Semua Bab Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati: Bab 21 - Bab 30

36 Bab

Rahasia 300 juta

"Itu si Dewi!" seru Ibu MertuaAku langsung masuk ke dalam setelah mengucap salam. Mereka masih menatap kagum padaku. "Wi, ini beneran kamu?" tanya Mpok Siti. "Iya bener, Mpok. Ini aku, memangnya siapa lagi?" jawabku balik bertanya. "Tadi kukira kamu Citra Kirana, Wi!" seru Bi Minah. "Iya lho, Wi. Kamu mirip Citra Kirana kalau dandan begini!" timpal yang lain. Aku teripu malu. Usiaku memang baru tiga puluh tahun, masih terbilang muda dan cantik jika punya modal untuk merawat diri. Tak lama setelah aku bercengkerama dengan para tamu, Bu Tini sang tuan rumah muncul dari kamarnya, dia sedikit terperanjat saat melihat keberadaanku."Wah, Ibu-Ibu ... apa kita punya tetangga baru?" tanya Bu Tini setelah dia melihatku. "Enggak kok, Bu," jawab para tamu bersamaan. "Lalu ini siapa? Seperti artis Citra Kirana." Bu Tini keheranan sambil terus memperhatikanku. "Ini saya Dewi, Bu," jawabku. "Lho? Gak salah, Wi? Kamu beda banget. Saya sampai gak ngenalin kamu. Alhamdulillah kalau kamu sek
Baca selengkapnya

Rebutan Tanah

Kalau benar tentang uang tiga ratus juta itu, dari mana mereka mengetahuinya? Aku semakin deg-degan ketika melihat wajah Ibu Mertua merah padam, tak ada yang bisa melawan ataupun mengatasi kemarahan wanita paling disegani di keluarga suamiku itu. Meski tadi aku sempat mengerjainya, tetapi bukan berarti aku bisa menang melawannya. "Cepat buka pintu kontrakanmu! Kami mau masuk, kita harus bicara!" titah Ibu Mertua dengan nada tajam dan menegangkan, setelah aku sampai di hadapan mereka. Anakku Azfar tampak ketakutan, namun aku tak bisa mendekatinya saat ini karena aku pun sedang bingung dengan sikap Ibu Mertua. Mas Bambang pun sepertinya ikut marah padaku, namun ada rasa khawatir juga yang tergurat di wajahnya. Sedangkan Citra ... tatapannya mendelik sinis namun bibirnya tersenyum penuh kemenangan seakan dia senang sebentar lagi aku akan kena masalah. "Cepat buka!" teriak Ibu Mertua di dekat telingaku, saat aku hanya diam saja dan mengedarkan pandangan pada mereka. Aku pun membuka
Baca selengkapnya

Kiriman dari Mertua

"Tidak bisa, Ma. Aku sudah membelinya, pantang bagiku untuk menjual lagi." Aku menegaskan. Walau hati ini merasa takut, namun mulutku tak gentar mengucapkannya. "Asal kamu tahu ya, Dewi. Tanah itu sudah kutawar sejak lama, sejak si Citra bangun rumah di sini! Tapi si Mulyani itu gak mau menjualnya juga, sekarang kamu tiba-tiba membeli tanah itu. Jelas aku gak terima!" kata Ibu Mertua. "Bu Mulyani menjual tanah itu padaku, dan dia bilang aku tidak boleh memberikannya pada Mama," jawabku berbohong. "Baik, kalau itu jawabanmu, berarti kamu nantangin mertuamu sendiri!" "Tapi, Ma. Aku benar-benar tidak tahu kalau tanah itu sudah ditawar Mama," kataku"Halah, jangan pura-pura tidak tahu, deh. Semua orang juga sudah tahu! Kalau gak percaya, tanya aja sama tetangga-tetangga kita," celetuk Citra, sinis. Aku mengabaikan Citra dan menatap ibu mertuaku, dia terlihat sungguh-sungguh saat mengancamku. Kebiasaannya yang sering main dukun sebagai solusi, membuatku agak takut juga andai benar
Baca selengkapnya

Di Mana Uangku?

Bi Munah memperhatikan tubuhku. Kedua alisnya terpaut seakan heran dengan yang dilihatnya. "Lihat itu tanganmu, Wi. Muncul bintik-bintik merah begitu," kata Bi Munah. Aku melihat gagang sapu. Benar saja, punggung tanganku keluar bintik-bintik merah dan rasanya gatal. Kugulung ujung lengan bajuku yang panjang, betapa terkejutnya aku karena bintik-bintik merahnya kini menyebar hingga ke seluruh bagian tangan. Pantas saja dari tadi aku merasa gatal. "Iya, Bi. Rasanya gatal-gatal. Jangan-jangan benar kata Bi Munah, tanah ini mengandung guna-guna!" ucapku khawatir. "Nah, kan bener! Mertuamu itu emang gercep kalo soal main dukun," jawab Bi Munah. "Aku harus gimana, Bi?""Ya satu-satunya cara kamu harus menuruti keinginannya. Kalau tidak, ya kamu harus kuat," jawab Bi Munah. Setelah menjawab pertanyaannya, Bi Munah pamit pulang. Aku lanjut menyapu dan mengepel lantai. Pagi ini aku bangun kesiangan karena lelah sekali hari kemarin, aku juga lagi haid jadi tidak salat subuh. Sehingga, a
Baca selengkapnya

Buhul

Aku terduduk lemas bersandar ke ranjang, sudah tak bisa berpikir lagi. Masih tak habis pikir kenapa lemari itu bisa terbuka. Kalau pun ada yang mencuri, siapa pelakunya? Apakah Mas Bambang? Semalam suamiku itu memasuki kamar ini untuk menidurkan Azfar, Mas Bambang cukup lama berada di kamar. Tapi, dia langsung tertidur ketika aku menghampirinya. Ataukah Citra dan Ibu Mertua? Kudengar beberapa hari kemarin mereka berencana akan mencuri uang itu dariku. Tapi, kapan mereka mencurinya, mereka kan tidak pernah masuk kamarku? Kupijit-pijit keningku dengan cukup keras, berharap bisa sedikit merileks-kan kepalaku agar bisa berpikir jernih. Apakah aku lupa menyimpan uang itu, ataukah memang ada yang mencurinya? Ya Rabb ... bagaimana ini. Ayah Mertua pasti akan kecewa. Dan masa depanku jadi tidak jelas tanpa uang itu, aku tidak bisa membuka usaha. Air mataku menetes, hingga kelelahan dan aku tertidur.*Jam menunjukkan pukul dua belas siang ketika aku bangun. Di jam segini harusnya Azfa
Baca selengkapnya

Digeledah

QMereka langsung membuka pintu rumah kontrakanku tanpa mengetuk atau mengucap salam terlebih dahulu, seperti sedang memburu seorang penjahat. Segera kuhapus semua riwayat panggilan dalam ponselku, untuk berjaga-jaga seandainya Citra dan Ibu Mertua mengecek siapa saja yang menelponku terkait uang itu. Bisa gawat jika mereka tahu. "Dewi!" teriak Ibu Mertua seraya membuka pintu kamarku. Aku tersentak kaget saat mereka berdua memasuki kamar dengan tatapan menuduh. Pelan-pelan aku mundur hingga menabrak ranjang tempat tidurku, dan berhenti."Kak Dewi, kenapa Kakak seperti ketakutan begitu melihat kedatangan kami?" tanya Citra, menginterogasi. "Iya Dewi, kenapa kau ketakutan?" timpal Ibu Mertua. Aku diam saja dan tak mau menjawab, hanya memandangi mereka berdua sambil menebak-nebak apa yang akan mereka perbuat terhadapku. "Sepertinya, Kak Dewi merasa punya kesalahan sama kita, Ma!" ucap Citra pada Ibu Mertua. "Ya, betul sekali. Sangat terlihat jelas dari ekspresi wajah dan gerak-geri
Baca selengkapnya

Nantang

Kepanikanku semakin menjadi, apalagi Mas Bambang kini bereaksi seperti orang kesurupan, hingga anakku Azfar terlonjak dan refleks berlari ke luar rumah. "Mas ... astaghfirulloh. Kamu kenapa?" tanyaku dalam kepanikan. Aku seperti kehilangan akal, karena bertanya pada orang yang tak bisa menjawabnya. Mas Bambang mencekik lehernya sendiri, aku mencoba melepaskannya sekuat tenaga. Kulafadzkan doa-doa dan surat-surat pendek, juga ayat kursi. Aku yakin, ini semua pasti karena efek buhul itu. Meskipun aku tak mengerti dan bahkan tak percaya dengan hal-hal berbau mistis seperti ini, namun keadaan memaksaku percaya dan mencoba segala cara untuk mengusirnya. Alhamdulillah, lambat laun Mas Bambang semakin tenang. Dia sudah berhenti bersikap tak wajar, kini hanya erangan yang keluar dari bibirnya. Aku menyeka keringat Mas Bambang dengan sapu tangan, lalu memberinya minum yang sudah kutiupi doa. Mas Bambang langsung tertidur lelap, hingga mendengkur. Aku terus memandangi wajah suamiku yang ter
Baca selengkapnya

Puas

"Aku bukannya nantangin, Cit. Tapi memang itulah keahlianku, dan aku sudah merencanakan membuka salon sejak lama. Kalau kamu emang mau buka salon, ya buka aja atuh, kita usaha sendiri-sendiri toh rezeki udah ada yang ngatur!" jawabku sinis. "Heh Kak Dewi, kalau di kampung ini ada dua salon yang berdekatan nanti malah sepi, tau!" balas Citra nyolot. "Lho, apa hubungannya? Bilang aja kamu takut kalah bersaing!" sindirku. Citra berkacak pinggang, kedua matanya melotot, dia tak henti mengembuskan napas kasar diburu amarah dan napsu. Sementara aku semakin terpancing untuk membuatnya emosi, aku senang mengerjai Citra. Anak itu suka tak mau kalah, dan dia juga gampang marah. Seru ngerjainnya. "Mending sekarang Kakak batalkan niat Kakak itu! Miskin ya miskin aja, jangan belagu mau buka ruko segala! Mendingan jual tanah dan bahan bangunan itu ke aku, kubeli semuanya seharga seratus juta! Mas Kirno punya uangnya sekarang, jadi aku akan bayar cash!" paksa Citra. "Apaan seratus juta?! Sorry
Baca selengkapnya

Menuduh

Pegawai itu menghentikan pekerjaannya,mereka tak jadi menurunkan barang pesananku dari mobil."Tunggu!" cegahku. "Itu kan barang pesanan saya, ayo cepat selesaikan pekerjaan kalian, turunkan barang-barang itu dan letakkan dalam rumah saya!" titahku pada para pegawai."Tapi Ibu ini melarang kami," jawab salah seorang di antara mereka sambil mununjuk Ibu Mertua dengan dagu."Kenapa kalian lebih mendengarkannya dibanding aku? Kalian kan kerja padaku, bukan padanya! Itu pesananku, lho! Aku yang membayar barang-barang itu beserta ongkos kirimnya! Cepat, kerjakan saja apa yang kuperintahkan pada kalian!" tegasku.Mereka langsung menurut, dan dengan cekatan menurunkan semua barang-barang itu. Sementara Ibu Mertua dan Citra melihat ke arahku sambil mendelik sinis, aku balas mendelik pada mereka.Kuhampiri para pegawai itu, kukawal mereka masuk ke dalam rumah dan meletakkan barang di tempat yang kumaksud. Setelah selesai, para pegawai itu pulang."Aku masih penasaran deh, Ma. Dari mana Kak De
Baca selengkapnya

Asma

"Kura-kura dalam perahu. Jangan pura-pura tidak tahu!" cetusku.Ibu Mertua semakin mendekat ke arahku. Dia mendongakkan kepalanya seakan menantang berkelahi. "Apa maksudmu? Jaga sopan santunmu, aku ini masih mertuamu!" katanya."Aku tahu Mama menyimpan buhul yang berisi guna-guna di rumah kayu itu. Dan gara-gara buhul itu rumahtanggaku dengan Mas Bambang jadi tidak harmonis. Kami sering bertengkar, dan Mas Bambang seperti kehilangan akal sehatnya! Beruntung aku sudah menemukan buhul itu dan membakarnya, dan alhamdulillah sekarang Mas Bambang sudah sembuh dari guna-guna itu," balasku.Seketika Ibu Mertua menekan dadanya. "Jadi kamu menuduhku sebagai pelaku yang menyimpan buhul itu?" tanyanya terkejut."Siapa lagi kalau bukan Mama? Kan memang selama ini Mama sering main dukun. Bahkan Mama pernah mengancamku langsung, Mama bilang akan mendukuni aku!" jawabku.Citra memegangi tubuh Ibu Mertua yang hampir jatuh saat mendengar perkataanku. Untuk sesaat, Ibu Mertua mengatur irama napasnya ke
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status