Seperti yang kubilang, aku tidak mau diatur-atur dengan cara yang tidak adil. Mas Abi bisa dengan mudah bermesraan dengan Rania sampai mengucapkan kalimat ‘I love you’, masa aku tidak boleh? Aku tidak akan membiarkan dia seenaknya mengaturku. Aku tetap menjadi Una yang bebas dan kata ‘menikah’ hanya status yang diketahui olehku dan dirinya. Sekarang aku sedang duduk di lobi sembari memainkan laptop. Tempat ini sedang sepi dan bahkan lebih nyaman daripada perpustakaan. Koneksinya lancar karena dekat dengan ruang dosen. Aku butuh itu untuk mengakses berbagai jurnal berbayar yang bisa didapat gratis asal menggunakan wifi ID kampus. Fasilitas ini perlu kumanfaatkan dengan baik. Telingaku kusumpal dengan ear phone agar lebih mudah konsentrasi. Beberapa orang yang berlalu lalang di sampingku tak akan membuatku kehilangan fokus. Tujuan utamaku adalah lulus, lulus, dan lulus. Setelah itu, aku akan S2 dan bisa kujadikan alasan untuk segera berpisah dengannya. “Kenapa rajin banget ngerjain sk
Kurasa hari ini memang ada yang salah dari Mas Abi. Dia lebih menyebalkan dari wanita yang menghadapi masa PMS. Tak hanya di kampus, saat di rumah pun dia kembali membuat kegaduhan. Dia menghampiriku yang berada di kamar Aksa. Andai tidak Aksa di sini, mungkin dia langsung mencecarku banyah hal. Dia memperlakukanku seolah aku ini pendosa berat. Saat ini, aku baru membantu Aksa mempersiapkan diri untuk mengaji di musala kompleks. Biasanya Bik Tun yang akan mengantar dan menungguinya di sana. “Kenapa?” tanyaku ketika Aksa sudah berpamitan pergi. Sedari tadi dia hanya berdiri sambil memperhatikan gerak-gerikku. Kurasa dia memang sedang kesambet. Aneh! “Kamu nggak mau salaman sama Rangga, kenapa mau disentuh Alex?” Jangan bilang dia tahu tentang kejadian tadi, makanya langsung memanggilku ke ruangannya tanpa alasan? “Diusap kepala?” ucapku santai sambil merapikan kamar Aksa sejenak. “Aku juga mau nolak, tapi kadung suka disentuh kayak gitu,” jawabku jujur. “Rasanya kayak disayang.” Aku
Entah berapa lama kami berpelukan dalam diam. Tidak ada yang mengajak berbicara. Seluruh tubuh kami seolah menunjukkan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan lidah. Kami sama-sama mendamba pelukan itu. Kuharap bukan hanya aku yang menikmatinya. Saat dia melepaskan pelukan, aku merasa ada yang kosong. Aku merasa dia baru saja mengambil sesuatu. Namun, aku tidak tahu apa itu. Kami saling berpandangan, lagi-lagi hanya diam. Sungguh, jika dia menatapku seperti ini aku bisa salah mengartikan. Aku akan mengira kalau dia benar-benar menganggapku seperti istrinya. Tolong, jangan buat aku bingung dengan semuanya. Pelan tangannya mengusap pipiku. Ada gelenyer aneh yang tidak tahu dari mana membuatku kembali mematung. Aku seperti membeku dan uniknya getaran itu begitu nyata. Jantungku kembali berpacu dengan hebatnya ketika tangannya itu mengusap pipiku. Apa sebenarnya yang mau dia lakukan? Kenapa harus menyiksaku seperti ini? “Masih belum boleh lihat apa yang ada di balik jilbabmu?” ucapny
Aku seperti de javu. Suasana ini tidak asing. Aku pernah dua kali menyaksikannya secara langsung. Berbagai suara yang berpadu membuatku harus bersusah payah mengendalikan diri. Rasanya aku ingin pergi. Namun, tidak bisa. Aku yang lebih kuat di sini dibanding yang lain. Hubunganku dengan Papa tidak sedalam jika dibandingkan dengan banyaknya orang yang hadir. Terlebih kepada pria yang sejak tadi sudah duduk di samping jenazah yang sudah dikafani. Suara lantunan Al-Qur’an begitu nyaring terdengar. Perpaduannya dengan deruan tangis sungguh membuatku trauma. Kenanganku terlempar ke satu tahun lalu. Seingatku, saat itu Ayah hanya berpamitan untuk pergi menemui temannya. Dia bilang tidak lama. Namun, nyatanya dia malah pergi untuk selamanya. Bunda dulu juga bilang begitu. Dia bilang hanya akan ke rumah bidan untuk melahirkan calon adikku. Namun, nyatanya dia pulang dalam keadaan tak bernyawa. Orang dewasa memang sangat pintar berbohong. Aku baru saja dari rumah adik Mama yang hanya berjarak
Pemakaman sudah selesai tepat sejak pukul sembilan tadi. Sekarang, orang-orang masih ramai berdatangan. Kerabat juga masih berkumpul. Mereka mengelilingi Mama dan Aya. Mama sudah benar-benar lemah. Dia hanya bisa duduk bersandar ketika satu per satu orang menyampaikan belasungkawa. Di antara semua orang, aku sedang mencari satu pria yang belum kulihat sejak di pemakaman tadi. Dia belum memasukkan apa pun ke perutnya sejak kemarin sore. Aku sudah memaksa, tapi dia bilang nggak bisa. Katanya dia bisa muntah kalau dipaksa. Apa dia pingsan di suatu tempat? Aku keliling rumah sampai akhirnya menemukan dia di dalam kamar. Kamar ini adalah kamarnya saat dulu ketika masih tinggal bersama orang tuanya. Dia sedang duduk bersandar di kaki ranjang. Tatapannya menatap ke dinding kosong. Dinding itu sama dengan tatapan matanya. Dia benar-benar seperti orang linglung dan acak-acakan. Di tangan kirinya ada rokok yang belum dinyalakan, sedangkan tangan kanannya memainkan pemantik. Kuambil pemantik d
Aku tidak bisa lama di Bogor. Tidak ada yang tahu kalau aku memiliki hubungan dengan Mas Abi. Aku perlu melanjutkan bimbingan dan Aksa perlu melanjutkan aktivitasnya. Mama juga memintaku untuk kembali ke Jakarta. “Yang hidup harus tetap hidup. Mama minta kamu kembali ke Jakarta supaya Aksa nggak kelamaan di sini,” ucapnya. Aku mau menolak, tapi yang diucapkannya memang benar. “Mama baik-baik aja selama kamu dan Abi juga baik-baik. Mama tahu, kamu sulit menerimanya. Tapi, yang perlu kamu tahu juga, anak itu punya banyak hal yang nggak bisa ditebak. Dia butuh kamu. Dia perlu teman yang bisa memahaminya. Dan dia sudah memilihmu.” Kalimat Mama membuatku banyak berpikir. Aku tahu, belakangan ini kami semakin dekat. Namun, jika dibilang dia membutuhkanku, itu rasanya terlalu berlebihan. Dia tidak memilihku, tapi aku yang memaksa untuk masuk ke dalamnya. Dia punya Rania. Hubungan mereka dekat, bahkan Ranialah yang paling memahaminya. Mengingat ceritanya kala itu tentang Rania membuatku sera
“Periksa ke dokter aja,” ucapku ketika baru kucek suhu tubuhnya hanya turun 0,2 derajat celcius pagi ini. “Aku cuma butuh istirahat.” Aku tahu itu. Dia memang butuh istirahat. Sejak meninggalnya Papa dia seperti memaksa diri untuk menjelma jadi Super-Man. “Supaya tahu pastinya sakit apa, Mas.” Dia menggeleng. “Aku tahu tubuhku. Kamu nggak ke kampus?” Dia malah mengalihkan pembicaraan. “Nggak ada bimbingan.” “Aksa mana?” “Lagi sarapan di bawah. Mas Abi makan, ya, aku antar Aksa dulu, nanti langsung pulang.” Aku sudah meletakkan semangkuk bubur, teh hangat campur madu, dan air putih di sana. Obat penurun demam juga tinggal dia konsumsi. Kuharap dia sudah dewasa dan tidak perlu kusuapi. Saat aku menuruni tangga, terdengar bel rumah yang berbunyi. Rasanya nggak sopan bertamu di jam sepagi ini kalau nggak beneran penting? Aku sama sekali tidak merasa aneh saat membuka pintu sampai kulihat ada wanita yang mengenakan dress panjang bermotif floral berdiri di sana. Dia datang dengan eks
Aku masuk kamar Aksa, lalu menguncinya. Aku duduk di balik pintu sambil memeluk kedua kakiku yang terlipat. Aku yang salah. Aku yang bodoh. Aku yang sukarela menjatuhkan diri kepadanya. Wawa benar, harusnya aku nggak begini. Harusnya aku bisa tegas sejak awal dengan batasan-batasan kami. Aku yang mudah dirayu. Aku yang terlalu naif dan menganggap semua orang yang memperlakukanku baik, maka akan baik selamanya. Konsep hidup di dunia nggak begitu. Banyak manusia yang sengaja pura-pura baik hanya karena ingin mendapatkan sesuatu. Apa yang dia mau sampai harus berpura-pura menganggapku penting untuknya? Padahal, endingnya sudah kutahu akan seperti apa. “Una ….” Suara pintu yang terketuk dipadukan dengan panggilan namaku sama sekali tak membuatku bergeming. Itu suara Mas Abi. Sungguh, aku akan merasa lebih baik andai dia bersikap seperti awal. Bersikap kalau kami ini nggak mungkin bersama. Namun, dia malah berkebalikan. Dia malah membuat kami ini memiliki ikatan yang benar-benar spesial.
“Di hari kematian Ayah, aku dan Ibu langsung ke rumah sakit. Di sana kami menunggu jenazah Ayah yang masih dalam perjalanan. Di UGD yang ramai, aku melihat ada anak kecil yang berdiri linglung di ujung ruangan. Dia mendekatiku dan menarik-narik bajuku. ‘Mama Papa nggak bangun lagi,’ ucapnya. Aku berjongkok dan menyejajarkan pandang. Tatapan matanya sangat polos. Aku langsung memeluknya karena kutahu kami di posisi yang sama. Hebatnya dia nggak menangis. Dia keren sekali. Ya, anak itu adalah Aksa. Sesaat kemudian keluarga Aksa datang, aku nggak ingat siapa, yang jelas Aksa langsung bersama mereka. Mungkin itu Mama sama Papa. Aku nggak sempat bertemu karena jenazah Papa sudah datang. Malam itu UGD memang ramai banget, mungkin malaikat maut sedang berbondong menjemput orang-orang baik.”Itu adalah awal pertemuanku dengan Aksa. Pertemuan pertama kami bukan di ruangan dosen, melainkan jauh dari itu. Sekarang Mas Abi masih memelukku. Dia memelukku sangat erat dan menciumi ujung kepalaku. Di
Sekarang aku hidup seperti zombi. Menapak tanah, tapi tanpa nyawa. Berpikir, tapi seperti nggak punya otak. Aku benar-benar masa bodo dengan yang terjadi padaku sekarang. Semua orang di kampus sudah tahu mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Aku juga sudah melakukan sidang skripsi dengan ala kadarnya. Sidang ini diundur satu minggu, itu pun Mas Abi yang mengurus. Semua persiapanku sudah lenyap. Aku tidak peduli dengan penjelasanku yang kurang memuaskan. Aku seharusnya mendapatkan nilai B, tapi Prof. Nanang memberiku nilai A. Apa dia merasa bersalah? Harusnya enggak. Kan, di sini aku yang salah.Sejak kembali ke Jakarta, Ibu tinggal bersamaku di sini. Mas Abi yang membawanya. Katanya supaya aku nggak banyak melamun. Padahal, aku nggak melamun. Aku hanya tidur dalam waktu yang sangat lama. Aku tetap lelah padahal nggak melakukan apa-apa. Aneh, kan? Psikolog yang merawatku mengatakan kalau aku depresi. Dulu aku menyepelekan Rania yang harus menjalani terapi ke psikolog, sekarang aku yang m
Pesan yang tidak terkirim membuat Aksa mengira aku sudah datang ke sekolahnya tepat tiga puluh menit setelah panggilan dengan Miss Yuli. Dia begitu antusias menantiku karena kami sudah janjian untuk main. Dia nggak sabar untuk ke playzone dan makan es krim. Alhasil, dia nggak mau menungguku di dalam kelas atau taman bermain seperti biasa setelah tiga puluh menit berlalu. Dia menungguku di depan gerbang. Mulanya masih ditemani satpam yang bertugas. Sejenak satpam itu ke toilet dan bersamaan Aksa melihatku datang. Dia mengira seorang wanita yang mengendarai motor seperti milikku di seberang jalan adalah aku. Dia sudah berjingkat-jingkat sambil melambaikan tangan. Namun, orang itu langsung pergi begitu saja. Aksa yang panik karena merasa ditinggal pun langsung berlari menyeberang tanpa mempedulikan apa yang ada di samping kanan dan kirinya. Setelahnya semua orang mengerumuni jalan itu.Rangkuman cerita itu kudengar langsung dari seseorang yang datang. Aku tidak tahu siapa. Mungin aku ken
Besok lusa aku sidang dan sekarang pada jam sebelas siang masih di kampus. Harusnya ini hari tenang untukku menyiapkan mental. Namun, aku harus menunggu satu dosen pengujiku yang sibuknya mengalahi rektor. Dia guru besar yang aktivitasnya nggak cuma di kampus ini. Aku sedang menunggu Prof. Nanang untuk memberikan draft skripsiku beserta surat tugas.Aku duduk di kursi ruang tunggu yang berada di front office. Bosan sekali menunggu, apalagi suasananya sangat sepi. Aku tidak tahu ke mana perginya mahasiswa lain. Saat kumainkan kakiku di lantai, aku melihat ada orang yang melewatiku. Aku mengenalnya dan dia mengenalku. Namun, kami nggak saling menyapa. Kami benar-benar menjadi orang asing. Itu Kak Alex. Dia baru saja masuk ke ruang dosen. Aku pandangi punggungnya dan bergumam dalam hati menyatakan ini memang yang terbaik untuk kami.Aku tidak akan mempermasalahkan mengenai Kak Alex karena yang lebih rumit sekarang adalah si Abimayu. Sampai tadi pagi, kami masih melakukan gencatan senjata
Hari ini aku pulang larut karena harus ke fotokopian untuk menyetak empat draft skripsi yang akan diberikan ke dosen pembimbing dan penguji. Aku nggak tahu ini pukul berapa, yang jelas sudah lewat jam sembilan malam. Tadi Aksa melakukan video call denganku. Dia minta didongengin karena aku nggak menemaninya tidur. Bayangkan, aku di fotokopian menunggu pegawai menyetak skripsi sambil membacakan kisah Nabi Nuh dengan penuh ekspresif. Sesekali aku melihat mereka yang menertawaiku. Tak apa, toh, mereka juga nggak mengenalku.Aku sudah sampai di rumah dan melihat ada mobil yang terparkir. Mobil honda jazz berwarna putih itu seperti tidak asing. Aku pernah melihatnya, tapi tidak tahu di mana. Di samping mobil itu ada seorang pria yang sedang merokok.“Cari siapa, Mas?” tanyaku ke pria itu.“Lagi nunggu Mbak Rania.”Rania? Ah, iya, mobil ini milik Rania. Aku pernah melihatnya saat dia datang ke sini. Jadi, Rania ada di dalam rumah? Mau ngapain lagi dia? Jangan bilang Mas Abi membohongiku. Ka
Aku menganggap urusanku dengan Kak Alex sudah selesai. Sejak kejadian di kantin, esoknya Jessica mengirimkan video untukku. Video itu berisi permintaan maaf darinya. Aku tahu itu bukan permintaan maaf yang tulus, tapi tak apa, aku tetap memaafkannya. Sisanya biar menjadi urusan Tuhan Yang Maha Esa.Sekarang aku harus melanjutkan hidupku lagi. Tanggal sidang sudah ditetapkan dan aku perlu menyiapkan banyak hal, terkhusus mentalku. Beruntung suamiku sangat supportif, meski caranya sangat menyiksa. Setiap malam kepalaku pasti benjol akibat diketok dengan pulpen olehnya. Tenang, itu bukan KDRT, ketokan pulpen itu nggak sakit karena setelahnya dihadiahi kecupan yang lebih banyak.Hari ini hari terakhirku untuk menghadap ke Bu Ambar sebelum sidang. Setelah ini aku akan fokus ke persiapan di luar materi.“Kamu pernah bilang mau melanjutkan S2, kan?” tanya Bu Ambar tiba-tiba.“Iya, Bu.”Bu Ambar menyodorkan sebuah brosur untukku. Pelan-pelan kubaca setiap rangkaian huruf yang tertera. Ini br
Kami duduk berhadapan di kafe yang kebetulan tepat berada di samping minimarket. Aku sperti de javu ketika bersamanya seperti ini. Aku mengingat saat kami berbincang penuh emosi pada saat itu. Semoga hari ini aku dan Kak Alex bisa bicara dengan kepala dingin. Dia pasti ingin mendengar cerita lebih lengkap tentang kejadian di kantin tadi.“Apa kabar?” tanyanya.“Baik. Kak Alex apa kabar?”“Semoga baik-baik saja.” Dia menyunggingkan senyum dipaksa.Kami kembali diam dan larut dalam pemikiran masing-masing. Aku ingin sekali membuka pembicaraan dengannya. Aku ingin dia bercerita banyak hal. Meski tanpa ada perasaan ingin saling memiliki, apa aku masih boleh menjadi temannya? Aku mau mendengarnya membahas persoalan politik yang sedang disorot.“Kamu diapain aja sama Jessica?” tanyanya lagi.“Cuma itu ….”Aku tidak melanjutkan perkataanku secara detail. Bukan karena aku tidak percaya atau membencinya. Hanya saja ini sangat cangung. Aku merasa tidak nyaman. Aku ingin mengeluarkan banyak kata
“Strategi gue berhasil. Akhirnya lo ngaku. Sebenernya gue nggak yakin-yakin banget. Tapi, setelah mengaitkan dengan gosip yang lo ditolak Kak Alex setelah bertahun-tahun pedekate, gue coba aja. Ternyata berhasil. Hati-hati Jes, lo nggak kenal siapa Una. Kalau lo tahu posisinya dia sekarang, pasti lo langsung sujud di kaki—”“Wa, aku malu. Kita jadi tontonan. Udahan aja, yang jelas udah jelas kalau mereka yang lakuin.” Aku menarik tangan Wawa untuk menjauh, tapi dia menolak. Sebenarnya aku lebih takut kalau Wawa keceplosan mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Lagian, Jessica tahu dari mana tentang hubungan kami? Aku sama sekali nggak pernah terlihat akrab dengan Mas Abi saat di kampus. Jangan bilang dari Kak Alex? Tapi, kayaknya enggak, deh.“Perbaiki dulu tabiat lo supaya gue bisa terkesan,” ucap Kak Alex ke Jessica. Setelah itu dia pergi lagi. Dia tidak menghadap ke arahku. Dia nggak bicara denganku. Memangnya aku berharap apa? Kak Alex sudah memberi batasan yang jelas antara kami.“S
Di sinilah aku berada. Aku dan Wawa menghampiri segerombolan mahasiswa yang berada di salah satu meja kantin. Ini memang wilayah yang sering mereka pakai. Selain Jessica dan keenam sahabatnya, di meja ini juga ada beberapa cowok. Aku tidak mengenal mereka, entah dari jurusan ilkom atau jurusan lain. Yang jelas mereka semua terlihat akrab. Wawa tanpa gentar langsung membelah kerumunan itu dan berhadapan dengan Jessica. Semua orang yang ada di kantin memperhatikan kami. Aduh Wawa, dia malah menggiringku untuk menjadi pusat perhatian! “Lo yang ngerjain Una, kan?” Tanpa pembukaan apalagi ucapan salam, Wawa langsung bertanya ke Jessica. Wanita berambut kecokelatan yang sedang duduk itu hanya memperhatikan Wawa dengan ekspresi terganggu. Bola mata kebiruannya seolah mengisyaratkan kalau dia tidak tahu apa-apa. Kemudian, dia beralih menatapku. Aku bisa lihat sorotan merendahkan darinya. “Siapa, ya?” tanya Jessica. Nah, apa kubilang, Jessica nggak mungkin kenal aku. Di jurusan yang seangk