All Chapters of Aku Menantumu Bukan Musuhmu, Bu!: Chapter 11 - Chapter 20

42 Chapters

Bab 11 Kedekatan Haris dan Endi (POV Haris)

“Dek, dulu sebelum kita menikah, aku dan Endi benar-benar dekat, bahkan Endi sudah kuanggap kayak anak kandungku sendiri.”Dahulu di saat Hana melahirkan dan membesarkan anak pertamanya, aku selalu siap untuk membantu dalam segala kebutuhannya. Apapun yang dia minta, pasti selalu kuusahakan. Begitupun ketika Endi masuk sekolah. Selama masa sekolahnya, seluruh guru menganggap akulah bapaknya, bukan Jefri.“Kang, tolongin akulah, antar Endi ke sekolah, bapaknya entah ke mana tadi, gak nampak aku,” pinta Hana.Padahal saat itu aku sudah mau berangkat ngajar. Terpaksa kuputar balik motorku untuk antarkan Endi terlebih dahulu, soalnya arah kami berlawanan. Jaraknya itu bukan dekat, lumayan jauh juga untuk bisa sampai ke sekolahnya. Waktu itu, Hana dan Jefri masih tinggal di rumah bapak.Tiba di sekolah, Endi salamin aku, dan gurunya malah bilang bahwa sekitar jam sepuluh nanti ada rapat orang tua. Mau tak mau, aku harus pulang dulu untuk menemui Hana supaya dia panggil Jefri untuk mengik
Read more

Bab 12 Berkunjung Ke Rumah Ibu Kandungku

“Bang, tiba-tiba aku kangen ibuku. Hari ini kita berkunjung ke rumah ibu, yuk!” ajakku di saat kami sudah jauh dari rumah ibu mertuaku.“Ayo, Dek. Kita juga udah lama gak ke rumah ibu, kan.”“Tapi kita jemput Masno dulu, ya, Bang,” pintaku. Bang Haris mengangguk. Kami pun pulang tuk menjemput Masno. Karena jarak antara rumahku dan rumah bapak mertua tak begitu jauh, aku tak khawatir bila harus meninggalkan Masno sendirian di rumah. Toh, lingkungan Puskesmas selalu ramai dengan orang, karena Puskesmas ini telah ada rawat inapnya.Sesampainya kami di rumah, kuketuk pintu dan kulihat dari balik jendela, Masno sedang menonton tv di televisi hitam putih, satu-satunya tv yang kami punya.“Assalamualaikum, Masno, kamu lagi nonton, Nak?”“Waalaikum salam, Bu. Ibu dan bapak udah pulang?” Segera ia berlari membukakan pintu dan menyalim tangan kami. Itu yang selalu kuajarkan pada anakku agar menghormati kedua orang tua.“Nak, kamu mau ikut, gak? Kita mau nengok nenek batak,” ajakku.“Mau, Bu,” j
Read more

Bab 13 Ibu Mertua Yang Tak Menghargai Besannya

“Kan, udah nenek bilang, jangan dekati lagi barang haram itu, kenapa kau masih bandel dibilangin. Kalau mau uang, bilang sama nenek, biar nenek kasih sama kau, tapi tolong jangan kau dekatin lagi barang-barang haram itu!” Painem terus menasihati cucu kesayangannya itu.“Udah sempat kau pakek barang itu, En?” tanya Hana tegas.“Belum, Bu!” jawabnya tanpa menoleh pada ibu dan neneknya.“Kalau gitu, ayo kita ke rumah calon istrimu, apa kata keluarganya nanti kalau kita gak datang.” Hana bergegas membereskan benda yang berserakan di kamar anaknya itu.TILILILITTILILILITTILILILIT“Halo.” Nomor asing tengah menghubungi ponsel Haris.“Halo, Wak, ini aku Lita.”“Oh, iya, Lita apa kabarmu, Nak?”“Alhamdulillah baik, Wak. Mami juga sehat, kan?”“Alhamdulillah, kami sehat semua, Lit.”“Wak, wawak lagi di mana? Bisa minta tolong?”“Minta tolong apa, Lit?”“Tolong antarkan ponsel wawak ke ibuku, aku kangen.”Ratih yang heran dengan siapa suaminya telponan, pun, bertanya dengan berbisik, “siapa
Read more

Bab 14 Sabar, ya, Nak!

“Alaaah ... ngapain aku peduli sama menantu dan besan misk*n koyo ngono, cuih!” Painem terus menggerutu, Haris segera ke luar dan mengejar istri serta ibu mertuanya.“Bu.” Tak kusangka bang Haris bersimpuh di bawah kaki ibuku.“Maafkan atas sikap ibuku terhadap ibu dan Ratih barusan, ya.” Bang Haris nangis memohon maaf terhadanya.“Berdiri, Nakku, berdiri!” pinta ibuku. “Jangan kayak gitu, udahlah, ibu dan Ratih gak apa-apa. Me bage, Nakku?” (kan, gitu, Nakku)“Bang, kami pulang ke rumah sekarang, ya.” Kutarik tangan ibuku juga Masno dan berlalu dari hadapan bang Haris.***Setibanya kami di rumah, ibu dan aku masih saling diam. Tak ingin kumemulai pembicaraan tentang kejadian yang di rumah bapak mertuaku tadi.“Ratih, jujur kam sama ibu, bahagiakah pernikahanndu saat ini?”Sejenak ku diam tak bergeming, mengingat dulu kedua orang tuaku sempat melarangku menikah dengan bang Haris. Namun aku yang bersikeras untuk tetap menikah dengannya. Bagaikan menjilat ludah sendiri, aku malu bila h
Read more

Bab 15 Ejekan Dari Sepupuku

“Aku ragu, kalau aku sebenarnya bukan anak kandung ibu dan bapak.”“Apa!” Sontak kuterkejut mendengar pengakuan suamiku yang sepertinya benar-benar putus asa dengan apa yang sedang dialaminya. “Bang, kenapa kamu bisa berucap demikian?”“Dengan semua yang kualami, menandakan kalau aku bukan anak kandung mereka, Dek. Bapak, mungkin karena bapak memang tipe orang penyanyang.” Tangis itu tetap mengalir dari sudut netranya.“Bang, sekarang abang istirahat aja, ya. Besok, kita antar ibu pulang ke rumah mak udaku di Pancur air.” Sengaja kualihkan arah pembicaraan kami agar ia segera menghentikan kepiluannya. Di pembaringannya, masih kulihat ia termenung, namun lambat laun, kedua netranya mulai menutup perlahan dilanda rasa lelah, kantuk, dan kecewa.***Pagi itu, seperti biasa, kusiapkan segala kebutuhan Masno untuk dia sekolah. Anakku sekolah kelas satu SD. Sengaja kusekolahkan di dekat komplek perumahan Puskesmas ini agar ketika jam pulang sekolah, aku bisa menjemputnya meskipun di saat a
Read more

Bab 16 Saran Perpisahan Dari Kakak Tertuaku

“Tunggu!”“Bang Jaya?” sapaku heran melihatnya berjalan dari arah sana.“Haris, kam pulang aja, sana! Ratih dan ibu nanti abang yang antar,” ujarnya pada bang Haris.“Bang, hari ini abang ada jam kuliah, kan? Abang duluan aja, gak apa-apa, nanti aku belanja sama ibu aja.”“Oh, ya, udah, mari, Bang, Bu.” Bang Haris berlalu menggunakan motor jadulnya.“Bu, hari ini nginap di rumahku aja, ya,” tawar abangku.“Tapi, Nakku, nanti gak kerepotan rasa istrindu?”“Enggak, Bu. Lagipula, cucu-cucundu udah kangen semua sama kam.” Sejenak ibu terdiam dan menatapku bimbang. Kuanggukkan kepalaku sebagai tanda tuk menyuruh ibu nginap di rumah bang Jaya.“Ya, udahlah, kalau gitu. Septi, lain kali ajalah aku nginap di rumahndu, ya. Diajak Jaya pula aku nginap di rumahnya.”“Oh, uwai nyah adi bage,” (Oh, ya, udahlah kalau gitu) sahut mak udaku dari dalam rumah menuju teras. “Jadi, sekarang kalian pulang?”“Iya, Mak uda, ada hal penting yang mau kubicarakan sama Ratih,” jawab bang Jaya.“Oh, iya, udah. H
Read more

Bab 17 Bukan Lagi Cinta Tapi Kasihan

“Bu!” Tawa Hana pecah melihat ibunya berjalan pincang pasca kesandung batu. “Kok, bisa kayak gitu, sih, Bu.” Melihat mata ibunya yang merasa kesal dengannya, Hana berusaha menahan tawa agar ibunya tak semakin marah.“Bantu aku, lah! Kui malah ketawa-ketawa kayak gitu! Gak sopan tenan, yo!” (gak sopan kali, ya!)Hana, pun, memapah ibunya masuk ke dalam rumah dan mengurut pelan kakinya yang sudah mulai membengkak.“Bu, ini kakinya udah mulai bengkak, loh. Apa gak sebaiknya ke dukun patah aja?” tawar Hana.“Ah, gak usahlah, nanti sore aku mau ke sawah nanam padi,” tolak Painem.“Bang Haris mana, sih, Bu. Kok, ibu lagi kesusahan gini dia malah gak ada di sini.” Hana kembali berusaha memancing emosi Painem. “Dia jadi anak pertama, pun, gak ngerasa apa kalau ibunya lagi kesusahan,” celetuknya.“Gak taulah aku, abangmu itu udah termakan cakap istrinya yang misk*n itu, makanya dia udah gak sayang dan gak peduli lagi sama aku. Padahal dulu, dia itu anak yang nurut dan patuh sama orang tua. Gak
Read more

Bab 18 Bapak Yang Sangat Perhatian

“Heh ....! Suara nyaring menyeruak ke dalam rumah kami hingga mengejutkan aku yang tengah dipeluk oleh bang Haris.“Dek, bentar kulihat dulu ke luar, ya. Kamu di sini aja!” Aku sungguh cemas, tapi berusaha tetap tenang.“Bang Haris, kau tengok ibumu itu di rumahnya, macam mana kau jadi anak laki-laki, gak peduli sama keadaan ibumu sendiri!” Suara menantang itu terdengar dari lisan seorang lelaki. Aku seperti tak asing dengan suara itu dan segera kuintip dari balik jendela kami.“Terus apa maksud kedatanganmu ke sini marah-marah kayak gitu? Kalau memang niatmu tuk menyuruhku datang melihat ibu, bicarakan baik-baik.” tanya suamiku santai.“Ya, aku gak terimalah, kalau istriku lama-lama di sana ngurusin ibumu! Barang dagangannya jadi terbengkalai gara-gara Hana masih di sana. Jadinya aku gak bisa kemana-mana! Sedangkan kau, jadi anak laki-laki, bukannya ngurusin ibumu, malah enak-enakan santai kau di sini!” Ya, Jefri mengamuk gak jelas bagai orang kemasukan set*n. Aku gak bisa diam melih
Read more

Bab 19 Aku Sangat Mencintaimu, Bang!

PRAK“Hana!” sergah bang Haris. Hana dan Jefri terkejut kala melihat kami datang tepat di saat ia membentak dan menyiksa ibu mertuaku dengan sapu lidi. “Beginikah perlakuanmu terhadap ibu setiap kali aku gak datang ke rumah ini?” sergah bang Haris sekali lagi.Kulihat Jefri tak berkutik dengan ucapan suamiku. Biasanya, dialah yang paling menggebu-gebu dengan segala ucapan lantang yang keluar dari mulutnya untuk menghina kami.“A ... aku, aku kesal dengan ibu yang susah kali dibilangin!” balas Hana.“Tapi tak seharusnya kau pukuli dan bentak ibu kayak tadi!” timpal bang Haris.“Aduuuh ... aduuuh sakit,” keluh ibu mertuaku.“Bu, ayo, sekarang kita ke tukang urut, ya. Ini kaki ibu terkilir. Setelah itu nanti kita pergi ke dokter untuk ambil obat penghilang nyeri,” ajakku.Mungkin karena sudah terlanjur kesakitan, kali ini ibu mertuaku hanya diam saja dengan ajakanku. Tak membuang waktu lama, kamipun membawa ibu ke tukang urut yang ada dekat situ.“Bang, biar ibu kamu bonceng aja, aku dan
Read more

Bab 20 Bapak Mertuaku Meninggal

“Bapak!”“Dek, tolong panggilkan warga yang lewat di depan rumah!” titah suamiku histeris. Aku yang panik kala itu segera bergegas menuju pintu depan. Tak kuhiraukan perutku yang sudah sangat bulat sempurna. Kupanggil sesiapapun yang melintas. Pastinya mereka adalah para lelaki yang hendak pergi ke masjid. Di tengah-tengah aku memanggil mereka, azan maghrib berkumandang. Membuat para lelaki itu berlarian mengejar waktu menuju masjid. Tak seorangpun mendengar panggilanku.“Bang,” panggilku kecewa, namun sayup terdengar isak tangis suamiku dari bilik kamar. Begitupun suara Masno yang terus menyebut ‘kakek’ diiringi tangis.Kutekan daun pintu dan kulihat bapak mertuaku telah terbujur kaku di atas pembaringan yang selama ini ditempatinya.“Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.” Kalimat itu spontan terucap dari lisanku.“Dek, bapakku udah meninggal, Dek, bapakku udah gak ada,” tangis bang Haris sambil memelukku. Tak dapat kubendung air mata ini, hingga tumpah membasahi pipiku juga. Kuingat s
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status