Semua Bab Mendadak Jadi Istri Dosen: Bab 11 - Bab 20

53 Bab

BAB 11 - Kisah yang Lucu

“Hamil duluan, ya?” Satu pertanyaan itu membuatku sadar kalau aku masih mengenakan kebaya berwarna putih. Aku masih di sini. Di tempat di mana aku baru melakukan sesuatu yang sakral dan mengikat. Suara itu terdengar dari seseorang yang tak kukenal. Entah itu pegawai KUA atau salah satu keluarga Pak Abi. “Enggak,” jawabku jujur. “Kok nikahnya buru-buru dan diam-diam?” Sebenarnya aku malas sekali menanggapi pertanyaan itu yang terus berulang. Rasanya lelah saja. Apa perlu aku membawa berkas bukti dari dokter yang menunjukkan selaput daraku masih utuh? Mulutku ini lagi kaku dan tidak selera berbicara panjang lebar. Kenapa, ya, orang-orang itu senang sekali mengurusi kehidupan orang lain? Entah datang dari mana, tiba-tiba aku merasakan ada yang merangkul. Ketika kumendongak ke kanan, ternyata Pak Abi. “Nggak usah cari bahan gosip,” selorohnya kepada wanita paruh baya itu. Kemudian dia menuntuntku untuk keluar KUA. Dia hanya berjalan dan
Baca selengkapnya

BAB 12 - Malam Pertama

“Selera Pak Abi boleh juga,” ucapku ketika dia baru bergabung ke ruang tengah. Kuacungkan kedua jempol sambil meringis, “Cantik.” Dia tidak menjawab dan hanya menatapku tanpa ekspresi. Dia merebahkan punggungnya ke sandaran sofa. Kami sama-sama lelah. Pak Abi sih enak bisa dapat pelukan dari pacarnya, sedangkan aku dari siapa? Oh, iya, kan aku sudah dapat pelukan yang lama dari ibu mertua tercinta. “Saya tidur di mana?” tanyaku lagi. “Sesukamu asal jangan di kamar saya.” “Dih, saya juga nggak berniat ke sana. Saya tidur di kamar Aksa?” “Di mana pun asal jangan di kamar SAYA!” Pak Abi menegaskan kata saya. Aku mendecih karena kalimatnya sangat kecut. Berbeda saat tadi dia dengan pacarnya, siapa tadi namanya Rania, ya? Iya, Rania. “Saya ngapain aja di sini? Nggak enak kalau numpang makan tidur, tapi nggak ngelakuin apa-apa.” “Kerja sama sama Bik Tun tentang rumah dan bersikap seperti mamanya Aksa.” “Kalau begitu Bapak juga harus bersikap seperti papanya Aksa, dong.” “Sudah say
Baca selengkapnya

BAB 13 - Ingin Tahu

Meski masih sangat mengantuk, tapi aku harus tetap bangun. Ini kewajiban yang tidak bisa ditawar. Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa, masa iya mau meninggalkan Sang Maha Pencipta? Suara azan sahut-sahutan berkumandang. Aksa yang tertidur di sampingku pun masih tampak begitu tenang. Suasana di sini remang-remang karena hanya lampu tidur yang menyala. Siapa yang mematikannya? Seingatku, semalam aku tidak sempat mematikan lampu. Jangankan mematikan lampu, pakaian dan barang-barangku saja masih berserakan. Aku keluar kamar untuk melihat situasi. Semuanya tampak tenang dan lenggang. Kamar Pak Abi yang ada di depan kamar Aksa pun tampak tidak ada kehidupan. Kuketuk kamarnya beberapa kali untuk menayakan apakah di rumah ini ada musala. Selain itu, aku juga tidak tahu arah kiblat. “Pak Abi ….” ucapku setelah mengetuk pintu. Aku menunggu untuk beberapa saat, tapi tidak ada jawaban. Apa dia masih tidur? Atau sedang salat? “Pak Abi ….” Aku sedikit menaikkan intonasi nada sura. Na
Baca selengkapnya

BAB 14 - Harus Sekamar

Kesibukan baruku menjadi mama muda, yaitu harus telaten mengurusi Aksa yang segala tingkah dan mood-nya membuatku kebingungan. Anak-anak memang seperti itu, kan? Apalagi di usia lima tahun yang sedang aktif-aktifnya. Untuk sekarang, anak ini masih sangat bersikap manis denganku. Dia menurut ketika jam tujuh kupaksa untuk bangun. Mau tahu apa yang membuatku kebingungan di hari Minggu yang cerah ini? Jawabannya adalah memandikan Aksa. Sudah kubilang, aku sama sekali tidak punya pengalaman mengurus anak-anak. Pada akhirnya, semua pakaian yang kukenakan basah hanya untuk memandikan anak ini. Ketika aku dan Aksa keluar kamar mandi, sudah ada Pak Abi di sana. Dia menyiapkan pakaian Aksa. “Saya malah basah semua,” keluhku kepadanya sambil menunjukkan semua pakaian yang kukenakan sungguhan basah. “For the first time dalam hidup, saya mandikan anak.” “Saya yang urus Aksa, kamu mandi dulu aja.” “Iya.” Hanya jawaban itu yang bisa kujawab karena memang aku butuh mandi. Nggak mungkin aku basah-
Baca selengkapnya

BAB 15 - Ada yang Beda

Di sinilah aku sekarang. Duduk di tepi kasur milik Pak Abi. Ini sungguh canggung. Sangat cangung! Dia sedang mandi. Alasan aku harus berada di kamar yang sama dengannya karena Mama dan Papa. Mereka tiba-tiba datang ke sini. Berhubung tidak mau menambah kerumitan, Pak Abi langsung menyuruhku ke sini. Selain itu, malam ini kami benar-benar hanya berdua di rumah. Mama dan Papa membawa Aksa dan Bik Tun keluar. Mereka tidak mengajakku, tidak mungkin aku tiba-tiba ikut. Bagaimanapun aku masih anggota baru di keluarga ini. Pak Abi pun memilih di rumah saja. Jika aku hanya duduk diam, otakku akan semakin memikirkan berbagai pemikiran yang membuatku semakin canggung. Kuputuskan untuk bergerak mengelilingi kamar ini. Jika hanya melihat-liat, Pak Abi nggak mungkin memarahiku, kan? Kamar ini sangat cowok kalau kubilang. Atau malah terkesan gelap. Cat dindingnya perpaduan antara abu, putih, dan ada bagian sisi yang full hitam. Semua perabotan juga berkisar di
Baca selengkapnya

BAB 16 - Tidak Bisa Tidur

Sejak kejadian di dapur tadi, jantungku masih terus berdebar lebih kencang dari biasa. Aku tidur miring memunggungi Pak Abi yang juga sepertinya memunggungiku. Satu kasur yang sama dengan pria benar-benar membuat jantungnya semakin tak terkendali. Kurasa ada yang sedang berpcu kuda di dalam sana. Menyebalkannya, hanya aku yang merasa seperti ini. Pria di sampingku benar-benar terlihat tenang. Aku mengubah posisi menjadi telentang. Kutatap langit-langit kamar. “Pak Abi ….” Aku memanggilnya untuk memastikan apakah dia sudah tidur atau belum. “Bapak kok bisa tidur, sih? Saya nggak bisa. Saya pindah ke lantai aja.” Ide ini tercetus begitu saja karena kurasa sumber ketidaknyamananku karena Pak Abi di sampingku. Aku yakin akan merasa lebih tenang saat semakin jauh dengannya. Tenang, lantai di kamar Pak Abi ada karpetnya, kok. Aku tidak akan kedinginan. Kamar ini didesain sangat nyaman untuknya. Lagian, juga ada sofa di dekat televisi. Tapi, kalau tidur di sana kaki
Baca selengkapnya

BAB 17 - Percakapan Malam

Pak Abi membuka pintu balkon kamarnya. Dia membiarkan angin malam masuk ke ruangan ini. Perpaduannya membuatku merinding, antara angin luar sekaligus AC. Kumasukkan seluruh tanganku ke balik jilbab yang kukenakan. Dia mengajakku untuk berdiri di pinggir pagar balkon. Kami menikmati suasana kompleks yang tampak tenang. Hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. Langit malam kota Jakarta juga tampak suram dan mendung. Kurasa akan turun hujan. Aku menunggunya kembali melanjutkan cerita. Sedikit demi sedikit Pak Abi seperti mau menunjukkan sisi lainnya. Dia berbeda. Dia bukan Pak Abi yang kukenal ‘sempurna’ selama ini. Rasanya, dia ingin membagikan kisah pilunya kepadaku. Mungkin dia mau membagikan masalah atau malah memindahkan masalahnya untukku. “Dulu, di saat orang-orang berbondong ingin kuliah ke Jakarta, saya malah kabur ke Kalimantan Timur. Setelah itu, saya langsung lanjut S2 di Australia. Saya cuma mau pergi jauh dari rumah. Sama kayak kamu yang memili
Baca selengkapnya

BAB 18 - Berbagai Paksaan

“Saya nggak punya pilihan lain.” “kok—” Suara ketukan dengan perpaduan tangisan Aksa membuat kami kompak menoleh ke arah pintu. “Anak itu pasti mau tidur sama kamu.” Pak Abi berjalan dan membuka pintu yang ternya dikunci. Aku tidak tahu kalau Pak Abi menguncinya. Saat pintu terbuka, Aksa langsung menuju ke arahku dengan air mata yang berlinang. Pak Abi tampak berbincang dengan Mama, sedangkan aku memposisikan diri tidur bersama Aksa. “Kamu bisa lepas jilbab kalau nggak nyaman,” ucap Pak Abi ketika sudah kembali masuk ke kamar. “Lebih nggak nyaman kalau saya nggak pakai jilbab di depan Bapak.” “Kita perlu saling membiaskan.” “Tapi, saya nggak mau lepas jilbab.” “Oke, kalau gitu yang harus diubah pertama adalah nama panggilan. Jangan panggil saya ’Pak’.” “Saya panggil Honey aja. Gimana?” ucapku bercanda. “Kamu nggak muntah?” “Ini sudah mau muntah
Baca selengkapnya

BAB 19 - Kekhawatiran Masa Depan

“Enak aja bocah, aku sudah dua puluh tahun, sebentar lagi juga dua puluh satu.” Dia melirikku sekilas, lalu membuang muka lagi. Kami jalan mengelilingi kompleks ini. Kompleks yang kubilang cukup elit. Semuanya tertata rapi. Masing-masing rumah bergaya minimlalis dengan desain yang berbeda di setiap unit. “Gaji dosen itu banyak, ya, Mas?” tanyaku. Melihat kawasan ini sepertinya pengasilan orang di sampingku bisa mencapai dua dijit. “Dikit. Makanya nggak usah jadi dosen.” “Tapi, kayaknya rumah Mas Abi mahal.” “Ada bisnis.” “Yang hidroponik itu, ya?” Dia mengangguk. Bisnis tanaman hidroponik itu milik keluarga Mas Abi yang sebelumnya dibangun oleh orang tuanya, kemudian dilanjutkan oleh kakaknya. Setelah itu, kini dikelola oleh Mas Abi. Dia memang tidak memegang langsung, melainkan mengawasi setiap keberjalanannya. “Enak, ya, hidup Mas Abi. Sekolah nggak usah mikirin biaya, orang tua masih ada, kaya lagi. Nggak usah mikir lagi untuk masa depan, pasti terjamin,” ucapku sambil terus
Baca selengkapnya

BAB 20 - Kepergok

‘Mas Abi, salat zuhurnya jangan lupa 😊’ Kurasa aku sudah menjelma menjadi alarm untuknya. Semoga saja dia nggak marah. Untuk pesanku ini dia hanya membaca, tapi tidak membalas. Tepat sesaat setelah itu, aku melihatnya yang baru keluar dari ruangan. Aku baru selesai menemui Bu Renjani—kepala jurusan, membahas tentang penggantian dosen pembimbing skripsi. Aku tidak bisa menguasai diri ketika kulihat dia dengan tampak sok cool-nya melewatiku. Dia tidak menyapaku, melirik saja tidak, aktingnya ternyata jago. Berbeda denganku yang ketika dia lewat harus menahan napas. “Ikut kita sekarang atau gue bakal teriak kalau lo ada main sama Pak Abi.” Wawa tiba-tiba muncul dan sudah membisikiku kalimat itu. Dia menarikku seperti aku sebuah buronan. Ada Sherin juga yang menunggu di lobi. Cepat atau lambat aku memang perlu menceritakan detail sejak hari Sabtu kemarin hingga hari ini kepada dua sahabatku. Sebenarnya mereka sudah memberikan pesan chat yang sangat banyak, tapi kuabaikan. Lebih enak ji
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status