“Kan, udah nenek bilang, jangan dekati lagi barang haram itu, kenapa kau masih bandel dibilangin. Kalau mau uang, bilang sama nenek, biar nenek kasih sama kau, tapi tolong jangan kau dekatin lagi barang-barang haram itu!” Painem terus menasihati cucu kesayangannya itu.“Udah sempat kau pakek barang itu, En?” tanya Hana tegas.“Belum, Bu!” jawabnya tanpa menoleh pada ibu dan neneknya.“Kalau gitu, ayo kita ke rumah calon istrimu, apa kata keluarganya nanti kalau kita gak datang.” Hana bergegas membereskan benda yang berserakan di kamar anaknya itu.TILILILITTILILILITTILILILIT“Halo.” Nomor asing tengah menghubungi ponsel Haris.“Halo, Wak, ini aku Lita.”“Oh, iya, Lita apa kabarmu, Nak?”“Alhamdulillah baik, Wak. Mami juga sehat, kan?”“Alhamdulillah, kami sehat semua, Lit.”“Wak, wawak lagi di mana? Bisa minta tolong?”“Minta tolong apa, Lit?”“Tolong antarkan ponsel wawak ke ibuku, aku kangen.”Ratih yang heran dengan siapa suaminya telponan, pun, bertanya dengan berbisik, “siapa
“Alaaah ... ngapain aku peduli sama menantu dan besan misk*n koyo ngono, cuih!” Painem terus menggerutu, Haris segera ke luar dan mengejar istri serta ibu mertuanya.“Bu.” Tak kusangka bang Haris bersimpuh di bawah kaki ibuku.“Maafkan atas sikap ibuku terhadap ibu dan Ratih barusan, ya.” Bang Haris nangis memohon maaf terhadanya.“Berdiri, Nakku, berdiri!” pinta ibuku. “Jangan kayak gitu, udahlah, ibu dan Ratih gak apa-apa. Me bage, Nakku?” (kan, gitu, Nakku)“Bang, kami pulang ke rumah sekarang, ya.” Kutarik tangan ibuku juga Masno dan berlalu dari hadapan bang Haris.***Setibanya kami di rumah, ibu dan aku masih saling diam. Tak ingin kumemulai pembicaraan tentang kejadian yang di rumah bapak mertuaku tadi.“Ratih, jujur kam sama ibu, bahagiakah pernikahanndu saat ini?”Sejenak ku diam tak bergeming, mengingat dulu kedua orang tuaku sempat melarangku menikah dengan bang Haris. Namun aku yang bersikeras untuk tetap menikah dengannya. Bagaikan menjilat ludah sendiri, aku malu bila h
“Aku ragu, kalau aku sebenarnya bukan anak kandung ibu dan bapak.”“Apa!” Sontak kuterkejut mendengar pengakuan suamiku yang sepertinya benar-benar putus asa dengan apa yang sedang dialaminya. “Bang, kenapa kamu bisa berucap demikian?”“Dengan semua yang kualami, menandakan kalau aku bukan anak kandung mereka, Dek. Bapak, mungkin karena bapak memang tipe orang penyanyang.” Tangis itu tetap mengalir dari sudut netranya.“Bang, sekarang abang istirahat aja, ya. Besok, kita antar ibu pulang ke rumah mak udaku di Pancur air.” Sengaja kualihkan arah pembicaraan kami agar ia segera menghentikan kepiluannya. Di pembaringannya, masih kulihat ia termenung, namun lambat laun, kedua netranya mulai menutup perlahan dilanda rasa lelah, kantuk, dan kecewa.***Pagi itu, seperti biasa, kusiapkan segala kebutuhan Masno untuk dia sekolah. Anakku sekolah kelas satu SD. Sengaja kusekolahkan di dekat komplek perumahan Puskesmas ini agar ketika jam pulang sekolah, aku bisa menjemputnya meskipun di saat a
“Tunggu!”“Bang Jaya?” sapaku heran melihatnya berjalan dari arah sana.“Haris, kam pulang aja, sana! Ratih dan ibu nanti abang yang antar,” ujarnya pada bang Haris.“Bang, hari ini abang ada jam kuliah, kan? Abang duluan aja, gak apa-apa, nanti aku belanja sama ibu aja.”“Oh, ya, udah, mari, Bang, Bu.” Bang Haris berlalu menggunakan motor jadulnya.“Bu, hari ini nginap di rumahku aja, ya,” tawar abangku.“Tapi, Nakku, nanti gak kerepotan rasa istrindu?”“Enggak, Bu. Lagipula, cucu-cucundu udah kangen semua sama kam.” Sejenak ibu terdiam dan menatapku bimbang. Kuanggukkan kepalaku sebagai tanda tuk menyuruh ibu nginap di rumah bang Jaya.“Ya, udahlah, kalau gitu. Septi, lain kali ajalah aku nginap di rumahndu, ya. Diajak Jaya pula aku nginap di rumahnya.”“Oh, uwai nyah adi bage,” (Oh, ya, udahlah kalau gitu) sahut mak udaku dari dalam rumah menuju teras. “Jadi, sekarang kalian pulang?”“Iya, Mak uda, ada hal penting yang mau kubicarakan sama Ratih,” jawab bang Jaya.“Oh, iya, udah. H
“Bu!” Tawa Hana pecah melihat ibunya berjalan pincang pasca kesandung batu. “Kok, bisa kayak gitu, sih, Bu.” Melihat mata ibunya yang merasa kesal dengannya, Hana berusaha menahan tawa agar ibunya tak semakin marah.“Bantu aku, lah! Kui malah ketawa-ketawa kayak gitu! Gak sopan tenan, yo!” (gak sopan kali, ya!)Hana, pun, memapah ibunya masuk ke dalam rumah dan mengurut pelan kakinya yang sudah mulai membengkak.“Bu, ini kakinya udah mulai bengkak, loh. Apa gak sebaiknya ke dukun patah aja?” tawar Hana.“Ah, gak usahlah, nanti sore aku mau ke sawah nanam padi,” tolak Painem.“Bang Haris mana, sih, Bu. Kok, ibu lagi kesusahan gini dia malah gak ada di sini.” Hana kembali berusaha memancing emosi Painem. “Dia jadi anak pertama, pun, gak ngerasa apa kalau ibunya lagi kesusahan,” celetuknya.“Gak taulah aku, abangmu itu udah termakan cakap istrinya yang misk*n itu, makanya dia udah gak sayang dan gak peduli lagi sama aku. Padahal dulu, dia itu anak yang nurut dan patuh sama orang tua. Gak
“Heh ....! Suara nyaring menyeruak ke dalam rumah kami hingga mengejutkan aku yang tengah dipeluk oleh bang Haris.“Dek, bentar kulihat dulu ke luar, ya. Kamu di sini aja!” Aku sungguh cemas, tapi berusaha tetap tenang.“Bang Haris, kau tengok ibumu itu di rumahnya, macam mana kau jadi anak laki-laki, gak peduli sama keadaan ibumu sendiri!” Suara menantang itu terdengar dari lisan seorang lelaki. Aku seperti tak asing dengan suara itu dan segera kuintip dari balik jendela kami.“Terus apa maksud kedatanganmu ke sini marah-marah kayak gitu? Kalau memang niatmu tuk menyuruhku datang melihat ibu, bicarakan baik-baik.” tanya suamiku santai.“Ya, aku gak terimalah, kalau istriku lama-lama di sana ngurusin ibumu! Barang dagangannya jadi terbengkalai gara-gara Hana masih di sana. Jadinya aku gak bisa kemana-mana! Sedangkan kau, jadi anak laki-laki, bukannya ngurusin ibumu, malah enak-enakan santai kau di sini!” Ya, Jefri mengamuk gak jelas bagai orang kemasukan set*n. Aku gak bisa diam melih
PRAK“Hana!” sergah bang Haris. Hana dan Jefri terkejut kala melihat kami datang tepat di saat ia membentak dan menyiksa ibu mertuaku dengan sapu lidi. “Beginikah perlakuanmu terhadap ibu setiap kali aku gak datang ke rumah ini?” sergah bang Haris sekali lagi.Kulihat Jefri tak berkutik dengan ucapan suamiku. Biasanya, dialah yang paling menggebu-gebu dengan segala ucapan lantang yang keluar dari mulutnya untuk menghina kami.“A ... aku, aku kesal dengan ibu yang susah kali dibilangin!” balas Hana.“Tapi tak seharusnya kau pukuli dan bentak ibu kayak tadi!” timpal bang Haris.“Aduuuh ... aduuuh sakit,” keluh ibu mertuaku.“Bu, ayo, sekarang kita ke tukang urut, ya. Ini kaki ibu terkilir. Setelah itu nanti kita pergi ke dokter untuk ambil obat penghilang nyeri,” ajakku.Mungkin karena sudah terlanjur kesakitan, kali ini ibu mertuaku hanya diam saja dengan ajakanku. Tak membuang waktu lama, kamipun membawa ibu ke tukang urut yang ada dekat situ.“Bang, biar ibu kamu bonceng aja, aku dan
“Bapak!”“Dek, tolong panggilkan warga yang lewat di depan rumah!” titah suamiku histeris. Aku yang panik kala itu segera bergegas menuju pintu depan. Tak kuhiraukan perutku yang sudah sangat bulat sempurna. Kupanggil sesiapapun yang melintas. Pastinya mereka adalah para lelaki yang hendak pergi ke masjid. Di tengah-tengah aku memanggil mereka, azan maghrib berkumandang. Membuat para lelaki itu berlarian mengejar waktu menuju masjid. Tak seorangpun mendengar panggilanku.“Bang,” panggilku kecewa, namun sayup terdengar isak tangis suamiku dari bilik kamar. Begitupun suara Masno yang terus menyebut ‘kakek’ diiringi tangis.Kutekan daun pintu dan kulihat bapak mertuaku telah terbujur kaku di atas pembaringan yang selama ini ditempatinya.“Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.” Kalimat itu spontan terucap dari lisanku.“Dek, bapakku udah meninggal, Dek, bapakku udah gak ada,” tangis bang Haris sambil memelukku. Tak dapat kubendung air mata ini, hingga tumpah membasahi pipiku juga. Kuingat s
“Abang mau bicara apa?”“Makasih, ya, udah kembali teduhkan hati anak kita untuk menerima ibuku di rumah ini. Aku gak tahu harus berkata yang bagaimana lagi ke kamu. Kesabaranmu, ketulusanmu, kesetiaanmu dan semua hal baik tentangmu, mungkin gak mampu kubalas satu persatu.” Mata itu tampak berkaca-kaca menatapku yang berdiri di depannya.“Bang, aku ini istrimu, sudah sepantasnya selalu ada di saat apapun keadaan yang kamu alami. Aku memilih mencintaimu sejak dulu, hari ini, dan nanti. Tapi biar bagaimanapun, aku bukanlah makhluk yang sempurna, Bang.”“Bagiku kaulah yang paling sempurna, Dek.”“Enggak, Bang. Kamu salah bila menganggapku sesempurna itu. Aku juga pasti punya titik terendah yang mungkin dapat membuatku merasa lelah suatu hari nanti. Hingga tanpa kamu sadari, aku melakukan hal yang tak pernah kamu duga.”“Apa maksudmu, Dek?”“Aku juga hanya manusia biasa, Bang. Apalagi aku adalah seorang wanita yang mana segala sesuatunya berlandaskan hati. Beda dengan kalian yang menganda
“Hana!” balas Bang Haris dengan teriakan yang lebih lantang. “Apa maksudmu ucapkan perkataan itu!”“Aku udah capek sama semua penderitaan ini, jangan abang tambah lagi bebanku dengan menitipkan ibu sama aku!” Hana meronta-ronta seperti orang kerasukan.“Aku bukannya gak mau ngajak ibu ikut tinggal bersamaku, tapi ibu yang gak mau ikut aku!” sergah Bang Haris.“Aku gak mau tahu, ajak ibu pindah dari sini, aku gak mau dia jadi penambah bebanku di rumah ini!”Segera kuberjalan menuju kamar di mana ibu mertuaku berada. Tak kuindahkan lagi perkataan serta omelan adik iparku. Sepanjang kami berada di rumahnya, ia terus mengomel dan mengeluarkan ujaran kebencian. Aku seakan menutup telinga kiri dan kananku. Mengabaikan semua perkataannya.“Bang, semua perlengkapan ibu udah kubawa, kita pergi sekarang aja, ya,” ajakku tanpa menghiraukan Hana yang masih ngedumel.Masih terdengar jelas di telingaku ucapan pedas dari mulut Hana, tapi aku seolah menganggapnya tidak ada.“Heh, Kak, Bang! Kalian de
“Masalah apa lagi yang mau kau buat.” Kudengar suara itu dari ruang tamuku, jangan-jangan ada lagi masalah baru sepulang kami dari rumah Hana tadi siang.Segera aku menyusul pusat suara itu, dan kulihat bang Haris sedang bertelponan tapi entah dengan siapa.“Bang, baru telponanan dengan siapa?” tanyaku sedikit ragu. Kulihat suamiku masih mengepalkan tangan kanannya. Tampak dia sangat kesal dengan orang di telepon barusan. “Duduk dulu, yuk, biar kamu lebih tenang. Bentar aku ambilkan teh hangat, ya.” Sesaat kuambilkan teh hangat untuk Bang Haris supaya dia lebih tenang dan meredalah emosinya. “Ini tehnya, Bang.” Kusuguhkan teh yang masih panas namun sedikit hangat itu untuknya.“Makasih, ya, Dek.”“Gimana? Udah enakan?”“Udah.”Kugenggam tangan suamiku dengan tangan kananku dan sedikit kutepuk-tepuk punggung tangannya dengan tangan kiriku.“Aku gak habis pikir lihat Hana dan Jefri.” Bang Haris mulai angkat bicara. Kutatap sorot matanya tanda aku serius mendengarkannya bercerita. “Hana
“Aku benci kalian semua!” Jelas terdengar suara yang tak asing di telingaku. Ya, itu suara Endi.GUBRAKPintu rumah yang memang tak terkunci itupun didobrak oleh Endi.“Endi, darimana saja kau?” sergah Hana yang masih tersulut emosi.“Aku benci hidupku, aku benci semua yang ada di sini! Aaarrhhhg ....”“Cukup Endi, cukup! Udah gak pulang seminggu, pulang-pulang malah marah-marah gak jelas! Darimana saja kau?”“Aku mau kemana, itu terserahku, kalian semua ini cuma mikirkan harta, harta dan harta!”Kami yang menyaksikan perdebatan antara Endi dan ibunya lebih memilih diam daripada ikut campur. Masno dan Dewo memilih ke luar dari rumah itu sedangkan suamiku memilih menuntun ibu mertuaku ke tempat tidurnya.“Tunggu, anak kurang aj*r kau, ya!” sergah Hana. Ia menyusul ke luar kamar ibu mertuaku.“Untuk apa ibu masih mencariku, bukannya ibu dan bapak udah puas dengan banjir harta, punya sawah sana sini, punya warung yang selalu ramai.”“Tutup mulutmu!”PLAKTamparan itu tepat mengenai pipi
“Bang Haris, ngapain abang di sini?”“Kami datang ke sini untuk melihat seorang ibu tua yang kalian telantarkan,” jawabku sinis.“Kang, maafkan aku, ya, atas semua kesalahanku di masa lalu.” Seketika Hana melompat turun dari becak yang ditumpanginya dan bersimpuh di bawah kaki suamiku. “Aku gak pernah berpikir panjang akibat dari ulahku sejak dulu dengan kakang dan kak Ratih. Kumohon maafkan aku, ya, Kang.”Aku gak yakin Hana meminta maaf dengan tulus kepada kami. Namun pada situasi ini, aku tetap berusaha bersikap tenang. Tak kutunjukkan sedikitpun raut kesal di hadapan adik iparku yang licik dan lihai bersandiwara.“Bangkitlah, Han. Aku sudah memaafkan kalian. Sekarang mari kita tuntun Jefri dan ibu ke dalam rumah,” ucap bang Haris.“Aku senang kakang dan kak Ratih datang ke sini.” Kutahu ucapan Hana itu hanyalah basa basi belaka, lagaknya yang sok sibuk membuatkan teh untuk kamipun mungkin hanya penghias sandiwaranya saja.“Kak, kenapa dari tadi kulihat kakak seperti menyimpan sesu
Tangis histeris menyelimuti lorong rumah sakit itu, Hana, pun, berucap, “Oh Tuhan cobaan apa lagi ini!”***“Kulihat tadi malam kamu udah tidur lelap, aku gak tega bangunin kamu.”“Bang, astaghfirullah, aku belum salat subuh. Aku salat dulu, ya, Bang.” Bergegas kutinggalkan suamiku yang masih duduk di atas sajadah dengan sarung serta peci yang melekat di kepalanya.Selesai aku salat, kusalim tangan suamiku dan seperti biasa, ia mengecup lembut keningku.“Bang, aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” ucapku pelan.“Bicaralah, Sayang. Kan memang seperti biasa, pagi-pagi selepas salat subuh, kita selalu bercengrama seperti ini,” balasnya dengan senyuman.“Tapi ini menyangkut keluarga besar kita.” Aku tertunduk takut menatap bagaimana ia meresponku setelah ini.“Tidak apa-apa, bicaralah, baik maupun buruk yang akan kamu sampaikan, takkan mengubah apapun dariku.”“Aku mau minta maaf karena semalam telah melampiaskan seluruh emosiku di pesta anak Hana.” Aku masih menunduk takut.“Lantas?” tanya
Jefri yang saat itu sedang menyambut tamu seketika menghentikan langkahnya saat melihatku membuka masker, “Kau ... kau, beraninya!Terlihat jelas di mataku, Jefri jatuh tersungkur memegangi dadanya sebelah kiri.“Bang!” teriak Hana histeris.Disusul oleh Pita yang masih berdiri tegang di pelaminan, iapun berlari menghampiri kedua orangtuanya.“Bang, bangun, bangun, Bang!” Tampak Hana begitu panik dengan keadaan suaminya. “Tolong, tolong, tolong!” Tak seorangpun tamu yang mau menolongnya. Aku berdiri tepat di depan mereka semua yang duduk bertumpukan lutut menantikan kepala keluarganya yang sedang terkena serangan jantung.“Kak, tolong suamiku, Kak, kumohon, tolong suamiku,” pintanya penuh harap.“Bu, untuk apa kita menolong orang yang udah sangat menghancurkan kehidupan kita, mending kita pergi aja dari sini!” celetuk Dewo lalu pergi meninggalkan suasana penuh kepanikan itu.Tetamu yang tadinya ramai kini berangsur-angsur berkurang hingga dalam hitungan menit kemudian, tak ada lagi or
Kulihat foto undangan itu, dan bertanya, “Pita? Ini undangan Pita, dia mau nikah besok?”“Iya, Bu, dia mau nikah besok.”“Terus kamu gak dianggap apa-apa lagi sama mereka, Bang?” tanyaku kesal.“Gak taulah, Dek. Aku udah gak peduli, mau dianggap abang atau gak, biarlah terserah mereka,” respon suamiku pasrah.“Gak, Bang! Besok aku akan datangi rumah Hana dan labrak mereka semua!” Entah apa yang tiba-tiba merasuk dalam jiwaku.“Bu!” tegur Dewo. “Aku ikut nemanin ibu.”Tak ada respon maupun larangan apa-apa dari Bang Haris atas niatku ini.***“Dek, aku berangkat ke kantor dulu, ya,” ucap Bang Haris yang tampaknya sedang terburu-buru.“Kok, pagi-pagi sekali berangkatnya, Bang?” tanyaku.“Iya, hari ini kami kedatangan tamu penting, makanya aku harus sampai di sana lebih dulu.”“Oh, iya, Bang,” balasku sambil menyiapkan sarapan pagi. “Bang, kamu gak sarapan di rumah dulu? Tapi nunggu lima belas menit lagi.”“Kayaknya udah gak sempat kalau harus nunggu lagi. Aku sarapan di luar aja, ya.”“
Hana, pun, mengeluh, “oh, Tuhan.”***“Apa? Keluargamu gak bisa datang, Bang?”TUTTUTSambungan telepon itupun mati. Tampaknya sengaja dimatikan oleh orang yang tadi berbincang panjang dengan Pita.“Pita, dengan siapa tadi kau bicara?” tanya Jefri saat ia hendak melangkahkan kaki ke luar dari kamarnya.Pita melalingkan wajahnya, berusaha menghindari pertanyaan itu dari bapaknya. “Dengan siapa tadi kau bertelponan?” sergah Jefri.“Dengan bang Josep, Pak.”“Lalu apa maksudnya keluarga pacarmu itu gak mau datang?”“Aku gak taulah, Pak!” ucapnya frustasi.“Terus mau ditaruh di mana nanti wajahku dan ibumu! Punya anak semuanya gak ada yang beres!” Pita hanya bisa menangis frustasi. “Terus darimana kau dapat uang tuk beli semua persiapan pestamu ini?”‘Astaga, aku harus jawab apa, kata ibu, aku harus rahasiakan ini dari bapak,’ batinnya.“Jawab!”“A ... aku, aku dapat pinjaman dari temanku, Pak,” ucapnya bual.“Siapa temanmu yang punya uang sebanyak ini? Terus bagaimana caramu nanti mengem