Semua Bab Pakaian Bayi di Mobil Suamiku: Bab 11 - Bab 20

33 Bab

Siapa Istri Pertama?

"Di—Diah?"Wajah Mas Riko tampak pucat. Dia seperti baru saja tertangkap basah. Ah, ini benar-benar menyenangkan. "Lho, kamu disini juga, Mas?"Aku berpura-pura tidak tahu, langsung duduk di samping Mas Riko. "Mbak ngapain?" Pertanyaan yang aneh. Aku melipat kedua tangan di depan dada. Menggelengkan kepala. "Tadi sebenarnya mau ngajakin bayi kamu main. Eh, lihat sandal Mas Riko ada di depan. Jadinya, sekalian aja, deh. Kamu ngapain disini, Mas?" Biar aku pertimbangkan semuanya pada Nur dulu. Nur sudah tahu semuanya. Dia sempat marah-marah kemarin. Kalau bilang pada Papa, justru kondisi kesehatan Papa akan semakin menurun. Itu bukan ide bagus. Aku harus bisa memikirkannya, tanpa Mama dan Papa. Langkah-langkah yang harus diambil. Jangan sampai gegabah. "Mas? Kok diam?" "Eh?" Mas Riko terlihat gugup sekali. Sangat ketahuan, kalau dia sedang mencari-cari alasan. "AC rumahku rusak, Mbak. Jadi, minta tolong ke suami Mbak." Ada perubahan di wajah Kana saat mengatakan dua kata ter
Baca selengkapnya

Aku yang Akan Menang, Mas!

Ah, ketiganya sama-sama berat. Aku hampir saja mengeluh. Yang ada di pikiranku sekarang. Apakah Kana menikah lebih dulu dariku? Siapa istri pertama dan siapa istri kedua Mas Riko?"Cari buku nikahnya gak mungkin." Jangankan mencari buku nikah, aku saja tidak bisa membuka ponsel Mas Riko. "Kalau tanya langsung?" tanya Nur sambil menoleh padaku. Kembali aku menggeleng. Itu lebih tidak mungkin. Bahkan, rencanaku belum berjalan lancar. "Berarti jalan satu-satunya, lihat rincian tahun di laptop Kak Riko, Mbak." Kali ini, aku mengangguk. Ya, itu pilihan paling logis. Banyak sekali rencanaku ini. "Mbak kalau butuh apa-apa, telepon Nur aja. Pasti siap bantu, kok." Aku tersenyum, kemudian mengangguk. Mungkin, salah satu dari ide Nur bisa aku pakai. Kembali aku bercerita dengan Nur. Masalah Mas Riko dan Papa. "Kalau itu, Nur gak tahu, Mbak. Tapi kalau benar Kak Riko yang buat Papa sampai masuk ke rumah sakit, Nur gak bakalan pernah maafin Kak Riko."Aku menelan ludah. Nur seram, kala
Baca selengkapnya

Menyebarnya Berita Buruk Kana

Aku menggigit bibir, ketika Mas Riko menatap kertas cukup lama. Jangan sampai dia curiga dengan isi berkas ini. "Nanti kalau kamu batalin arisannya, konsekuensinya ke aku, gitu?" Astaga. Masih sempat juga Mas Riko menanyakan hal itu. Memangnya tidak bisa, dia langsung menandatangani berkas ini?"Enggak, Mas. Yang penting udah kumpul kayak gini. Selesai, deh. Aku juga gak mungkin ninggalin arisan."Mas Riko tetap diam. Tangannya ada di atas meja. Dia menunggu apalagi, sih?Kalau bisa, aku yang tanda tangan. Lebih cepat. Ah, tapi itu tidak mungkin. Mustahil. Ponsel Mas Riko berdering. Aku menepuk dahi, ketika dia mau berdiri. Buru-buru menariknya kembali duduk. "Tanda tangan dulu, baru boleh angkat telepon." Suamiku itu menggeser tombol berwarna hijau dengan tangan kirinya, tetapi tangan kanannya menandatangani berkas yang aku tunjukkan. Yes!Akhirnya, ada tanda tangan tanda Mas Riko disini."Jangan sampai ada masalah. Aku gak mau masuk penjara, kalau itu berhubungan sama hukum."
Baca selengkapnya

Papa Meninggal?

Wajah Kana memerah. Aku sejak tadi menatapnya. "Saya baru datang, kok langsung ngomong kayak gitu, Bu? Gak bagus, lho, kayak gitu." Terlihat sekali, kalau Kana tersinggung. Aku menahan tawa. Ibu-ibu tidak akan lagi percaya dengan wanita ini. Ah, sebenarnya ada rasa senang di hatiku. Hanya saja, rasa takut itu juga ikut mendominasi. Bagaimana kalau Ibu-ibu kembali tahu, Mas Riko adalah suami Kana? Dan Kana adalah istri simpanan suamiku?"Saya permisi dulu, Bu." Aku mengusap lengan Bu Yanti, kemudian berjalan pergi. Meninggalkan kerumunan. Banyak sekali rahasia baru terungkap. Mungkinkah, akan secepat itu rahasia ini terbongkar?***"Mbak, saya titip bayi saya dulu, ya. Mau ke warung sebentar."Aku mengernyit, sambil menggendong bayi Kana. Wanita itu langsung berlari kecil. Sepertinya, memang mau ke warung. Pandanganku beralih ke bagi yang kugendong. Bayi ini tampak tenang. Sesekali tertawa, sambil bertepuk tangan. Mungkin, kalau mau menuruti hati, aku akan membenci bayi ini. Ka
Baca selengkapnya

Kamu Akan Menyesal, Mas!

"A—apa, Ma?" Sungguh, aku berharap kata-kata tadi adalah ketakutanku. Bukan kenyataannya.Sambungan langsung terputus. Aku masih terdiam, kakiku gemetar. Ya Allah, benarkah perkataan Mama tadi? "Ayo, ke rumah sakit."Mas Riko menggandeng tanganku. Mengajak berjalan pelan-pelan. Mataku mulai berkaca-kaca. Ini seperti mimpi.***"Diah!" Mama langsung memelukku. Kami sama-sama terisak. Ya, ini bukan mimpi. Ini kenyataan. "Papa, Di. Papa." Aku mengangguk, mengusap punggung Mama. Kami duduk di kursi ruang tunggu. Pelan sekali aku berdiri. Menolak ketika Mas Riko ingin membantu. Aku membuka pintu ruangan. Terdiam, ketika menatap jasad yang terbaring tertutup kain putih. "Assalammualaikum, Pa."Gemetar aku melangkah mendekati tubuh yang terbaring disana. Papa yang selalu membelaku, ketika aku sedang ada masalah. Bahkan, ketika sedang bertengkar dengan Mas Riko, Papa sering mencarikan jalan keluar. Aku menggigit bibir. Pelan sekali membuka kain penutup wajah Papa. "Pa, makasih udah
Baca selengkapnya

Cukup Kamu Menjadi Benalu!

Dengan langkah cepat, aku memasuki pekarangan rumah. Tidak ada ampun lagi untuk Mas Riko. Sudah cukup semuanya. Aku tahu, ini masih suasana berkabung. Namun, aku tidak akan pernah memaafkan Mas Riko. Sudah cukup semuanya. Batas dia sudah terlalu jauh. "Mana Mas Riko, Bi?" Aku bertanya pada Bi Sari. Di rumah justru sepi. Tidak ada Andre. "Pergi sebentar kata Pak Riko, Bu. Bibi juga gak tahu ada dimana."Ah, aku menggigit bibir. Berusaha mencari jalan keluar. "Bareng sama Andre, Bi?" Bi Sari mengangguk. Tumben sekali Mas Riko pergi mengajak Andre. Tidak biasanya. Ada satu tempat lagi. Aku meletakkan tas ke atas meja, kemudian berlari kecil keluar rumah. "Kana! Buka pintunya!" Aku menggedor-gedor rumah Kana. Hampir sepuluh menit. Tidak ada yang membukakan pintu. Jangan-jangan, Mas Riko sedang pergi bersama Kana. Aku mengusap wajah. Ini sudah benar-benar di luar batas. "Bu Diah kenapa gedor-gedor rumah tetangga? Sampai ke rumah saya suaranya." Mendengar perkataan itu, aku men
Baca selengkapnya

Aku Lebih Pintar dari yang Kamu Bayangkan!

Sebelum keluar dari rumah makan, seorang pria dengan jas hitam menghadangku. Aku mengernyit. Menatap Adnan yang tersenyum tipis. Ada apa dengannya? Kenapa pria ini kembali lagi?"Saya mau pulang. Kamu ngapain lagi?" tanyaku sambil membenarkan posisi tas di tangan."Ikut duduk dulu, Mbak. Ada yang perlu saya bicarakan."Tanpa bicara apa pun lagi, Adnan kembali duduk di kursi kami tadi. Sebenarnya, ada urusan apa lagi? Sampai Adnan harus kembali kesini?Baiklah. Daripada urusan yang dimaksud Adnan tidak selesai-selesai, aku mengangguk, mengikutinya duduk. "Kenapa?" tanyaku sambil menatap pria itu. Adnan diam sejenak. "Sekalian saja saya mengurus berkas pembalikan nama aset, Mbak. Saya bakalan berusaha untuk anak Mbak."Eh? Aku menelan ludah. Sejak kapan Adnan jadi peduli dengan Andre?"Maaf, Mbak. Saya sempat lihat video di flash disk tadi. Saya rasa, anak Mbak yang berhak mendapatkan harta itu."Aku menggigit bibir. Jadi, Adnan sush melihat video itu?"Mbak tenang saja. Video-video
Baca selengkapnya

Rencana yang Lebih Matang

"Dimana kamu menyimpan barang bukti itu, Diah?!"Ah, tidak. Aku sepertinya baru menyadari kesalahan yang akan aku perbuat. Aku menggelengkan kepala. Tidak. Belum saatnya Mas Riko tahu, kalau aku sudah tahu semuanya. Tadi, aku hanya membayangkan apa yang terjadi, ketika aku melabrak Mas Riko dan Kana langsung. Ternyata, itu berbahaya sekali. Justru, Mas Riko yang sekarang sudah gila harta, akan berbuat nekat. Apalagi, dia itu tidak pernah memikirkan dosa yang didapatkannya. Baiklah. Aku mengangguk-angguk, kemudian kembali menatap ke dalam rumah Kana. Mereka berdua masih ada di sana. Mengobrol.Aku mematikan perekam suara. Sepertinya, aku akan membongkar semuanya, saat surat dari pengadilan agama keluar. Juga aset yang sudah dibalik namanya. Ya. Itu pilihan yang tepat, dibandingkan bayangku tadi. Memang, barang bukti sudah aku salin semuanya ke flashdisk, juga laptop. Nur juga punya salinannya.Bicara soal Nur, aku akan ke rumah sakit setelah ini. Untuk menemui Mama.Aku punya ren
Baca selengkapnya

Kamu Licik, Aku Cerdas, Mas!

"Gak ada tapi-tapian lagi, Diah. Riko udah gak pantas milikin kamu."Sejak tadi, aku hendak menjelaskan, tapi Mama terus memotong percakapan. "Ma, kok malah agak ribut sama Diah?"Aku menoleh, menatap Mas Riko yang sekarang berdiri di depan pintu. Aduh, bagaimana ini? Bisa berantakan semua rencanaku, kalau Mama mengatakan yang sebenarnya. Ini bahaya. "Saya langsung pamit sekarang, ya, Ma. Ada yang ngajak ketemuan. Penting banget."Mas Riko pindah menatapku. "Kamu mau ikut, gak, Di? Atau masih mau disini?" "Ikut aja, deh, Mas."Akhirnya, aku bisa menghela napas lega. Tidak ada waktu untuk Mama menjelaskan apa yang terjadi pada Mas Riko. Setidaknya, tidak untuk sekarang. "Benar-benar gak ad waktu? Mama cuma mau bicara sebentar. Lima menit aja." Aku menatap Mas Riko yang terdiam sebentar, tapi kemudian menggeleng. "Ini udah mendesak banget, Ma."Setelah menyalimi Mama, aku mengikuti Mas Riko dari belakang. Bisa dipastikan, Mas Riko akan lama untuk menemui Mama lagi. Baguslah, set
Baca selengkapnya

Kamu Tidak Akan Bisa Mengalahkanku, Mas!

"Kenapa, Mbak?" Aku diam sejenak. Memperhatikan foto ini. Ada keanehan di dalamnya. Entah kenapa, aku merasa foto ini diedit. "Di sini tertera tanggal lima belas juli tahun dua ribu enam." Kali ini, Nur yang terdiam. Dia pasti tahu alasan aku diam tadi. "Lama banget, ya, Mbak."Ya. Aku menikah dengan Mas Riko berselisih lima tahun dari tanggal ini. Foto yang masih sangat bagus. Dua orang saling tertawa. Tampak muda sekali. Mas Riko dan Kana. Ponsel rumah berdering. Aku berdiri, mengangkat telepon di ruang keluarga. "Halo.""Halo, Sayang. Ponsel kamu kok sibuk? Lagi teleponan sama siapa?"Mas Riko rupanya. Aku menimang ponsel. Masih terhubung dengan Nur. "Teleponan sama Nur, Mas. Ada apa?""Mas udah jalan pulang. Kamu mau nitip apa? Siapa tahu ada yang mau dibeliin." Mampus. Aku menepuk dahi pelan. Menggigit bibir. Berusaha berpikir, agar Mas Riko kembali berputar arah. Aku berdeham pelan. "Titip nasi goreng, ya, Mas.""Oke. Tapi ini Mas harus mutar balik. Agak lama gak papa,
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status