Home / Urban / Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak: Chapter 21 - Chapter 30

64 Chapters

Dua puluh satu

Aku masih di dapur saat dua kakak ipar itu mengerubungi ibu layaknya gula dan semut. Hm, ternyata peribahasa ada gula ada semut itu memang benar adanya. Selama ini mereka tidak pernah mau mendekati ibu, tetapi begitu tahu ibu akan menerima uang dalam jumlah yang lumayan mereka datang tanpa diminta. "Bu, sebenarnya bapak itu PNS golongan berapa, sih?" Aku masih mendengar pertanyaan Mbak Vita. Aku tidak jadi melanjutkan masak dan lebih memilih mencuci pakaian dulu karena ibu sudah makan. Tentu saja pakaianku sendiri karena milik ibu saat ini sedang menjadi incaran para menantu. Tuh, kan, saling perhatiannya sama bapak, mereka tidak tahu mertuanya golongan berapa. "Memangnya kenapa kamu bertanya seperti itu, Vit?" tanya ibu. "Ya, siapa tahu golongan bapak sudah tinggi. Soalnya semakin tunggi golongan, uang yang akan kita dapatkan juga semakin banyak, kan, karena sebesar tiga kali gaji terakhir. Wah, sudah ada berapa duit itu?" Mbak Vita bersemangat. "Benar, Vit, ibu akan mendapatka
Read more

Dua puluh dua

Mbak Sindi mengamati dengan seksama benda besar segi empat ini lalu kembali tersenyum. "Memang, kita harus sedikit berkorban untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar. Ubay beli mesin cuci yang harganya tidak seberapa, tetapi menginginkan sesuatu yang lebih besar. Ibarat memancing yang butuh umpan agar mendapatkan ikan," Mas Ubay yang tidak tahu apa-apa hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Mancing apa, sih, Mbak. Aku tulus ingin meringankan pekerjaan Ibu lagi pula istriku juga ada di sini. Tuh lihat! Tangannya jadi sedikit agak kasar karena setiap hati harus mencuci manual." Mas Ubay meraih telapak tanganku yang membut aku nyengir, masa iya tanganku dibilang kasar hanya gara-gara mencuci? Ada-ada saja suamiku ini. Mbak Sindi dan Mbak Vita tertawa bersamaan. "Tangan Asty kasar itu memang sudah sejak dulu, bahkan mungkin sejak lahir memang seperti itu. Memangnya di kota nggak pernah mencuci apa? Sok-sokan bilang kalau tangan menjadi kasar. Apa kabar denganku yang setiap hat
Read more

Dua puluh tiga

Mbak Vita mendekati ibu, aku sudah siap siaga jika terjadi hal yang tidak diinginkan. Iya, seseorang jika sudah emosi bisa melakukan hal nekat, bahkan di luar nalar. Aku mengurut dada perlahan saat Mbak Vita tersenyum pada ibu dan mengusap kedua pundaknya. "Bukankah Ibu kemarin sudah bilang kalau uang asuransi itu cair akan dibagi rata? Kenapa sekarang berubah? Jangan bilang kalau Ibu berubah karena kedatangan Ubay yang yang sudah membawakan mesin cuci itu? Dengar, ya, Bu, harga mesin cuci ini hanya sepersekian persen dari uang Ibu dapat ini!" Aku mendengkus, Lagi-lagi ia bawa-bawa mesin cuci. "Vita, dengerin Ibu dulu. Ibu tidak pernah bilang kalau uang itu untuk ibu sendiri, tetapi ini atas kemauan Karim bukan ibu," jawab Ibu. "Benar, Mbak. Ibu bahkan belum bicara apa-apa. Duduk dulu, Mbak. Biar bisa bicara dengan kepala dingin," ucapku. Bukannya duduk seperti permintaanku, Mbak Vita malah melotot dan sorot matanya seolah menunjukkan kalau ia memang sangat membenciku, entah di m
Read more

Dua puluh empat

Ibu menatapku sendu dan seolah tidak ingin melepas kepergian anak perempuannya ini. Kejadian ini sama persis saat aku baru saja menikah dan Mas Ubay minta izin untuk memboyongku ikut tinggal dengannya. "Titip putri kami, Nak. Jaga dia baik-baik. Semoga kalian selalu bahagia di manapun kalian berada." Bapak menepuk pundak Mas Ubay waktu itu. Ibu memelukku erat dengan air mata berlinang. Aku sudah terbiasa jauh dengan orang tua, tetapi selama ini bekerja dan kali ini aku akan menghabiskan waktu bersama orang lain yang kini sudah sah menjadi suami. Kalau dulu ibu yang nangis tetapi sekarang aku yang nggak bisa membendung air mata ini. "Sudah, nggak usah nangis, jelek nanti. Sebentar lagi juga akan ke sini, kan?" Ibu melepas pelukanku dan mengusap kedua pipiku. "Yakin, Ibu mau kutinggal?" tanyaku untuk meyakinkan sekali lagi. "Iya, As. Suamimu lebih berhak atasmu sekarang dari pada Ibu. Berbaktilah padanya dan jangan sampai membuatnya kecewa karena surgamu kini ada di tangannya." I
Read more

Dua puluh lima

Aku tetap masuk ke dalam mobil meski melihat akan ada keributan besar di rumah kakakku itu. Bukan karena aku tidak peduli, tetapi Mbak Vita pasti akan marah jika aku aku ikut campur urusan pribadinya. "Kamu bukan siapa-siapa, As, nggak usah ikut campur." "Diamlah, ini urusanku!"Kata-kata itu yang ia lontarkan waktu itu padahal aku hanya mengingatkan agar tidak memarahi dan mencubit anaknya. Jadi, demi keamanan, kali ini lebih baik aku pulang saja. Bukan hanya pamit pada Mbak Vita dan Mbak Sindi, aku juga pamit pada Rida. Sungguh diluar dugaan, wanita yang sudah menjadi janda itu berjanji akan sering datang ke rumah ibu. Yang tidak ada embel-embel menantu saja dengan senang hati mau datang sedangkan menantu malah ogah-ogahan. "Kenapa, Dek? Kok nggak ceria gitu?" tanya Mas Ubay seraya melambatkan laju mobil kami. Tadi ia memang hanya menunggu di dalam mobil dan memintaku datang sendiri menemui Mbak Vita. Hm, pintar sekali dia, menyuruh istrinya menemui seseorang yang sudah pasti bi
Read more

Dua puluh enam

"Kamu ini kenapa, sih, Dek? Dari tadi terlihat gelisah? Jangan bilang kalau masih kepikiran dengan Mbak Vita yang punya apel digigit dari uang asuransi itu," ucap Mas Ubay. Sudah seminggu aku sampai di kota dan sekali pun aku belum tahu kabar ibu. Semoga ia baik-baik saja. Mas Ubay memelukku dari belakang lalu membalik tubuhku hingga sekarang kami saling berhadapan."Enggak, Mas. Aku teringat terus sama ibu. Beberapa waktu yang lalu, aku yang mengambilkan makan dan mengingatkan untuk minum obat, tetapi sekarang siapa yang akan mengurus ibu," ucapku lirih. Sejak berangkat hingga sampai di rumah, rasa gelisah ini belum juga pergi. Aku masih kepikiran dengan ibu. Saat makan ingat ibu, mau mandi ingat ibu, apakah sudah ada yang menyiapkan air hangat atau belum. Ya, setiap mandi harus selalu pakai air hangat karena tempat tinggal ibu yang ada di daerah pegunungan apalagi air hangat juga harus dijerang di atas kompor bukan seperti di rumah ini yang sudah ada shower sehingga tinggal pilih
Read more

Dua puluh tujuh

Rasa gelisah yang kurasakan saat ini lebih parah dari pada tadi saat mereka tidak mau mengangkat teleponku. Buat apa Mbak Vita telepon kalau pada akhirnya tidak mau video call. Aku hanya ingin mendengar dan melihat ibu untuk memastikan kalau ibu baik-baik saja. Apakah aku lebay jika saat ini begitu mengkhawatirkannya?Ponselku kembali berdering, tetapi aku sudah malas untuk mengangkatnya. Takut kalau menjadi korban PHP lagi. Namun, nada dering kembali berbunyi. Aku melirik dan melihat nama Mbak Vita di layar. Kugeser tombol gambar telepon meski kali ini sudah tidak bersemangat seperti tadi. "Halo, As. Maaf tadi ponselku mati karena habis baterai. Seharian ini aku asyik main dengan alat ini sampai lupa ngapa-ngapain. Nggak masak, nggak mandi, sampai-sampai dimarahin sama Mas Danang. Maklum lah, ya, hape-nya baru, canggih lagi, mana mungkin aku bisa lepas dari hape ini meski hanya sedetik saja. Jangan heran kalau aku hanya akan berhenti saat habis baterai saja." Mbak Vita begitu bersem
Read more

Dua puluh delapan

Ibu menarik tanganku dan mengajak masuk tanpa peduli dengan Mbak Vita yang sedang mengoceh di depan. Namun, ternyata Mbak Vita dan ibunya juga ikut masuk ke rumah itu dan tidak mungkin kami akan menahannya. "Bu, beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan anak perempuan ibu ini di sebuah toko yang sangat besar dan ibu tahu apa yang dia bilang sama saya?" tanya Bu Hilya. Ibu menggeleng. "Asty bilang kalau toko itu miliknya padahal toko itu sangat besar dan menyediakan aneka kebutuhan rumah tangga dan memiliki beberapa pegawai. Tidak mungkin itu toko suaminya, kan, Bu?" cetus Bu Hilya seraya duduk di samping Mbak Vita. Aku, ibu, dan Mas Ubay saling berpandangan. "Maaf, ya, Bu. Biarkan anak dan menantu kami ini istirahat karena mereka berdua baru saja menempuh perjalanan yang sangat jauh. Mereka pasti kelelahan. Ibu ambilkan minum dulu, ya, As," ucap Ibu. Wanita yang selalu kurindukan pelukannya itu hendak menuju ke dapur, tetapi aku menahan tangannya dan menggeleng, "Ibu duduk sa
Read more

Dua puluh sembilan

Hari masih pagi, tetapi suasana di rumah ibu sudah ramai oleh anak-anak. Aku tidak bisa berbuat banyak. Mereka ini adalah anak dari kakakku atau cucu ibu sendiriSyafa yang usianya sudah tujuh tahun dengan mudah mengambil dua buah gelas lalu mengambil en*rgen dari dalam lemari dan menuangkan isinya, tanpa kesulitan gadis kecil itu menuang air panas yang baru saja kumasukkan ke dalam termos. Bocah berambut ikal itu mengambil satu gelas untuknya dan satu gelas untuk sang adik, "tunggu sebentar, ya, Dek. Masih panas banget ini."Kedua kakak beradik anak Mbak Sindi itu duduk di kursi sembari menunggu minuman yang masih mengepulkan asap itu menjadi dingin. Sesekali Syafa--sang kakak mengambil sendok untuk mencicipi minuman itu. "Setiap hari mereka pasti datang ke sini untuk minum ene*gen bersama ibu." Ibu menjelaskan tanpa kuminta. Ia memberiku isyarat untuk membuatkan minuman juga untuknya. Aku melaksanakan perintah ibu, menuang serbuk sereal lalu menambahkan air panas dan menyuguhkan
Read more

Tiga puluh

Mbak Vita dan ibunya berdiri mematung di depan rumahnya, tetapi setelah itu ia berjalan mendekat ke arah Mas Ubay yang baru saja turun dari mobil, "sekarang aku percaya kalau mobil itu memang milikmu, Bay, meski aku tidak yakin kamu bisa beli secara cash."Mas Ubay nyengir, ia tidak jadi menunjukkan surat kepemilikan mobil itu karena saat ini tidak lah tepat. "Iya, aku nggak peduli mobil itu rental atau enggak. Kalau rental, kamu juga yang bayar sewanya dan kalau mobil pribadi juga tidak akan membuatku bangga denganmu. Kamu pikir dengan membawa mobil ke sini, aku akan terkagum-kagum padamu dan mengelu-elukan? Tidak, Bay, kamu salah. Aku tidak akan memberimu ucapan selamat atas mobil yang kamu miliki ini karena menurutku mobil ini terlalu biasa. Apalagi sebentar lagi aku juga akan punya mobil yang lebih bagus dari itu. Ayo, Bu." Mbak Vita merangkul pundak ibunya. Bu Hilya menggerak-gerakkan tangannya lalu meraba gelangnya yang berjejer itu. "Entahlah, Bu. Mobil itu memang benar-bena
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status