“Coba ke toko yang itu, yuk!” Zein pasrah, ya, emang harus pasrah. Dari tadi lengan bajunya kutarik sana-sini. Mulai dari tokoh sepatu, pakaian, sampai kini jam tangan sudah kami masuki. Namun, belum ada sesuatu yang benar-benar bisa menarik perhatianku. Aku pikir, Pak Zaid terlalu berduit buat beli semua barang-barang itu. Jadi bingung sendiri aku membelikan kado apa kira-kira yang bagus untuknya. “Mbak, sebenernya nyari apaan, sih?!” Suara ketus dari pemuda si sebelahku kubalas delikan balik. “Diem aja kenapa, sih?! Kok, bawal banget!” semprotku jengkel juga lama-lama. “Ya, aku capek loh, Mbak doseret-seret dari tadi!” keluhnya yang tiba-tiba bikin telinga panas. “Oh, jadi enggak ikhlas bantuin mbak? Ya, udah gih, pulang aja. Mbak bisa naik taksi kok, pulangnya!” suruhku sambil lalu memasuki tokoh tas. Barangkali bisa menemukan sesuatu buat, Pak Zaid. Tas pria atau dompet, mungkin? “Kalo emang enggak niat, ngapain sih, pake nawarin diri segala.” Aku masih mendumel kecil ketika
Baca selengkapnya