang belikan di warung Mpo Nani."

"Ga usah! Kamu itu udah dibilangin juga. Nyiapin makanan itu urusan perempuan! Kamu tugasnya cari nafkah! Titik. Jangan mau dijadikan babu di rumah sendiri!"

Marwa melongo mendengar ucapan perempuan yang sedang mendoktrin anaknya. Masa membantu istri dibilang jadi babu. Ia menghela napas, tertunduk lesu. Ibu mertuannya bagai duri dalam daging di rumah tangganya. Pantas saja sikap suaminya berubah setelah menikah. Namun, Marwa sadar ia harus kuat, demi anaknya.

Tubuh tinggi semampainya ditegakkan, kemudian sekali lagi menghembuskan napas menenangkan diri yang sempat tersulut emosi ketika mendengar untaian kalimat tajam mengenai dirinya. Setidaknya, Marwa merasa lebih lega ketika sang suami terdengar membelanya. Hal yang jarang sekali dilakukan. Entah apa yang sedang merasuki hati suaminya. Namun, hal itu membuat hatinya berbunga.

Ia kemudian melangkah, berpura-pura baru datang dan berbaur dalam obrolan menanyakan menu makan siang yang diinginkan.

*****

"Kamu itu harus melawan, Marwa!" saran Sela yang terlihat gemas dengan sahabatnya yang terlalu pasrah.

Ia datang untuk menjenguk Arum setelah mendengar insiden yang terjadi tadi pagi.

"Aku tahu melawan suami itu dosa! Tapi, kan, suamimu sendiri dzolim sama kamu! Apalagi ternyata dia kek boneka. Di atur-atur ibunya mau aja," lanjutnya.

"Imam macam apa kaya gitu," sungutnya lagi.

Sela menghenyakkan tubuhnya kembali di kursi teras depan. Tadi, mendengar sahabatmya menceritakan mengenai mertua dan suaminya membuat ia geram dan refleks berdiri.

Ingin rasanya perempuan yang kini tinggal di kota itu melabrak Galih, sayangnya lelaki yang merupakan teman main kecilnya dulu sedang pergi mengantar pulang sang ibu. Namun, kewarasan meredam niatnya. Karena akan menimbulkan masalah baru bagi Marwa. Kini, dia hanya bisa menguatkan sahabat yang sudah dianggap sebagai adik sendiri. Berbagi pengalaman hidupnya.

"Jangan seperti aku Marwa!"

Tangan lentiknya mengambil sebuah benda berwarna putih berukuran panjang kecil dari sebuah kotak, kemudjan ia menaruhnya dalam himpitan mulut. Lihai satu tangannya mengambil pemantik dan menyalakannya kemudian membakar rokok yang sudah bertengger di mulut.

Begitulah Sela jika emosi, hawanya terasa panas dan sulit berpikir dengan bijak. Apalagi melihat orang yang sangat peduli dengannya dulu tengah mengalami hal yang pernah dialaminya. Diperlakukan semena mena oleh suami dan keluarganya.

"Lihat! Aku seperti ini karena mereka!" ujar Sela.

Wajahnya yang cantik oleh polesan make up tebal, rambut pirang terurai indah, pakaian yang ketat memperlihatkan beberapa bagian lekuk tubuhnya, bahkan ia menggunakan baju yang sedikit terbuka dengan rok yang panjangnnya jauh di atas lutut. Belum lagi ia merokok. Lengkap sudah image buruk melekat dalam dirinya.

Penampilan seperti itu terpaksa dilakukan Sela demi bertahan hidup dengan kedua anaknya yang masih kecil. Mantan suaminya tak memberikan apapun pasca mengusir sebab kehadiran orang ketiga di rumah tangganya.

Tak peduli tudingan orang yang mengatakan ia perempuan murahan bahkan diduga menjajakan tubuhnya demi memenuhi kebutuhan. Sela tetap menjalankan pekarjaan itu. Saat ini, hanya itu yang bisa dilakukan karena tak memiliki keahlian apapun.

Lulusan SD membuatnya sulit diterima bekerja di manapun, belum lagi label janda yang melekat, membuat sesama perempuan takut menerimanya walaupun bekerja hanya sebagai pembantu. Khawatir para suaminya tergoda karena parasnya. Namun, kecantikan yang melekat di wajahnya juga membawa keberuntungan tersendiri. Seorang pengusaha kaya menjadikannya sebagai wanita simpanan.

"Setidaknya Marwa, jangan diam saja ketika kamu dihina atau dituduh yang bukan-bukan! Kamu harus membuat pembelaan jika dirasa tuduhan itu tak benar. Jadi, bukan melawan hanya menjelaskan keadaan yang sebenarnya."

Kembali perempuan yang saat ini lebih tenang itu mengisap rokok. Kepulan asap keluar dari mulut dan hidungnya membuat Marwa terbatuk-batuk.

"Eh, Maaf." Sela mengibas ngibas asap di udara agar segera berlalu.

"Ga apa,Sel," sahut Marwa, "apa aku bisa?"

Marwa menerawang kehidupan tiga tahun ini, ia memang banyak mengalah, karena tak ingin menjadi istri durhaka, juga demi mempertahankan rumah tangganya.

Bertahun-tahun mendapat hinaan bahkan ucapan tajam dari suami dan ibu mertua membuat Marwa jadi lebih pendiam dan takut salah juga tertekan. Hatinya sakit, tapi hanya bisa menangis dalam diam.

"Kamu pasti bisa! Kamu harus berani dan ceria seperti dulu! Tunjukkan dirimu yang sebenarnya. Bukan untuk melawan, tapi pembelaan!" tegas Sela.

"Satu hal lagi Marwa, mandirilah secara finansial!"

Sela meletakkan dua gepok lembaran berwarna merah di atas meja. Marwa membelalak melihat ke tumpukan uang, kemudian beralih menatap sahabatnya hendak berkata-kata. Namun, Sela berbicara lebih dulu.

"Pakailah! Ini ada dua juta. Cobalah memulai usaha secara online!" saran Sela.

"Satu hal lagi, tulisanmu bagus. Cerbung yang kamu buat sangat menarik. Cobalah menulis di platform menulis yang bisa menghasilkan uang. Siapa tahu ada peruntungan di sana."

Sela tersenyum sekilas melihat Marwa yang berkaca-kaca. Sudut matanya pun sudah berembun, tetapi ia tahan mencoba tegar. Seorang Sela pantang menangis di hadapan orang lain, meskipun sahabatnya sendiri.

"Makasih, Sela," balas Marwa.

Sela mengangguk kemudian berdiri hendak pamit dan melangkah keluar menuju mobilnya diikuti Marwa yang mengantar.

"Ingat Marwa! Kamu harus sukses, supaya uangku segera balik hahaha ...," canda Sela yang sudah berada di belakang setir mobil.

Marwa pun tersenyum lebar di balik kaca mobil yang terbuka setengah. Ada harapan baru dalam hidupnya.

Related chapters

  • Kesuksesan Istri Berdaster   Bab 4

    Marwa turun dari ranjang. Mengendap-endap perlahan. Sekali lagi ia menengok ke arah sang suami memastikan jika sudah terlelap. Setelahnya, ia duduk di lantai dan mengambil ponsel yang sudah diamankan sebelumnya di kantong daster. Dalam kegelapan, Marwa membuka benda persegi panjang itu dan mulai menuliskan tentang cara memulai usaha online, lalu membaca dengan seksama setiap informasi yang ditemukan."Kalau sebagai firsthand sepertinya ga mungkin, karena membutuhkan modal lebih besar," gumamnya. "Udah gitu, harus nyetok barang di rumah pastinya," lanjutnya sambil menggeleng.Sekali lagi ia menelaah dan mencermati keterangan mengenai beberapa cara memulai usaha online. "Hem, reseller atau dropship, ya?" Wajahnya yang terpancar cahaya ponsel terlihat bingung. "Ah, sepertinya dropship saja yang tak harus menyetok barang." Dengan yakin ia memantapkan pilihan. Bukan tanpa sebab. Setelah mempelajari semuanya Marwa memili

  • Kesuksesan Istri Berdaster   Bab 5

    "Bu, jangan diambil semua!"Atik tak memedulikan larangan perempuan yang tak disukainya. Tangannya terus saja memasukkan potongan ayam ke dalam plastik yang ditemukan di dapur. Setelah memastikan terikat rapat, ia mengambil kangkung tumis dan memindahkannya hingga tandas, tak ketinggalan sambal terasinya."Loh, Bu, nanti saya makan apa?"Atik masik bergeming. Tak peduli. Ia masih kesal dengan perlawanan menantunya. Setelah selesai mengangkut semua, ia hendak bergegas keluar tanpa pamit."Tunggu!" perintah Marwa. Tak digubris dan Atik terus melangkah."Jika Ibu terus jalan, saya tidak mau masak!" Langkahnya terhenti. Wajahnya memerah menahan amarah. Marwa kali ini benar-benar kelewatan. Sudah berani menyuruh bahkan menentang. Kini, ia pun diancam. Terlalu! Ia akan melaporkan kejadian ini kepada anak sulungnya, Gita."Halah kamu ini. Makin berani aja, ya. Makanan segini aja kamu ributkan. Ini buat Pandu sama Fit

  • Kesuksesan Istri Berdaster   Bab 6

    Marwa menghentikan langkah sejenak, berdiri di depan sebuah gedung, mendongak dan memastikan tempat yang dituju sudah benar."Bismillah."Kakinya terayun kembali dan tersenyum melihat Arum yang terlelap dalam buaian. Ia sudah menyiapkan beberapa camilan juga susu dan air putih untuk anaknya serta satu boneka untuk Arum bermain. Semoga Arum tidak rewel.Pagi ini ia akan membuat rekening untuk melancarkan usaha onlinenya. Sebelumnya ia telah membaca dan bertanya kepada Sela seputar syarat dan cara pengajuannya. Ini"Selamat pagi, Bu," sapa security."Pagi, Pak. Saya mau buka rekening.""Silahkan ambil nomor dulu dan duduk di sebelah sana, menunggu dipanggil!""Iya, Pak. Terima kasih," ucapnya tersenyum dan melangkah ke tempat yang dituju, lalu duduk di sofa yang disediakan, menunggu antrian.Sejenak, ia terpana melihat keadaan sekitarnya. Suasananya terasa nyaman untuk mereka yang bekerja di dalamnya. Melihat customer service yang sedang berbicara kepada seorang nasabah, membuatnya teri

  • Kesuksesan Istri Berdaster   Bab 7

    Terhina, itu yang dirasakan Marwa saat ini jika terbukti Galih membelikan kakaknya mobil. Bahkan, ia merasa terluka membayangkan suaminya membatasi setiap keuangan dengan alasan berhemat untuk membeli rumah. Nyatanya, justru suaminya dengan mudah mengeluarkan uang banyak untuk kakaknya. Perempuan yang matanya mulai berembun itu tidak masalah jika Galih memberikan hadiah atau membantu keluarganya, tetapi ia hanya berharap perlakuannya seimbang dan tidak membuat kesehariannya tercekik dengan jatah bulanan yang minim. "Ayo Marwa, kamu pasti bisa!" Semangatnya untuk diri sendiri. "Kamu bisa menghasilkan uang sendiri!" Gumamnya menyakinkan diri. "Kamu dan anakmu berhak bahagia, Marwa!" tekadnya. "Fokus ke depan, jangan pikirkan yang lain!" Hembusan napas dilepaskannya perlahan. Bukan saatnya untuk meratapi nasib, tetapi waktunya segera bangkit. Setelah menidurkan Arum di kamar, Marwa menghangatkan baso yang tadi dibawa pulang. Nafsu makannya menghilang ketika tadi di tukang baso ia

  • Kesuksesan Istri Berdaster   Bab 8

    "Sial! Pada kemana, sih, orang-orang? Masa ga ada yang bisa nanganin problem di sana!" Galih memarahi supervisor yang berdiri kikuk di hadapannya.Beberapa klien memberikan komplen perihal jaringan internet mereka yang mati. Masalah yang terjadi secara bersamaan membuat beberapa karyawan di divisi network ke luar kantor untuk memeriksa keadaan di lapangan. "Semuanya pada keluar, Pak. Banyak yang mati juga." Jelas Ardi gugup."Coba telepon Joni, tanyain udah selesai belum? Kalau sudah suruh langsung ke Pantai Indah Kapuk. Ke rumah Pak Hariawan," titah Galih.Ardi yang masih gemetar langsung mengambil ponsel ketika mendapat tatapan tajam dari bosnya. Melakukan sesuai yang diperintahkan. Galih bekerja pada sebuah perusahaa swasta yang memberikan layanan jasa internet. Ia berada di divisi Network. Awalnya, ia bekerja sebagai karyawan yang mensupport masalah instalasi internet melalui komputer, membantu memperbaiki jaringan jika orang-orang di lapangan mendapat masalah.Kinerjanya yang b

  • Kesuksesan Istri Berdaster   Bab 9

    "Maaf, Galih ga bisa Bu!" tegas Galik menolak permintaan sang ibu.Resah di hatinya semakin bertambah-tambah. Kemarin ia baru saja mengeluarkan uang banyak untuk membelikan ibunya mobil. Padahal ia pun sudah berusaha untuk menolak keinginan perempuan yang telah melahirkannya dengan sehalus dan selembut mungkin. Bukannya perhitungan, akan tetapi biaya mobil terlalu mahal dan akan menguras sebagian besar tabungannya. Jika dituruti, impiannya membeli rumah akan terundur lagi. Namun, ibunya mengancam dengan kelemahan yang ia miliki sehingga Galih memenuhi keinginan ibunya.Kini, sang Ibu meminta untuk mempekerjakan supir. Tentu saja itu masalah baru buatnya. Uang simpanannya telah berkurang banyak, dan kini ia harus mengeluarkan uang sejuta setiap bulan untuk menggaji orang yang diminta ibunya. Jika seperti ini, keinginan memiliki rumah sendiri akan sulit terwujud. Belum lagi, ia masih kesal mobil yang dengan berat hati dibelikannya itu dihadiahi kepada kakaknya. Sejak dulu ibunya tida

  • Kesuksesan Istri Berdaster   Bab 10

    [Durhaka Kau, Marwa! Pergi keluar rumah tanpa izin suami!] Satu pesan terbaca yang dikirim Galih. Marwa menatap nanar ponsel yang masih menyala. Sesak di hatinya semakin bertambah. Kesedihan berbalut luka ditambah rasa bersalah yang menggelayut di dada. Suaminya sangat tidak peka. Pukul dua belas malam. Suasana di rumah duka tidak terlalu ramai, beberapa tetangga memutuskan pulang. Pagi nanti mereka akan kembali. Tinggallah hanya keluarga yang menunggui di rumah tiga petak yang dihuni ayah dan adiknya. Marwa duduk di samping pembaringan sang Ayah. Tubuhnya tersentak ketika teringat belum mengabari sang suami. Segera, ia mengambil ponsel, ingin mengabarkan tentang ayahnya yang telah berpulang. Namun, sebuah pesan dengan sebaris kata itu membuat tubuhnya menegang. Kenapa pula Galih harus marah? Padahal suaminya yang mengingkari janji. Ia pun sadar telah melakukan kesalahan. Setidaknya, cobalah Galih bertanya, bukan menghakimi. Akhirnya, Marwa mengabaikan pesan itu. Tak dibalas dan mem

  • Kesuksesan Istri Berdaster   Bab 11

    Seminggu berlalu setelah kepergian sang ayah, Marwa masih berada di rumah orangtuanya. Selain untuk mengurusi acara tahlilan di tujuh hari pertama, ia juga ingin menenangkan diri."Marwa, besok pulang aje, ntar si Ardha biar Mpo yang liat-liatin. Kasihan laki Lu, ga enak juga, kan, kelamaan di sini," ujar Mpo Lela menghampiri Marwa yang masih terduduk di ruang tamu.Tadi mereka baru melaksanakam sedekah tujuh hari untuk ayah Marwa. Banyak yang hadir, mulai dari tetangga, rekan kerja ayahnya, teman-teman Ardha juga bebrapa teman Marwa. Noto, mertuanya sudah menghubungi dan meminta maaf tidak bisa hadir karena harus bertemu klien, tetapi digantikan oleh Pandu dan Fitri. Sedangkan Atik, tentu saja perempuan itu tidak akan datang jika tidak ada yang memaksa. Marwa tak memikirkannya.Suaminya sendiri tidak bisa hadir, katanya sedang ada pekerjaan mendadak. Entahlah, itu memang benar atau hanya alasan karena masih marah dengan sikapnya ketika di dapur itu."Ga tahulah, Mpok. Marwa masih pin

Latest chapter

  • Kesuksesan Istri Berdaster   Bab 37

    Sebuah bangunan di pinggir jalan raya terlihat sangat ramai. Dari kaca jendela yang besar, terlihat banyak pengunjung yang datang untuk mencoba restoran baru yang terkenal enak di Jakarta Selatan. Kini, tempat makan tersebut membuka cabang baru di Jakarta Timur. Tentunya masyarakat yang sudah mengetahui restoran khas Betawi lewat video viral di media sosial itu tak akan melewatkan kesempatan untuk mencicipinya. Dengan setengah harga mereka dapat menikmati makanan yang sudah sering didatangi para food blogger. Hampir semuanya menyatakan jika makanan di restoran tersebut patut diacungkan jempol. Walaupun di tempat berbeda, tetapi masih dengan pemilik yang sama, tentunya rasa masakannya pun akan sama. Tampak wajah-wajah ceria yang terlihat menikmati setiap suapan yang singgah dalam mulutnya. "Mantab ini, sih, masakannya. Rempahnya melimpah," puji seorang lelaki yang tampak merem-melek menikmati setiap gigitan pecak ikan yang termasuk makanan best seller.

  • Kesuksesan Istri Berdaster   Bab 36

    Melihat video dari nomor tak dikenal, wajah Galih tampak pias. Suatu kebenaran telah dungkap oleh tiga orang yamg terlibat dalam kasus perselingkuhan sang istri. Tulang rahangnya mengeras dengan wajah memerah. Teringat dengan ibu juga kakaknya yang tega menuduh Marwa. Padahal ternyata itu adalah rencana jahat mereka. Marwa tidak bersalah.Napasnya memburu dengan dada yang mulai turun naik. Ingatannya melayang ketika perempuan yang dinikahinya diusir paksa bahkan dipisahkan dari Arum. Setelahnya, berbagai caci maki kerap dilontarkan Atik dan Gita terhadap Marwa. Galih mengeram, teriakan menggema di ruang tamu rumah ibunya. "Mas, Mas Galih!" Fitri yang baru keluar dari kamar bersamaan Pandu yang baru datang dari luar segera menghampuri Galih yang berteriak. "Mas, tenang, Mas!" Kedua adik kakak itu berusaha menenangkan kakak kedua mereka. Mereka juga sudah tahu apa yang telah terjadi. Video yang dikirimkam nomor tak dikemal juga membuat Pandu dan Fitri terkejut dan

  • Kesuksesan Istri Berdaster   Bab 35

    Melihat orang yang sudah ramai, Dito semakin resah. Rencananya untuk melarikan gagal di saat bertemu adik iparnya. Namun, bukan Pandu yang menjadi penyebabnya, melainkan dua orang satpam yang menyapa sehingga, membuat Lila bangun dan keluar rumah.Kala itu perempuan yang masih menggunakan piyama mendelik tajam melihat kunci mobil di tangan Dito dengan kondisi pintu pagar terbuka. Terlihat wajah yang memerah, tetapi masih ditahan karena melihat dua orang yang sedang berkeliling untuk ronda ditambah Pandu yang mematung dengan tatapan dingin."Eh, ini yang ngaku adikmu, Mas." Setelah penjaga keamanan komplek pergi, Lila menunjuk Pandu dengan curiga. Dito pernah mengatakan jika adiknya masih di kampung, sehingga ia merasa orang yang mengunjunginya adalah penipu, tetapi melihat kehadiran Pandu di depan rumahnya membuat Lila curiga."Ini Pandu, adik iparku." Sejenak Lika terperanjat, kemudian ia langsung menguasai diri. Wajah ayunya menyunggingkan senyum sinis.

  • Kesuksesan Istri Berdaster   Bab 34

    "Mbak Ratih, maaf, ya. Aku jarang datang, sekalinya ke sini malah bawa keluh kesah." Marwa terlihat tak enak hati pada guru mengajinya. Sejak menikah, ia hanya berkunjung satu kali ketika perempuan yang selalu memberikan ilmu agama padanya itu pindah ke Bogor. Setelah itu, karena kesibukan suaminya, ia agak sulit untuk berpergian. Ingin keluar sendiri, tetapi Galih tidak pernah mengizinkan. Sebagai istri, Marwa hanya berusaha patuh. Namun, tidak dipungkiri jika ia jadi menjauh dengan guru mengaji juga temannya yang lain.Merupakan suatu kebahagiaan bisa bertemu kembali dengan perempuan berusia empat puluh lima tahun itu. Usia yang sama dengan almarhumah ibunya. Namun, Ratih terlihat lebih muda dan energik, terlebih anak kedua dari empat bersaudara itu selalu aktif dalam organisasi dan kegiatan masyarakat. Pembawaannya yang selalu berpikir positif dan ramah terhadap orang lain membuat Ratih banyak dikenal dan disukai sekitarnya."Ya ampun, ente kaya sama siapa

  • Kesuksesan Istri Berdaster   Bab 33 Kecurigaan Galih

    Setelah mematikan mesin, Galih langsung turun dari mobil dengan tergesa memghampiri rumah bercat hijau muda., kemudian menyibak kerumunan sambil mengucapkan maaf dan menghampiri ibunya."Ibu!" Suara panggilan seseorang membuat semua yang berada dekat Atik menengok. Mengetahui bahwa keluarga korban telah hadir, mereka bergeser memberi tempat untuk sang anak mendekati ibunya.Meskipun Galih selalu mendapat perlakuan buruk, tetap saja ia memiliki kekhawatiran ketika orang yamg membesarkannya mengalami musibah. Satu tangannya terulur memegang tangan yang sedikit berkeriput, sambil memanggil dan menanyakan keadaan. Namun, Atik hanya terdiam. Tatapannya kosong seperti memendam beban. Berkali-kali mengusap lengan juga bahu sang ibu, tetap saja perempuan paruh baya itu tak merespon. Akhirnya, dengan sentuhan agak keras, Atik baru menengok."Galih!" Atik lengsung menghambur memeluk anaknya. "Ibu takut!" pecah tangis Atik yang sejak tadi merasa ketakutan.

  • Kesuksesan Istri Berdaster   Bab 32

    "Dokter, Apakah Kak Gita dan temannya baik-baik saja?" Galih memastikan berkali-kali mengenai kondisi kakaknya. Melihat kedua orang ditemukan dalam kondisi terikat dan tak berdaya membuat lelaki berambut ikal itu khawatir jika ada mental yang terganggu. Terlebih, temannya Vika selalu berteriak ketika tidur. Seolah ada yang sedang menyiksa di alam mimpinya."Kemungkinan pasien mengalami trauma. Apalagi kejadian tersebut hampir saja membahayakan nyawa mereka. Beruntung ditemukan pada waktu yang tepat," jelas lelaki berjas putih tersebut. "Nanti kami akan menjalani pemeriksaan lebih lanjut terkait kesehatan mental keduanya." Secara fisik, Gita dan Vika tidak mengalami luka yamg serius, hanya saja bibir Vika mengalami memar karena gesekan paku.Galih mengangguk, membenarkan perkataan dokter. Beruntung ia dan Pandu memilih datang ke rumah kakaknya untuk mencari petunjuk. Pada saat membuka gerbang, suara teriakan minta tolong bergema dari ruangan di depan mereka. Walau,

  • Kesuksesan Istri Berdaster   Bab 31 Siasat Lila

    "Ah, sial! Dimana kuncinya?" Hampir lima belas menit Dito mencari benda pembuka pintu itu, tetap tak ditemmukan. Padahal biasanya Lila selalu meletakkan di lubang kunci atau digantung di dinding samping plintu. Akan tetapi, benda itu tak ditemukan dimanapun.Padahal, ia sudah menunggu moment ini selama berjam-jam. Pada saat kekasihnya lelap tertidur, Dito akan keluar rumah untuk mencari keberadaan Gita. Apalagi mertuanya sejak tadi selalu menelepon menanyakan keadaan sang anak. Dengan terpaksa Dito berbohong, mengatakan belum menemukan. Nyatanya ia sama sekali belum mencari, masih terjebak di rumah Lila.Seingatnya, ia meletakkan kunci serep yang pernah diberikan Lila di dalam tasnya, tetapi benda itu juga menghilang tanpa jejak. Jika seperti ini kejadiannya, sudah pasti ini adalah perbuatan Lila yang tak ingin dia pergi."Argh!" Lama-lama Dito merasa kesal dengan sikap perempuan itu. Belakangan ini, Lila terlalu banyak menuntut. Sungguh, kondisi seperti

  • Kesuksesan Istri Berdaster   Bab 30

    Pada saat orang lain mempertanyakan keberataan Gita, dua orang di dalam gudang sedang berusaha untuk melepaskan diri. Semenjak mereka disembunyikan dalam ruangan berukuran 5X7 meter itu, hanya kesedihan dan ketakutan yang menguasa hati keduanya. Mereka tak berpikir hal lain, hanya berharap ada yang segera datang menolong. Namun, hampir waktu hampir terlewat setengah hari, tak menunjukkan ada orang yang datang. Mereka semakin putus asa dan terus menangis dengan tangan dan kaki yang terikat juga mulut yang disumpal lakban dengan diberi lubang kecil di tengah mulut untuk mereka mengambil udara. Tetap saja itu terasa sesak, karena mereka tak leluasa menghirup udara bersih dan mengeluarkan karbondioksida Gita memiliki rumah tiga lantai dengan lantai bawah diperuntukkan untuk parkir mobil dan gudang. Sedangkan, lantai dua untuk ruang tamu, ruang santai, dapur, kamar pembantu, dan kamar utama dan di lantai tiga terdapat kamar tamu dan taman. Akses tangga menuju lantai

  • Kesuksesan Istri Berdaster   Bab 29

    Galih berhenti di depan pagar rumah berlantai dua, kemudian ia turun hendak menekan bel untuk meminta dibukakan pintu. Akan tetapi gerakannya terhenti ketika seorang lelaki dengan seragam cokelat bertanya dari balik pagar."Siang, Pak, maaf cari siapa?""Marwa, Pak." "Dengan siapa?""Galih, suaminya.""Oh, Pak Galih. Bentar, Pak." Lelaki paruh baya itu menggeser gerbang dan mempersilahkan Galih masuk. "Mbak Marwa tadi sudah pesan jika Pak Galih datang. Silahkan langsung masuk saja, Pak.""Terima kasih, Pak." Galih melangkah menuju mobil dan masuk ke halaman yamg dipenuhi dengan tumbuhan hijau di pinggir kanan dan kiri jalan menuju pintu utama. Setelah mematikan mesin mobil Galih mengambil beberapa kantong makanan kecil, kue bolu, dan buah-buahan untuk tuan rumah. Hatinya berdebar kencang, tubuhnya merasa gugup untuk bertemu istri dan anaknya. Ia akan berusaha bersikap sebaik mungkin, dan mencoba mengambil hati Marwa juga m

DMCA.com Protection Status