Home / Romansa / Susahnya Jadi Mas Joko / Chapter 221 - Chapter 230

All Chapters of Susahnya Jadi Mas Joko: Chapter 221 - Chapter 230

231 Chapters

Bab 221: Bunga Setaman

Bab 221: Bunga Setaman Ketika Bastian, Papa, Mama dan kakak iparku tiba dari rumah di ruang Mawar 1 ini, aku masih saja menimang jasad Angel di dalam pangkuanku, sembari menempelkan wajahku ke wajahnya yang telah pula dingin. Mama langsung jatuh pingsan saat mendengar keterangan yang disampaikan dokter jaga kepada Papa. Bastian yang sigap dengan cepat menyambar tubuh Mama sebelum jatuh terhempas ke lantai. Lalu bersama kakak iparku, ia memapah Mama dan meletakkannya di atas sofa. Sementara itu, Papa, dengan matanya yang telah kelabu, beberapa saat terus memandangi seorang lelaki berkepala gundul, yang memeluk dan menimang jasad istrinya, juga dengan kepala yang gundul. Guruh dan guntur pasti juga menggelegar di dalam hati dan jiwa Papa, karena jasad wanita berkepala gundul itu tak lain tak bukan adalah putrinya sendiri. Namun agaknya, Papa lebih bisa menguasai diri. Dengan perlahan ia kemudian melangkah menuju brankar, mendekati sepasang kekasih dengan kisah cinta yang amat tragi
last updateLast Updated : 2023-02-23
Read more

Bab 222: Foto, Novel, dan Sebuah Lukisan

Bab 222: Foto, Novel, dan Sebuah Lukisan             Malam harinya, hingga berturut-turut tiga malam kemudian, digelar acara mendoa atau yasinan. Selama tiga malam itu pula rumah orang tua Angel dipenuhi orang-orang yang melantunkan ayat-ayat suci dan memanjatkan doa.Itu artinya aku bersama keluarga Angel, dibantu sekian banyak orang untuk membujuk dan merayu Tuhan, supaya Dia berkenan melapangkan kubur Angel. Supaya Dia memberi Angel tidur yang damai dan tenang, hingga tiba saatnya hari kiamat nanti dan kelak akan dibangkitkan kembali.Maka dalam hal  ini, dapatlah dikatakan, bahwa mereka-mereka yang turut mendoakan itu telah memberi persaksian, bahwa Angel layak mendapat tempat di sisi-Nya, dengan sebaik-baiknya tempat.Malam pertama, di antara para pentakziyah itu aku melihat Lo Rena bersama dengan keluarga Singadimeja. Alex mem
last updateLast Updated : 2023-02-25
Read more

Bab 223: Tiket ke Surga

Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.
last updateLast Updated : 2023-02-26
Read more

Bab 224: Perbincangan di Jalan Tol

Bab 224: Perbincangan di Jalan Tol             Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.   
last updateLast Updated : 2023-02-27
Read more

Bab 225: Kabar dari Tetangga

Bab 225: Kabar dari Tetangga              “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa.  “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?”  “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.”  “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
last updateLast Updated : 2023-02-28
Read more

Bab 226: Burung Bangau

Bab 226: Burung Bangau             “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
last updateLast Updated : 2023-03-01
Read more

Bab 227: Ampuni Aku, Ibu

Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
last updateLast Updated : 2023-03-02
Read more

Bab 228: Nama Asli Sahabat

Bab 228: Nama Asli Sahabat           Maka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
last updateLast Updated : 2023-03-04
Read more

Bab 229: Anak Menantu di Dalam Foto

Bab 229: Anak Menantu di Dalam Foto  Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya. “Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
last updateLast Updated : 2023-03-04
Read more

Bab 230: Tamu Tak Diundang

Bab 230: Tamu Tak Diundang  Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
last updateLast Updated : 2023-03-05
Read more
PREV
1
...
192021222324
DMCA.com Protection Status