Rasa gelisah yang kurasakan saat ini lebih parah dari pada tadi saat mereka tidak mau mengangkat teleponku. Buat apa Mbak Vita telepon kalau pada akhirnya tidak mau video call. Aku hanya ingin mendengar dan melihat ibu untuk memastikan kalau ibu baik-baik saja. Apakah aku lebay jika saat ini begitu mengkhawatirkannya?Ponselku kembali berdering, tetapi aku sudah malas untuk mengangkatnya. Takut kalau menjadi korban PHP lagi. Namun, nada dering kembali berbunyi. Aku melirik dan melihat nama Mbak Vita di layar. Kugeser tombol gambar telepon meski kali ini sudah tidak bersemangat seperti tadi. "Halo, As. Maaf tadi ponselku mati karena habis baterai. Seharian ini aku asyik main dengan alat ini sampai lupa ngapa-ngapain. Nggak masak, nggak mandi, sampai-sampai dimarahin sama Mas Danang. Maklum lah, ya, hape-nya baru, canggih lagi, mana mungkin aku bisa lepas dari hape ini meski hanya sedetik saja. Jangan heran kalau aku hanya akan berhenti saat habis baterai saja." Mbak Vita begitu bersem
Ibu menarik tanganku dan mengajak masuk tanpa peduli dengan Mbak Vita yang sedang mengoceh di depan. Namun, ternyata Mbak Vita dan ibunya juga ikut masuk ke rumah itu dan tidak mungkin kami akan menahannya. "Bu, beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan anak perempuan ibu ini di sebuah toko yang sangat besar dan ibu tahu apa yang dia bilang sama saya?" tanya Bu Hilya. Ibu menggeleng. "Asty bilang kalau toko itu miliknya padahal toko itu sangat besar dan menyediakan aneka kebutuhan rumah tangga dan memiliki beberapa pegawai. Tidak mungkin itu toko suaminya, kan, Bu?" cetus Bu Hilya seraya duduk di samping Mbak Vita. Aku, ibu, dan Mas Ubay saling berpandangan. "Maaf, ya, Bu. Biarkan anak dan menantu kami ini istirahat karena mereka berdua baru saja menempuh perjalanan yang sangat jauh. Mereka pasti kelelahan. Ibu ambilkan minum dulu, ya, As," ucap Ibu. Wanita yang selalu kurindukan pelukannya itu hendak menuju ke dapur, tetapi aku menahan tangannya dan menggeleng, "Ibu duduk sa
Hari masih pagi, tetapi suasana di rumah ibu sudah ramai oleh anak-anak. Aku tidak bisa berbuat banyak. Mereka ini adalah anak dari kakakku atau cucu ibu sendiriSyafa yang usianya sudah tujuh tahun dengan mudah mengambil dua buah gelas lalu mengambil en*rgen dari dalam lemari dan menuangkan isinya, tanpa kesulitan gadis kecil itu menuang air panas yang baru saja kumasukkan ke dalam termos. Bocah berambut ikal itu mengambil satu gelas untuknya dan satu gelas untuk sang adik, "tunggu sebentar, ya, Dek. Masih panas banget ini."Kedua kakak beradik anak Mbak Sindi itu duduk di kursi sembari menunggu minuman yang masih mengepulkan asap itu menjadi dingin. Sesekali Syafa--sang kakak mengambil sendok untuk mencicipi minuman itu. "Setiap hari mereka pasti datang ke sini untuk minum ene*gen bersama ibu." Ibu menjelaskan tanpa kuminta. Ia memberiku isyarat untuk membuatkan minuman juga untuknya. Aku melaksanakan perintah ibu, menuang serbuk sereal lalu menambahkan air panas dan menyuguhkan
Mbak Vita dan ibunya berdiri mematung di depan rumahnya, tetapi setelah itu ia berjalan mendekat ke arah Mas Ubay yang baru saja turun dari mobil, "sekarang aku percaya kalau mobil itu memang milikmu, Bay, meski aku tidak yakin kamu bisa beli secara cash."Mas Ubay nyengir, ia tidak jadi menunjukkan surat kepemilikan mobil itu karena saat ini tidak lah tepat. "Iya, aku nggak peduli mobil itu rental atau enggak. Kalau rental, kamu juga yang bayar sewanya dan kalau mobil pribadi juga tidak akan membuatku bangga denganmu. Kamu pikir dengan membawa mobil ke sini, aku akan terkagum-kagum padamu dan mengelu-elukan? Tidak, Bay, kamu salah. Aku tidak akan memberimu ucapan selamat atas mobil yang kamu miliki ini karena menurutku mobil ini terlalu biasa. Apalagi sebentar lagi aku juga akan punya mobil yang lebih bagus dari itu. Ayo, Bu." Mbak Vita merangkul pundak ibunya. Bu Hilya menggerak-gerakkan tangannya lalu meraba gelangnya yang berjejer itu. "Entahlah, Bu. Mobil itu memang benar-bena
Aku memilih membuat telur dadar lagi agar ibu dapat segera makan, tetapi kali ini tidak ditambahkan irisan cabai seperti yang tadi. "Buka mulutnya, Bu." Aku menyendokkan makanan di hadapannya, tetapi ibu menggeleng dan mulutnya seolah terkunci. Hanya air mata yang terus membasahi pipinya yang sudah mulai berkeriput. Aku meletakkan sendok dan mengusap punggungnya dengan lembut. "Ibu pingin makan sambal goreng kentang dicampur ati ampela seperti yang ada dalam punjungan itu?" Aku bertanya begitu karena tadi Syafa bilang dalam makanan itu ada makanan itu dan itu adalah salah satu makanan favorit ibu selain brongkos. Siapa tahu tadi ia sudah melihat dan ngiler pingin makan, tetapi nggak diizinin sama Mbak Sindi. Ibu masih sesenggukan dan air matanya terus mengalir kian tak terbendung. Kasihan sekali, hanya ingin makan sambal goreng ati ampela yang mungkin cukup satu sendok saja tidak kesampaian. Ini semua karena menantunya yang bernama Sindi itu. Aku menghela napas perlahan, sudah s
"Ibu mau makan apa? Nasi goreng, ayam goreng, burger, pizza, martabak manis martabak gurih, soto, sop iga, bakso, mie ayam, gulai, brongkos, semuanya Ibu tinggal pilih." Mas Ubay berkata begitu cepat seperti Paman Muhtu dalam serial animasi upin ipin yang menjadi film favorit anak-anak saat ini. Tentu saja ibu hanya manggut-manggut dengan mulut melongo melihat Mas Ubay. Untung saja tidak lalat yang lewat di hadapannya saat itu. "Bay, kamu menyuruh Ibu memilih semua makanan itu memangnya ada?" tanya ibu dengan dahi mengernyit. "Tentu saja ada lah, Bu. Ayo pilih saja apa yang tadi kusebutkan itu atau mau makan yang lain juga ada," jawab Mas Ubay. Ibu menggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal. Ia tampak sedang berpikir, lalu berkata, " Apa, ya, Bay?""Ayo, Bu, katakan saja atau mau coba sambal goreng ati ampela yang kuahnya merah merona?" "Memangnya ada? Takutnya kamu hanya ingin membuat Ibu ngiler sehingga meneteskan air liur membayangkan semua makanan itu." Ibu meremas jari ta
"Ayo kita berangkat sekarang juga, Mas." Mbak Sindi menarik tangan Mas Gani yang sedang menurunkan karung berisi kentang dari dalam mobil. "Bay, tolong angkat sebelah sana. Aku nggak kuat kalau mengangkat barang ini sendirian." Mas Gani memunjuk dengan dagu di mana Mas Ubay harus memegang ujung karung.Mas Ubay di sebelah kanan dan Mas Gani di sisi yang lainnya lalu mereka berdua membawa bersama-sama ke rumah Ibu. "Ish, sebel aku. Diajak ngomong malah cuek." Mbak Sindi cemberut ketika sang suami tidak menggubris ucapannya, ia tetap melanjutkan menurunkan barang belanjaan. Setelah kentang, ia beralih mengangkut kardus yang entah isinya apa. Mbak Sindi mengikuti langkah Mas Gani. Mas Gani ke sini, ia ikut, Mas Gani ke sana ia tidak mau ketinggalan. Ia terus saja memegang ujung baju suaminya, Persis seperti anak kecil yang mengejar ibunya agar dibelikan sesuatu membuatku geli-geli sebal melihatnya. "Kamu bini apa-apaan, sih, Dek? Nggak capek apa ngintil suami terus seperti ini." Mas
"Makan yang banyak, Bu?" Aku memindahkan nasi dari magic com ke piring ibu, setelah itu beralih ke piring suami dan untukku sendiri. Ini adalah sahur pertamaku bersama ibu. Aku sudah meminta pada ibu untuk tidak berpuasa karena maag yang dideritanya dan nanti bisa membayar fidyah, tetapi ibu bilang maag bukan alasan untuk tidak menjalankan kewajiban. Semoga puasa kami lancar. "Sepertinya harga garam sekarang turun harga, ya?" tanya Mas Ubay saat mencicipi ayam kecap yang kusajikan."Kenapa?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. "Enggak apa-apa. Cuma memberi informasi saja, tetapi coba cicipi ayam kecap ini." Mas Ubay mendekatkan ayam kecap itu ke mulutku dan aku memakannya. Asin, itulah yang kurasakan. Aku nyengir. "Aku memang sengaja ngasih banyak garam agar dapat terasa manfaatnya." Aku beralasan padahal sebenarnya tadi lupa sudah kutambahkan garam malah masih kutambah lagi sehingga menjadi keasinan. Mas Ubay tersenyum, "iya, rasanya enak, tetapi kalau besok masak lagi takaran ga
PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia
PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,
"Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men
Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.
"Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita. "Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita. "Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi. "Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim. Dibilang iri
"Enak, kan, Bu?" tanya Mas Karim. Ia mengambil makanan lalu menyuapkan ke mulut ibu. Manisnya perlakuan kakak sulungku pada ibunya ini. Ah, seandainya semua anak ibu seperti itu, pasti aku tidak kepikiran membiarkan ibu tetap tinggal di sini. Sayang, anak yang perhatian itu malah tinggal di desa yang berbeda. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dan beberapa menit saja sudah sampai, tetap saja tidak bisa berkunjung setiap hari karena punya kesibukan sendiri. "Ini Nurma yang masak?" tanya ibu. Mas Karim tersenyum. "Iya, lah, Bu. Di rumah kami tidak punya asisten rumah tangga seperti di rumah Asty yang setiap kali makan sudah ada yang memasak." "Aku juga masih suka masak, kok, Mas." Aku tersenyum. "Bagaimana rasanya, ya, pulang asisten rumah tangga yang mau apa-apa tinggal memerintah saja tanpa harus repot turun tangan sendiri. Lapar tinggal bilang 'Mbok, laper, bikinin nasi goreng, dong. Atau saat haus dan sedang asyik nonton tivi langsung berteriak 'Mbok, buatkan jus mangga, dong.
Kedua wanita yang berstatus kakak ipar itu saling berpandangan saat ibu menunjuk tempat mesin cuci yang kini sudah kosong. "Di mana mesin cucunya, Vit, Sin? Ada di salah satu rumah kalian, kan?" tanya ibu. "Katakan, Mbak. Ibu tidak marah, kok.""Niatku baik, lho, Bu. Tahu sendiri, kan, kalau yang namanya mesin itu akan rusak jika dibiarkan begitu saja dalam waktu yang lama. Kalau tetap berada di rumah ini, itu namanya mubazir. Yah, aku tahu kalau yang namanya mubazir itu adalah temannya setan. Betul, Bu?" Mbak Sindi mencerocos dan aku hanya menanggapinya dengan memutar bola mata malas. Apalagi ia berbicara dengan bergaya seperti ustazah yang sedang ceramah di atas panggung. Ibu menggangguk. "Di rumah ini tidak ada saluran listrik karena tidak ada yang membayar tagihannya, makanya aku bawa pulang, deh. Salahku di mana coba? Ngak ada, kan? Lah wong maksudku baik, merawat mesin cuci itu agar tidak berkarat,"Aku menghela napas perlahan. "Bilang saja kalau mesin cuci itu ada pada Mbak
PoV Asty"Buat apa kita masih membawa banyak barang seperti ini, As?" tanya ibu saat aku memasukkan sembako ke dalam mobil berupa gula pasir, teh, mintak goreng, dan tepung terigu. "Kita butuh ini semua untuk acara seratus hari bapak, kan, Bu?" jawabku. "Kita beli di sana saja, As.""Bu, acaranya tinggal dua hari lagi, pasti capek kalau sudah sampai sana dan kita masih belanja."Ibu tersenyum. "Kamu lupa kalau untuk acara seratus hari bapak ini uangnya sudah ada pada Karim dari hasil panen cabai yang lumayan banyak?"Aku tepuk jidat. "Oh, iya, aku lupa, Bu. Tadinya, sih, aku pikir biar lebih hebat kalau kita bawa dari sini karena harganya sudah pasti lebih murah, kan?"Ibu mengangguk. "Iya, tetapi kalau kita belanjanya cash, harganya beda, As, tentu saja lebih murah."Kuhentikan gerakan tanganku yang sedang memasukkan kardus ke dalam mobil. "Maksud ibu, harga barang saat bayar cash dengan yang ditangguhkan itu berbeda? Wah, seharusnya nggak boleh seperti itu, Bu. Kalau begitu jat
Aku kembali menekuri galeri foto di ponsel Vita yang jumlahnya ratusan itu. Iya, Vita memang mengambil semua gambar di setiap kegiatan. Mulai dari saat berangkat, dalam mobil, hingga setelah sampai di sana pun tidak ada satu detik pun yang tertinggal dari jepretannya. Ku hela napas panjang saat hati ini panas melihat betapa bahagianya mereka. Apalagi saat moment mereka makan bersama dengan hidangan yang beraneka ragam dan semuanya terlihat enak. Belum pernah aku melihat makanan seperti itu apalagi memakannya. Air liurku menetes tanpa bisa ku cegah saat melihat mulut Vita yang belepotan. Kulihat foto ibu mertua yang begitu terlihat bahagia, bahkan aku merasa kalau perempuan yang sudah melahirkan suamiku itu terlihat cerah wajahnya dan tubuhnya lebih berisi. Pantas kalau Vita bilang ibu kerasan tinggal bersama anak perempuannya itu. Siapa yang enggak betah tinggal di rumah bagus dan setiap hari ada makanan enak. Ah, seandainya aku punya sayap untuk terbang, sudah pasti aku akan ke s