Kalau benar tentang uang tiga ratus juta itu, dari mana mereka mengetahuinya? Aku semakin deg-degan ketika melihat wajah Ibu Mertua merah padam, tak ada yang bisa melawan ataupun mengatasi kemarahan wanita paling disegani di keluarga suamiku itu. Meski tadi aku sempat mengerjainya, tetapi bukan berarti aku bisa menang melawannya. "Cepat buka pintu kontrakanmu! Kami mau masuk, kita harus bicara!" titah Ibu Mertua dengan nada tajam dan menegangkan, setelah aku sampai di hadapan mereka. Anakku Azfar tampak ketakutan, namun aku tak bisa mendekatinya saat ini karena aku pun sedang bingung dengan sikap Ibu Mertua. Mas Bambang pun sepertinya ikut marah padaku, namun ada rasa khawatir juga yang tergurat di wajahnya. Sedangkan Citra ... tatapannya mendelik sinis namun bibirnya tersenyum penuh kemenangan seakan dia senang sebentar lagi aku akan kena masalah. "Cepat buka!" teriak Ibu Mertua di dekat telingaku, saat aku hanya diam saja dan mengedarkan pandangan pada mereka. Aku pun membuka
"Tidak bisa, Ma. Aku sudah membelinya, pantang bagiku untuk menjual lagi." Aku menegaskan. Walau hati ini merasa takut, namun mulutku tak gentar mengucapkannya. "Asal kamu tahu ya, Dewi. Tanah itu sudah kutawar sejak lama, sejak si Citra bangun rumah di sini! Tapi si Mulyani itu gak mau menjualnya juga, sekarang kamu tiba-tiba membeli tanah itu. Jelas aku gak terima!" kata Ibu Mertua. "Bu Mulyani menjual tanah itu padaku, dan dia bilang aku tidak boleh memberikannya pada Mama," jawabku berbohong. "Baik, kalau itu jawabanmu, berarti kamu nantangin mertuamu sendiri!" "Tapi, Ma. Aku benar-benar tidak tahu kalau tanah itu sudah ditawar Mama," kataku"Halah, jangan pura-pura tidak tahu, deh. Semua orang juga sudah tahu! Kalau gak percaya, tanya aja sama tetangga-tetangga kita," celetuk Citra, sinis. Aku mengabaikan Citra dan menatap ibu mertuaku, dia terlihat sungguh-sungguh saat mengancamku. Kebiasaannya yang sering main dukun sebagai solusi, membuatku agak takut juga andai benar
Bi Munah memperhatikan tubuhku. Kedua alisnya terpaut seakan heran dengan yang dilihatnya. "Lihat itu tanganmu, Wi. Muncul bintik-bintik merah begitu," kata Bi Munah. Aku melihat gagang sapu. Benar saja, punggung tanganku keluar bintik-bintik merah dan rasanya gatal. Kugulung ujung lengan bajuku yang panjang, betapa terkejutnya aku karena bintik-bintik merahnya kini menyebar hingga ke seluruh bagian tangan. Pantas saja dari tadi aku merasa gatal. "Iya, Bi. Rasanya gatal-gatal. Jangan-jangan benar kata Bi Munah, tanah ini mengandung guna-guna!" ucapku khawatir. "Nah, kan bener! Mertuamu itu emang gercep kalo soal main dukun," jawab Bi Munah. "Aku harus gimana, Bi?""Ya satu-satunya cara kamu harus menuruti keinginannya. Kalau tidak, ya kamu harus kuat," jawab Bi Munah. Setelah menjawab pertanyaannya, Bi Munah pamit pulang. Aku lanjut menyapu dan mengepel lantai. Pagi ini aku bangun kesiangan karena lelah sekali hari kemarin, aku juga lagi haid jadi tidak salat subuh. Sehingga, a
Aku terduduk lemas bersandar ke ranjang, sudah tak bisa berpikir lagi. Masih tak habis pikir kenapa lemari itu bisa terbuka. Kalau pun ada yang mencuri, siapa pelakunya? Apakah Mas Bambang? Semalam suamiku itu memasuki kamar ini untuk menidurkan Azfar, Mas Bambang cukup lama berada di kamar. Tapi, dia langsung tertidur ketika aku menghampirinya. Ataukah Citra dan Ibu Mertua? Kudengar beberapa hari kemarin mereka berencana akan mencuri uang itu dariku. Tapi, kapan mereka mencurinya, mereka kan tidak pernah masuk kamarku? Kupijit-pijit keningku dengan cukup keras, berharap bisa sedikit merileks-kan kepalaku agar bisa berpikir jernih. Apakah aku lupa menyimpan uang itu, ataukah memang ada yang mencurinya? Ya Rabb ... bagaimana ini. Ayah Mertua pasti akan kecewa. Dan masa depanku jadi tidak jelas tanpa uang itu, aku tidak bisa membuka usaha. Air mataku menetes, hingga kelelahan dan aku tertidur.*Jam menunjukkan pukul dua belas siang ketika aku bangun. Di jam segini harusnya Azfa
QMereka langsung membuka pintu rumah kontrakanku tanpa mengetuk atau mengucap salam terlebih dahulu, seperti sedang memburu seorang penjahat. Segera kuhapus semua riwayat panggilan dalam ponselku, untuk berjaga-jaga seandainya Citra dan Ibu Mertua mengecek siapa saja yang menelponku terkait uang itu. Bisa gawat jika mereka tahu. "Dewi!" teriak Ibu Mertua seraya membuka pintu kamarku. Aku tersentak kaget saat mereka berdua memasuki kamar dengan tatapan menuduh. Pelan-pelan aku mundur hingga menabrak ranjang tempat tidurku, dan berhenti."Kak Dewi, kenapa Kakak seperti ketakutan begitu melihat kedatangan kami?" tanya Citra, menginterogasi. "Iya Dewi, kenapa kau ketakutan?" timpal Ibu Mertua. Aku diam saja dan tak mau menjawab, hanya memandangi mereka berdua sambil menebak-nebak apa yang akan mereka perbuat terhadapku. "Sepertinya, Kak Dewi merasa punya kesalahan sama kita, Ma!" ucap Citra pada Ibu Mertua. "Ya, betul sekali. Sangat terlihat jelas dari ekspresi wajah dan gerak-geri
Kepanikanku semakin menjadi, apalagi Mas Bambang kini bereaksi seperti orang kesurupan, hingga anakku Azfar terlonjak dan refleks berlari ke luar rumah. "Mas ... astaghfirulloh. Kamu kenapa?" tanyaku dalam kepanikan. Aku seperti kehilangan akal, karena bertanya pada orang yang tak bisa menjawabnya. Mas Bambang mencekik lehernya sendiri, aku mencoba melepaskannya sekuat tenaga. Kulafadzkan doa-doa dan surat-surat pendek, juga ayat kursi. Aku yakin, ini semua pasti karena efek buhul itu. Meskipun aku tak mengerti dan bahkan tak percaya dengan hal-hal berbau mistis seperti ini, namun keadaan memaksaku percaya dan mencoba segala cara untuk mengusirnya. Alhamdulillah, lambat laun Mas Bambang semakin tenang. Dia sudah berhenti bersikap tak wajar, kini hanya erangan yang keluar dari bibirnya. Aku menyeka keringat Mas Bambang dengan sapu tangan, lalu memberinya minum yang sudah kutiupi doa. Mas Bambang langsung tertidur lelap, hingga mendengkur. Aku terus memandangi wajah suamiku yang ter
"Aku bukannya nantangin, Cit. Tapi memang itulah keahlianku, dan aku sudah merencanakan membuka salon sejak lama. Kalau kamu emang mau buka salon, ya buka aja atuh, kita usaha sendiri-sendiri toh rezeki udah ada yang ngatur!" jawabku sinis. "Heh Kak Dewi, kalau di kampung ini ada dua salon yang berdekatan nanti malah sepi, tau!" balas Citra nyolot. "Lho, apa hubungannya? Bilang aja kamu takut kalah bersaing!" sindirku. Citra berkacak pinggang, kedua matanya melotot, dia tak henti mengembuskan napas kasar diburu amarah dan napsu. Sementara aku semakin terpancing untuk membuatnya emosi, aku senang mengerjai Citra. Anak itu suka tak mau kalah, dan dia juga gampang marah. Seru ngerjainnya. "Mending sekarang Kakak batalkan niat Kakak itu! Miskin ya miskin aja, jangan belagu mau buka ruko segala! Mendingan jual tanah dan bahan bangunan itu ke aku, kubeli semuanya seharga seratus juta! Mas Kirno punya uangnya sekarang, jadi aku akan bayar cash!" paksa Citra. "Apaan seratus juta?! Sorry
Pegawai itu menghentikan pekerjaannya,mereka tak jadi menurunkan barang pesananku dari mobil."Tunggu!" cegahku. "Itu kan barang pesanan saya, ayo cepat selesaikan pekerjaan kalian, turunkan barang-barang itu dan letakkan dalam rumah saya!" titahku pada para pegawai."Tapi Ibu ini melarang kami," jawab salah seorang di antara mereka sambil mununjuk Ibu Mertua dengan dagu."Kenapa kalian lebih mendengarkannya dibanding aku? Kalian kan kerja padaku, bukan padanya! Itu pesananku, lho! Aku yang membayar barang-barang itu beserta ongkos kirimnya! Cepat, kerjakan saja apa yang kuperintahkan pada kalian!" tegasku.Mereka langsung menurut, dan dengan cekatan menurunkan semua barang-barang itu. Sementara Ibu Mertua dan Citra melihat ke arahku sambil mendelik sinis, aku balas mendelik pada mereka.Kuhampiri para pegawai itu, kukawal mereka masuk ke dalam rumah dan meletakkan barang di tempat yang kumaksud. Setelah selesai, para pegawai itu pulang."Aku masih penasaran deh, Ma. Dari mana Kak De
Ayah Mertua tentu kaget Haji Sadeli tiba-tiba menagih utang."Utang apa, Pak Haji?" tanya Ayah Mertua."Bekas bangun rumah anak ente ini!" jawab Haji Sadeli sambil menunjuk rumah gedong Citra.Aku sudah tidak kaget lagi mendengarnya. Berbeda dengan Mas Bambang dan Ayah Mertua, mereka sangat terkejut dan tak percaya."Gak mungkin! Waktu bikin rumah ini, aku sudah berikan sejumlah uang yang sangat banyak pada istriku itu untuk membeli cash bahan bangunan darimu!" bela Ayah Mertua.Aku dan Mas Bambang memilih diam tak ikut campur.Haji Sadeli mengeluarkan buku catatan utang dari dalam tas nya lalu menunjukkan pada Ayah Mertua. "Ini lihat saja kalau ente kagak percaya! Utang mereka seratusjuta, ada tanda tangan istri ente juga di sini!" ucapnya sambil menunjuk-nunjuk pada buku utang.Ayah Mertua mengembuskan napas kasar. Sekarang, baru dia percaya bahwa istrinya banyak utang. "Ternyata benar. Ya sudah, aku minta maaf. Akan aku lunasi tapi nanti setelah aku bertemu dengan istriku. Sekaran
Mas Bambang langsung menyembunyikan balok kayu ke belakang punggung. Aku berusaha menghalangi pandangan Ayah Mertua pada gerak-gerik Mas Bambang yang mencurigakan.Ayah Mertua mengernyit. "Apa yang kau sembunyikan, Bambang?" tanyanya."Bu—bukan apa-apa, Yah," jawab Mas Bambang.Ayah Mertua tidak percaya begitu saja. Dia bertanya padaku. "Ada apa ini, Dewi?"Bibirku gatal ingin mengungkap semuanya, melaporkan perbuatan Kirno yang di kuar batas. Namun, Mas Bambang menatapku tajak, memberi kode agar aku tak mengatakan apapun."Ayah, kami sedang membangun ruko," jawabku."Terus kenapa kalian lari-larian seperti saling mengejar?"Bibirku gatal sekali ingin bicara, lagi-lagi Mas Bambang menahanku."Kenapa Dewi?" tanya Ayah Mertua lagi, saat aku hanya diam saja."Ayah, ayo lihat pembangunan ruko kami. Hari ini hari pertama pembangunan, para tukang baru membuat pondasinya, tolong lihat apa saja yang kurang. Biar jadi masukan untuk para pekerja. Ayah kan berpengalaman jadi kepala proyek dan me
“Tepat sekali.” Mas Bambang menjawab.“Terus kenapa Mas gak ngasih tahu aku, Mas?“Karena Mas gak mau kamu dan Kirno jadi bermasalah. Mas sudah membayangkan, kalau Mas ngasih tahu kamu , kamu pasti akan langsung marah sama Kirno dan akhirnya bertengkar,” jelas Mas Bambang. Dia mencoba menenangkanku yang tersulut emosi.“Tapi sama saja, Mas. Sekarang juga pada akhirnya aku dan Kirno harus bertengkar. Bahkan, dengan adik dan mamamu juga. Coba kalau Mas bilang sejak awal kalau Kirno lah yang menyimpan buhul itu, aku gak akan langsung menuduh Mama dan Citra,” kataku agak kesal.Mas Bambang tampak berpikir keras, berulang kali ia mengatur napas hingga terlihat rasa bersalah atas situasi ini. Aku tak ingin membuatnya bertambah kepikiran, jadi aku pun mengalihkan pembicaraan.“Ya sudah, Mas, semua sudah terlanjur terjadi. Lalu, bagaimana awal mulanya Mas bermasalah dengan Kirno?” lanjutku bertanya.Suamiku itu menghela napas sejenak sebelum menjawab. “Semua berawal ketika Mas jual tanah Jura
"Astaghfirulloh, menaruh racun di adonan bakwan? Mana mungkin aku melakukannya, Ma! Jangan sembarangan menuduh!" ucapku."Siapa yang sembarangan menuduh? Kan kamu lagi bikin ruko buat usaha salon, bisa jadi kamu menumbalkan suamimu sendiri, Dewi!" tuduh Ibu Mertua dengan begitu kejamnya.Aku menekan dada sekuat tenaga, sesak rasanya. Jengkel dan marah bercampur jadi satu, entah bagaimana jadinya jika emosi itu tidak kutahan. Mungkin mulut Citra dan Ibu Mertua sudah babak belur."Benar atau tidak, Kak? Karena jaman sekarang itu lagi musim tumbal-tumbalan. Di depan sana pernah kejadian tumbal warung soto yang baru saja di bangun, setiap anak kecil yang lewat di depannya akan ketabrak mobil. Ada juga yang menumbalkan suaminya sendiri untuk melancarakan usahanya. Itu semua fakta lho, Kak. Lagian, Kakak kan dapat uang banyak secara mendadak ya, bisa jadi itu semua didapatkan dengan ilmu hitam yang menuntut tumbal! Dan Kakak memilih Mas Bambang sebagai tumbalnya. Wajar kan kalau kami menyan
"Kirno!" Kuberanikan diri memanggil orang itu. Seketika dia terperanjat hingga botol yang dipeganginya terjatuh dan seluruh isinya tumpah. Aku mendekat sambil terus memperhatikan wajahnya yang tidak terlihat jelas di bawah gelapnya langit dini hari dan remang lampu depan rumah kayuku. Semakin kuperhatikan, semakin membuatku terkejut. Karena yang kupergoki itu benar Kirno! Dia gemetaran dan mundur perlahan-lahan, hendak kabur saat aku mendekatinya."Kirno! Apa yang kamu lakukan?" "A—anu, Kak—" jawabnya terbata. Dia tak mampu menjawab."Apa, Kirno? Sedang apa kamu menyirami air ke sekeliling rumah kayuku? Untuk apa, hah?" tanyaku memburu.Kirno semakin gemetaran. Dia sangat ketakutan sekaligus kebingungan menjawab pertanyaanku, terlihat jelas dari ekspresi wajahnya. Kini aku berhadapan dengannya, sehingga aku bisa melihat wajah Kirno dengan sangat jelas."Kak, anu—" jawabnya, masih terbata."Una-anu una-anu ... jawab yang bener! Kamu pasti niat jahat kan sama keluargaku? Astaghfirullo
Astaghfirulloh, rupanya karena hal itu mereka usil terhadap pembangunan rukoku? Dari mulai aku membeli tanah, membeli barang pesanan, hingga kini pembangunan ruko sudah dimulai mereka selalu memantau. Itu semua karena mereka kecewa aku tidak mempekerjakan Kirno? Ya Alloh, ampuni aku. Aku tidak bermaksud buruk atas semua ini."Tapi, Ma. Setahuku kan Kirno sedang ada proyek pembangunan kelapa sawit di kampung sebelah. Aku tidak tahu kalau proyeknya akan berkahir bertepatan dengan pembangunan rukoku, karena itulah aku memutuskan untuk menyewa tukang dari Haji Sadeli saja," jawabku menjelaskan.Ibu Mertua melipat tangan di dada, dia mendelik sinis sambil berkata, "kenapa kamu gak tanya-tanya dulu sama Citra, kapan Kirno pulang, bisa gak Kirno kerja bangun ruko kamu. Basa basi kek, apa kek, ini mah enggak ada, malah main selonong aja tau-tau kami lihat sudah ramai orang bekerja di lahanmu. Kamu juga beli tanah dan bangun rukomu itu tanpa izin dulu ke Bambang kan? Kenapa sih, Dewi kamu apa-
"Kura-kura dalam perahu. Jangan pura-pura tidak tahu!" cetusku.Ibu Mertua semakin mendekat ke arahku. Dia mendongakkan kepalanya seakan menantang berkelahi. "Apa maksudmu? Jaga sopan santunmu, aku ini masih mertuamu!" katanya."Aku tahu Mama menyimpan buhul yang berisi guna-guna di rumah kayu itu. Dan gara-gara buhul itu rumahtanggaku dengan Mas Bambang jadi tidak harmonis. Kami sering bertengkar, dan Mas Bambang seperti kehilangan akal sehatnya! Beruntung aku sudah menemukan buhul itu dan membakarnya, dan alhamdulillah sekarang Mas Bambang sudah sembuh dari guna-guna itu," balasku.Seketika Ibu Mertua menekan dadanya. "Jadi kamu menuduhku sebagai pelaku yang menyimpan buhul itu?" tanyanya terkejut."Siapa lagi kalau bukan Mama? Kan memang selama ini Mama sering main dukun. Bahkan Mama pernah mengancamku langsung, Mama bilang akan mendukuni aku!" jawabku.Citra memegangi tubuh Ibu Mertua yang hampir jatuh saat mendengar perkataanku. Untuk sesaat, Ibu Mertua mengatur irama napasnya ke
Pegawai itu menghentikan pekerjaannya,mereka tak jadi menurunkan barang pesananku dari mobil."Tunggu!" cegahku. "Itu kan barang pesanan saya, ayo cepat selesaikan pekerjaan kalian, turunkan barang-barang itu dan letakkan dalam rumah saya!" titahku pada para pegawai."Tapi Ibu ini melarang kami," jawab salah seorang di antara mereka sambil mununjuk Ibu Mertua dengan dagu."Kenapa kalian lebih mendengarkannya dibanding aku? Kalian kan kerja padaku, bukan padanya! Itu pesananku, lho! Aku yang membayar barang-barang itu beserta ongkos kirimnya! Cepat, kerjakan saja apa yang kuperintahkan pada kalian!" tegasku.Mereka langsung menurut, dan dengan cekatan menurunkan semua barang-barang itu. Sementara Ibu Mertua dan Citra melihat ke arahku sambil mendelik sinis, aku balas mendelik pada mereka.Kuhampiri para pegawai itu, kukawal mereka masuk ke dalam rumah dan meletakkan barang di tempat yang kumaksud. Setelah selesai, para pegawai itu pulang."Aku masih penasaran deh, Ma. Dari mana Kak De
"Aku bukannya nantangin, Cit. Tapi memang itulah keahlianku, dan aku sudah merencanakan membuka salon sejak lama. Kalau kamu emang mau buka salon, ya buka aja atuh, kita usaha sendiri-sendiri toh rezeki udah ada yang ngatur!" jawabku sinis. "Heh Kak Dewi, kalau di kampung ini ada dua salon yang berdekatan nanti malah sepi, tau!" balas Citra nyolot. "Lho, apa hubungannya? Bilang aja kamu takut kalah bersaing!" sindirku. Citra berkacak pinggang, kedua matanya melotot, dia tak henti mengembuskan napas kasar diburu amarah dan napsu. Sementara aku semakin terpancing untuk membuatnya emosi, aku senang mengerjai Citra. Anak itu suka tak mau kalah, dan dia juga gampang marah. Seru ngerjainnya. "Mending sekarang Kakak batalkan niat Kakak itu! Miskin ya miskin aja, jangan belagu mau buka ruko segala! Mendingan jual tanah dan bahan bangunan itu ke aku, kubeli semuanya seharga seratus juta! Mas Kirno punya uangnya sekarang, jadi aku akan bayar cash!" paksa Citra. "Apaan seratus juta?! Sorry