"Sejak masih sekolah Adnan selalu pulang tepat waktu, sehingga waktunya banyak membantu Ibu dan ayahmu, sedangkan kamu setiap hari hanya keluyuran, pantas saja mendiang ayahmu sering murka," ungkap ibu, lalu ia terisak-isak.Entah mengapa aku lebih tertarik pada perdebatan antara ibu dan Gian, sejak dulu Ibu memang sering mengeluh tentang perlakuan anak bungsunya, itu mengapa ia menyuruh Gian untuk tinggal denganku, agar anak itu mau belajar dan menjadi seseorang yang sukses sepertiku.Tapi kenyataannya, bukan kesuksesan yang didapat, malah sebuah kehancuran, waktu itu harusnya aku menolak dengan keras usul ibu, bagaimanapun juga ipar adalah maut, tak seharusnya kami tinggal satu atap.Apalah daya, nasi sudah menjadi bubur, tak mungkin kehancuran ini bisa diperbaiki kembali, mungkin inilah sebuah takdir yang harus kami jalani."Sudahlah, Bu, orang macam dia ga pantas ditangisi, dan kamu Gian! Selain sudah berdosa padaku juga berdosa pada Ibu!"Kupeluk erat wanita yang mulai renta itu,
Baca selengkapnya