Semua Bab AKU (BUKAN) WANITA KEDUA: Bab 51 - Bab 60

64 Bab

Aku Akan Pergi!

Sontak saja Wulan menguatkan tubuhnya. Menepis lengan Damar yang sedang membopongnya. Ucapan Bik Tika di balik pintu kamar itu jelas membuat tubuh lemahnya seolah mendapat tenaga ekstra. Gegas kaki Wulan melangkah menuju ke arah pintu dan membukanya dengan cepat. Saat daun pintu terbuka, tatapan Wulan bertemu dengan wajah Bik Tika terlihat sedang tegang"Maaf, Bu Wulan. Pesan neneknya Syifa tadi Ibu diharapkan langsung berangkat. Soalnya tadi ditelepon oleh beliau, tapi kontak Ibu tak aktif terus."Wulan menepuk dahinya. Gawai miliknya memang dimatikan sejak tadi pagi. Hanya meminta izin atas ketidakhadirannya, setelah itu Wulan memilih menonaktifkan benda hitam berlayar pipih itu. "Terima kasih, Bik. Saya berangkat sekarang. Titip Syifa ya!" balas Wulan dengan cepat yang disambut anggukan kepala oleh Bik Tika. Wanita itu pun gegas berlalu dari hadapan Wulan. Syifa yang ditinggalkan bermain tentu tak boleh dibi
Baca selengkapnya

Ayah Sakit

Berhasil melewati daun pintu, Wulan gegas menghidupkan mesin sepeda motornya. Menyambar helm dan memasangkannya ke bagian kepala. Memilih tak lagi melihat keberadaan Damar yang entah dimana. Tanpa membuang waktu, Wulan melajukan sepeda motor itu dengan kecepatan yang cukup tinggi. Berpacu dengan waktu, entah apa yang sedang terjadi di rumah sakit sana. Apakah ayahnya dilarikan ke rumah sakit? Kondisi kesehatan lelaki yang menjadi cinta pertamanya itu memang tak baik akhir-akhir ini. Tekanan darah tinggi ditambah kadar gula darah yang jauh di atas normal membuat kakek Syifa itu sering terbaring di tempat tidur. Penyakit yang sudah lama diidap lelaki paruh baya itu semakin mengkhawatirkan sejak tiga bulan terakhir ini. Wulan mengembuskan napasnya dengan kasar ketika mengerem mendadak. Usahanya mencegah agar tak terkena lampu merah gagal. Sebegitu parahkah kondisi ayahnya? Selama ini laki-laki itu memang rutin meminum obat-oba
Baca selengkapnya

Doa Yang Salah

"Dek, Mas … ""Mengapa harus ke sini?"Wulan memotong kalimat yang baru sepenggal diucapkan suaminya itu. Lirih namun penuh ketegasan dan amarah. Masih dengan nada suara yang direndahkan, Wulan berusaha kalimat yang diucapkannya tak terdengar selain Damar. Menghujam lelaki yang masih berstatus sebagai suaminya itu dengan tatapan mematikan. Wulan tak mengharapkan kehadiran lelaki ini sekarang. Sungguh, dirinya benar-benar lelah berhadapan dengan lelaki yang telah menghadiahkan segudang dusta untuknya ini. Mengapa lelaki ini menyusulnya? Dan bagaimana dia dapat mengetahui kamar inap ayahnya ini? "Damar! Bukankah tadi Wulan bilang kamu sedang rapat di Jakarta?"Seperti yang sudah diduga Wulan, ibunya pasti akan mempertanyakan keberadaan Damar sekarang. Apalagi tadi Wulan mengatakan jika suaminya itu sedang ada kegiatan di Jakarta. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Bersandiwara seol
Baca selengkapnya

Haruskah Sekarang?

"Lan, mengapa kamu masih berdiri di depan pintu sana? Damar pasti lelah. Ambilkan air untuk suaminya! Ada air mineral beberapa botol dibelikan Ayu tadi sebelum pergi. Ibu mau ke musala dulu ya! Belum salat Zuhur soalnya! Titip Ayah!"Tanpa menunggu jawaban Wulan, Bu Yayuk bergerak ke arah tas yang terletak di dalam nakas. Wanita itu meraih tas kecil yang Wulan sangat tahu isinya. Perlengkapan salat yang selalu dibawa ibunya kemana-mana. Kebiasaan yang tak pernah berubah sejak dulu. "Wulan ikut Ibu! Belum salat juga soalnya!" Ucapan Wulan membuat Bu Yayuk menghentikan langkah. Menolehkan kepala ke arah putri bungsunya. "Kamu temani Damar saja dulu, Lan! Nanti kamu salatnya bareng suamimu saja."Tak memberi kesempatan pada Wulan untuk membantah, sang ibu pergi tanpa lagi bicara. Wulan hanya mampu menghela napas panjangnya. Mengapa situasi menjadi sulit? Berdua saja den
Baca selengkapnya

Jangan Menangis, Kak!

Wulan meraup wajahnya dengan telapak tangan kanan. Gerakan terakhir setelah salam dilafazkan. Salat Zuhur  baru saja saja ditunaikannya. Ada sedikit rasa tenang di hati Wulan. Memang Allah Maha Segalanya. Tempat berserah diri hamba-Nya yang hina.Memilih tak membuka mukenanya, Wulan menengadahkan telapak tangannya. Bermunajat melantunkan pinta. Memohon petunjuk terbaik atas prahara rumah tangganya. Tidak. Ini bukan prahara. Ini adalah kenyataan pahit yang tersembunyikan dengan sengaja selama ini. Ibarat bom waktu yang siap meledak kapan pun. Dan inilah saatnya. Memejamkan mata, ingatan Wulan membayang pada peristiwa di kamar inap ayahnya tadi. "Kamu tak apa-apa, Lan?"Lirih lelaki itu berkata sembari memandang wajah putrinya. Tatapan sedih bercampur sendu. Seolah paham akan kegundahan hati sang bungsu. "Ayah sudah sadar?"Gegas Wulan mendekat ke arah ayahnya. Menciumi
Baca selengkapnya

Naluri Seorang Ibu

[Mas Damar pulang tadi malam dengan alasan pekerjaan. Aku yakin itu hanya kebohongannya yang entah untuk keberapa kalinya. Dan aku yakin kepulangan lelaki itu karena dirimu bukan?]Wulan memejamkan mata setelah membaca pesan itu. Wanita ini kembali membuat perasaannya tercabik-cabik. Apa maksud wanita ini? Mengapa Hanum harus mengirimkan pesan ini kepadanya? [Aku tak pernah meminta Mas Damar pulang, Mbak. Kenapa Mbak tak tanyakan saja langsung alasannya pulang lebih awal?]Memilih membalas, Wulan tak suka dengan tuduhan Hanum ini. Ada geram yang memenuhi ruang hati Wulan. Dirinya disalahkan. Padahal dirinya tak tahu apa-apa. Jika boleh meminta, Wulan berharap Damar tak muncul lagi di hadapannya. Tak perlu ada perdebatan panjang untuk membahas masalah mereka. Perpisahan jelas lebih baik baginya saat ini. Wulan menatap layar pipihnya. Tampak tulisan mengetik terlihat di sana. Wanita itu tampaknya m
Baca selengkapnya

Pengakuan Wulan

Memilih diam dalam pergulatan batinnya saat ini. Hanum sudah pasti akan terus menerornya nanti. Wulan pun tahu semuanya pasti akan terungkap nanti. Hanya masalah waktu, bom ini akan meledak kapan pun. "Abang memang tak dekat denganmu, Lan. Tapi bukan berarti Abang akan membiarkanmu sendiri. Terlebih saat adik Abang punya masalah."Akhirnya Wahyu buka bicara kembali. Sementara Wulan tetap dalam kegamangan hatinya. "Melihat sikapmu saat ini, Abang ikut merasakan yakin jika naluri Ibu benar. Kamu punya masalah yang disimpan sendiri."Menguatkan diri, Wulan tak ingin menangis lagi. Mungkin dirinya memang harus berbagi. "Kami keluargamu. Sampai kapan pun kamu menyimpan masalah itu, pada akhirnya keluarga akan menjadi tempatmu kembali."Pilu menggores bilik hati Wulan seketika. Haru menyeruak dada. "Bang, aku melakukan kesalahan. Kesalahan besar dalam hidupku."
Baca selengkapnya

Bukan Wanita Kedua

Mengabaikan pesan itu, Wulan menggerakkan layar pipih dengan cepat. Menekan tombol hijau saat menemukan kontak Firman Maulana, abang keduanya. Tak ada jawaban meskipun panggilan terhubung. Apa yang harus dilakukannya saat ini? Dengan langkah yang cepat dan panjang, Wulan bergegas menyusul Wahyu. Membiarkan pikirannya berkecamuk seiring ayunan langkah. Benar saja, dugaan Wulan tak salah. Langkah gegasnya ke kamar inap sang ayah terhenti ketika melihat abang sulungnya itu ada di dekat kamar kecil.Tak hanya sendiri, lelaki berpakaian seragam putih itu bersama Firman. Menggiring Damar ke arah rerimbunan melati yang letaknya cukup tersembunyi. Wulan semakin mempercepat langkahnya. Melihat gelagat abangnya, Wulan yakin keributan akan terjadi setelah ini. "Aku hanya ingin bertanya, apa benar semua yang sudah diceritakan Wulan kepadaku tadi?"Benar saja. Wahyu sedang menginterogasi Damar.
Baca selengkapnya

Kepergian Ayah

"Siapa?" tanya Firman dan Wahyu serempak. Raut wajah Wulan terlihat jelas menunjukkan kebingungan. Dan membuat kedua lelaki itu fokus pada bungsu mereka. Tanpa menjawab Wulan segera mengarahkan benda pipih itu ke arah telinganya. Tentu saja setelah menggeser tombol hijau yang ada pada layar pipih itu sebelumnya. "Assalamu'alaikum, Bu. Ada apa? Maaf Wulan masih ada urusan sedikit yang harus diselesaikan. Jadi agak lama. Kak Ayu sudah membawakan Ibu nasi bukan? Ibu masih mau dibelikan nasi bungkusnya?"Wulan hendak memperjelas ucapan abangnya tadi. Jangan sampai dirinya disalahkan oleh sang ibu. "Waalaikum salam. Bukan masalah nasi Ibu, Wulan. Kalian dimana sekarang? Kedua abangmu pun  tak ada. Ayah tiba-tiba kritis."Sontak saja Wulan menutup pembicaraan itu tanpa mengucap salam sama sekali. "Ayah kritis."Hanya kalimat itu yang terucap dari bibir Wulan. Kakinya melang
Baca selengkapnya

Di Depan Pusara Ayah

Para pelayat satu per satu pergi meninggalkan area pemakaman. Para kerabat pun mendekati Bu Yayuk dan anak-anaknya, memohon izin untuk pulang lebih dulu. Hanya tersisa keluarga besar Wiryawan saja. Tiga pasang anak menantu, lima orang cucu, dan seorang wanita yang resmi telah menyandang gelar sebagai seorang janda. "Ibu tak menyangka jika ayah kalian akan pergi secepat ini. Padahal kondisi Ayah sebelumnya sudah membaik. Entah mengapa tiba-tiba menurun lagi."Isakan tangis Bu Yayuk masih terus terdengar. Sementara ketiga anaknya nampak diam dengan wajah yang sama sembapnya. Seluruhnya berjongkok, mengelilingi gundukan tanah merah yang masih basah. "Wahyu, Firman, ayah kalian sudah tak ada. Pelindung keluarga ini sudah tak ada. Tanggung jawab itu ada di pundak kalian sekarang."Kalimat itu diucapkan Bu Yayuk dengan lirih. Bulir bening membasahi pipi. Tak menyangka jika secepat ini lelaki halalnya akan pergi. Wahy
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status