Home / Thriller / TEH ... AKU DI SINI / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of TEH ... AKU DI SINI: Chapter 11 - Chapter 20

46 Chapters

11. Curiga

Esoknya, Alina mengetuk pintu rumah. Alina memilih duduk sambil meminum air mineral yang ia bawa. Rika perlahan turun dari mobil melihat Alina tetap duduk di teras.”Ya Allah, Non. Kenapa baru pulang sekarang?” Rumini segera duduk di hadapan Alina yang terkejut. Matanya menyipit melihat sekeliling mata asisten rumah tangganya yang menghitam, seperti tidak tidur semalaman. ”Non Meli.” Rumini sudah berderai air mata, tubuhnya gemetar. ”Jangan tinggalin bibi sendirian, Non. Bibi takut di rumah.”Kemudian Rumini menceritakan perihal Melisa yang tertawa dengan kepala terbalik. Bahkan semalaman Rumini merasa diteror dan membuatnya tidak bisa tidur dengan baik. Alina menghembuskan napas, begitu juga Rika yang tak percaya atas apa yang ia dengar.”Apa adek lo punya kelainan, Lin? Maaf, kita nggak ngomong masalah hantu kan?” timpal Rika.Alina dan Rumini berpandangan. ”Bukan gitu, Rik. Dia aneh sejak pulang dari rumah Dipta seminggu yang lalu.””Bukan kita doang, Non, yang bilang non Meli an
Read more

12. Ular Weling

Alina hanya bergeming menatap nanar pada Yosua. Bagaimana bisa lelaki lajang di hadapannya berkata seperti itu, sedangkan beberapa kali Alina melewati tangga, tapi Melisa tidak ada di tempat yang Yosua katakan? Bahkan, pintu kamarnya pun tertutup rapat. ”Dia bukan adik ibu yang saya kenal.” Yosua berbicara lagi dengan nada yang lebih rendah sambil menunduk. Lelaki itu bangkit meninggalkan Alina, saat Rika mencolek lengan bosnya itu, menyuruhnya untuk menunaikan shalat Isya.Beberapa karyawan yang seiman mulai ada di tempatnya untuk melaksanakan shalat. Alina menatap nanar mukenah yang dibawa Rumini, betapa sangat lama ia tidak menyentuh kain halus itu. Tanpa ragu, Alina mengambilnya dari tangan Rumini dan mengambil tempat di samping Rika.Sepanjang shalat, bau terbakar tercium begitu pekat bercampur aroma bunga sedap malam. Rika merasakan perubahan kamboja ke bunga sedap malam dengan perasaan aneh. Hal seperti ini pernah ia rasakan di rumah masa kecilnya, dulu. Di mana pamannya baru
Read more

13. Petak Umpet Melisa

Denting piano yang mengalun lembut memasuki gendang telinga Alina, membuat matanya mulai mengerjap karena memang wanita cantik itu tengah tidur. Alunan lembut yang memasuki telinga, disertai lagu yang sangat ia kenal.Lagu itu akan dinyanyikan oleh Melisa saat mengajaknya petak umpet, dan dia selalu berhasil menemukannya. Mata Alina memandangi karyawati nya yang memang sudah berjejer tidur dengan rapi. Sedangkan dentingan piano itu berasal dari lorong khusus alat musik berada. Ya, di lantai bawah.Ia melirik jam dinding dan menunjukkan pukul 2 dini hari. Di luar tengah hujan lebat, Alina kembali duduk tak ingin mendengarkan bunyi tuts piano, akan tetapi telinganya berkhianat dan masih bisa merangkap bunyi meski ia bersembunyi di balik bantal.-Aku tahu kamu bisa mendengarku Buka pintunyaAku hanya ingin bermain sedikit-Lagu yang sama dinyanyikan secara berulang. Ada yang berbeda saat Alina mendengarnya, tengkuknya meremang mendengarkan nada rendah nyanyian adiknya. Namun, dalam di
Read more

14. Kuburan Massal

Kucuran keringat sudah membasahi lipatan tubuh Alina, tak terkecuali pelipis. Bahkan kepalanya sudah terasa panas dingin akibat keringat yang terus saja keluar. Petak umpet ini terasa seperti uji nyali, pikirnya. Membuat Alina selalu menerka-nerka dengan jantung berdebar, kapan adiknya akan menemukan keberadaan dirinya.Alina bersembunyi di ruangan kosong berisi beberapa barang masa kecilnya yang ia ambil saat akan keluar dari rumah mendiang ayahnya. Untuk mengabaikan resah di hati, Alina menyambar satu pigura yang berisi gambar dirinya dan sang ibu yang tengah tersenyum melihat ke arah kamera. Itu adalah foto saat pertama kali Alina merasakan piknik di taman.Matanya memanas memandang senyum ibunya. Sampai saat ini, Laura -- sang ibu -- masih belum ia ketahui dimana keberadaannya. Rasa rindu, benci dan sayang bercampur menjadi satu. Alina menekan dadanya yang terasa sesak, tenggorokan pun tercekat. Matanya mulai buram karena kaca-kaca yang rapuh itu mulai pecah, mengalir ke pipi memb
Read more

15. Menggali Gundukan

Mengatur napas karena baru saja terbangun dari mimpi yang sangat nyata, Alina duduk sambil memegangi kepala dan memandang sekeliling kamar, mencari keberadaan Rika dan karyawatinya. Pintu kamar mandi terbuka, Alina menoleh.”Rik, lo semalem maen petak umpet sama adek gue juga kan?”Rika yang tengah mengeringkan rambut melemparkan pandangan heran. ”Ngigo, lo? Kalo bangun tu langsung cuci muka.”Alina kembali merebahkan badan dan menatap langit-langit. Otaknya berpikir keras, berusaha menyangkal jika yang ia alami adalah mimpi. Alina kembali duduk, menatap ragu ke arah pintu. Pikirannya menyuruh untuk menghampiri Melisa di kamar dan menanyakannya langsung, akan tetapi, pikirannya yang lain berkata agar dirinya ke rumah Dipta.Kali ini, agaknya Alina memilih menuruti kata hatinya dulu untuk mencoba menemui Melisa di kamar. Alina bergegas keluar meninggalkan Rika yang memandangnya heran. Ketukan demi ketukan sudah Alina lakukan, akan tetapi, Melisa belum memberikan tanda pintu akan dibuka
Read more

16. Pengakuan

Tidak bisa berpikir apa-apa lagi, Alina memilih kembali ke rumahnya untuk menemui Melisa, apa pun yang terjadi. Di dalam mobil, Alina hanya diam sambil memandangi jalanan yang macet. Rika hanya diam karena sejujurnya dirinya masih syok atas deretan minuman seperti pengganti nisan. Menimbang-nimbang untuk memberitahu sahabatnya, tapi Rika berpikir lagi untuk tidak membicarakannya sekarang.Setengah jam terjebak macet, mobil Rika bisa kembali meluncur di jalanan hingga sampai di rumah. Tanpa berkata-kata, Alina segera membuka pintu untuk mencari di mana Melisa berada.”Mana Melisa, Bi?” Rumini yang akan menaruh gelas kotor ke wastafel dicegat olehnya.”Di kamar kayaknya, Non.”Alina menaiki tangga. Rika dan Rumini berpandangan, dan memilih mengendap mengikuti Alina.Brak!Pintu terbuka, meski Alina merasa takut, ia akan coba tepis karena ini adalah masalah serius. Berbagai kejanggalan yang ia rasakan sudah tidak bisa dimaklumi lagi. Kamboja, pohon bambu, Dipta. Semuanya Alina ingin men
Read more

17. Ketakutan Dipta

Bagian yang masih tersisa dari pembusukan jasad Melisa dibawa ke dalam truk yang ditimbun dengan barang-barang rumah. Dipta beralibi seperti akan pindahan, agar, jika iya bertemu dengan polisi pun tidak ada yang curiga. Semuanya sudah diperhitungkan secara matang.Clara menunggu di dekat pintu truk dengan perasaan tak menentu. Dipta masih belum keluar dari kamar, padahal sudah satu jam berlalu dan semua barang sudah dimuat. Ya, alih-alih untuk menyembunyikan peti berisi jasad Melisa, Clara dan Dipta memang berniat pergi dari kediaman yang sekarang.Semua anak buah Dipta sudah berdiri menunggu Dipta yang baru saja keluar menuruni anak tangga tak begitu tinggi. Sementara, Dipta memandangi rumah hasil kerja keras kedua orang tuanya ini dengan tatapan sendu. ”Rumahnya nggak dijual aja, Bos?” tanya Riko.”Nggak. Kalau dijual, gue harus ninggalin jejak nomor telepon.” Dipta menuju mobil merah kesayangannya, dan menggamit lengan Clara, tapi ditepis begitu saja oleh gadis bermata tajam itu.
Read more

18. Ardan

Pukul 2 dini hari, Ardan masih duduk di balkon kamar tamu tanpa rasa kantuk sedikit pun. Kasus Melisa sudah ditutup karena ia sudah mencabut laporan, meski di sisi lain hatinya mengatakan agar tidak mencabutnya. Ada sesuatu yang janggal Ardan rasakan.Alina sudah tidur beberapa jam lalu ditemani oleh Rika yang juga masih menginap di rumah, sedangkan semua karyawan cafe sudah kembali ke tempatnya semula. Kepalanya ia sangga dengan tangan kanan dalam posisi miring menghadap halaman belakang. Taman kecil dengan kolam renang tak begitu luas dapat terlihat dari sini. Samar-samar, Ardan mendengar bunyi kecipak air di kolam renang yang ia yakini kosong, akan tetapi ia tidak begitu menghiraukan. Kreek ...Ardan menoleh, karena sempat mendengar bunyi kursi bergeser. Masih menatap ke arah yang sama, kursi kayu di sampingnya kembali bergeser sekitar 5 centimeter mendekat ke arahnya.Ardan tertawa, karena rasa takut terhadap hantu adalah hal yang paling bodoh menurutnya. Ardan bangkit menuruni
Read more

19. Mbah Lanang

Clara terbangun karena mendengar sebuah pekikan Dipta di pagi buta seperti ini, bahkan suara barang pecah juga sangat mengganggu tidurnya. Clara merapatkan cardigan yang ia pakai karena semilir angin dari jendela terbuka membuatnya kedinginan. Gadis berperawakan kurus ini menemukan Dipta meringkuk di antara pintu kulkas yang terbuka, tangan lelaki yang ia cintai tengah menyibak udara kosong.”Jangan bunuh aku! Jangan!” Clara segera menghambur untuk memeluk Dipta yang bergetar ketakutan. Akhir-akhir ini kekasihnya itu kurang tidur dan kerap kali bermimpi buruk. Bahkan beberapa kali Dipta tidur sambil berjalan hampir menjatuhkan diri dari balkon.”Melisa! Melisa ada di sini, dia mau bu-bunuh aku,” racau Dipta.”Nggak ada, Dipta. Gue di sini.” Clara berbisik, mencoba memberi Dipta ketenangan dengan pelukan.Clara pun pernah bersitatap dengan Melisa di halaman belakang setelah pemakaman masal itu selesai. Wajahnya yang mengerikan dan tentu saja, hanya kalimat kematian yang muncul dari mu
Read more

20. Merasa Bersalah

Terasa bebannya terangkat, Dipta bersenandung mengelilingi rumah berniat untuk membuat api unggun sambil memanggang daging. Kayu-kayu kecil ia kumpulkan, ditemani Clara dan 7 anak buahnya. Sepulangnya dari rumah mbah Lanang, Dipta dan yang lain tidak mendapat semacam gangguan, bahkan wajah mengerikan Melisa sama sekali tak terlihat di sekeliling rumah. Dipta mengambil alih capitan daging dari tangan Clara yang tersenyum manis, Dipta mengecup pipinya yang merah karena blush on.”Bos, kenapa nggak dari awal aja kita ketemu mbah Lanang? Pasti Ijul dan yang lain nggak mati mengenaskan,” ujar Panji.”Gue juga nggak kepikiran,” sahut Clara.Semua tertawa terbahak-bahak menikmati senja yang menenangkan tanpa ada teror seperti yang sudah-sudah. Daging yang matang mulai dilahap oleh semuanya diganti lagi dengan potongan paprika dan udang yang sudah disusun sedemikian rupa dengan tusuk sate. ”Air dari mbah Lanang udah lu siram ke sekeliling rumah, Wo?” Panji bertanya pada rekannya. Jarwo berp
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status