"Dimana kamu menyimpan barang bukti itu, Diah?!"Ah, tidak. Aku sepertinya baru menyadari kesalahan yang akan aku perbuat. Aku menggelengkan kepala. Tidak. Belum saatnya Mas Riko tahu, kalau aku sudah tahu semuanya. Tadi, aku hanya membayangkan apa yang terjadi, ketika aku melabrak Mas Riko dan Kana langsung. Ternyata, itu berbahaya sekali. Justru, Mas Riko yang sekarang sudah gila harta, akan berbuat nekat. Apalagi, dia itu tidak pernah memikirkan dosa yang didapatkannya. Baiklah. Aku mengangguk-angguk, kemudian kembali menatap ke dalam rumah Kana. Mereka berdua masih ada di sana. Mengobrol.Aku mematikan perekam suara. Sepertinya, aku akan membongkar semuanya, saat surat dari pengadilan agama keluar. Juga aset yang sudah dibalik namanya. Ya. Itu pilihan yang tepat, dibandingkan bayangku tadi. Memang, barang bukti sudah aku salin semuanya ke flashdisk, juga laptop. Nur juga punya salinannya.Bicara soal Nur, aku akan ke rumah sakit setelah ini. Untuk menemui Mama.Aku punya ren
"Gak ada tapi-tapian lagi, Diah. Riko udah gak pantas milikin kamu."Sejak tadi, aku hendak menjelaskan, tapi Mama terus memotong percakapan. "Ma, kok malah agak ribut sama Diah?"Aku menoleh, menatap Mas Riko yang sekarang berdiri di depan pintu. Aduh, bagaimana ini? Bisa berantakan semua rencanaku, kalau Mama mengatakan yang sebenarnya. Ini bahaya. "Saya langsung pamit sekarang, ya, Ma. Ada yang ngajak ketemuan. Penting banget."Mas Riko pindah menatapku. "Kamu mau ikut, gak, Di? Atau masih mau disini?" "Ikut aja, deh, Mas."Akhirnya, aku bisa menghela napas lega. Tidak ada waktu untuk Mama menjelaskan apa yang terjadi pada Mas Riko. Setidaknya, tidak untuk sekarang. "Benar-benar gak ad waktu? Mama cuma mau bicara sebentar. Lima menit aja." Aku menatap Mas Riko yang terdiam sebentar, tapi kemudian menggeleng. "Ini udah mendesak banget, Ma."Setelah menyalimi Mama, aku mengikuti Mas Riko dari belakang. Bisa dipastikan, Mas Riko akan lama untuk menemui Mama lagi. Baguslah, set
"Kenapa, Mbak?" Aku diam sejenak. Memperhatikan foto ini. Ada keanehan di dalamnya. Entah kenapa, aku merasa foto ini diedit. "Di sini tertera tanggal lima belas juli tahun dua ribu enam." Kali ini, Nur yang terdiam. Dia pasti tahu alasan aku diam tadi. "Lama banget, ya, Mbak."Ya. Aku menikah dengan Mas Riko berselisih lima tahun dari tanggal ini. Foto yang masih sangat bagus. Dua orang saling tertawa. Tampak muda sekali. Mas Riko dan Kana. Ponsel rumah berdering. Aku berdiri, mengangkat telepon di ruang keluarga. "Halo.""Halo, Sayang. Ponsel kamu kok sibuk? Lagi teleponan sama siapa?"Mas Riko rupanya. Aku menimang ponsel. Masih terhubung dengan Nur. "Teleponan sama Nur, Mas. Ada apa?""Mas udah jalan pulang. Kamu mau nitip apa? Siapa tahu ada yang mau dibeliin." Mampus. Aku menepuk dahi pelan. Menggigit bibir. Berusaha berpikir, agar Mas Riko kembali berputar arah. Aku berdeham pelan. "Titip nasi goreng, ya, Mas.""Oke. Tapi ini Mas harus mutar balik. Agak lama gak papa,
Di perjalanan, ponselku berdering. Aku menatap layar. Dari Nur."Halo, Mbak. Mbak dimana?" "Di jalan Nur. Kenapa?"Diam sejenak. Aku menatap keluar mobil. Menunggu Nur berbicara. Dia biasanya berpikir dulu. "Ini, Mama nyuruh Nur nganterin makanan. Eh, Mbak gak ada di rumah."Punggungku langsung menegak. "Kamu gak jagain Mama di rumah sakit? Kok malah ke rumah Mbak, sih." Ah, harusnya Nur menelepon sejak tadi. Jangan sampai dia meninggalkan Mama di rumah sakit. Kacau. Ini benar-benar kacau. Nur tertawa di seberang sana. "Mama udah keluar dari rumah sakit, Mbak. Baru aja tadi subuh. Gak sempat kasih tau Mbak. Repot banget tadi." "Mama udah sehat?" "Udah, Mbak. Udah bisa jalan-jalan. Di rumah banyak yang jagain Mama. Apalagi satpam ada banyak. CCTV dimana-mana. Mbak tenang aja."Aku menghela napas lega. Itu kabar yang benar-benar bagus. "Mbak lagi perjalanan ke rumah Ibunya Mas Riko, Nur. Kamu pulang aja, Mbak masih lama pulangnya.""Oh, ya?" Nur diam sejenak. "Nur ikut, deh, Mba
"Apa itu, Mbak?" tanya Nur sambil melongokkan kepalanya. Dia ingin sekali melihat buku yang baru saja aku ambil. Belum sempat berbicara, pintu kamar diketuk. Pasti itu Ibu Mas Riko. Aku buru-buru mengambil tas, kemudian memasukkan buku ke dalamnya. Nur menoleh ke aku. Dia meminta izin untuk membuka pintu. Baiklah. Aku sudah siap. Yang penting, buku itu sudah ketemu. "Lho, kok belum mandi?" Pandangan Ibu mertuaku mengarah ke dalam ruangan. Aku menghela napas pelan, untung saja tadi sudah dibereskan. "Ngapain aja hampir berapa jam di dalam, tapi belum mandi?" Aku tersenyum, berusaha mencari alasan yang masuk akal. "Tadi Mama telepon, Bu. Agak lama jadinya."Ibu Mas Riko terdiam sejenak, kemudian mengangguk-angguk. "Cepetan mandi, ya. Kali ini, gak ada alasan lagi. Ibu tunggu di ruang makan."Buru-buru aku mengangguk. Kemudian menutup pintu kembali. "Sekarang, waktunya mandi, Nur. Gak ada lagi yang mau kita cari. Bendanya udah ketemu."Nur mengacungkan jempolnya. Aku tersenyum
"Mau ngapain ke rumah Nenek Kana? Toh, gak ada apa-apa disana. Riko juga udah gak temenan lagi sama Kana. Masa kamu gak percaya sama Ibu." Sepertinya, Ibu mertuaku mulai curiga. Ah, aku salah strategi tadi. Buru-buru aku memasang senyum. "Siapa tahu saya dan Mas Riko bisa silaturahmi disana, Bu." Tetap saja tidak dikasih. Itu bisa dipikirkan nanti. Aku menganggukkan kepala. Awalnya, sebelum datang ke rumah Ibu Mas Riko, aku kira mertuaku itu akan memihak ke aku. Ternyata salah. Jauh sekali dari perkiraan. Ibu Mas Riko memang baik. Namun, itu hanya topeng. Aku menghela napas pelan. "Mbak, pulang, yuk. Udah sore."Aku menoleh ke Nur yang baru saja datang. Wajahnya terlihat biasa saja. Sepertinya, dia tidak mendapatkan apa pun. "Ah, iya. Udah sore banget. Nanti kemalaman sampai di rumah." Buru-buru aku berdiri, mengambil beberapa lembar uang berwarna merah di dalam tas. "Ini untuk Ibu. Makasih udah dijamu disini."Ibu Mas Riko langsung mengambil uang yang aku sodorkan. "Makasih
"Sayangnya, mukanya benar-benar asing, Mbak." Aku mengangguk, memperbesar tangkapan layar yang dikirimkan oleh Nur. Foto pria itu sama sekali tidak kami kenali. "Rencananya, Nur sama Mama mau buat laporan ke kepolisian besok, Mbak. Biar langsung diproses laporannya."Ide bagus. Aku mengusap dahi. "Besok Mbak ikut, deh."Nur mengiyakan perkataanku. Dia mematikan telepon setelahnya. Masih banyak rahasia. Namun, aku yakin semuanya akan terbongkar segera. Ya, aku bisa pastikan. Sebelum hakim mengetuk palu di sidang perceraianku nanti, semua rahasia terbuka. ***"Mama mau pergi lagi?" Aku tersenyum, saat menoleh. Andre meletakkan tasnya ke atas kursi, menatapku. Anakku memang masih terlihat kecil, tapi pemikirannya sudah dewasa. Bahkan, Andre sangat berprestasi di sekolah. Harapanku nanti, Andre tidak terlalu bersedih dan membuat nilainya menurun, saat aku sudah berpisah dari Mas Riko. "Pagi, Di, Andre." Mas Riko mencium kening Andre, kemudian ikut duduk di kursi. "Mama mau keman
Kami menunggu beberapa saat. Setelah mobil Mas Riko berjalan, aku baru mengajak Nur turun. "Assalammualaikum, Bu." Ibu penjaga warung itu menoleh, kemudian tersenyum. Sebelum berbicara serius, kami sempat memesan makanan. "Jadi, saya dan adik saya kesini, ada tujuan utamanya, Bu." Aku mulai berbicara. "Iya. Mau tanya apa?" Aku berdeham, memperbaiki posisi duduk. 'Wanita ini benar-benar anak ibu, 'kan?" tanyaku sambil menyodorkan ponsel..Beberapa menit, ibu penjaga warung itu akhirnya mengangguk. Aku tersenyum senang. "Ada yang mau saya tanya soal anak Ibu. Semoga, Ibu benar-benar jujur ke saya."Kami sama-sama diam. Nur menggenggam tanganku, mengangguk. "Anak Ibu ini sudah menikah?" Ibu itu menghela napas pelan. "Ibu sebenarnya gak tahu siapa kamu, Nak. Kenapa kamu bisa tahu anak Ibu. Bahkan, Ibu juga heran, kenapa kamu menanyakan hal itu. Padahal, kita baru bertemu."Warung ini agak sepi. Hanya terlihat satu orang yang duduk. Entah kenapa, aku merasa, banyak orang yang tid
"Hmm, oke deh, nanti saya dan istri ke kantor. Terima kasih, Pak." Aku menoleh ke Mas Adnan. Ke kantor apa? Mau ngapain juga? Mas Adnan tadi sedang teleponan, aku memang sudah berpikir kalau itu adalah telepon yang penting, maka nya aku juga tidak bertanya dari siapa. Namun, ternyata Mas Adnan juga membawa-bawa namaku tadi. Mas Adnan duduk di sampingku. Dia tersenyum, mengusap perutku yang mulai membuncit. Aku hendak bertanya, tapi menunggu dia sajalah. Biarkan Mas Adnan sendiri yang bercerita. Memang, aku lebih suka kalau Mas Adnan yang bercerita dibandingkan aku yang bertanya. Tatapan Mas Adnan lembut sekali, dia tidak pernah kasar padaku. Aku berharap sampai kami menua juga dia akan seperti ini. "Tadi siapa yang nelepon, Mas?" tanyaku akhirnya. Ah, aku tidak tahan untuk bertanya. Mas Adnan menatapku, kemudian tersenyum. Dia tampak lelah, baru pulang bekerja. Padahal tadi kami juga sedang berdua bersama, tetapi Mas Adnan ditelepon. Penting sekali telepon itu, sampai Mas Adnan
"Sayang, ini makanannya habisin dulu, dong. Masa kamu tinggal gitu aja."Aku mengejar Dini—anak keduaku dari Mas Adnan. Ya, sekarang aku memanggilnya Mas, karena dia adalah suamiku. Aku juga tidak menyangka kalau Mas Adnan akan menjadi suamiku, setelah sekian lama memendam trauma itu, aku akhirnya mau menikah dengan dia. "Astaga anak itu, susah banget dibilangin." Aku menggelengkan kepala, kembali mengejar Dini. Sulit sekali untuk membujuk dia. "Ma, Andre berangkat ke kampus dulu."Andre mencium tanganku, kemudian mencium Dini. Dia melambaikan tangan. Andre mengambil kunci mobil di dinding. Aku tersenyum tipis, anakku sudah tumbuh dewasa ternyata. Mas Adnan tidak bekerja hari ini. Katanya mau bermain bersama Dini. Dia memang beberapa hari terakhir sibuk, juga tidak punya waktu untuk anak-anak, tetapi hari ini katanya dia harus bersama dengan kami. Setelah palu diketuk, aku memilih untuk menutup semua kenangan tentang Mas Riko. Andre juga tidak terlalu bersedih, bahkan dia tidak pe
"Apaan? Ngehalu banget, deh. Udah sana. Jangan ngulur-ngulur waktu lagi. Mau keluar baik-baik atau diseret?"Aku melipat kedua tangan di depan dada. Menatap dua sejoli yang tampak serasi ini. Nur juga ikutan tertawa di sebelahku. "Jadi perusak hubungan orang kok bangga. Kalau saya, sih, malu."Sindiran yang menusuk. Aku mengangguk-angguk, setuju dengan perkataan Kana barusan.Wajah Kana memerah. Dia sepertinya ingin menjambak wajah Nur sekarang. Mas Riko memegang tanganku. Dia sepertinya berharap sekali agar aku memaafkannya. Sebenarnya, apa yang diharapkannya lagi?"Kamu serius? Gak mau sama Mas aja? Mas jamin, hidup kamu bakalan terjamin."Aku tertawa mendengarnya. Benar-benar berkhayal orang ini. "Nih, Mas. Gak usah kamu bujuk-bujuk aku lagi. Surat perceraian kita udah keluar."Dengan cepat, aku meletakkan surat ke atas meja. Mas Riko memandangku penasaran, kemudian mengambil kertas dari atas meja. Beberapa detik, wajah Mas Riko berubah. Dia mengusap wajah, menatapku kembali.
MAAF, YA. HARI INI DAN KEMARIN AKU GAK BISA UPLOAD BAB BARU. ADA SUATU MASALAH, AKU JUGA LAGI KURANG ENAK BADAN. INSYA ALLAH BESOK, LANGSUNG TAMAT. SEKALI LAGI MAAF, YA.AKU MAU MINTA MAAF LAGI, HEHE. GAK SESUAI JANJI HARI INI. DOAIN AKU CEPET SEMBUH, YAA.***"Makasih, Bi." Aku tersenyum, tidak sabar memberitahukan semua ini pada Nur. Dua kabar bahagia akhirnya datang juga hari ini. Aku menghela napas pelan. Lega dengan semuanya. "Sama-sama, Bu. Saya dukung Ibu untuk bercerai dari Pak Riko, Bu.""Makasih, Bi. Makasih, banyak."Bi Sari langsung pamit ke belakang. Sedangkan aku diam sejenak di kursi. Menatap surat yang aku pegang. Hampir lima menit diam. Aku akhirnya mengambil ponsel. Hendak memberitahukan pada Nur. "Halo, Mbak. Aku baru aja nyampe pasar. Mama titip sesuatu. Belum nyampe rumah.""Mbak ada kabar gembira, Nur."Suara Nur tiba-tiba berhenti. "Kabar apa, Mbak?""Surat dari pengadilan udah datang. Sekarang, tinggal menjalankan rencana kita, Nur."Nur terdengar bersorak
"Maaf, Sayang."Aku memeluk Andre. Menciumi kepalanya. Ketakutan terbesarku adalah Andre tahu tentang masalah orang tuanya. Padahal, aku sudah menyembunyikannya. "Darimana Andre mendapatkan foto ini, Nak?" tanyaku sambil melepaskan pelukan, menatap matanya. "Paket yang ada di kamar Andre, Ma. Maaf, Andre buka paketnya duluan sebelum Mama."Sedikit terkejut mendengar perkataannya. Aku buru-buru berdiri, berjalan ke tempat penyimpanan paket itu. Dengan hati-hati, aku membuka kotak paket. Menutup mulut, ketika melihat banyak foto Mas Riko dan Kana di dalamnya. "Ma." Aku menoleh, buru-buru membereskan foto yang berserakan. Kemudian berdiri. "Andre ke ruang makan, ya. Nanti, pulang sekolah, kita bahas masalah ini lagi."Andre mengangguk, meskipun masih ada banyak pertanyaan di benaknya. Aku mengangkat kotak, membawanya ke gudang. Lebih baik, disimpan disini dulu. Daripada di kamar, bisa ketahuan. "Mas berangkat kerja dulu, ya. Kalau mau pergi, telepon dulu."Mas Riko berjalan ke r
Kana langsung menutup mulutnya. Dia baru saja melakukan kesalahan paling fatal. Aku melirik Mas Riko. Wajahnya sempat terkejut, tetapi langsung berubah. Dia terlihat biasa saja. Agar orang-orang tidak curiga. "Kamu simpanannya suami orang, Bu Kana? Ya ampun, akhirnya setelah isu buruk beredar, Ibu sendiri yang bilang fakta itu ke kita."Ibu-ibu perumahan melihat Kana marah. Sepertinya masih belum menyangka. Apa yang terjadi, ketika mereka tahu, kalau Kana itu istri kedua Mas Riko?"Gak malu, Bu Kana? Sayang sekali, Bu RT gak ada disini. Pas banget moment nya. Usir sekalian. Jauh-jauh dari perumahan ini. Meresahkan."Aku menahan tawa. Membayangkan Kana diusir dari perumahan ini. Mas Riko tampak gelisah. Sebenarnya, ketahuan sekali kalau dia pelakunya. Ah, mana ada yang memperhatikan sekarang. "Sebaiknya gitu, Bu. Gak baik, kalau dia terus-terusan ada disini."Semua ibu-ibu yang hadir, setuju. Aku menunggu apa yang akan mereka lakukan."Tidak usah dilanjutkan acaranya. Ini pengajia
Aku berbalik. Berjalan cepat keluar rumah Kana. Aku sudah lelah dengan semuanya. Untung saja, stok kesabaran masih ada. "Mama habis darimana?" tanya Andre, saat aku sampai di ruang tamu Kana. "Kamar mandi, Sayang. Pulang, yuk." "Eh, kok udah mau pulang aja? Belum makan, lho."Buru-buru aku memasang senyum, ketika melihat Ibu Kana, kemudian menggeleng. "Saya sama Andre langsung pulang aja, Bu."Sebelum pergi, Ibu Kana lebih dulu menahanku. Dia menatapku sebentar. Kemudian mendekatkan kepalanya ke aku. "Ibu tahu. Kamu dengar sesuatu di dalam kamar Kana tadi. Maafkan anak Ibu, ya, Nak."Sebenarnya, aku sudah muak mendengar perkataan Ibu Kana. Bagaimana bisa aku memaafkan orang seperti Kana?Aku tersenyum tipis. "Saya pulang, ya, Bu." Jujur saja, aku ingin menghindar. Tidak semudah itu memaafkan seseorang. Apalagi Kana. Ponselku berdering. Kesempatan yang bagus. Aku buru-buru menggandeng tangan Andre. Kami sekalian pulang ke rumah. Ah, ternyata dari Adnan. Aku menggeser tombol ber
Mobil berhenti tepat di depan rumah. Aku berterima kasih pada Nur, kemudian keluar dari mobil. "Kamu darimana?" tanya Mas Riko saat aku masuk ke dalam rumah. "Abis dari tempat teman. Mas beneran gak enak badan?" tanyaku sambil mendekatinya."Eh, kamu mandi dulu. Habis pergi, gak boleh langsung pegang-pegang."Sebenarnya, aku tahu. Mas Riko tidak sakit sama sekali. Dia hanya beralasan. Aku mengangguk. "Diah mandi dulu, Mas. Habis ini, mau ke rumah Kana. Dia mau pengajian, 'kan?" Baru saja aku ingat, kalau Kana akan pengajian malam ini. Mas Riko yang bilang sendiri tadi pagi. Ah, kebetulan yang sangat menyenangkan. Aku ada kesempatan untuk mengetahui foto itu sebenarnya. "Masak apa, Bi?" tanyaku sambil mendekati Bi Sari yang sedang masak di dapur. "Masak ikan lele, Bu. Oh iya, tadi Ibu dapat paket. Saya taruh di kamarnya Den Andre."Aku mengangkat jempol. Bi Sari ingat, kalau ada Mas Riko, harus meletakkan paket di kamar anakku. Mas Riko itu orangnya suka penasaran. Dia tidak se
Kami menunggu beberapa saat. Setelah mobil Mas Riko berjalan, aku baru mengajak Nur turun. "Assalammualaikum, Bu." Ibu penjaga warung itu menoleh, kemudian tersenyum. Sebelum berbicara serius, kami sempat memesan makanan. "Jadi, saya dan adik saya kesini, ada tujuan utamanya, Bu." Aku mulai berbicara. "Iya. Mau tanya apa?" Aku berdeham, memperbaiki posisi duduk. 'Wanita ini benar-benar anak ibu, 'kan?" tanyaku sambil menyodorkan ponsel..Beberapa menit, ibu penjaga warung itu akhirnya mengangguk. Aku tersenyum senang. "Ada yang mau saya tanya soal anak Ibu. Semoga, Ibu benar-benar jujur ke saya."Kami sama-sama diam. Nur menggenggam tanganku, mengangguk. "Anak Ibu ini sudah menikah?" Ibu itu menghela napas pelan. "Ibu sebenarnya gak tahu siapa kamu, Nak. Kenapa kamu bisa tahu anak Ibu. Bahkan, Ibu juga heran, kenapa kamu menanyakan hal itu. Padahal, kita baru bertemu."Warung ini agak sepi. Hanya terlihat satu orang yang duduk. Entah kenapa, aku merasa, banyak orang yang tid