Aku masuk kamar Aksa, lalu menguncinya. Aku duduk di balik pintu sambil memeluk kedua kakiku yang terlipat. Aku yang salah. Aku yang bodoh. Aku yang sukarela menjatuhkan diri kepadanya. Wawa benar, harusnya aku nggak begini. Harusnya aku bisa tegas sejak awal dengan batasan-batasan kami. Aku yang mudah dirayu. Aku yang terlalu naif dan menganggap semua orang yang memperlakukanku baik, maka akan baik selamanya. Konsep hidup di dunia nggak begitu. Banyak manusia yang sengaja pura-pura baik hanya karena ingin mendapatkan sesuatu. Apa yang dia mau sampai harus berpura-pura menganggapku penting untuknya? Padahal, endingnya sudah kutahu akan seperti apa. “Una ….” Suara pintu yang terketuk dipadukan dengan panggilan namaku sama sekali tak membuatku bergeming. Itu suara Mas Abi. Sungguh, aku akan merasa lebih baik andai dia bersikap seperti awal. Bersikap kalau kami ini nggak mungkin bersama. Namun, dia malah berkebalikan. Dia malah membuat kami ini memiliki ikatan yang benar-benar spesial.
Aku tidak butuh persetujuan Mas Abi untuk pergi keluar bersama Kak Alex. Toh, dia juga tidak meminta persetujuanku untuk membawa Rania masuk ke kamar. Sekarang, di sinilah aku berada. Di sebuah kafe dekat kompleks. Di depanku ada Kak Alex yang sejak lima menit lalu masih konsisten mengaduk dan menegak minumannya. Dia masih diam. Begitu juga denganku. Aku ingin menceritakan semuanya, tapi aku sendiri bingung memulainya dari mana. Meski ini membingungkan, aku tetap perlu memulainya. Kebingunganku saat ini nggak akan sebanding dengan kebingungan Kak Alex. Mungkin dia sedang memilah kata di otaknya untuk mencari awal pembahasan yang tepat. Perlahan, tapi kucoba untuk meruntutkannya. Semua bermula dari permintaan Ibu yang mau menjodohkanku dengan Mas Harun. Pertengkaran keluargaku, hingga malam kecelakaan. Sampai pada akhirnya, kata ‘Sah’ itu terucap dan bagaimana aku menjalani hari-hariku. Aku memperhatikan gelagat Kak Alex yang sampai sekarang tidak mau melihat mataku. Dia malah memakan
Aku hanya duduk diam di kafe ini. Benar-benar diam dan mengabaikan orang yang silih berganti satu per satu. Sampai dua sahabatku datang dan langsung memelukku. Sepertinya mimik wajahku mudah sekali terbaca. Sebelum mereka datang, aku sudah berpesan ke Bik Tun bahwa tidak bisa menjemput Aksa. Aku sedang tidak mampu berakting di depannya. Anak itu pasti bisa menebak kalau aku sedang dalam keadaan yang sangat tidak baik. Batinku terguncang. Rasanya ini begitu menyakitkan untukku. “Kenapa?” Satu kata ‘kenapa’ membuatku langsung menumpahkan semuanya. Aku tidak peduli dengan pengunjung lain yang memperhatikanku. Aku juga tidak peduli saat kuyakin pegawai di sini menganggapku aneh. Ketika Sherin menanyakan ‘kenapa’, sungguh semua pertahananku luluh lantah. Ada kesakitan di dalam hati yang membuatku ingin meraung sekencangnya. Aku tidak tahu ini tangis karena apa, entah karena hubungan Mas Abi dan Rania atau karena Kak Alex. Rasanya semua sudah bercampur menjadi adonan yang sempurna untuk me
Aku sama sekali tidak beranjak dari kasur sampai matahari berganti bulan. Sampai jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh pun aku masih bergeming di kamar kos Sherin. Dua sahabatku sedang asyik nonton drama Korea. “Na, lo nggak mati, kan?” “Hampir,” jawabku asal. “Suami lo tuh nelponin Sherin.” “Siapa? Mas Abi?” “Emang lo punya suami lain lagi selain dia?” “Kenapa?” “Dia nyariin lo.” Wawa duduk di samping ranjang dan menatapku. Dia seperti mau memperagakan sesuatu. Suaranya dibuat nge-bass. “Kalau dia bangun, beri tahu untuk pulang. Aksa nggak mau tidur. Jangan biarin dia bawa motor, nanti kebut-kebutan. Suruh naik taksi atau ojek online.” “Aaaa … gue gemes.” Suara Wawa langsung kembali seperti semula. Dia memukul-mukul tubuhku yang ada di balik selimut. “Jangan tertipu,” gumamku. Mas Abi memang begitu. Kadang baik dan manis banget seperti tadi. Namun, dia juga berhasil membuatku semakin bingung dengan tujuannya selama ini. “Pulang, Na. Anak lo jangan jadi korban.” “Mmm,” ja
“Aku mau teh madu tadi pagi,” ucap Mas Abi. Kami sudah duduk di meja makan. Aku tidak bisa masak, jadi hanya menggoreng ayam yang memang sudah dibumbui dan diungkep oleh Bik Tun. “Seharian ke mana aja?” “Di kos Sherin.” “Gimana ketemu Alex?” “Baik-baik aja,” jawabku sekenanya. “Gimana ketemu Rania?” Dia tidak menjawabku. Dia hanya diam dan benar-benar mengabaikan pertanyaanku sampai sekian menit hingga ayam yang kugoreng sudah matang. “Kamu mau tanya itu?” “Nggak dijawab juga nggak papa.” “Kamu mau tahu?” “Nggak usah.” Aku sudah menyiapkan makan. Aku sudah membuatkan teh madu. Aku sudah menyiapkan obatnya juga. Aku sudah tidak ada keperluan dengannya, sehingga kuputuskan untuk kembali ke kamar. Namun, dia menahanku. Dia memintaku untuk duduk di sampingnya. Dia sodorkan piring yang tadi kuberikan untuknya. Dia memang tidak berbicara, tapi aku paham maksudnya. Dia minta aku untuk menyuapinya? “Tangan masih sehat, kenapa minta disuapi?” sindirku tanpa mengindahkan permintaanny
Kalimatnya itu sudah menjelaskan semuanya. Dia tidak menginginku sebesar keinginannya untuk membantu Rania. Aku tidak peduli dengan penyakitnya, yang jelas sekarang sudah diputuskan kalau Mas Abi lebih mementingkan Rania. Mungkin, kalau diurutan aku hanya di peringkat kedua, ketiga, atau malah ke sepuluh. Aku tinggalkan dia di ruang makan dan aku kembali ke kamar. Seenggaknya kami sudah membahas beberapa poin, untuk yang lainnya dibalas nanti. Aku sudah kelelahan. Otakku yang baru dipaka sebentar dan tubuh yang hanya bergerak sedikit sudah menuntut untuk diistirahatkan. Akan tetapi, sebelum aku benar-benar tertidur di samping Aksa, aku membuka ponsel dan mencari tahu apa yang diberitahu Mas Abi tadi. Ada satu artikel yang berbunyi seperti ini, ‘Erotomania adalah gangguan yang membuat seseorang percaya atau sangat yakin bahwa ada orang yang sedang jatuh cinta kepadanya. Padahal, hal tersebut tidak benar.’ Penyebabnya macam-macam dan salah satunya karena trauma. Memangnya trauma apa ya
Aku tidak menghitung sudah berapa lama aku berstatus sebagai istri Abimayu. Ini baru pertama kali kami benar-benar menunjukkan hubungan yang kurasa akan lebih baik jika tidak ada orang yang tahu. Kami bukan membuat pengumuman ke kampus kalau kami sudah menikah, melainkan hanya jalan-jalan. Tepat di saat dia bilang sudah sembuh dan pulang dari kampus, dia langsung mengajakku berkunjung ke mall yang tidak jauh dari rumah. Tidak ada kegiatan lebih, hanya menemani Aksa bermain di plyazone, kemudian makan bersama. Tentunya, kami tidak hanya bertiga, ada Bik Tun yang juga ikut. Sepertinya aku belum pernah membahas Bik Tun. Dia itu orang yang paling tenang yang pernah kulihat di muka bumi. Dia terbilang masih cukup muda dengan usia kisaran empat puluh tahun. Yang membuat unik, jam tidur Bik Tun itu sama dengan Aksa, yaitu jam sembilan malam. Jadi, saat aku dan Mas Abi ngobrol di ruang makan tadi malam, kuyakin Bik Tun tidak akan mendengar. Andai aku membuat kegaduhan di dapurnya pun dia memi
Aku sudah duduk di sini. Aku tidak sendiri. Sengaja aku membawa Aksa karena dengan begitu aku merasa lebih tenang. Ini sudah sore. Aku ke sini bukan tanpa alasan, melainkan mau mengembalikan wadah yang berisi makanan darinya. Wadah itu tidak kubiarkan kosong. Aku mengisinya dengan buah. Aku tidak mau merepotkan Bik Tun untuk masak-masak. Lagian, di rumah ini hanya ada dua orang. Mereka bisa memasak makanan sendiri. “Ini rumah Mama dulu?” tanya Aksa kepadaku. “Ini rumah nenek,” bisikku. Aku terlalu ragu untuk mengenalkan Aksa kepada Ibu. Namun, bagaimanapun rasanya mereka memang perlu saling mengetahui. Kukira Ibu menjaga toko seperti biasa, ternyata tidak. Dia baru pulang dari rumah tetangga yang memiliki bisnis katering. Rumah dengan tiga kamar ini terlihat sangat sepi dan suram. Aku tidak melihat tanda-tanda ada Mbak Tasya di sini. Jejeran sepatunya yang biasanya ada di teras pun juga nggak ada. Apa sudah dipindahkan ke tempat lain? Ibu menghampiri kami sambil membawakan dua cang
“Di hari kematian Ayah, aku dan Ibu langsung ke rumah sakit. Di sana kami menunggu jenazah Ayah yang masih dalam perjalanan. Di UGD yang ramai, aku melihat ada anak kecil yang berdiri linglung di ujung ruangan. Dia mendekatiku dan menarik-narik bajuku. ‘Mama Papa nggak bangun lagi,’ ucapnya. Aku berjongkok dan menyejajarkan pandang. Tatapan matanya sangat polos. Aku langsung memeluknya karena kutahu kami di posisi yang sama. Hebatnya dia nggak menangis. Dia keren sekali. Ya, anak itu adalah Aksa. Sesaat kemudian keluarga Aksa datang, aku nggak ingat siapa, yang jelas Aksa langsung bersama mereka. Mungkin itu Mama sama Papa. Aku nggak sempat bertemu karena jenazah Papa sudah datang. Malam itu UGD memang ramai banget, mungkin malaikat maut sedang berbondong menjemput orang-orang baik.”Itu adalah awal pertemuanku dengan Aksa. Pertemuan pertama kami bukan di ruangan dosen, melainkan jauh dari itu. Sekarang Mas Abi masih memelukku. Dia memelukku sangat erat dan menciumi ujung kepalaku. Di
Sekarang aku hidup seperti zombi. Menapak tanah, tapi tanpa nyawa. Berpikir, tapi seperti nggak punya otak. Aku benar-benar masa bodo dengan yang terjadi padaku sekarang. Semua orang di kampus sudah tahu mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Aku juga sudah melakukan sidang skripsi dengan ala kadarnya. Sidang ini diundur satu minggu, itu pun Mas Abi yang mengurus. Semua persiapanku sudah lenyap. Aku tidak peduli dengan penjelasanku yang kurang memuaskan. Aku seharusnya mendapatkan nilai B, tapi Prof. Nanang memberiku nilai A. Apa dia merasa bersalah? Harusnya enggak. Kan, di sini aku yang salah.Sejak kembali ke Jakarta, Ibu tinggal bersamaku di sini. Mas Abi yang membawanya. Katanya supaya aku nggak banyak melamun. Padahal, aku nggak melamun. Aku hanya tidur dalam waktu yang sangat lama. Aku tetap lelah padahal nggak melakukan apa-apa. Aneh, kan? Psikolog yang merawatku mengatakan kalau aku depresi. Dulu aku menyepelekan Rania yang harus menjalani terapi ke psikolog, sekarang aku yang m
Pesan yang tidak terkirim membuat Aksa mengira aku sudah datang ke sekolahnya tepat tiga puluh menit setelah panggilan dengan Miss Yuli. Dia begitu antusias menantiku karena kami sudah janjian untuk main. Dia nggak sabar untuk ke playzone dan makan es krim. Alhasil, dia nggak mau menungguku di dalam kelas atau taman bermain seperti biasa setelah tiga puluh menit berlalu. Dia menungguku di depan gerbang. Mulanya masih ditemani satpam yang bertugas. Sejenak satpam itu ke toilet dan bersamaan Aksa melihatku datang. Dia mengira seorang wanita yang mengendarai motor seperti milikku di seberang jalan adalah aku. Dia sudah berjingkat-jingkat sambil melambaikan tangan. Namun, orang itu langsung pergi begitu saja. Aksa yang panik karena merasa ditinggal pun langsung berlari menyeberang tanpa mempedulikan apa yang ada di samping kanan dan kirinya. Setelahnya semua orang mengerumuni jalan itu.Rangkuman cerita itu kudengar langsung dari seseorang yang datang. Aku tidak tahu siapa. Mungin aku ken
Besok lusa aku sidang dan sekarang pada jam sebelas siang masih di kampus. Harusnya ini hari tenang untukku menyiapkan mental. Namun, aku harus menunggu satu dosen pengujiku yang sibuknya mengalahi rektor. Dia guru besar yang aktivitasnya nggak cuma di kampus ini. Aku sedang menunggu Prof. Nanang untuk memberikan draft skripsiku beserta surat tugas.Aku duduk di kursi ruang tunggu yang berada di front office. Bosan sekali menunggu, apalagi suasananya sangat sepi. Aku tidak tahu ke mana perginya mahasiswa lain. Saat kumainkan kakiku di lantai, aku melihat ada orang yang melewatiku. Aku mengenalnya dan dia mengenalku. Namun, kami nggak saling menyapa. Kami benar-benar menjadi orang asing. Itu Kak Alex. Dia baru saja masuk ke ruang dosen. Aku pandangi punggungnya dan bergumam dalam hati menyatakan ini memang yang terbaik untuk kami.Aku tidak akan mempermasalahkan mengenai Kak Alex karena yang lebih rumit sekarang adalah si Abimayu. Sampai tadi pagi, kami masih melakukan gencatan senjata
Hari ini aku pulang larut karena harus ke fotokopian untuk menyetak empat draft skripsi yang akan diberikan ke dosen pembimbing dan penguji. Aku nggak tahu ini pukul berapa, yang jelas sudah lewat jam sembilan malam. Tadi Aksa melakukan video call denganku. Dia minta didongengin karena aku nggak menemaninya tidur. Bayangkan, aku di fotokopian menunggu pegawai menyetak skripsi sambil membacakan kisah Nabi Nuh dengan penuh ekspresif. Sesekali aku melihat mereka yang menertawaiku. Tak apa, toh, mereka juga nggak mengenalku.Aku sudah sampai di rumah dan melihat ada mobil yang terparkir. Mobil honda jazz berwarna putih itu seperti tidak asing. Aku pernah melihatnya, tapi tidak tahu di mana. Di samping mobil itu ada seorang pria yang sedang merokok.“Cari siapa, Mas?” tanyaku ke pria itu.“Lagi nunggu Mbak Rania.”Rania? Ah, iya, mobil ini milik Rania. Aku pernah melihatnya saat dia datang ke sini. Jadi, Rania ada di dalam rumah? Mau ngapain lagi dia? Jangan bilang Mas Abi membohongiku. Ka
Aku menganggap urusanku dengan Kak Alex sudah selesai. Sejak kejadian di kantin, esoknya Jessica mengirimkan video untukku. Video itu berisi permintaan maaf darinya. Aku tahu itu bukan permintaan maaf yang tulus, tapi tak apa, aku tetap memaafkannya. Sisanya biar menjadi urusan Tuhan Yang Maha Esa.Sekarang aku harus melanjutkan hidupku lagi. Tanggal sidang sudah ditetapkan dan aku perlu menyiapkan banyak hal, terkhusus mentalku. Beruntung suamiku sangat supportif, meski caranya sangat menyiksa. Setiap malam kepalaku pasti benjol akibat diketok dengan pulpen olehnya. Tenang, itu bukan KDRT, ketokan pulpen itu nggak sakit karena setelahnya dihadiahi kecupan yang lebih banyak.Hari ini hari terakhirku untuk menghadap ke Bu Ambar sebelum sidang. Setelah ini aku akan fokus ke persiapan di luar materi.“Kamu pernah bilang mau melanjutkan S2, kan?” tanya Bu Ambar tiba-tiba.“Iya, Bu.”Bu Ambar menyodorkan sebuah brosur untukku. Pelan-pelan kubaca setiap rangkaian huruf yang tertera. Ini br
Kami duduk berhadapan di kafe yang kebetulan tepat berada di samping minimarket. Aku sperti de javu ketika bersamanya seperti ini. Aku mengingat saat kami berbincang penuh emosi pada saat itu. Semoga hari ini aku dan Kak Alex bisa bicara dengan kepala dingin. Dia pasti ingin mendengar cerita lebih lengkap tentang kejadian di kantin tadi.“Apa kabar?” tanyanya.“Baik. Kak Alex apa kabar?”“Semoga baik-baik saja.” Dia menyunggingkan senyum dipaksa.Kami kembali diam dan larut dalam pemikiran masing-masing. Aku ingin sekali membuka pembicaraan dengannya. Aku ingin dia bercerita banyak hal. Meski tanpa ada perasaan ingin saling memiliki, apa aku masih boleh menjadi temannya? Aku mau mendengarnya membahas persoalan politik yang sedang disorot.“Kamu diapain aja sama Jessica?” tanyanya lagi.“Cuma itu ….”Aku tidak melanjutkan perkataanku secara detail. Bukan karena aku tidak percaya atau membencinya. Hanya saja ini sangat cangung. Aku merasa tidak nyaman. Aku ingin mengeluarkan banyak kata
“Strategi gue berhasil. Akhirnya lo ngaku. Sebenernya gue nggak yakin-yakin banget. Tapi, setelah mengaitkan dengan gosip yang lo ditolak Kak Alex setelah bertahun-tahun pedekate, gue coba aja. Ternyata berhasil. Hati-hati Jes, lo nggak kenal siapa Una. Kalau lo tahu posisinya dia sekarang, pasti lo langsung sujud di kaki—”“Wa, aku malu. Kita jadi tontonan. Udahan aja, yang jelas udah jelas kalau mereka yang lakuin.” Aku menarik tangan Wawa untuk menjauh, tapi dia menolak. Sebenarnya aku lebih takut kalau Wawa keceplosan mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Lagian, Jessica tahu dari mana tentang hubungan kami? Aku sama sekali nggak pernah terlihat akrab dengan Mas Abi saat di kampus. Jangan bilang dari Kak Alex? Tapi, kayaknya enggak, deh.“Perbaiki dulu tabiat lo supaya gue bisa terkesan,” ucap Kak Alex ke Jessica. Setelah itu dia pergi lagi. Dia tidak menghadap ke arahku. Dia nggak bicara denganku. Memangnya aku berharap apa? Kak Alex sudah memberi batasan yang jelas antara kami.“S
Di sinilah aku berada. Aku dan Wawa menghampiri segerombolan mahasiswa yang berada di salah satu meja kantin. Ini memang wilayah yang sering mereka pakai. Selain Jessica dan keenam sahabatnya, di meja ini juga ada beberapa cowok. Aku tidak mengenal mereka, entah dari jurusan ilkom atau jurusan lain. Yang jelas mereka semua terlihat akrab. Wawa tanpa gentar langsung membelah kerumunan itu dan berhadapan dengan Jessica. Semua orang yang ada di kantin memperhatikan kami. Aduh Wawa, dia malah menggiringku untuk menjadi pusat perhatian! “Lo yang ngerjain Una, kan?” Tanpa pembukaan apalagi ucapan salam, Wawa langsung bertanya ke Jessica. Wanita berambut kecokelatan yang sedang duduk itu hanya memperhatikan Wawa dengan ekspresi terganggu. Bola mata kebiruannya seolah mengisyaratkan kalau dia tidak tahu apa-apa. Kemudian, dia beralih menatapku. Aku bisa lihat sorotan merendahkan darinya. “Siapa, ya?” tanya Jessica. Nah, apa kubilang, Jessica nggak mungkin kenal aku. Di jurusan yang seangk