Home / Romansa / Mendadak Jadi Istri Dosen / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Mendadak Jadi Istri Dosen: Chapter 21 - Chapter 30

53 Chapters

BAB 21 - Tidak Adil

“Itu tipe cowok idamanmu?” Mas Abi melontarkan pertanyaan ini ketika aku sedang membereskan barangku di kamarnya. Sudah tidak ada Papa Mama, yang menandakan aku harus kembali ke kamar Aksa. Aku sudah seperti pengungsi saja. Aku paham maksud pertanyaannya. “Kak Alex? Iya. Kami dekat,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya. “Biasa aja.” “Dia baik dan perhatian.” “Cowok kayak gitu biasanya punya banyak gebetan.” “Kak Alex nggak gitu, dia perhatian ke aku aja. Dia tadi juga bahas tentang rencananya setelah lulus. Dia mau nunggu aku selesai S2,” jawabku penuh percaya diri. Aku mau menunjukkan kalau bukan cuma dia yang punya selingkuhan, aku juga bisa. Mas Abi tidak lagi menjawab ucapanku. Dia tampak sibuk dengan laptop yang ada di hadapannya. “Tidur di sini aja,” ucapnya tiba-tiba. “Apa?” “Jangan keluar kamar ini,” perintahnya lagi. “Kenapa? Mama Papa udah nggak ada.”
Read more

BAB 22 - Panggilan ke Ruangan

Seperti yang kubilang, aku tidak mau diatur-atur dengan cara yang tidak adil. Mas Abi bisa dengan mudah bermesraan dengan Rania sampai mengucapkan kalimat ‘I love you’, masa aku tidak boleh? Aku tidak akan membiarkan dia seenaknya mengaturku. Aku tetap menjadi Una yang bebas dan kata ‘menikah’ hanya status yang diketahui olehku dan dirinya. Sekarang aku sedang duduk di lobi sembari memainkan laptop. Tempat ini sedang sepi dan bahkan lebih nyaman daripada perpustakaan. Koneksinya lancar karena dekat dengan ruang dosen. Aku butuh itu untuk mengakses berbagai jurnal berbayar yang bisa didapat gratis asal menggunakan wifi ID kampus. Fasilitas ini perlu kumanfaatkan dengan baik. Telingaku kusumpal dengan ear phone agar lebih mudah konsentrasi. Beberapa orang yang berlalu lalang di sampingku tak akan membuatku kehilangan fokus. Tujuan utamaku adalah lulus, lulus, dan lulus. Setelah itu, aku akan S2 dan bisa kujadikan alasan untuk segera berpisah dengannya. “Kenapa rajin banget ngerjain sk
Read more

BAB 23 - Mengulang Kebodohan

Kurasa hari ini memang ada yang salah dari Mas Abi. Dia lebih menyebalkan dari wanita yang menghadapi masa PMS. Tak hanya di kampus, saat di rumah pun dia kembali membuat kegaduhan. Dia menghampiriku yang berada di kamar Aksa. Andai tidak Aksa di sini, mungkin dia langsung mencecarku banyah hal. Dia memperlakukanku seolah aku ini pendosa berat. Saat ini, aku baru membantu Aksa mempersiapkan diri untuk mengaji di musala kompleks. Biasanya Bik Tun yang akan mengantar dan menungguinya di sana. “Kenapa?” tanyaku ketika Aksa sudah berpamitan pergi. Sedari tadi dia hanya berdiri sambil memperhatikan gerak-gerikku. Kurasa dia memang sedang kesambet. Aneh! “Kamu nggak mau salaman sama Rangga, kenapa mau disentuh Alex?” Jangan bilang dia tahu tentang kejadian tadi, makanya langsung memanggilku ke ruangannya tanpa alasan? “Diusap kepala?” ucapku santai sambil merapikan kamar Aksa sejenak. “Aku juga mau nolak, tapi kadung suka disentuh kayak gitu,” jawabku jujur. “Rasanya kayak disayang.” Aku
Read more

BAB 24 - Yang Pertama

Entah berapa lama kami berpelukan dalam diam. Tidak ada yang mengajak berbicara. Seluruh tubuh kami seolah menunjukkan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan lidah. Kami sama-sama mendamba pelukan itu. Kuharap bukan hanya aku yang menikmatinya. Saat dia melepaskan pelukan, aku merasa ada yang kosong. Aku merasa dia baru saja mengambil sesuatu. Namun, aku tidak tahu apa itu. Kami saling berpandangan, lagi-lagi hanya diam. Sungguh, jika dia menatapku seperti ini aku bisa salah mengartikan. Aku akan mengira kalau dia benar-benar menganggapku seperti istrinya. Tolong, jangan buat aku bingung dengan semuanya. Pelan tangannya mengusap pipiku. Ada gelenyer aneh yang tidak tahu dari mana membuatku kembali mematung. Aku seperti membeku dan uniknya getaran itu begitu nyata. Jantungku kembali berpacu dengan hebatnya ketika tangannya itu mengusap pipiku. Apa sebenarnya yang mau dia lakukan? Kenapa harus menyiksaku seperti ini? “Masih belum boleh lihat apa yang ada di balik jilbabmu?” ucapny
Read more

BAB 25 - De Javu

Aku seperti de javu. Suasana ini tidak asing. Aku pernah dua kali menyaksikannya secara langsung. Berbagai suara yang berpadu membuatku harus bersusah payah mengendalikan diri. Rasanya aku ingin pergi. Namun, tidak bisa. Aku yang lebih kuat di sini dibanding yang lain. Hubunganku dengan Papa tidak sedalam jika dibandingkan dengan banyaknya orang yang hadir. Terlebih kepada pria yang sejak tadi sudah duduk di samping jenazah yang sudah dikafani. Suara lantunan Al-Qur’an begitu nyaring terdengar. Perpaduannya dengan deruan tangis sungguh membuatku trauma. Kenanganku terlempar ke satu tahun lalu. Seingatku, saat itu Ayah hanya berpamitan untuk pergi menemui temannya. Dia bilang tidak lama. Namun, nyatanya dia malah pergi untuk selamanya. Bunda dulu juga bilang begitu. Dia bilang hanya akan ke rumah bidan untuk melahirkan calon adikku. Namun, nyatanya dia pulang dalam keadaan tak bernyawa. Orang dewasa memang sangat pintar berbohong. Aku baru saja dari rumah adik Mama yang hanya berjarak
Read more

BAB 26 - Transfer Energi

Pemakaman sudah selesai tepat sejak pukul sembilan tadi. Sekarang, orang-orang masih ramai berdatangan. Kerabat juga masih berkumpul. Mereka mengelilingi Mama dan Aya. Mama sudah benar-benar lemah. Dia hanya bisa duduk bersandar ketika satu per satu orang menyampaikan belasungkawa. Di antara semua orang, aku sedang mencari satu pria yang belum kulihat sejak di pemakaman tadi. Dia belum memasukkan apa pun ke perutnya sejak kemarin sore. Aku sudah memaksa, tapi dia bilang nggak bisa. Katanya dia bisa muntah kalau dipaksa. Apa dia pingsan di suatu tempat? Aku keliling rumah sampai akhirnya menemukan dia di dalam kamar. Kamar ini adalah kamarnya saat dulu ketika masih tinggal bersama orang tuanya. Dia sedang duduk bersandar di kaki ranjang. Tatapannya menatap ke dinding kosong. Dinding itu sama dengan tatapan matanya. Dia benar-benar seperti orang linglung dan acak-acakan. Di tangan kirinya ada rokok yang belum dinyalakan, sedangkan tangan kanannya memainkan pemantik. Kuambil pemantik d
Read more

BAB 27 - Panggilan Dini Hari

Aku tidak bisa lama di Bogor. Tidak ada yang tahu kalau aku memiliki hubungan dengan Mas Abi. Aku perlu melanjutkan bimbingan dan Aksa perlu melanjutkan aktivitasnya. Mama juga memintaku untuk kembali ke Jakarta. “Yang hidup harus tetap hidup. Mama minta kamu kembali ke Jakarta supaya Aksa nggak kelamaan di sini,” ucapnya. Aku mau menolak, tapi yang diucapkannya memang benar. “Mama baik-baik aja selama kamu dan Abi juga baik-baik. Mama tahu, kamu sulit menerimanya. Tapi, yang perlu kamu tahu juga, anak itu punya banyak hal yang nggak bisa ditebak. Dia butuh kamu. Dia perlu teman yang bisa memahaminya. Dan dia sudah memilihmu.” Kalimat Mama membuatku banyak berpikir. Aku tahu, belakangan ini kami semakin dekat. Namun, jika dibilang dia membutuhkanku, itu rasanya terlalu berlebihan. Dia tidak memilihku, tapi aku yang memaksa untuk masuk ke dalamnya. Dia punya Rania. Hubungan mereka dekat, bahkan Ranialah yang paling memahaminya. Mengingat ceritanya kala itu tentang Rania membuatku sera
Read more

BAB 28 - Sakit Hati

“Periksa ke dokter aja,” ucapku ketika baru kucek suhu tubuhnya hanya turun 0,2 derajat celcius pagi ini. “Aku cuma butuh istirahat.” Aku tahu itu. Dia memang butuh istirahat. Sejak meninggalnya Papa dia seperti memaksa diri untuk menjelma jadi Super-Man. “Supaya tahu pastinya sakit apa, Mas.” Dia menggeleng. “Aku tahu tubuhku. Kamu nggak ke kampus?” Dia malah mengalihkan pembicaraan. “Nggak ada bimbingan.” “Aksa mana?” “Lagi sarapan di bawah. Mas Abi makan, ya, aku antar Aksa dulu, nanti langsung pulang.” Aku sudah meletakkan semangkuk bubur, teh hangat campur madu, dan air putih di sana. Obat penurun demam juga tinggal dia konsumsi. Kuharap dia sudah dewasa dan tidak perlu kusuapi. Saat aku menuruni tangga, terdengar bel rumah yang berbunyi. Rasanya nggak sopan bertamu di jam sepagi ini kalau nggak beneran penting? Aku sama sekali tidak merasa aneh saat membuka pintu sampai kulihat ada wanita yang mengenakan dress panjang bermotif floral berdiri di sana. Dia datang dengan eks
Read more

BAB 29 - Sadar Diri

Aku masuk kamar Aksa, lalu menguncinya. Aku duduk di balik pintu sambil memeluk kedua kakiku yang terlipat. Aku yang salah. Aku yang bodoh. Aku yang sukarela menjatuhkan diri kepadanya. Wawa benar, harusnya aku nggak begini. Harusnya aku bisa tegas sejak awal dengan batasan-batasan kami. Aku yang mudah dirayu. Aku yang terlalu naif dan menganggap semua orang yang memperlakukanku baik, maka akan baik selamanya. Konsep hidup di dunia nggak begitu. Banyak manusia yang sengaja pura-pura baik hanya karena ingin mendapatkan sesuatu. Apa yang dia mau sampai harus berpura-pura menganggapku penting untuknya? Padahal, endingnya sudah kutahu akan seperti apa. “Una ….” Suara pintu yang terketuk dipadukan dengan panggilan namaku sama sekali tak membuatku bergeming. Itu suara Mas Abi. Sungguh, aku akan merasa lebih baik andai dia bersikap seperti awal. Bersikap kalau kami ini nggak mungkin bersama. Namun, dia malah berkebalikan. Dia malah membuat kami ini memiliki ikatan yang benar-benar spesial.
Read more

BAB 30 - Berterus Terang

Aku tidak butuh persetujuan Mas Abi untuk pergi keluar bersama Kak Alex. Toh, dia juga tidak meminta persetujuanku untuk membawa Rania masuk ke kamar. Sekarang, di sinilah aku berada. Di sebuah kafe dekat kompleks. Di depanku ada Kak Alex yang sejak lima menit lalu masih konsisten mengaduk dan menegak minumannya. Dia masih diam. Begitu juga denganku. Aku ingin menceritakan semuanya, tapi aku sendiri bingung memulainya dari mana. Meski ini membingungkan, aku tetap perlu memulainya. Kebingunganku saat ini nggak akan sebanding dengan kebingungan Kak Alex. Mungkin dia sedang memilah kata di otaknya untuk mencari awal pembahasan yang tepat. Perlahan, tapi kucoba untuk meruntutkannya. Semua bermula dari permintaan Ibu yang mau menjodohkanku dengan Mas Harun. Pertengkaran keluargaku, hingga malam kecelakaan. Sampai pada akhirnya, kata ‘Sah’ itu terucap dan bagaimana aku menjalani hari-hariku. Aku memperhatikan gelagat Kak Alex yang sampai sekarang tidak mau melihat mataku. Dia malah memakan
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status