All Chapters of Teka-Teki yang Disembunyikan Istriku: Chapter 31 - Chapter 40

44 Chapters

Bab 31

Lira tiba-tiba menyorotku sambil menautkan kedua alisnya, dagu dan bibirnya seraya menunjuk ke arah Bulek Marni. Ya, aku tahu maksudnya, dia pasti bertanya-tanya maksud Bulek Marni sebenarnya apa. Sebab, aku pun mempertanyakan hal itu. "Bulek, nggak usah repot-repot mengurus Ibu di sini. Ada aku yang bolak-balik ke sini. Bukankah Sekar lebih membutuhkan ibunya, ia pasca melahirkan, tentu butuh Bulek," sambung Lira. "Ya, Sekar kan sudah ada mertuanya. Jadi jangan takut dan khawatir lagi," jawab Bulek. Aku dan Lira terdiam. Sepertinya tidak ada lagi cara untuk mencegah dia di sini. "Kalau begitu, Tante ikut aku sekarang aja, karena dua jam lagi ada meeting, nanti Tante di apartemenku ya," cetus Anggi. "Oh tentu, nanti aku akan merapikan apartemen kamu, pasti berantakan," celetuk Bulek membuat Anggi terkekeh. "Tante tahu aja, kebetulan Bi Ayu lagi mudik," timpal Anggi. Aku menghela napas, berharap Bulek Marni tidak berbuat yang aneh dan memalukan di sana. Aku khawatir malah nama b
Read more

Bab 32

"Bu, memang Bulek Marni bicara apa?" tanyaku. Namun Lira melirik ke arahku dan menggelengkan kepalanya. Aku paham maksudnya, ia memintaku untuk stop bertanya-tanya. "I-ibu," ucapnya tapi langsung aku berhentikan dengan jari telunjuk. "Bu, istirahat dulu ya, biar bisa cepat pulih, jangan mikir keras dulu," cegahku. Kemudian, Lira membelai pipinya disertai senyuman merekah. "Ibu akan baik-baik aja, kami akan menjaga Ibu 24 jam penuh, supaya tidak timbul ketakutan lagi," ucap Lira supaya ibuku tenang. "Kita keluar ya, Bu. Nanti kita ada di situ." Aku menunjukkan kaca. "Sebentar lagi juga Ibu bakal pindah ke ruangan rawat inap. Biaya rumah sakit sudah ditanggung asuransi," sambar Lira. "Iya, Bu. Kita harus bersyukur karena dipertemukan orang baik, namanya Anggi, dia yang menanggung semuanya. Katanya sih wanita itu utang budi, tapi aku nggak ingat pernah nolong dia," ucapku mengatakan sejujurnya. Walaupun Anggi sudah menceritakan bagaimana pertemuan kami, tapi aku masih belum ingat
Read more

Bab 33

Mas Gani tiba-tiba melihatku yang agak sedikit terlihat dari celah pintu. "Itu, suamimu datang, bicara aja ke Adit langsung kalau kamu cemburu pada Anggi," jelas Mas Gani membuat Lira salah tingkah. "Siapa yang cemburu sih? Nggak, aku nggak cemburu, Mas Gani jangan ngada-ngada," jawab Lira dengan memasang wajah malu. "Sudahlah aku mau masuk, makasih bajunya," tambahnya kemudian pergi. Ia masuk ke dalam melewati aku yang berada di belakang pintu. Namun, Mas Gani masih berdiri di depan ruangan VVIP. "Ikhlas dengan tidak rela itu beda kan, Mas? Kenapa Lira tadi berkata seperti itu pada Mas Gani?" Rasa penasaran yang membuat pertanyaan itu terlontar dari mulut ini. "Ya, beda, tapi sama-sama diselimuti rasa cemburu, sadar nggak sih, Dit, Lira takut kehilangan kamu," timpal Mas Gani. Aku tertunduk sambil memandang kaki ini yang tak bisa melakukan aktivitas. "Yang seharusnya takut kehilangan itu aku, dengan kaki yang dibungkus dan tidak bisa melakukan aktivitas selama dua bulan, aku b
Read more

Bab 34

Aku coba bertanya pada Anggi saja, meskipun tak percaya dengan ucapan Bulek Marni sedikitpun. "Anggi. Apa yang dikatakan Bulek Marni itu bohong, kan?" Anggi menoleh ke arah Lira saat aku bertanya padanya. Kemudian, ia merogoh kantong, lalu mengeluarkan ponselnya. "Aku hanya memancing Tante Marni aja, Adit. Ternyata bulekmu ini licik," pungkas Anggi. Lira sontak menyorot Anggi, padahal tadi ia menundukkan kepalanya. Begitu juga dengan respon Bulek Marni yang mendengar penuturan Anggi. Mata Bulek Marni menyoroti Anggi begitu tajam, ia membasahi bibirnya, bahkan menggelengkan kepalanya. "Apa-apaan ini, Anggi? Sandiwara apa yang kalian buat? Apa ini rencana Lira?" Bulek tidak terima kenyataan, padahal ini hanya sebuah kesaksian Anggi yang ternyata berpihak pada kami. "Dengarlah semua yang kurekam di sini, Adit," ucap Anggi. "Dit, sini!" Ibu memanggilku. "Ibu mau dengar apa yang ingin dilakukan oleh Marni, kalau memang ia salah jebloskan aja ke penjara," tambah Ibu. Aku minta Lira
Read more

Bab 35

Kemudian, dokter mengutarakan hasil biopsi. Rona matanya bersinar ketika melihat hasilnya. Semoga saja ini adalah pertanda baik. "Ternyata tidak ada sel kanker, bagus, semuanya bagus," ucap dokter seketika membuat tangan Lira menggenggam tanganku. "Alhamdulillah, ini serius, Dok?" tanya Lira. "Jadi hasil yang kemarin salah, Dok?" tanya Lira lagi. "Bukan salah, lebih tepatnya kurang akurat, makanya saya menyarankan untuk melakukan biopsi, karena lebih akurat," terang dokter. Lira menautkan ke sepuluh jarinya, ia menghela napas panjang seraya tengah berdoa. "Dok, terima kasih atas kabar baik ini," celetukku. "Terima kasih pada Allah, ternyata telah mengangkat penyakit yang pernah diderita oleh Lira beberapa tahun silam," jawabnya. Aku mengajak Lira keluar ruangan, rasa bahagia membuat Lira mendorong kursi roda dengan penuh semangat. Ia menghentikan langkahnya di hadapan Mas Gani. Peluk cium ia lampiaskan sebagai ungkapan bahagia. Seharusnya hatiku ikut bahagia, tapi entah mengap
Read more

Bab 36

Aku jadi penasaran dengan apa yang kulihat dan dengar barusan. "Surat ini sudah tidak berlaku lagi, Anggi!" Lira bicara dengan dagu sedikit terangkat. "Nggak bisa gitu dong, Gani, tolong beritahu adikmu ini," suruh Anggi. Mas Gani terlihat melerai, tangannya ia bentangkan. "Cukup. Kalian semua diam, dengarkan saya bicara!" Mas Gani menghentikan pertengkaran mereka. Aku meneliti tidak jauh dari mereka, tapi tidak terlalu dekat juga dengan tempat perdebatan istriku dan Anggi. Posisi kami jaraknya sekitar lima meter. "Dengar Anggi. Perjanjian ini bisa diputuskan sewaktu-waktu, lagian kan kamu tidak rugi," ucap Mas Gani. Aku semakin penasaran dengan apa yang mereka perdebatkan. "Nggak rugi kamu bilang, waktu dan tenaga sudah cukup menguras," jawab Anggi. Lira tampak menunjukkan kemarahan, jari telunjuk ia arahkan pada Anggi. "Kamu itu dibayar, Anggi, jadi tidak rugi ya." Lira melotot saat mengatakan itu. "Ya, dibayar atas pekerjaan," jawab Anggi. "Pekerjaan yang sangat ekstrim,
Read more

Bab 37

"Bulek emang sempat ke sini, tapi sekarang sudah tidak ada," sahutku lagi. "Mas, Sekar kepleset, Mas, tadi istri keduaku tak sengaja menumpahkan minyak, sekarang Sekar ada di rumah sakit," ucap Tri seketika mengingat kejadian delapan bulan silam, dimana Bulek Marni mengabarkanku bahwa Bapak terpeleset. "Ya Allah, terus gimana kondisi Sekar? Gimana ya, coba nanti aku hubungi Bulek Marni juga dan cari tahu keberadaannya," timpalku. "Sekar pasca melahirkan, Mas, dokter bilang hanya keajaiban yang dapat membuat Sekar bertahan.""Apa jangan-jangan istri keduamu itu sengaja, Tri? Maaf ya bukan nuduh," kataku seadanya. "Dia bilang nggak sengaja, Mas," sahut Tri. "Lantas kamu percaya, bukankah kamu adalah salah satu saksi juga sewaktu Bulek Marni menumpahkan minyak dan membuat bapakku meninggal dunia?" tanyaku balik. Tri terdiam beberapa detik. "Astaga, Mas, apa mungkin tuduhan itu kini berbalik padaku?" "Maksud kamu apa? Kok tuduhan?" tanya Tri. "Waktu itu aku sempat nuduh Bu Marni j
Read more

Bab 38

"Mas, aku mohon jangan matikan sambungan teleponnya, aku ingin dengar percakapan kalian," pintaku. "Ya, Dit. Tapi aku urus Anggi dan Bu Marni dulu," jawab Mas Gani. Kemudian, aku dengar Lira langsung memanggil putriku. "Andara!" Teriakan Lira terdengar sangat panik. "Bulek, sudah apakan Andara?" tanya Lira kedengaran marah. "Bulek nggak apa-apain Andara, aku hanya ingin berbuat baik, menebus kesalahan yang pernah kulakukan," jawabnya. "Bohong! Bukankah Tante tadi ingin mencekik anaknya Lira dan Adit?" Itu suara Anggi, aku tahu karena pernah ditelepon olehnya. "Apa-apaan kamu, Anggi? Kamu jangan fitnah orang!" Bulek menyanggah tuduhan yang Anggi lontarkan. Aku hanya bisa menghela napas di sini, merasa jadi orang yang tak berguna sama sekali, tidak bisa melakukan apa-apa di atas kursi roda. Ibu menarik tanganku, begitu juga dengan kedua mertuaku yang ikut merangkul bahu ini. "Jangan cemas dan risau, di sana ada Lira dan Gani," pesan mertuaku. Aku dengarkan lagi ponsel genggam
Read more

Bab 39

"Sekar, kenapa kamu tanya seperti itu pada Ibu? Jangan memperkeruh keadaan Ibu di sini," sanggah Bulek Marni. Kemudian telepon malah diputuskan oleh Sekar.Bulek Marni terlihat kaku, matanya berputar lalu dibuang ke sembarang tempat. Aku menangkap wajahnya yang tiba-tiba memucat. "Bulek baik-baik saja?" tanyaku padanya. Bulek menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lalu meluruhkan tubuhnya ke lantai. Ia duduk setengah jongkok. Kemudian menangis sesegukan. Erangan tangisan semakin keras, Bulek Marni mulai memukuli kepalanya sendiri. Hingga ia terduduk di lantai, kepalanya ia sentuhkan di keramik putih rumah sakit. Aku menyorotnya, lalu menoleh ke arah Ibu. Dia memberikan perintah dengan bahasa isyarat. Dagu Ibu diangkat seraya memintaku membantu adiknya berdiri. Aku ulurkan tangan ini ke arah Bulek Marni, dia menoleh dengan dipenuhi air mata yang mengalir deras di pipinya. "Kenapa mau bantu Bulek berdiri?" tanya Bulek Marni. "Orang yang sudah terjatuh butuh uluran tangan o
Read more

Bab 40

Anggi terkekeh melihat nanar ke arah Bulek Marni. Ia menyoroti dengan tatapan sinis. "Nggak usah sok jadi pahlawan, Tante. Aku tahu keburukan Tante Marni kok, eh Bulek Marni ya sebutnya?" Gelak tawa Anggi seakan mengejek Bulek Marni. "Kamu ini memfitnah saya, kenapa masih tidak mengaku?" Nada bicara Bulek sudah meninggi. "Alah, sudah deh, jangan ikut campur, urusanku saat ini dengan Lira, bukan dengan Anda!" Tangan Anggi menunjukkan ancaman. Pisau yang sudah siap melayang pun hampir ia tancapkan ke arah Lira. Namun, tangan Bulek Marni berhasil menahannya. Ya, Bulek Marni menahan dengan telapak tangannya sendiri hingga berdarah. "Bulek, itu menyakiti diri Bulek sendiri!" teriak Lira saat darah segar keluar dari telapak tangan Bulek Marni. "Lepasin!" teriak Anggi tetap mencoba mendorongnya. Namun, Bulek Marni berhasil menyingkirkan pisau itu dari genggaman Anggi, akibatnya ia terjatuh bersama pisau yang sudah berceceran darah. Aku memang tidak berdaya, di sisi lain melihat Mas Gan
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status