"Ampun! Ampun! Maaf, Mas." Andhira memeluk lutut dan menyembunyikan kepalanya di sana. Rambut wanita itu kusut masai. Di lantai, ceceran rambutnya terserak banyak karena sering dijambak."Tolong! Tolooong … tolooooong … bantu aku, bantu aku." Andhira kembali berteriak kencang sambil menangis histeris. Tubuhnya bergetar hebat. "Jangan bunuh aku, kumohon. Biarkan aku dan anakku hidup dengan tenang. Kumohon." Andhira menghiba dengan wajah basah.Sepuluh menit kemudian, dia tertidur di lantai dalam posisi bersujud. Seperti biasa, setelah mengamuk dan berteriak histeris, Amdhira akan tertidur begitu saja karena kelelahan. Napasnya terdengar teratur. Tidak lagi menderu seperti tadi.Disini, Tibra mengepalkan tangan kencang. Hatinya perih melihat keadaan Andhira. Sejak kejadian pagi itu sebulan yang lalu, Andhira menjadi lebih pendiam. Wanita itu tidak banyak bicara. Dia bahkan semakin menjaga jarak dengan Tibra dan tidak berani membalas tatapannya setiap kali berbicara.Tepat seminggu setela
Read more