Home / Urban / Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak / Kabanata 31 - Kabanata 40

Lahat ng Kabanata ng Biaya Selamatan Meninggalnya Bapak: Kabanata 31 - Kabanata 40

64 Kabanata

Tiga puluh satu

Aku memilih membuat telur dadar lagi agar ibu dapat segera makan, tetapi kali ini tidak ditambahkan irisan cabai seperti yang tadi. "Buka mulutnya, Bu." Aku menyendokkan makanan di hadapannya, tetapi ibu menggeleng dan mulutnya seolah terkunci. Hanya air mata yang terus membasahi pipinya yang sudah mulai berkeriput. Aku meletakkan sendok dan mengusap punggungnya dengan lembut. "Ibu pingin makan sambal goreng kentang dicampur ati ampela seperti yang ada dalam punjungan itu?" Aku bertanya begitu karena tadi Syafa bilang dalam makanan itu ada makanan itu dan itu adalah salah satu makanan favorit ibu selain brongkos. Siapa tahu tadi ia sudah melihat dan ngiler pingin makan, tetapi nggak diizinin sama Mbak Sindi. Ibu masih sesenggukan dan air matanya terus mengalir kian tak terbendung. Kasihan sekali, hanya ingin makan sambal goreng ati ampela yang mungkin cukup satu sendok saja tidak kesampaian. Ini semua karena menantunya yang bernama Sindi itu. Aku menghela napas perlahan, sudah s
Magbasa pa

Tiga puluh dua

"Ibu mau makan apa? Nasi goreng, ayam goreng, burger, pizza, martabak manis martabak gurih, soto, sop iga, bakso, mie ayam, gulai, brongkos, semuanya Ibu tinggal pilih." Mas Ubay berkata begitu cepat seperti Paman Muhtu dalam serial animasi upin ipin yang menjadi film favorit anak-anak saat ini. Tentu saja ibu hanya manggut-manggut dengan mulut melongo melihat Mas Ubay. Untung saja tidak lalat yang lewat di hadapannya saat itu. "Bay, kamu menyuruh Ibu memilih semua makanan itu memangnya ada?" tanya ibu dengan dahi mengernyit. "Tentu saja ada lah, Bu. Ayo pilih saja apa yang tadi kusebutkan itu atau mau makan yang lain juga ada," jawab Mas Ubay. Ibu menggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal. Ia tampak sedang berpikir, lalu berkata, " Apa, ya, Bay?""Ayo, Bu, katakan saja atau mau coba sambal goreng ati ampela yang kuahnya merah merona?" "Memangnya ada? Takutnya kamu hanya ingin membuat Ibu ngiler sehingga meneteskan air liur membayangkan semua makanan itu." Ibu meremas jari ta
Magbasa pa

Tiga puluh tiga

"Ayo kita berangkat sekarang juga, Mas." Mbak Sindi menarik tangan Mas Gani yang sedang menurunkan karung berisi kentang dari dalam mobil. "Bay, tolong angkat sebelah sana. Aku nggak kuat kalau mengangkat barang ini sendirian." Mas Gani memunjuk dengan dagu di mana Mas Ubay harus memegang ujung karung.Mas Ubay di sebelah kanan dan Mas Gani di sisi yang lainnya lalu mereka berdua membawa bersama-sama ke rumah Ibu. "Ish, sebel aku. Diajak ngomong malah cuek." Mbak Sindi cemberut ketika sang suami tidak menggubris ucapannya, ia tetap melanjutkan menurunkan barang belanjaan. Setelah kentang, ia beralih mengangkut kardus yang entah isinya apa. Mbak Sindi mengikuti langkah Mas Gani. Mas Gani ke sini, ia ikut, Mas Gani ke sana ia tidak mau ketinggalan. Ia terus saja memegang ujung baju suaminya, Persis seperti anak kecil yang mengejar ibunya agar dibelikan sesuatu membuatku geli-geli sebal melihatnya. "Kamu bini apa-apaan, sih, Dek? Nggak capek apa ngintil suami terus seperti ini." Mas
Magbasa pa

Tiga puluh empat

"Makan yang banyak, Bu?" Aku memindahkan nasi dari magic com ke piring ibu, setelah itu beralih ke piring suami dan untukku sendiri. Ini adalah sahur pertamaku bersama ibu. Aku sudah meminta pada ibu untuk tidak berpuasa karena maag yang dideritanya dan nanti bisa membayar fidyah, tetapi ibu bilang maag bukan alasan untuk tidak menjalankan kewajiban. Semoga puasa kami lancar. "Sepertinya harga garam sekarang turun harga, ya?" tanya Mas Ubay saat mencicipi ayam kecap yang kusajikan."Kenapa?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. "Enggak apa-apa. Cuma memberi informasi saja, tetapi coba cicipi ayam kecap ini." Mas Ubay mendekatkan ayam kecap itu ke mulutku dan aku memakannya. Asin, itulah yang kurasakan. Aku nyengir. "Aku memang sengaja ngasih banyak garam agar dapat terasa manfaatnya." Aku beralasan padahal sebenarnya tadi lupa sudah kutambahkan garam malah masih kutambah lagi sehingga menjadi keasinan. Mas Ubay tersenyum, "iya, rasanya enak, tetapi kalau besok masak lagi takaran ga
Magbasa pa

Tiga puluh lima

Mata Mbak Vita melotot ke arahku hingga membuatku merasa sangat ketakutan karena bola matanya itu seolah mau lepas dari tempatnya."Siapa yang bilang mau beli daging sapi dengan uangku sendiri? Kapan aku bilang seperti itu? Bukankah aku sudah bilang kalau uangku sudah habis untuk beli mobil? lagipula aku sudah bilang, kan kalau aku sudah cukup banyak berkorban untuk acara ini? Aku berkorban waktu dan tenaga dan jika diuangkan itu sudah cukup banyak." Rentetan pertanyaan keluar dari mulut wanita yang berstatus istri Mas Danang itu.Heran aku, padahal Mas Danang dulu terkenal akan sifat diamnya, tetapi istrinya kalau sudah bicara seperti motor yang berjalan di turunan dan tanpa rem. Meluncuur. Entah seperti apa keseharian mereka berdua. Dalam bayanganku, Mbak Vita ini gemar berpidato dan suaminya adalah pendengar setia. "Baiklah, kalau kamu nggak mau ikut nyumbang seharusnya sadar diri dengan tidak ikut membawa pulang semua makanan yang ada di sini. Ibaratnya, kamu ini nggak bayar, tet
Magbasa pa

Tiga puluh enam

"Wah, wah, wah, aku tahu apa yang ada dipikiran kamu itu, As. kamu pasti mau menjual gula ini, kan?" Mbak Vita masih mendekap erat kardus itu. Tiba-tiba Mbak Sindi datang menghampiri kami. "Ada apa, Vit? Yang lain sedang sibuk, kalian malah ribut di sini? Terus itu kenapa bawa-bawa kardus segala? Coba aku lihat apa isinya," tanya istri Mas Gani itu. "Ini, lho, Mbak. Si Asty mau bawa pulang sembako ini. Sudah pasti mau dijual, kan? Aku hanya mengamankan saja." Lapor Mbak Vita. "Ibu yang meminta Asty untuk mengembalikan ke rumah Rida karena ini dari Rida," kata ibu yang tiba-tiba sudah ada di belakang kami dan kami menoleh serempak. "Kenapa harus dikembalikan, sih, Bu? Kan lumayan kalau sisa bisa dijual untuk meringankan beban kita nanti," ucap Mbak Vita. "Duh, Vita. Kamu ini kaya bukan orang sini saja? Memang kebiasaan di sini seperti itu, kan? Untuk acara 40 hari ini kita tanggung sendiri tanpa bantuan keluarga dan sanak saudara," jawab ibu. Ibu mengambil kembali kardus dari t
Magbasa pa

Tiga puluh tujuh

Usai berbuka dan melaksanakan salat Magrib, kami kembali sibuk menyiapkan makanan untuk acara nanti malam dan tidak boleh ada yang terlewat. Yang paling sok sibuk tentu saja Mbak Sindi. Ia bolak-balik ke dapur hanya untuk memastikan kalau daging sapi sudah dimasak sesuai arahannya. "Kalau tidak percaya masak saja sendiri, Sin," ucap wanita yang kata ibu bernama Yuli itu ia terlihat kesal dengan kedatangan Mbak Sindi. "Jangan gitu, dong, Bu. Aku hanya memastikan kalau rasanya tidak mengecewakan nanti sehingga tidak memalukan," jawab Mbak Sindi. Mulutnya tiada henti mengunyah daging sapi. Dia pasti sudah kenyang karena sebentar-sebentar mencicipi daging sapi itu, dan setiap kali nyicip, pasti mengambil satu potong. Iya, memasak daging sapi memang membutuhkan waktu yang cukup lama. "Apa maksudmu tidak mengecewakan? Kamu meragukan kemampuanku? Dengar, ya, Sin, aku sudah dipercaya memasak daging sapi ini sejak kamu belum ada di sini dan dari dulu hingga kini, sudah berapa kwintal daging
Magbasa pa

Tiga puluh delapan

Kami dikejutkan dengan Mbak Sindi yang tiba-tiba tertawa lebar. "Syifa, Sayang. Sejak kapan kamu bisa berbohong seperti ini? Aduh, Asty mana mungkin aku meminta ibu mencucikan baju kami. Anak kecil memang selalu pandai berbohong, bukan?"Mas Gani salah tingkah, ia menggaruk tengkuknya lalu nyengir. "Iya, As. Nanti aku akan lihat anakku ini suka nonton apa sehingga bisa berbohong seperti ini."Gadis itu bingung dan memandang ayah ibunya secara bergantian, "kok bohong, sih? Bukankah di rumah sudah ada pakaian kotor satu ember besar dan ibu bilang akan dicuci sama Nenek, tetapi nanti setelah Bi Asty nggak ada?" Mbak Sinfti melotot lalu menarik tangan anaknya, tetapi tiba-tiba Syafa menjerit. "Aduh, Bu. Kenapa Syafa dicubit, sih? Sakit, tahu?"Mbak Sindi nyengir. "Sekarang kamu pulang, ya, Sayang. Jangan bikin ibu pusing di sini. Ibu sudah masakin makanan kesukaan kamu. Buruan makan, nanti nggak enak kalau keburu dingin!"Dahi anak itu mengernyit, "makan? Aku, kan, puasa, Bu? Lagi pula s
Magbasa pa

Tiga puluh sembilan

Ibu kembali memasukkan foto itu ke dalam tas. "Foto ini sangat berharga dan tidak akan ku berikan pada siapa pun. Kamu ini mau apa, sih, Sin? Masih kurang apalagi? Saat ini kamu masih bisa nyuci pakai mesin cuci karena tidak dibawa. Kamu bisa pakai sepuasnya asal jangan dibawa pulang.""Enggak, kok, Bu. Aku cuma mau minta kenang-kenangan gamis yang berwarna cokelat itu. Kayaknya itu pas banget di badanku. Sudah lama aku mengincarnya, tetapi baru kali ini aku berani bilang. Yah, mau bagaimana lagi? Aku takut nggak bisa tidur kalau sampai nggak kesampaian pakai gamis brukat itu, Bu." Mbak Sindi berkata sambil memainkan jari tangannya. "Gamis? Ya Allah, Sindi, kamu ini ada-ada saja. Masa iya pingin pakai gamis milik mertuanya? Nggak lucu, ah. Sudah pasti gamis milik ibu, ya, modelnya beda dengan yang biasa kamu pakai. Lagi pula mau pergi ke mana sampai harus minta gamis ke Ibu segala?" kata Mas Karim yang merupakan kakak iparnya Mbak Sindi. Ia berkata sambil menahan tawa. Mbak Sindi ce
Magbasa pa

Empat puluh

Ibu mendekap erat gamis cokelat yang tadi sempat beralih ke tangan menantunya. "Kamu tahu nggak, As?" tanya ibu. Ia memegang tanganku. Iya, aku dan ibu memang duduk di belakang sedangkan Mas Ubay di depan. "Apa, Bu?" "Gamis ini baru dua kali dipakai oleh ibu." "Ibu nggak suka dengan gamis ini sehingga jarang dipakai?""Bukan, tetapi ibu lebih nyaman pakai kain jarik dengan kebaya. Lagi pula, masa iya ke sawah pakai gamis. Ntar sobek kena duri rumput." Ibu tersenyum. "Oh, aku kira karena nggak suka.""Oh, ya, Bu. Tanaman cabai kita yang panen itu gimana kalau kita tinggal? Kenapa aku sama sekali nggak kepikiran, ya? " Aku tepuk jidat dan seolah baru ingat ada tanaman cabai milik Ibu yang harus diurus. Ciiiit!Mas Ubay mengerem mendadak mobilnya dan menoleh ke arah ibu, "iya, kenapa kita nggak kepikiran, ya? Sayang juga, kan, kalau dibiarkan begitu saja. Mana sudah siap panen lagi. Ayo kita balik lagi!" Mas Ubay terlihat panik. Ibu tertawa melihat kami malah bahas tanaman cabai y
Magbasa pa
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status