Home / Pernikahan / Istri Status Pembantu / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Istri Status Pembantu: Chapter 11 - Chapter 20

43 Chapters

Bab 11 : Cause I'm Yours

“Ya, anggap aja, Mbak Cinderella-nya.”Cinderella apaan, Zein? Lagian mana ada Cinderella yang dinikah siri, mana punya madu lagi.Tidak mau semakin malu, kuinjak kaki anak itu sambil melotot memberi isyarat agar dia diam. Dia cuman meringis merintih padaku yang sama sekali tidak kupedulikan. Walau nyatanya hati sakit penuh lebam, mata ini tetap beralih ke podium. Rasanya macam memakan buah simalakama. Meladeni Zein bikin sakit kepala, memilih menyimak acara malah menambah sakit hati.Napasku terhela pelan akhirnya. Mencoba tegar di tengah rapuhnya atma.Di depan sana, Mas Zaid tampak mengenggam satu tangan Andine. Wajah pria itu memang datar-datar saja, tapi segaris senyum tipis dan tatapan matanya yang tak berpaling sedikit pun dari wajah sang istri sudah cukup menggambarkan bahwa betapa laki-laki itu menganggumi istri sahnya itu.When you hold me in the streetAlunan musik mengiringi suara merdu yang nyaris membuatku menjatuhkan bening kristal. Gegas aku mendongak, mengepalkan ta
Read more

Bab 12 : Aku Ini Istri Sah!

Sudah bolak-balik aku mengecek handphone, tapi tidak ada pesan atau telepon seperti yang kuharapkan. Paling tidak ada sebait kata maaf dari laki-laki yang membuat malam ini kelam. “Kenapa coba pake segala ngarepin dia telepon? Udah, deh, Reen sadar diri! Ini, kan, malam pengantin mereka.” Mengucapkan kalimat terakhir serasa aku ingin mengoyak lidahku sendiri. Tak sadar menyentak kaki, aku berbalik hendak meninggalkan jendela kamar berharap kali ini bisa tidur setelah hampir empat jam mencoba malah selalu berakhir gelisah. “Mas?!” Baru juga berhenti mengharapkannya, ini orang sudah berdiri di antara remangnya lampu. Dengan sok gagah bersedekap di depanku. “Nga–Ngapain di kamar saya, ya, Pak? Ini udah tengah malem, entar istri bapak nyariin.” Meski getir enggan menyebut status wanita lain yang kini sah untuk suami sendiri, tapi apa dayaku memang? Dalam diam dia mendekat perlahan. Duh, ini orang bikin bulu kudukku merinding, kan. “Ma–Mau apa sih, Pak?” Tanganku terulur malah t
Read more

Bab 13 : Tolong Jangan Buat Aku Bimbang

“Ciee ... keramas masih pagi.” Sebelum nasi yang masuk ke perut seperti biasanya, pagi ini aku lebih dulu sarapan dengan berbagai macam godaan dan siul-siulan Bu Mareta. Para geng ART—alias ke tiga pembantu muda—tidak ketinggalan menghangatkan ruang makan pagi ini. Saking hangatnya aku merasa ada bau gosong dari dadaku. “Otw punya cucu, nih, mama!” sahut Bu Mareta lagi. Senang bener kayaknya beliau ini. Iya, Bu sebentar lagi, Ibu akan dapat cucu. Namun, sayangnya dari rahim saya sendiri. Andai aku cukup berani bilang begitu, kira-kira apa yang akan terjadi? Ditendang dari rumah ini atau seret ke liling komplek dan diteriaki wanita tidak benar. Kira-kira opsi mana yang lebih berpotensi? Selesai menata makanan dan menyendokkan lauk pauk ke piring Zein dan Bu Mareta, aku berlalu dari sana. Rasanya mual walau hanya sekadar melirik wajah lelaki yang katanya pagi ini habis keramas. “Yang sabar ya, Dek. Nanti ada waktunya kita hajar ayah kamu bareng-bareng,” monologku sambil mengusap
Read more

Bab 14 : Berhenti Saja, Boleh?

“Siapa, Mbak?” Pertanyaan sederhana yang nyatanya membuat napasku tercekat. Kerongkongan mendadak kering walau hanya sekadar menjawab pertanyaan Zein. “Mbak, aku nanya, loh!” Aku terperanjat padahal jelas-jelas pria remaja itu hanya menegaskan nadanya, tidak sampai membentak. “Oke, maaf. Mungkin aku berlebihan, lagian ini juga urusan, Mbak bukan ranahku buat ikut campur. Maaf udah bikin, Mbak kaget tadi.” Anak itu menghela napas sebentar. Sambil berkacak pinggang, dia sedikit memutar tubuh agak membelakangiku. Sementara aku? Memilin ujung selimut sambil meliriknya diam-diam. Jika dipikir-pikir harusnya aku tidak takut padanya, tapi yang terjadi malah sebaliknya. “Tapi, Mbak! Ah, maaf.” Anak itu lagi-lagi membuatku terlonjak. Lalu terdengar helaan napas darinya. “Aku bener-bener enggak habis pikir loh, Mbak. Aku percaya dan sampe sekarang aku masih mau percaya kalo, Mbak itu perempuan baik-baik. Enggak mungkin, Mbak ... Mbak hamil di luar nikah. Itu enggak ada di persepsiku ten
Read more

Bab 15 : Tanah Hujan

Nyatanya kata 'tidak apa-apa' terlalu menyakitkan untuk diucap. Hati sulit selaras saat justru harapan yang dirapal. Tadinya aku kira Pak Zaid akan berbaik hati mengantar pembantunya ini sampai mobil meninggalkan pekarangan rumah, tapi yang kudapat dia dan istrinya malah berbalik masuk ke rumah usai mengantarku dan Zein sampai pintu depan.Untuk ukuran seorang pembantu biasa, aku memang terlalu banyak maunya.Ck, kesel sendiri lama-lama dengan hati yang labil begini.“Udah kali, Mbak ngeliatin rumahnya kayak kita enggak mo balik aja.”Aku mendelik melirik Zein yang dengan santai menarik tuas persneling hingga mobil perlahan melaju meninggalkan rumah besar kediaman Tuan Zaid. Zein ini walau agak rese, tapi perannya sangat membantu untukku dan ponakannya yang masih bersemayam dalam perut.Masih pukul lima pagi tadi, Zein bahkan sudah muncul dengan mobil untuk menjemputku. Kurang Masha Alah apalagi coba anak ini?“Aku hanya bisa nginap semalam aja ya, Mbak soalnya lusa udah mulai masuk k
Read more

Bab 16 : Pak Zaid Gabut

Wajahku masih tertekuk menatap wajah tenang Pak Zaid. Bak tak ada dosa, dia duduk bersandar di ranjang sambil bermain handphone. Semalam aku masih tidur bareng Bibi, tapi karena kehadiran lelaki itu membuat kami diberikan kamar milik Agung untuk ditempati. “Bapak, ini maksudnya apa coba?! Sengaja ya, mau bikin aku kena masalah?!” Akhirnya keluar juga semua kesal di hati. Sudah satu jam lalu aku dongkol pada lelaki itu. Baru sekarang punya kesempatan mengeluarkan uneg-uneg dan kesempatan ini tidak akan aku sia-siakan. Kalau perlu aku ngamuk juga hadapin ketenangan di wajah kelewat ganteng itu. “Emang kamu ngerasa gitu?” Apa-apaan itu?! Dengan satu alis terangkat dan kedua lengan dilipat di dada berlagak sok cool, dia seolah tidak sadar kalau beberapa menit yang lalu nyaris membuatku diusir oleh Bibi. Setelah dia membeberkan fakta status kami, Bibi langsung syok dan memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Beruntung setidaknya lelaki itu tidak lari dari tanggung jawab. Pak
Read more

Bab 17 : A'a

Kutatap lamat-lamat wajah itu, rasanya lidahku hambar menyentuh mi yang masih mengepulkan asapnya. Pesan dari Andeen masih berputar di kepala seolah menggorogoti seluruh rasa penasaranku. “Kenapa?” Suara bariton Pak Zaid menyentakku dari lamunan. Lelaki itu mengangkat satu alis seraya melirik ke arah mangkuk mi yang sejak tadi ternyata hanya kuaduk tanpa memakannya. Menghela napas pelan, perlahan kudorong sedikit ke depan mangkuk yang isinya masih utuh. “Enggak selera,” komentarku seraya menggeleng. Pria dengan alis tebal memayung itu mendengkus sebelum berdiri pergi ke kamar. Melihat tingkahnya membuat perasaan bersalah menyerangku. Menatap nanar dua mangkuk mi yang belum tersentuh, perlahan aku meraih kembali mangkuk mi yang sudah susah payah dimasak sama Pak Zaid. Baru sesendok mi dan kuah kucicipi, lengan sudah dicekal saat satu sendok lagi hendak kembali masuk ke mulut. Sontak aku mendongak, mengernyit mendapati Pak Zaid sudah berdiri di samping dengan celana pendeknya te
Read more

Bab 18 : Zaidan si Pendendam

Aku tidak tahu apa masalah lelaki itu. Dari pagi diam dan memilih menyendiri di kamar, hanya beranjak saat azan berkumandang atau ketika dipanggil makan. Awalnya aku tidak mau ambil pusing. Lagian hampir seharian juga aku sibuk membantu di rumah Bibi dan baru kembali lagi saat Magrib tadi. “Pak!” Kucoba beranikan diri memulai obrolan dengan Pak Zaid. Laki-laki dengan celana selutut dan kaos hitam itu bergumam. Tatapannya masih lurus, fokus, melotot malah ke HP-nya. Pengen aku banting saja itu barang. Gemas juga lama-lama. “Mas Zaidan!” Kali ini bukan hanya Pak Zaid yang tersentak, tapi aku juga. Berdeham sebentar, kucoba menurunkan volume suara. “Bapak enggak mendadak budeg, 'kan? Aku manggil loh, dari tadi!” Pria itu berdecak, lalu pandangannya kembali ke handphone. Jadi aku beneran dicuekin, nih? Satu alisku benar-benar terangkat. Ini salahku di mana, sih? Tiba-tiba saja dimusuhi begini. Perasaan kami baik-baik saja tadi pagi, bahkan sempat bekerja sama membersihkan rumah, per
Read more

Bab 19 Drama Rumah Tangga Orang

“Mas ... Andine hamil?”Lelaki itu menatapku datar, entah bagian mana dari pertanyaanku yang mengundang masamnya wajah itu.“Kenapa tanya begitu? Itu bukuran urusanmu.”Harusnya aku sudah bisa menerka dengan jawaban lelaki itu. Namun, bukan hanya di luar ekspetasi, tapi ucapannya sukses membuatku tertampar.Kayaknya memang aku harus lebih belajar lagi buat tahu diri.Perlahan aku bergerak pelan, keluar dari dekapannya yang menyisakan rasa tidak rela di hati. Agak ngeri melihat ruangan yang gelap ditemani bising hujan, kuputuskan memejamkan mata usai berbalik memunggungi pria itu.Aku capek, entah bagaimana rasanya badan ini dua kali lebih lelah dan itu baru terasa usai melepaskan diri dari pelukan Pak Zaid. “Maaf ya, Pak udah lancang,” lirihku pelan sebelum berusaha masuk ke alam mimpi.***Acara tujuh malamnya almarhum Paman dihadiri banyak tetangga dan keluarga besar dari Bibi dan Paman. Tahlilan kali ini agak dibuat besar membuatku dan para tetangga yang datang membantu bekerja cu
Read more

Bab 20 : Bertaruh Nyawa

Pagi-pagi alisku sudah dibuat mengernyit melihat senyum Agung yang kelewat lebar. Tumben-tumbennya itu anak pasang muka seramah itu. Biasanya juga kalau bukan senyum sekilas saat berpapsan denganku, dia paling mengangguk sopan.Tidak mau ambil pusing, aku menggeleng pelan melanjutkan langkah menuju dapur. Namun, saat berada dekat dengannya kaki dibuat terhenti mendadak kala mendengar bisikan anak itu.“Cie ... yang keramas pagi-pagi.”Lah, anehnya di mana coba keramas pagi-pagi? Ini aku sudah hampir tiga hari tidak keramas dan kemarin tidak sempat padahal kepala keringetan pas bantuin masak di acara tahlilan.“Apa, sih, Gung! Enggak jelas kamu!” cebikku sambil lalu.Anak itu cuman cekikikan, lalu melenggang dengan handuk di pundak. Beberapa saat aku memeperhatikan gelagatnya saat berpapasan dengan Pak Zaid yang baru keluar dari kamar mandi. Remaja yang hanya memakai celana bola selutut itu melempar senyum dengan alis naik-turun pada Pak Zaid.“Seger ya, Kang keramas pagi-pagi?” katan
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status