“Kenapa pahamu merah begini, Nak?” tanyaku sambil memeluk Azfar. “Dicubit tante Citra, Bu,” jawab Azfar sambil masih menangis. Ya Alloh, Ya Robbi … berani sekali Citra mencubit anakku sampai merah dan kebiru-biruan begini! Pantas saja Azfar tak henti menangis, dia pasti sangat kesakitan! Awas kau Citra, kali ini aku gak akan diam. Kalau kau berani menyakiti anakku, aku tak akan segan maju melawanmu! “Kenapa kok Tante Citra sampe nyubit kamu?”“Tadi waktu aku lagi main di depan rumah, Tante Citra manggil aku, terus pas aku samperin ke dalam rumahnya, dia langsug cubit pahaku, Bu,” rintih Azfar. “Jadi kamu gak salah apa-apa, Tante Citra main cubit aja?” tanyaku. Azfar mengangguk. Aku langsung membaluri bekas cubitan itu dengan minyak gosok. Hanya itu yang kupunya untuk pertolongan pertama, aku tak punya salep atau semacamnya. Setelah Azfar cukup tenang dan tangisnya mereda, aku mengajaknya menonton TV di ruang tengah. Selagi Azfar asyik menonton, aku bergegas ke rumah Citra untuk
Tanpa pikir panjang, aku pergi dari rumah Citra. Lalu mendatangi rumah Bu Tini untuk minta tolong. Kebetulan Bu Tini punya beberapa rumah kontrakan kosong di kampung sebelah, aku berniat meninggalkan rumah kayuku dan sementara ikut tinggal di kontrakan Bu Tini. Kuceritakan pula alasan kenapa aku ingin mengontrak. “Gak apa-apa, Wi. Kamu gak usah mikirin gimana bayarnya. Kalau kamu belum punya uang, gak usah bayar dulu. Kasihan sekali kamu diusir mertua, Wi!” ucap Bu Tini. “Terimakasih ya, Bu. Saat ini aku butuh menjernihkan pikiran, setelah itu baru aku pikirkan ke mana harus cari uang,” kataku. Bu Tini menggenggam tanganku sambil menguatkan, “ya lebih baik sekarang kamu menjauh dari lingkungan keluarga suamimu itu. Nanti kalau kamu sudah siap, kamu bisa kerja di tokoku, Wi,” ucapnya. Aku bersyukur sekali masih ada yang peduli padaku. Meski suamiku dan keluarganya tak mempedulikanku, tapi aku punya tetangga yang baik. Setelah selesai berbincang, aku pamit dari rumah Bu Tini. Air
“Astaghfirullohaladzim, Laa Ilaahaillalloh ….” Tubuhku terguncang, jantungku rasanya mau copot! Mata ini masih membulat dan tak mau berkedip melihat penampakan di hadapanku. Isi paperbag yang berserakan itu membuatku sesak napas. Dengan susah payah aku bangkit dari atas kasur, lalu mendekat ke arah paperbag. Sungguh hati ini masih kaget, tanganku sampai gemetaran memunguti lembaran merah uang seratusribuan yang sangat BANYAK sekali! “Ya Alloh, benarkah semua ini adalah uang? Pantas saja paperbag besar itu sangat berat dan isinya penuh. Ternyata uang! Merah-merah semua!” ucapku dengan bibir gemetar. Aku terus memunguti lembaran seratus ribuan ini, tanpa menghiraukan suara Citra dan Ibu Mertua yang masih saja ribut menyindirku di luar. Kumasukkan lagi uang-uang ini ke dalam paperbag. Lalu aku membaca surat yang diberikan oleh Ayah Mertua. Ternyata dia menyelipkan sepucuk surat untukku dalam paperbag ini. Menantuku, Dewi. Terimalah uang tiga ratus juta rupiah ini. Ayah senga
Masa bodo dengan teriakan itu, aku langsung masuk ke dalam kontrakanku untuk bersiap-siap mengantar Azfar daftar ke sekolah. Aku sempat menoleh ke rumah kayuku, Mas Bambang tengah memperhatikanku dari pintu belakang. *“Berapa biayanya kalau mau lunas setahun?” tanyaku. “Tiga juta rupiah, Bu. Sudah dengan SPP,” jawab Bu Guru. “Kalau begitu, saya mau lunasin sekarang. Kapan anak saya mulai bisa bersekolah?”“Besok, Bu.” Bu Guru itu bernama Bu Mulyani, dia langsung menulis kwitansi pelunasan biaya sekolah anakku. Dan aku menerimanya dengan takjub. Cita-citaku menyekolahkan Azfar tahun ini dapat terwujud. “Oh ya, Bu. Ibu ini yang tinggal di kampung Bojong, kan? Yang rumahnya masih kayu itu?” lanjut Bu Mulyani bertanya. “Iya, kenapa memangnya kalo rumah saya kayu? Saya bisa kok nyekolahin anak saya,” jawabku sedikit tersinggung. “Aduh, maaf, Bu. Jangan tersinggung begitu, itu lho Bu, saya punya tanah cukup luas di belakang rumah kayu Ibu. Rencananya mau saya jual, barangkali Ibu ma
“Apa itu?” tanya Ibu Mertua. “Kak Dewi pasti punya pacar deh, Ma. Dan pacarnya itu kaya raya! Dia udah selingkuh dari Kak Bambang. Keterlaluan banget!” jawab Citra. Aku hanya terkekeh mendengarnya. “Mana mungkin, Citra! Lelaki mana yang mau sama dia? Si Dewi itu kan kumal, cara berpakaiannya aja kayak perempuan kuno! Gak mungkin deh, kalau dia punya pacar!” timpal Ibu Mertua. “Iya juga sih, Ma. Gak mungkin banget, ya. Lihat aja kulit tubuhnya kering bersisik, apalagi kulit wajahnya … gak pernah tersentuh skincare! Heran deh, gimana Mas Bambang bisa betah sama Kak Dewi, ya?” balas Citra. Hmm … mereka menghina penampilanku. Lihat saja nanti pas pengajian sore, aku sudah menyiapkan set gamis dan juga perlengkapan lainnya yang dapat menunjang penampilanku. Ya, mereka memang benar kok, selama ini aku tampil kuno dan tanpa perawatan apa-apa, dan bahkan aku sering dihina jelek oleh keluarga suamiku, semua karena suamiku tak punya uang untuk memodali penampilanku! Tapi lihat saja nanti s
"Itu si Dewi!" seru Ibu MertuaAku langsung masuk ke dalam setelah mengucap salam. Mereka masih menatap kagum padaku. "Wi, ini beneran kamu?" tanya Mpok Siti. "Iya bener, Mpok. Ini aku, memangnya siapa lagi?" jawabku balik bertanya. "Tadi kukira kamu Citra Kirana, Wi!" seru Bi Minah. "Iya lho, Wi. Kamu mirip Citra Kirana kalau dandan begini!" timpal yang lain. Aku teripu malu. Usiaku memang baru tiga puluh tahun, masih terbilang muda dan cantik jika punya modal untuk merawat diri. Tak lama setelah aku bercengkerama dengan para tamu, Bu Tini sang tuan rumah muncul dari kamarnya, dia sedikit terperanjat saat melihat keberadaanku."Wah, Ibu-Ibu ... apa kita punya tetangga baru?" tanya Bu Tini setelah dia melihatku. "Enggak kok, Bu," jawab para tamu bersamaan. "Lalu ini siapa? Seperti artis Citra Kirana." Bu Tini keheranan sambil terus memperhatikanku. "Ini saya Dewi, Bu," jawabku. "Lho? Gak salah, Wi? Kamu beda banget. Saya sampai gak ngenalin kamu. Alhamdulillah kalau kamu sek
Kalau benar tentang uang tiga ratus juta itu, dari mana mereka mengetahuinya? Aku semakin deg-degan ketika melihat wajah Ibu Mertua merah padam, tak ada yang bisa melawan ataupun mengatasi kemarahan wanita paling disegani di keluarga suamiku itu. Meski tadi aku sempat mengerjainya, tetapi bukan berarti aku bisa menang melawannya. "Cepat buka pintu kontrakanmu! Kami mau masuk, kita harus bicara!" titah Ibu Mertua dengan nada tajam dan menegangkan, setelah aku sampai di hadapan mereka. Anakku Azfar tampak ketakutan, namun aku tak bisa mendekatinya saat ini karena aku pun sedang bingung dengan sikap Ibu Mertua. Mas Bambang pun sepertinya ikut marah padaku, namun ada rasa khawatir juga yang tergurat di wajahnya. Sedangkan Citra ... tatapannya mendelik sinis namun bibirnya tersenyum penuh kemenangan seakan dia senang sebentar lagi aku akan kena masalah. "Cepat buka!" teriak Ibu Mertua di dekat telingaku, saat aku hanya diam saja dan mengedarkan pandangan pada mereka. Aku pun membuka
"Tidak bisa, Ma. Aku sudah membelinya, pantang bagiku untuk menjual lagi." Aku menegaskan. Walau hati ini merasa takut, namun mulutku tak gentar mengucapkannya. "Asal kamu tahu ya, Dewi. Tanah itu sudah kutawar sejak lama, sejak si Citra bangun rumah di sini! Tapi si Mulyani itu gak mau menjualnya juga, sekarang kamu tiba-tiba membeli tanah itu. Jelas aku gak terima!" kata Ibu Mertua. "Bu Mulyani menjual tanah itu padaku, dan dia bilang aku tidak boleh memberikannya pada Mama," jawabku berbohong. "Baik, kalau itu jawabanmu, berarti kamu nantangin mertuamu sendiri!" "Tapi, Ma. Aku benar-benar tidak tahu kalau tanah itu sudah ditawar Mama," kataku"Halah, jangan pura-pura tidak tahu, deh. Semua orang juga sudah tahu! Kalau gak percaya, tanya aja sama tetangga-tetangga kita," celetuk Citra, sinis. Aku mengabaikan Citra dan menatap ibu mertuaku, dia terlihat sungguh-sungguh saat mengancamku. Kebiasaannya yang sering main dukun sebagai solusi, membuatku agak takut juga andai benar
Ayah Mertua tentu kaget Haji Sadeli tiba-tiba menagih utang."Utang apa, Pak Haji?" tanya Ayah Mertua."Bekas bangun rumah anak ente ini!" jawab Haji Sadeli sambil menunjuk rumah gedong Citra.Aku sudah tidak kaget lagi mendengarnya. Berbeda dengan Mas Bambang dan Ayah Mertua, mereka sangat terkejut dan tak percaya."Gak mungkin! Waktu bikin rumah ini, aku sudah berikan sejumlah uang yang sangat banyak pada istriku itu untuk membeli cash bahan bangunan darimu!" bela Ayah Mertua.Aku dan Mas Bambang memilih diam tak ikut campur.Haji Sadeli mengeluarkan buku catatan utang dari dalam tas nya lalu menunjukkan pada Ayah Mertua. "Ini lihat saja kalau ente kagak percaya! Utang mereka seratusjuta, ada tanda tangan istri ente juga di sini!" ucapnya sambil menunjuk-nunjuk pada buku utang.Ayah Mertua mengembuskan napas kasar. Sekarang, baru dia percaya bahwa istrinya banyak utang. "Ternyata benar. Ya sudah, aku minta maaf. Akan aku lunasi tapi nanti setelah aku bertemu dengan istriku. Sekaran
Mas Bambang langsung menyembunyikan balok kayu ke belakang punggung. Aku berusaha menghalangi pandangan Ayah Mertua pada gerak-gerik Mas Bambang yang mencurigakan.Ayah Mertua mengernyit. "Apa yang kau sembunyikan, Bambang?" tanyanya."Bu—bukan apa-apa, Yah," jawab Mas Bambang.Ayah Mertua tidak percaya begitu saja. Dia bertanya padaku. "Ada apa ini, Dewi?"Bibirku gatal ingin mengungkap semuanya, melaporkan perbuatan Kirno yang di kuar batas. Namun, Mas Bambang menatapku tajak, memberi kode agar aku tak mengatakan apapun."Ayah, kami sedang membangun ruko," jawabku."Terus kenapa kalian lari-larian seperti saling mengejar?"Bibirku gatal sekali ingin bicara, lagi-lagi Mas Bambang menahanku."Kenapa Dewi?" tanya Ayah Mertua lagi, saat aku hanya diam saja."Ayah, ayo lihat pembangunan ruko kami. Hari ini hari pertama pembangunan, para tukang baru membuat pondasinya, tolong lihat apa saja yang kurang. Biar jadi masukan untuk para pekerja. Ayah kan berpengalaman jadi kepala proyek dan me
“Tepat sekali.” Mas Bambang menjawab.“Terus kenapa Mas gak ngasih tahu aku, Mas?“Karena Mas gak mau kamu dan Kirno jadi bermasalah. Mas sudah membayangkan, kalau Mas ngasih tahu kamu , kamu pasti akan langsung marah sama Kirno dan akhirnya bertengkar,” jelas Mas Bambang. Dia mencoba menenangkanku yang tersulut emosi.“Tapi sama saja, Mas. Sekarang juga pada akhirnya aku dan Kirno harus bertengkar. Bahkan, dengan adik dan mamamu juga. Coba kalau Mas bilang sejak awal kalau Kirno lah yang menyimpan buhul itu, aku gak akan langsung menuduh Mama dan Citra,” kataku agak kesal.Mas Bambang tampak berpikir keras, berulang kali ia mengatur napas hingga terlihat rasa bersalah atas situasi ini. Aku tak ingin membuatnya bertambah kepikiran, jadi aku pun mengalihkan pembicaraan.“Ya sudah, Mas, semua sudah terlanjur terjadi. Lalu, bagaimana awal mulanya Mas bermasalah dengan Kirno?” lanjutku bertanya.Suamiku itu menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Semua berawal ketika Mas jual tanah Jura
"Astaghfirulloh, menaruh racun di adonan bakwan? Mana mungkin aku melakukannya, Ma! Jangan sembarangan menuduh!" ucapku."Siapa yang sembarangan menuduh? Kan kamu lagi bikin ruko buat usaha salon, bisa jadi kamu menumbalkan suamimu sendiri, Dewi!" tuduh Ibu Mertua dengan begitu kejamnya.Aku menekan dada sekuat tenaga, sesak rasanya. Jengkel dan marah bercampur jadi satu, entah bagaimana jadinya jika emosi itu tidak kutahan. Mungkin mulut Citra dan Ibu Mertua sudah babak belur."Benar atau tidak, Kak? Karena jaman sekarang itu lagi musim tumbal-tumbalan. Di depan sana pernah kejadian tumbal warung soto yang baru saja di bangun, setiap anak kecil yang lewat di depannya akan ketabrak mobil. Ada juga yang menumbalkan suaminya sendiri untuk melancarakan usahanya. Itu semua fakta lho, Kak. Lagian, Kakak kan dapat uang banyak secara mendadak ya, bisa jadi itu semua didapatkan dengan ilmu hitam yang menuntut tumbal! Dan Kakak memilih Mas Bambang sebagai tumbalnya. Wajar kan kalau kami menyan
"Kirno!" Kuberanikan diri memanggil orang itu. Seketika dia terperanjat hingga botol yang dipeganginya terjatuh dan seluruh isinya tumpah. Aku mendekat sambil terus memperhatikan wajahnya yang tidak terlihat jelas di bawah gelapnya langit dini hari dan remang lampu depan rumah kayuku. Semakin kuperhatikan, semakin membuatku terkejut. Karena yang kupergoki itu benar Kirno! Dia gemetaran dan mundur perlahan-lahan, hendak kabur saat aku mendekatinya."Kirno! Apa yang kamu lakukan?" "A—anu, Kak—" jawabnya terbata. Dia tak mampu menjawab."Apa, Kirno? Sedang apa kamu menyirami air ke sekeliling rumah kayuku? Untuk apa, hah?" tanyaku memburu.Kirno semakin gemetaran. Dia sangat ketakutan sekaligus kebingungan menjawab pertanyaanku, terlihat jelas dari ekspresi wajahnya. Kini aku berhadapan dengannya, sehingga aku bisa melihat wajah Kirno dengan sangat jelas."Kak, anu—" jawabnya, masih terbata."Una-anu una-anu ... jawab yang bener! Kamu pasti niat jahat kan sama keluargaku? Astaghfirullo
Astaghfirulloh, rupanya karena hal itu mereka usil terhadap pembangunan rukoku? Dari mulai aku membeli tanah, membeli barang pesanan, hingga kini pembangunan ruko sudah dimulai mereka selalu memantau. Itu semua karena mereka kecewa aku tidak mempekerjakan Kirno? Ya Alloh, ampuni aku. Aku tidak bermaksud buruk atas semua ini."Tapi, Ma. Setahuku kan Kirno sedang ada proyek pembangunan kelapa sawit di kampung sebelah. Aku tidak tahu kalau proyeknya akan berkahir bertepatan dengan pembangunan rukoku, karena itulah aku memutuskan untuk menyewa tukang dari Haji Sadeli saja," jawabku menjelaskan.Ibu Mertua melipat tangan di dada, dia mendelik sinis sambil berkata, "kenapa kamu gak tanya-tanya dulu sama Citra, kapan Kirno pulang, bisa gak Kirno kerja bangun ruko kamu. Basa basi kek, apa kek, ini mah enggak ada, malah main selonong aja tau-tau kami lihat sudah ramai orang bekerja di lahanmu. Kamu juga beli tanah dan bangun rukomu itu tanpa izin dulu ke Bambang kan? Kenapa sih, Dewi kamu apa-
"Kura-kura dalam perahu. Jangan pura-pura tidak tahu!" cetusku.Ibu Mertua semakin mendekat ke arahku. Dia mendongakkan kepalanya seakan menantang berkelahi. "Apa maksudmu? Jaga sopan santunmu, aku ini masih mertuamu!" katanya."Aku tahu Mama menyimpan buhul yang berisi guna-guna di rumah kayu itu. Dan gara-gara buhul itu rumahtanggaku dengan Mas Bambang jadi tidak harmonis. Kami sering bertengkar, dan Mas Bambang seperti kehilangan akal sehatnya! Beruntung aku sudah menemukan buhul itu dan membakarnya, dan alhamdulillah sekarang Mas Bambang sudah sembuh dari guna-guna itu," balasku.Seketika Ibu Mertua menekan dadanya. "Jadi kamu menuduhku sebagai pelaku yang menyimpan buhul itu?" tanyanya terkejut."Siapa lagi kalau bukan Mama? Kan memang selama ini Mama sering main dukun. Bahkan Mama pernah mengancamku langsung, Mama bilang akan mendukuni aku!" jawabku.Citra memegangi tubuh Ibu Mertua yang hampir jatuh saat mendengar perkataanku. Untuk sesaat, Ibu Mertua mengatur irama napasnya ke
Pegawai itu menghentikan pekerjaannya,mereka tak jadi menurunkan barang pesananku dari mobil."Tunggu!" cegahku. "Itu kan barang pesanan saya, ayo cepat selesaikan pekerjaan kalian, turunkan barang-barang itu dan letakkan dalam rumah saya!" titahku pada para pegawai."Tapi Ibu ini melarang kami," jawab salah seorang di antara mereka sambil mununjuk Ibu Mertua dengan dagu."Kenapa kalian lebih mendengarkannya dibanding aku? Kalian kan kerja padaku, bukan padanya! Itu pesananku, lho! Aku yang membayar barang-barang itu beserta ongkos kirimnya! Cepat, kerjakan saja apa yang kuperintahkan pada kalian!" tegasku.Mereka langsung menurut, dan dengan cekatan menurunkan semua barang-barang itu. Sementara Ibu Mertua dan Citra melihat ke arahku sambil mendelik sinis, aku balas mendelik pada mereka.Kuhampiri para pegawai itu, kukawal mereka masuk ke dalam rumah dan meletakkan barang di tempat yang kumaksud. Setelah selesai, para pegawai itu pulang."Aku masih penasaran deh, Ma. Dari mana Kak De
"Aku bukannya nantangin, Cit. Tapi memang itulah keahlianku, dan aku sudah merencanakan membuka salon sejak lama. Kalau kamu emang mau buka salon, ya buka aja atuh, kita usaha sendiri-sendiri toh rezeki udah ada yang ngatur!" jawabku sinis. "Heh Kak Dewi, kalau di kampung ini ada dua salon yang berdekatan nanti malah sepi, tau!" balas Citra nyolot. "Lho, apa hubungannya? Bilang aja kamu takut kalah bersaing!" sindirku. Citra berkacak pinggang, kedua matanya melotot, dia tak henti mengembuskan napas kasar diburu amarah dan napsu. Sementara aku semakin terpancing untuk membuatnya emosi, aku senang mengerjai Citra. Anak itu suka tak mau kalah, dan dia juga gampang marah. Seru ngerjainnya. "Mending sekarang Kakak batalkan niat Kakak itu! Miskin ya miskin aja, jangan belagu mau buka ruko segala! Mendingan jual tanah dan bahan bangunan itu ke aku, kubeli semuanya seharga seratus juta! Mas Kirno punya uangnya sekarang, jadi aku akan bayar cash!" paksa Citra. "Apaan seratus juta?! Sorry