Home / Urban / Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Hanya Rumahku Yang Selalu Dilewati: Chapter 11 - Chapter 20

36 Chapters

NGETAWAIN CITRA

Kutarik tali itu, berat sekali. Aku penasaran apa isi paperbag ini. Setelah berhasil menarik paperbag dari bawah rak piring, aku segera menggunting ujungnya yang dilem. Jantungku deg-degan, sepertinya aku punya firasat buruk. Aku jadi teringat saat pertama menikah dengan Mas Bambang, di malam pertamaku tinggal bersama mereka, Citra dan ibu mertua memberiku kado pernikahan dalam sebuah dus besar yang terasa berat sekali. Kukira isinya istimewa dan barang berharga, ternyata setelah kubuka isinya hanya daun-daun kering dan bongkahan batu. Aku sangat tak menyangka dan terkejut sekali saat itu, karena aku disambut oleh adik ipar dan mertuaku dengan cara yang tidak menyenangkan. Sampai saat ini rasanya aku tak percaya ada orang yang seperti itu di dunia ini, dan aku juga rasanya tak percaya mengalami hal di luar logika itu. Ibu Mertua dan Citra tak menyukaiku karena aku bukanlah pilihan mereka. Sebelumnya mereka menjodohkan Mas Bambang dengan seorang janda kaya. Namun Ayah Mertua tak s
Read more

Pisau Terbalik

*Pukul delapan malam, Aku dan Mas Bambang menemui Uwak Murni di rumah Citra. “Kalian kok baru datang?” tanya Uwak. “Tadi ngurus rumah dulu, Wak,” jawabku seraya duduk di sampingnya. “Kami datang dari jam satu siang lho. Kamu emang ngurus rumahnya seharian ya? Gak ada waktu istirahat, gitu?” tanya Uwak Murni. Sepertinya ia kecewa karena aku terlambat menemuinya. “Rumahmu segitu doang, masa ngurusnya seharian.”“Tadi siang aku tidur, bangun Ashar langsung sholat, terus masak, bebenah, ngurus anak suami dulu,” jelasku. “Nengok Uwak ke sini cuma bentar kok, gak akan nyita waktu kamu,” balasnya. Aku diam tak menanggapi. Jadi orang miskin di tengah-tengah keluarga kaya raya memang selalu disalahkan. “Aku tahu, Wi. Kamu tersinggung karena kami gak mampir rumahmu, kan? Jangan baper begitu, aku ini bawa anggota keluarga banyak, kalau kami datangnya ke rumahmu, kasihan ntar kamu kerepotan, rumahmu gak cukup nampung kami. Coba aja lihat, kami ada lima belas orang. Jadi realistis aja, buka
Read more

Gosipin Citra

“Mas gak punya musuh, Wi. Siapa yang mengerjai Mas tanpa alasan?” Ia balik bertanya.Aku mengembus napas kasar. Sudah tahu jawabannya. Tak salah lagi. Pasti ibunya sendiri yang mengerjai Mas Bambang. “Balsem ini gak ngaruh, Wi!” keluh suamiku. “Ya sudah, pakai lagi bajunya. Lanjut tidur aja,” kataku. “Mas tidur di ruang tengah ini aja ya, Wi. Berat jalan ke kamar,” pintanya. “Iya. Aku tidur di kamar ya, gordennya aku buka kok, biar kalau Mas kenapa-napa aku bisa langsung lihat. Berdoa dulu, Mas.”*Seperti biasa, aku bangun jam tiga pagi untuk menyiapkan dagangan suamiku. Aku membungkus seperempat kilo wortel dalam plastik yang semalam belum sempat terselesaikan. Hingga ketika sudah dapat kira-kira sepuluh bungkus wortel, aku berhenti dulu untuk melihat keadaan Mas Bambang yang semalam sempat mengeluh punggungnya berat. Alhamdulillah, dia tidur nyenyak. Tiba-tiba aku mendengar suara mesin mobil dinyalakan dari arah rumah Citra. Juga suara Uwak Murni dan Citra yang sedang berbicar
Read more

Pasukan Tetangga

“Bagus … bagus sekali! Gosipin aja aku teroosss! Puas, Kak?” ucap Citra dari belakang punggungku sambil bertepuk tangan. Aku kaget sekali, karena ternyata dia sudah berada di belakangku sedari tadi, dan ibu-ibu yang belanja sayur pun tak menyadari kedatangan Citra, saking asyiknya mengobrol. Ibu-ibu melanjutkan memilih sayuran, sambil pura-pura tak mendengar Citra bicara. Begitupun denganku, aku lebih memilih melayani mereka yang berbelanja, tak sedikitpun meladeni Citra. “Helloo! Aku di sini lho, dan kalian ngomongin aku seenak jidat? Gak takut dosa apa, hah?” sungut Citra. Tak ada yang menggubris Citra. Kami semua kini ngobrol dengan topik berbeda. Lagipula Citra kok berani banget, kami ini kan lebih tua darinya, tapi gaya Citra seolah-olah ngajak berantem. Karena itu, Citra jadi kesal. Dan dia melampiaskan kekesalannya padaku. “Eh, Kak Dewi! Jangan suka ngomongin aku di belakang ya, apalagi ngejelek-jelekin! Kakak lupa ya dua hari kemarin Kakak datang ke rumah aku ngemis-ngemis
Read more

Dewi Bertaring

Tak lama setelah mengancamku, Mas Bambang berangkat jualan sayur. Sementara aku yang masih sedikit syok dan khawatir akan terjadi pertengkaran lagi, langsung memasak air untuk mandi anakku Azfar. Sambil menunggu air matang, aku terus mencoba menenangkan diri sendiri. Mas Bambang telah mendengar percakapanku dengan ibu-ibu yang berbelanja sayur tadi, atau bisa saja suamiku itu megetahui karena mendapat aduan dari Citra, tadi sempat kulihat Citra masuk rumahku setelah sedikit kuancam. Tadi itu saking jengkelnya aku main nyeletuk aja membalas perkataan Citra di depan para ibu-ibu, tanpa sempat memikirkan akibatnya, bahwa hubunganku dengan Citra dan juga Mas Bambang bisa berantakan jika aku melawan. Aku melupakan nasihat mendiang ibuku, bahwa sebagai istri yang tinggal di lingkungan keluarga suami, aku tak seharusnya banyak melawan jika ingin rumah tangga langgeng. Karena jika melawan, keluarga suami pasti akan tak suka padaku. Dan bisa saja hal itu memicu keretakan rumahtanggaku. “B
Read more

Diusir

“Kenapa pahamu merah begini, Nak?” tanyaku sambil memeluk Azfar. “Dicubit tante Citra, Bu,” jawab Azfar sambil masih menangis. Ya Alloh, Ya Robbi … berani sekali Citra mencubit anakku sampai merah dan kebiru-biruan begini! Pantas saja Azfar tak henti menangis, dia pasti sangat kesakitan! Awas kau Citra, kali ini aku gak akan diam. Kalau kau berani menyakiti anakku, aku tak akan segan maju melawanmu! “Kenapa kok Tante Citra sampe nyubit kamu?”“Tadi waktu aku lagi main di depan rumah, Tante Citra manggil aku, terus pas aku samperin ke dalam rumahnya, dia langsug cubit pahaku, Bu,” rintih Azfar. “Jadi kamu gak salah apa-apa, Tante Citra main cubit aja?” tanyaku. Azfar mengangguk. Aku langsung membaluri bekas cubitan itu dengan minyak gosok. Hanya itu yang kupunya untuk pertolongan pertama, aku tak punya salep atau semacamnya. Setelah Azfar cukup tenang dan tangisnya mereda, aku mengajaknya menonton TV di ruang tengah. Selagi Azfar asyik menonton, aku bergegas ke rumah Citra untuk
Read more

Paperbag dan Hidup Baru

Tanpa pikir panjang, aku pergi dari rumah Citra. Lalu mendatangi rumah Bu Tini untuk minta tolong. Kebetulan Bu Tini punya beberapa rumah kontrakan kosong di kampung sebelah, aku berniat meninggalkan rumah kayuku dan sementara ikut tinggal di kontrakan Bu Tini. Kuceritakan pula alasan kenapa aku ingin mengontrak. “Gak apa-apa, Wi. Kamu gak usah mikirin gimana bayarnya. Kalau kamu belum punya uang, gak usah bayar dulu. Kasihan sekali kamu diusir mertua, Wi!” ucap Bu Tini. “Terimakasih ya, Bu. Saat ini aku butuh menjernihkan pikiran, setelah itu baru aku pikirkan ke mana harus cari uang,” kataku. Bu Tini menggenggam tanganku sambil menguatkan, “ya lebih baik sekarang kamu menjauh dari lingkungan keluarga suamimu itu. Nanti kalau kamu sudah siap, kamu bisa kerja di tokoku, Wi,” ucapnya. Aku bersyukur sekali masih ada yang peduli padaku. Meski suamiku dan keluarganya tak mempedulikanku, tapi aku punya tetangga yang baik. Setelah selesai berbincang, aku pamit dari rumah Bu Tini. Air
Read more

Doa yang Dikabulkan

“Astaghfirullohaladzim, Laa Ilaahaillalloh ….” Tubuhku terguncang, jantungku rasanya mau copot! Mata ini masih membulat dan tak mau berkedip melihat penampakan di hadapanku. Isi paperbag yang berserakan itu membuatku sesak napas. Dengan susah payah aku bangkit dari atas kasur, lalu mendekat ke arah paperbag. Sungguh hati ini masih kaget, tanganku sampai gemetaran memunguti lembaran merah uang seratusribuan yang sangat BANYAK sekali! “Ya Alloh, benarkah semua ini adalah uang? Pantas saja paperbag besar itu sangat berat dan isinya penuh. Ternyata uang! Merah-merah semua!” ucapku dengan bibir gemetar. Aku terus memunguti lembaran seratus ribuan ini, tanpa menghiraukan suara Citra dan Ibu Mertua yang masih saja ribut menyindirku di luar. Kumasukkan lagi uang-uang ini ke dalam paperbag. Lalu aku membaca surat yang diberikan oleh Ayah Mertua. Ternyata dia menyelipkan sepucuk surat untukku dalam paperbag ini. Menantuku, Dewi. Terimalah uang tiga ratus juta rupiah ini. Ayah senga
Read more

Manas-Manasin

Masa bodo dengan teriakan itu, aku langsung masuk ke dalam kontrakanku untuk bersiap-siap mengantar Azfar daftar ke sekolah. Aku sempat menoleh ke rumah kayuku, Mas Bambang tengah memperhatikanku dari pintu belakang. *“Berapa biayanya kalau mau lunas setahun?” tanyaku. “Tiga juta rupiah, Bu. Sudah dengan SPP,” jawab Bu Guru. “Kalau begitu, saya mau lunasin sekarang. Kapan anak saya mulai bisa bersekolah?”“Besok, Bu.” Bu Guru itu bernama Bu Mulyani, dia langsung menulis kwitansi pelunasan biaya sekolah anakku. Dan aku menerimanya dengan takjub. Cita-citaku menyekolahkan Azfar tahun ini dapat terwujud. “Oh ya, Bu. Ibu ini yang tinggal di kampung Bojong, kan? Yang rumahnya masih kayu itu?” lanjut Bu Mulyani bertanya. “Iya, kenapa memangnya kalo rumah saya kayu? Saya bisa kok nyekolahin anak saya,” jawabku sedikit tersinggung. “Aduh, maaf, Bu. Jangan tersinggung begitu, itu lho Bu, saya punya tanah cukup luas di belakang rumah kayu Ibu. Rencananya mau saya jual, barangkali Ibu ma
Read more

Siapa Dia?

“Apa itu?” tanya Ibu Mertua. “Kak Dewi pasti punya pacar deh, Ma. Dan pacarnya itu kaya raya! Dia udah selingkuh dari Kak Bambang. Keterlaluan banget!” jawab Citra. Aku hanya terkekeh mendengarnya. “Mana mungkin, Citra! Lelaki mana yang mau sama dia? Si Dewi itu kan kumal, cara berpakaiannya aja kayak perempuan kuno! Gak mungkin deh, kalau dia punya pacar!” timpal Ibu Mertua. “Iya juga sih, Ma. Gak mungkin banget, ya. Lihat aja kulit tubuhnya kering bersisik, apalagi kulit wajahnya … gak pernah tersentuh skincare! Heran deh, gimana Mas Bambang bisa betah sama Kak Dewi, ya?” balas Citra. Hmm … mereka menghina penampilanku. Lihat saja nanti pas pengajian sore, aku sudah menyiapkan set gamis dan juga perlengkapan lainnya yang dapat menunjang penampilanku. Ya, mereka memang benar kok, selama ini aku tampil kuno dan tanpa perawatan apa-apa, dan bahkan aku sering dihina jelek oleh keluarga suamiku, semua karena suamiku tak punya uang untuk memodali penampilanku! Tapi lihat saja nanti s
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status