Part 2 Laki-laki yang aku duga kuat itu adalah Mas Virzha tak menjawab apa-apa, dan masuk ke ruangan begitu saja. Mungkinkah karena ia masih marah padaku karena kejadian waktu itu. Hais ... kenapa kudu mikirin mantan? Eh, apa iya yang tadi itu Mas Virzha, lah, kalau bukan. Aku kembali duduk di bangku tunggu. Mengirim pesan pada temanku Rani, takutnya ia menungguku. [Ran, masih ngurus KK di kelurahan, nih. Entar kalo aku udah nyampek Taman Bungkul, aku WA lagi, ya?] Send--centang biru. [Iyo, santai, wes. Asal bawain aku es kelapa muda, ya, Bil.] [Elah, Rin-kurin. Udah nggak pake ongkos kirim, dipalak es degan pula.] [Bonus, Bil-kubil.] Tak apalah, timbang aku gagal jual novelku, lumayan bisa diuangkan. Toh, ini juga hasil bukti terbit, jadi buku gratisan gitu dari penerbit. "Mbak," panggil pegawai yang tadi menangani berkasku. Lantas aku berdiri dan berjalan ke arah meja yang tadi. "Iya, sudah jadi?" tanyaku. "Belum, lah, Mbak. Setelah mendapat surat keterangan dari kelur
Baca selengkapnya