Share

Enam puluh

Author: Siti Aisyah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita.

"Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita.

"Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi.

"Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim.

Dibilang iri
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh satu

    Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh dua

    "Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Ending

    PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Aku kembali

    PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Satu

    "Apa? Kamu mau minta dihubungkan dengan wifi milikku?" tanya Mbak Sindi sambil melotot. "Iya, Mbak. Kali ini saja karena penting," jawabku seraya menyodorkan ponselku dengan harapan ia memberikan sandi wifi-nya. "Makanya pasang wifi sendiri, dong. Jangan nebeng mulu. Kamu pikir wifi ini tidak bayar apa? Lagi pula siapa, sih, yang mau kamu hubungi? Nggak penting amat." Mbak Sindi--istri Mas Gani itu melengos. Sudah beberapa hari ini aku di desa kelahiranku karena bapak sakit dan akhirnya kemarin meninggal . Aku ingin menghubungi salah seorang karyawan toko sekaligus orang kepercayaanku untuk bilang padanya kalau kami--aku dan Mas Ubay--suamiku belum bisa pulang. Sayangnya, di desa ini susah signal sehingga aku tidak bisa menghubungi orang yang kumaksud. Kebanyakan orang di sini sudah pasang wifi karena tidak bisa menggunakan paket data apa pun kartunya termasuk punyaku yang hanya E sehingga tidak bisa mengirim maupun membalas pesan. Di rumah ibu dan bapak juga tidak pasang wifi k

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Dua

    Suasana menjadi hening setelah mendengar ucapan Mas Ubay, tiba-tiba Mbak Sindi tertawa yang diikuti oleh yang lain. Hanya aku, Mas Karim, dan ibu yang tidak tertawa. Suasana di ruangan itu menjadi heboh dan aku hanya bisa geleng kepala melihatnya. "Ada apa ini? Kenapa kalian tertawa seperti ini?" tanyaku dengan dahi mengernyit. Mas Danang menghentikan tawanya, lalu mendekatiku. "Asty, bilang ke suamimu ini kalau mau bicara atau memberi tanggapan itu dengarkan dulu baik-baik apa yang dikatakan sebelumnya, jangan baru saja muncul langsung ngomong aja. Memangnya dia tahu berapa total utang yang harus dibayarkan?" Aku menatap lekat suamiku yang terlambat ikut musyawarah ini. "Mas, kamu sudah dengar berapa utang yang harus kami bayarkan?"Suamiku yang merupakan satu-satunya menantu lelaki di rumah ini itu mengangguk. "Aku memang baru datang, Dek, karena tadi perutku mulas, tapi aku sudah dengar semuanya kalau utang biaya selamatan bapak sebesar_Ucapan Mas Ubay dipotong oleh Mas Gani. "

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Tiga

    Kami bergegas masuk ke kamar yang penuh dengan kardus berisi sembako sumbangan dari para pelayat. "Lihat! Berasnya saja sebanyak ini. Mau buat apa coba kalau tidak dibagi rata?" tanya Mbak Sindi seraya menunjuk dua karung besar yang teronggok di sudut ruangan. Menurut perkiraanku beras itu lebih dari dua kwintal. "Belum lagi sembako yang lainnya," sahut Mbak Vita. Ia mulai membuka tali rafia pengikat kardus. Mbak Sindi mengikuti jejak Mbak Vita, pun Mbak Nurma dan aku. Para perempuan membuka satu per satu kardus dan mengeluarkan isinya lalu memisahnya, gula dengan gula, minyak dengan minyak, dan lainnya. Ibu ikut membuka salah satu kardus dan menurunkan isinya yang berupa minyak goreng, tepung terigu, dan mie kering. Wanita yang sudah melahirkan kami berempat itu mengangkat minyak goreng dan berkata. "Tadi ibu sudah bilang kalau musyawarahnya jangan sekarang karena sebenarnya urusan kita belum selesai, tetapi Sindi yang sudah mendesak ibu untuk melakukan musyawarah malam ini juga.

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Empat

    Tiba-tiba semua orang di ruangan itu kembali tertawa menggelegar. "Kamu lihat sendiri, kan, Bu, kalau menantumu yang paling kau sayang itu punya tingkat kehaluan yang luar biasa. Tadi ia bilang mau bayar utang selamatan bapak dan sekarang ia bilang ingin bicara dengan orang kepercayaannya di toko? Toko apa? Toko halu? Hahahaha." Mas Gani tertawa lebar. Bukan hanya Mas Gani yang tidak percaya jika kami punya toko. Bahkan Mbak Sindi maju beberapa langkah lalu tangannya terulur dan menyentuh kening suamiku. "Panas, pantas saja dari tadi bicaranya ngelantur." Aku melirik Mas Ubay yang raut wajahnya terlihat kesal, tetapi mau bagaimana lagi, mau dijelaskan panjang kali lebar juga tidak akan yang percaya dengan apa yang kami miliki. "Sudahlah, sini ponselnya biar kukasih sandi wifinya dan setelah ini kita akan tahu sebenarnya ia telepon siapa." Mas Gani mengambil ponsel dari tangan Mas Ubay lalu mengotak-atiknya sebentar dan setelah itu ia berikan lagi pada suamiku. "Ini sudah kusambun

Latest chapter

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Aku kembali

    PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Ending

    PoV Asty"Jangan ambil mobilku!" seru Mbak Vita. Ia terus menjerit saat mobil putih miliknya dibawa pergi orang yang sudah membelinya secara kontan. Orang itu tentu sana tidak peduli meski kakak iparku itu terus saja memohon agar tidak membawa mobilnya karena memang sudah lunas. "Sudahlah, ikhlaskan saja mobil dari hasil utang itu. InsyaAllah kita bisa beli dengan uang kita sendiri suatu saat nanti. Asalkan kita berusaha pasti bisa. Sekarang kita terima naik motor dulu kalau mau ke mana-mana." Mas Danang merangkul pundak istrinya dengan lembut. "Duh, Gusti. Sudah nggak punya mobil lagi, ponsel bagus yang bisa buat selpi dengan hasil bagus juga nggak ada. Bagaimana aku bisa hidup tanpa keduanya?" Mbak Vita terisak dalam pelukan suaminya. "Sudah, Vit. Nggak apa-apa. Aku juga nggak punya mobil masih bisa bernapas dan segar bugar hingga saat ini, kok. Mobil itu bukan kebutuhan primer bagi kita. Kecuali kalau Asty yang punya bisnis dan punya orang tua yang tinggal di tempat yang jauh,

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh dua

    "Bagaimana, Bay. Apakah sudah ada yang berminat untuk beli mobilku?" tanyaku pada Ubay. Ia lebih berpengalaman mengenai jual beli mobil ini, makanya aku butuh bantuannya. "Sabar, Mas. Yang namanya jual mobil itu enggak seperti jual makanan, butuh proses," jawab Ubay. "Bagaimana aku bisa sabar, Bay. Aku sudah kepikiran dengan sertifikat itu." Aku memainkan jari tangan karena gelisah. "Iya, Mas. Ini sedang aku tawarkan pada salah seorang teman. Dia bilang sedang butuh mobil. Aku tidak menjual dengan cara ditawarkan secara online biar cepet. Jangan khawatir, orang ini amanah, kok." Ubay menepuk pundakku. "Iya, Bay. Aku percaya sama kamu." Aku tersenyum. Aku sudah mantap menjual mobil itu meski Vita merengek dan merajuk sepanjang malam. Aku sudah bertekad ingin membuang kebiasaan buruknya selama ini yaitu suka membeli barang yang tidak terlalu penting dan ingin dianggap wah oleh orang lain padahal sebenarnya gelisah. Aku tega melakukan ini karena melihat Mas Karim yang berhasil men

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh satu

    Biaya Selamatan Atas Meninggalnya Bapak61PoV DanangTubuhku seakan lemas tidak bertulang mendengar pengakuan Vita tentang sertifikat itu. Bagaimana mungkin ia begitu ceroboh memberikan barang berharga itu pada orang lain? Kenapa ia sebodoh itu memberikan surat berharga itu hanya demi perhiasan yang bisa dijual dengan harga yang tidak seberapa meski itu ibunya sendiri. Kuusap peluh yang terus mengucur di pelipis. Dadaku terasa sesak menghadapai kenyataan ini. Bayangan buruk mulai menghantui. "Maafkan aku, Mas!" Vita masih memeluk kakiku, tetapi tiba-tiba ia berseru, "aduh, sakit!"Vita memegangi perutnya yang sudah mulai membuncit itu hingga membuat semua orang panik. "Kamu kenapa, Vit?" tanya ibu. "Perutku kram, Bu." Vita terduduk lalu memegangi perutnya sambil meringis. Aku memutar bola mata malas. Aku sudah hafal dengan tabiatnya si Vita. Saat dimarahi ia akan mencari perhatian agar orang-orang bersimpati padanya. Kebiasaan. "Danang, kenapa kamu diam saja? Ayo bantu istrimu.

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Enam puluh

    "Apa maksudmu utang dengan menjaminkan sertifikat? Sertifikat apa? Bukankah kamu bilang kalau mobil itu dari hasil penjualan emas milik ibu, ya? Sehingga kamu selalu membanggakan ibumu sendiri dibanding ibuku yang kamu bilang tidak perhatian dan pilih kasih?" tanya Mas Danang yang ternyata sudah ada di belakang Mbak Vita. "Em, enggak, Mas. Aku hanya bercanda aja. Iya, mobil itu memang aku beli dari hasil penjualan emas milik ibu karena ibuku itu sayaaaaang banget padaku sehingga rela memberikan apa saja yang ia punya untuk anak perempuannya yang cantik ini," jawab Mbak Vita. "Tadi kamu bilang sertifikat, sertifikat apa?" tanya Mas Danang lagi. Kali ini dengan nada tinggi. "Udah, Mas. Nggak ada, aku hanya salah ngomong aja. Namanya juga lidah, sudah pasti sering kepeleset, kan? Ya, tadi kalau yang bernama Mas Karim dan istrinya yang bernama Mbak Nurma itu iri karena kita punya mobil sedangkan ia hanya mampu beli motor second." Mbak Vita melirik kakak iparnya-Mas Karim. Dibilang iri

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Lima puluh sembilan

    "Enak, kan, Bu?" tanya Mas Karim. Ia mengambil makanan lalu menyuapkan ke mulut ibu. Manisnya perlakuan kakak sulungku pada ibunya ini. Ah, seandainya semua anak ibu seperti itu, pasti aku tidak kepikiran membiarkan ibu tetap tinggal di sini. Sayang, anak yang perhatian itu malah tinggal di desa yang berbeda. Meski jaraknya tidak terlalu jauh dan beberapa menit saja sudah sampai, tetap saja tidak bisa berkunjung setiap hari karena punya kesibukan sendiri. "Ini Nurma yang masak?" tanya ibu. Mas Karim tersenyum. "Iya, lah, Bu. Di rumah kami tidak punya asisten rumah tangga seperti di rumah Asty yang setiap kali makan sudah ada yang memasak." "Aku juga masih suka masak, kok, Mas." Aku tersenyum. "Bagaimana rasanya, ya, pulang asisten rumah tangga yang mau apa-apa tinggal memerintah saja tanpa harus repot turun tangan sendiri. Lapar tinggal bilang 'Mbok, laper, bikinin nasi goreng, dong. Atau saat haus dan sedang asyik nonton tivi langsung berteriak 'Mbok, buatkan jus mangga, dong.

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Lima puluh delapan

    Kedua wanita yang berstatus kakak ipar itu saling berpandangan saat ibu menunjuk tempat mesin cuci yang kini sudah kosong. "Di mana mesin cucunya, Vit, Sin? Ada di salah satu rumah kalian, kan?" tanya ibu. "Katakan, Mbak. Ibu tidak marah, kok.""Niatku baik, lho, Bu. Tahu sendiri, kan, kalau yang namanya mesin itu akan rusak jika dibiarkan begitu saja dalam waktu yang lama. Kalau tetap berada di rumah ini, itu namanya mubazir. Yah, aku tahu kalau yang namanya mubazir itu adalah temannya setan. Betul, Bu?" Mbak Sindi mencerocos dan aku hanya menanggapinya dengan memutar bola mata malas. Apalagi ia berbicara dengan bergaya seperti ustazah yang sedang ceramah di atas panggung. Ibu menggangguk. "Di rumah ini tidak ada saluran listrik karena tidak ada yang membayar tagihannya, makanya aku bawa pulang, deh. Salahku di mana coba? Ngak ada, kan? Lah wong maksudku baik, merawat mesin cuci itu agar tidak berkarat,"Aku menghela napas perlahan. "Bilang saja kalau mesin cuci itu ada pada Mbak

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Lima puluh tujuh

    PoV Asty"Buat apa kita masih membawa banyak barang seperti ini, As?" tanya ibu saat aku memasukkan sembako ke dalam mobil berupa gula pasir, teh, mintak goreng, dan tepung terigu. "Kita butuh ini semua untuk acara seratus hari bapak, kan, Bu?" jawabku. "Kita beli di sana saja, As.""Bu, acaranya tinggal dua hari lagi, pasti capek kalau sudah sampai sana dan kita masih belanja."Ibu tersenyum. "Kamu lupa kalau untuk acara seratus hari bapak ini uangnya sudah ada pada Karim dari hasil panen cabai yang lumayan banyak?"Aku tepuk jidat. "Oh, iya, aku lupa, Bu. Tadinya, sih, aku pikir biar lebih hebat kalau kita bawa dari sini karena harganya sudah pasti lebih murah, kan?"Ibu mengangguk. "Iya, tetapi kalau kita belanjanya cash, harganya beda, As, tentu saja lebih murah."Kuhentikan gerakan tanganku yang sedang memasukkan kardus ke dalam mobil. "Maksud ibu, harga barang saat bayar cash dengan yang ditangguhkan itu berbeda? Wah, seharusnya nggak boleh seperti itu, Bu. Kalau begitu jat

  • Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak   Lima puluh enam

    Aku kembali menekuri galeri foto di ponsel Vita yang jumlahnya ratusan itu. Iya, Vita memang mengambil semua gambar di setiap kegiatan. Mulai dari saat berangkat, dalam mobil, hingga setelah sampai di sana pun tidak ada satu detik pun yang tertinggal dari jepretannya. Ku hela napas panjang saat hati ini panas melihat betapa bahagianya mereka. Apalagi saat moment mereka makan bersama dengan hidangan yang beraneka ragam dan semuanya terlihat enak. Belum pernah aku melihat makanan seperti itu apalagi memakannya. Air liurku menetes tanpa bisa ku cegah saat melihat mulut Vita yang belepotan. Kulihat foto ibu mertua yang begitu terlihat bahagia, bahkan aku merasa kalau perempuan yang sudah melahirkan suamiku itu terlihat cerah wajahnya dan tubuhnya lebih berisi. Pantas kalau Vita bilang ibu kerasan tinggal bersama anak perempuannya itu. Siapa yang enggak betah tinggal di rumah bagus dan setiap hari ada makanan enak. Ah, seandainya aku punya sayap untuk terbang, sudah pasti aku akan ke s

DMCA.com Protection Status