“Selera Pak Abi boleh juga,” ucapku ketika dia baru bergabung ke ruang tengah. Kuacungkan kedua jempol sambil meringis, “Cantik.” Dia tidak menjawab dan hanya menatapku tanpa ekspresi. Dia merebahkan punggungnya ke sandaran sofa. Kami sama-sama lelah. Pak Abi sih enak bisa dapat pelukan dari pacarnya, sedangkan aku dari siapa? Oh, iya, kan aku sudah dapat pelukan yang lama dari ibu mertua tercinta. “Saya tidur di mana?” tanyaku lagi. “Sesukamu asal jangan di kamar saya.” “Dih, saya juga nggak berniat ke sana. Saya tidur di kamar Aksa?” “Di mana pun asal jangan di kamar SAYA!” Pak Abi menegaskan kata saya. Aku mendecih karena kalimatnya sangat kecut. Berbeda saat tadi dia dengan pacarnya, siapa tadi namanya Rania, ya? Iya, Rania. “Saya ngapain aja di sini? Nggak enak kalau numpang makan tidur, tapi nggak ngelakuin apa-apa.” “Kerja sama sama Bik Tun tentang rumah dan bersikap seperti mamanya Aksa.” “Kalau begitu Bapak juga harus bersikap seperti papanya Aksa, dong.” “Sudah say
Meski masih sangat mengantuk, tapi aku harus tetap bangun. Ini kewajiban yang tidak bisa ditawar. Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa, masa iya mau meninggalkan Sang Maha Pencipta? Suara azan sahut-sahutan berkumandang. Aksa yang tertidur di sampingku pun masih tampak begitu tenang. Suasana di sini remang-remang karena hanya lampu tidur yang menyala. Siapa yang mematikannya? Seingatku, semalam aku tidak sempat mematikan lampu. Jangankan mematikan lampu, pakaian dan barang-barangku saja masih berserakan. Aku keluar kamar untuk melihat situasi. Semuanya tampak tenang dan lenggang. Kamar Pak Abi yang ada di depan kamar Aksa pun tampak tidak ada kehidupan. Kuketuk kamarnya beberapa kali untuk menayakan apakah di rumah ini ada musala. Selain itu, aku juga tidak tahu arah kiblat. “Pak Abi ….” ucapku setelah mengetuk pintu. Aku menunggu untuk beberapa saat, tapi tidak ada jawaban. Apa dia masih tidur? Atau sedang salat? “Pak Abi ….” Aku sedikit menaikkan intonasi nada sura. Na
Kesibukan baruku menjadi mama muda, yaitu harus telaten mengurusi Aksa yang segala tingkah dan mood-nya membuatku kebingungan. Anak-anak memang seperti itu, kan? Apalagi di usia lima tahun yang sedang aktif-aktifnya. Untuk sekarang, anak ini masih sangat bersikap manis denganku. Dia menurut ketika jam tujuh kupaksa untuk bangun. Mau tahu apa yang membuatku kebingungan di hari Minggu yang cerah ini? Jawabannya adalah memandikan Aksa. Sudah kubilang, aku sama sekali tidak punya pengalaman mengurus anak-anak. Pada akhirnya, semua pakaian yang kukenakan basah hanya untuk memandikan anak ini. Ketika aku dan Aksa keluar kamar mandi, sudah ada Pak Abi di sana. Dia menyiapkan pakaian Aksa. “Saya malah basah semua,” keluhku kepadanya sambil menunjukkan semua pakaian yang kukenakan sungguhan basah. “For the first time dalam hidup, saya mandikan anak.” “Saya yang urus Aksa, kamu mandi dulu aja.” “Iya.” Hanya jawaban itu yang bisa kujawab karena memang aku butuh mandi. Nggak mungkin aku basah-
Di sinilah aku sekarang. Duduk di tepi kasur milik Pak Abi. Ini sungguh canggung. Sangat cangung! Dia sedang mandi. Alasan aku harus berada di kamar yang sama dengannya karena Mama dan Papa. Mereka tiba-tiba datang ke sini. Berhubung tidak mau menambah kerumitan, Pak Abi langsung menyuruhku ke sini. Selain itu, malam ini kami benar-benar hanya berdua di rumah. Mama dan Papa membawa Aksa dan Bik Tun keluar. Mereka tidak mengajakku, tidak mungkin aku tiba-tiba ikut. Bagaimanapun aku masih anggota baru di keluarga ini. Pak Abi pun memilih di rumah saja. Jika aku hanya duduk diam, otakku akan semakin memikirkan berbagai pemikiran yang membuatku semakin canggung. Kuputuskan untuk bergerak mengelilingi kamar ini. Jika hanya melihat-liat, Pak Abi nggak mungkin memarahiku, kan? Kamar ini sangat cowok kalau kubilang. Atau malah terkesan gelap. Cat dindingnya perpaduan antara abu, putih, dan ada bagian sisi yang full hitam. Semua perabotan juga berkisar di
Sejak kejadian di dapur tadi, jantungku masih terus berdebar lebih kencang dari biasa. Aku tidur miring memunggungi Pak Abi yang juga sepertinya memunggungiku. Satu kasur yang sama dengan pria benar-benar membuat jantungnya semakin tak terkendali. Kurasa ada yang sedang berpcu kuda di dalam sana. Menyebalkannya, hanya aku yang merasa seperti ini. Pria di sampingku benar-benar terlihat tenang. Aku mengubah posisi menjadi telentang. Kutatap langit-langit kamar. “Pak Abi ….” Aku memanggilnya untuk memastikan apakah dia sudah tidur atau belum. “Bapak kok bisa tidur, sih? Saya nggak bisa. Saya pindah ke lantai aja.” Ide ini tercetus begitu saja karena kurasa sumber ketidaknyamananku karena Pak Abi di sampingku. Aku yakin akan merasa lebih tenang saat semakin jauh dengannya. Tenang, lantai di kamar Pak Abi ada karpetnya, kok. Aku tidak akan kedinginan. Kamar ini didesain sangat nyaman untuknya. Lagian, juga ada sofa di dekat televisi. Tapi, kalau tidur di sana kaki
Pak Abi membuka pintu balkon kamarnya. Dia membiarkan angin malam masuk ke ruangan ini. Perpaduannya membuatku merinding, antara angin luar sekaligus AC. Kumasukkan seluruh tanganku ke balik jilbab yang kukenakan. Dia mengajakku untuk berdiri di pinggir pagar balkon. Kami menikmati suasana kompleks yang tampak tenang. Hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. Langit malam kota Jakarta juga tampak suram dan mendung. Kurasa akan turun hujan. Aku menunggunya kembali melanjutkan cerita. Sedikit demi sedikit Pak Abi seperti mau menunjukkan sisi lainnya. Dia berbeda. Dia bukan Pak Abi yang kukenal ‘sempurna’ selama ini. Rasanya, dia ingin membagikan kisah pilunya kepadaku. Mungkin dia mau membagikan masalah atau malah memindahkan masalahnya untukku. “Dulu, di saat orang-orang berbondong ingin kuliah ke Jakarta, saya malah kabur ke Kalimantan Timur. Setelah itu, saya langsung lanjut S2 di Australia. Saya cuma mau pergi jauh dari rumah. Sama kayak kamu yang memili
“Saya nggak punya pilihan lain.” “kok—” Suara ketukan dengan perpaduan tangisan Aksa membuat kami kompak menoleh ke arah pintu. “Anak itu pasti mau tidur sama kamu.” Pak Abi berjalan dan membuka pintu yang ternya dikunci. Aku tidak tahu kalau Pak Abi menguncinya. Saat pintu terbuka, Aksa langsung menuju ke arahku dengan air mata yang berlinang. Pak Abi tampak berbincang dengan Mama, sedangkan aku memposisikan diri tidur bersama Aksa. “Kamu bisa lepas jilbab kalau nggak nyaman,” ucap Pak Abi ketika sudah kembali masuk ke kamar. “Lebih nggak nyaman kalau saya nggak pakai jilbab di depan Bapak.” “Kita perlu saling membiaskan.” “Tapi, saya nggak mau lepas jilbab.” “Oke, kalau gitu yang harus diubah pertama adalah nama panggilan. Jangan panggil saya ’Pak’.” “Saya panggil Honey aja. Gimana?” ucapku bercanda. “Kamu nggak muntah?” “Ini sudah mau muntah
“Enak aja bocah, aku sudah dua puluh tahun, sebentar lagi juga dua puluh satu.” Dia melirikku sekilas, lalu membuang muka lagi. Kami jalan mengelilingi kompleks ini. Kompleks yang kubilang cukup elit. Semuanya tertata rapi. Masing-masing rumah bergaya minimlalis dengan desain yang berbeda di setiap unit. “Gaji dosen itu banyak, ya, Mas?” tanyaku. Melihat kawasan ini sepertinya pengasilan orang di sampingku bisa mencapai dua dijit. “Dikit. Makanya nggak usah jadi dosen.” “Tapi, kayaknya rumah Mas Abi mahal.” “Ada bisnis.” “Yang hidroponik itu, ya?” Dia mengangguk. Bisnis tanaman hidroponik itu milik keluarga Mas Abi yang sebelumnya dibangun oleh orang tuanya, kemudian dilanjutkan oleh kakaknya. Setelah itu, kini dikelola oleh Mas Abi. Dia memang tidak memegang langsung, melainkan mengawasi setiap keberjalanannya. “Enak, ya, hidup Mas Abi. Sekolah nggak usah mikirin biaya, orang tua masih ada, kaya lagi. Nggak usah mikir lagi untuk masa depan, pasti terjamin,” ucapku sambil terus
“Di hari kematian Ayah, aku dan Ibu langsung ke rumah sakit. Di sana kami menunggu jenazah Ayah yang masih dalam perjalanan. Di UGD yang ramai, aku melihat ada anak kecil yang berdiri linglung di ujung ruangan. Dia mendekatiku dan menarik-narik bajuku. ‘Mama Papa nggak bangun lagi,’ ucapnya. Aku berjongkok dan menyejajarkan pandang. Tatapan matanya sangat polos. Aku langsung memeluknya karena kutahu kami di posisi yang sama. Hebatnya dia nggak menangis. Dia keren sekali. Ya, anak itu adalah Aksa. Sesaat kemudian keluarga Aksa datang, aku nggak ingat siapa, yang jelas Aksa langsung bersama mereka. Mungkin itu Mama sama Papa. Aku nggak sempat bertemu karena jenazah Papa sudah datang. Malam itu UGD memang ramai banget, mungkin malaikat maut sedang berbondong menjemput orang-orang baik.”Itu adalah awal pertemuanku dengan Aksa. Pertemuan pertama kami bukan di ruangan dosen, melainkan jauh dari itu. Sekarang Mas Abi masih memelukku. Dia memelukku sangat erat dan menciumi ujung kepalaku. Di
Sekarang aku hidup seperti zombi. Menapak tanah, tapi tanpa nyawa. Berpikir, tapi seperti nggak punya otak. Aku benar-benar masa bodo dengan yang terjadi padaku sekarang. Semua orang di kampus sudah tahu mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Aku juga sudah melakukan sidang skripsi dengan ala kadarnya. Sidang ini diundur satu minggu, itu pun Mas Abi yang mengurus. Semua persiapanku sudah lenyap. Aku tidak peduli dengan penjelasanku yang kurang memuaskan. Aku seharusnya mendapatkan nilai B, tapi Prof. Nanang memberiku nilai A. Apa dia merasa bersalah? Harusnya enggak. Kan, di sini aku yang salah.Sejak kembali ke Jakarta, Ibu tinggal bersamaku di sini. Mas Abi yang membawanya. Katanya supaya aku nggak banyak melamun. Padahal, aku nggak melamun. Aku hanya tidur dalam waktu yang sangat lama. Aku tetap lelah padahal nggak melakukan apa-apa. Aneh, kan? Psikolog yang merawatku mengatakan kalau aku depresi. Dulu aku menyepelekan Rania yang harus menjalani terapi ke psikolog, sekarang aku yang m
Pesan yang tidak terkirim membuat Aksa mengira aku sudah datang ke sekolahnya tepat tiga puluh menit setelah panggilan dengan Miss Yuli. Dia begitu antusias menantiku karena kami sudah janjian untuk main. Dia nggak sabar untuk ke playzone dan makan es krim. Alhasil, dia nggak mau menungguku di dalam kelas atau taman bermain seperti biasa setelah tiga puluh menit berlalu. Dia menungguku di depan gerbang. Mulanya masih ditemani satpam yang bertugas. Sejenak satpam itu ke toilet dan bersamaan Aksa melihatku datang. Dia mengira seorang wanita yang mengendarai motor seperti milikku di seberang jalan adalah aku. Dia sudah berjingkat-jingkat sambil melambaikan tangan. Namun, orang itu langsung pergi begitu saja. Aksa yang panik karena merasa ditinggal pun langsung berlari menyeberang tanpa mempedulikan apa yang ada di samping kanan dan kirinya. Setelahnya semua orang mengerumuni jalan itu.Rangkuman cerita itu kudengar langsung dari seseorang yang datang. Aku tidak tahu siapa. Mungin aku ken
Besok lusa aku sidang dan sekarang pada jam sebelas siang masih di kampus. Harusnya ini hari tenang untukku menyiapkan mental. Namun, aku harus menunggu satu dosen pengujiku yang sibuknya mengalahi rektor. Dia guru besar yang aktivitasnya nggak cuma di kampus ini. Aku sedang menunggu Prof. Nanang untuk memberikan draft skripsiku beserta surat tugas.Aku duduk di kursi ruang tunggu yang berada di front office. Bosan sekali menunggu, apalagi suasananya sangat sepi. Aku tidak tahu ke mana perginya mahasiswa lain. Saat kumainkan kakiku di lantai, aku melihat ada orang yang melewatiku. Aku mengenalnya dan dia mengenalku. Namun, kami nggak saling menyapa. Kami benar-benar menjadi orang asing. Itu Kak Alex. Dia baru saja masuk ke ruang dosen. Aku pandangi punggungnya dan bergumam dalam hati menyatakan ini memang yang terbaik untuk kami.Aku tidak akan mempermasalahkan mengenai Kak Alex karena yang lebih rumit sekarang adalah si Abimayu. Sampai tadi pagi, kami masih melakukan gencatan senjata
Hari ini aku pulang larut karena harus ke fotokopian untuk menyetak empat draft skripsi yang akan diberikan ke dosen pembimbing dan penguji. Aku nggak tahu ini pukul berapa, yang jelas sudah lewat jam sembilan malam. Tadi Aksa melakukan video call denganku. Dia minta didongengin karena aku nggak menemaninya tidur. Bayangkan, aku di fotokopian menunggu pegawai menyetak skripsi sambil membacakan kisah Nabi Nuh dengan penuh ekspresif. Sesekali aku melihat mereka yang menertawaiku. Tak apa, toh, mereka juga nggak mengenalku.Aku sudah sampai di rumah dan melihat ada mobil yang terparkir. Mobil honda jazz berwarna putih itu seperti tidak asing. Aku pernah melihatnya, tapi tidak tahu di mana. Di samping mobil itu ada seorang pria yang sedang merokok.“Cari siapa, Mas?” tanyaku ke pria itu.“Lagi nunggu Mbak Rania.”Rania? Ah, iya, mobil ini milik Rania. Aku pernah melihatnya saat dia datang ke sini. Jadi, Rania ada di dalam rumah? Mau ngapain lagi dia? Jangan bilang Mas Abi membohongiku. Ka
Aku menganggap urusanku dengan Kak Alex sudah selesai. Sejak kejadian di kantin, esoknya Jessica mengirimkan video untukku. Video itu berisi permintaan maaf darinya. Aku tahu itu bukan permintaan maaf yang tulus, tapi tak apa, aku tetap memaafkannya. Sisanya biar menjadi urusan Tuhan Yang Maha Esa.Sekarang aku harus melanjutkan hidupku lagi. Tanggal sidang sudah ditetapkan dan aku perlu menyiapkan banyak hal, terkhusus mentalku. Beruntung suamiku sangat supportif, meski caranya sangat menyiksa. Setiap malam kepalaku pasti benjol akibat diketok dengan pulpen olehnya. Tenang, itu bukan KDRT, ketokan pulpen itu nggak sakit karena setelahnya dihadiahi kecupan yang lebih banyak.Hari ini hari terakhirku untuk menghadap ke Bu Ambar sebelum sidang. Setelah ini aku akan fokus ke persiapan di luar materi.“Kamu pernah bilang mau melanjutkan S2, kan?” tanya Bu Ambar tiba-tiba.“Iya, Bu.”Bu Ambar menyodorkan sebuah brosur untukku. Pelan-pelan kubaca setiap rangkaian huruf yang tertera. Ini br
Kami duduk berhadapan di kafe yang kebetulan tepat berada di samping minimarket. Aku sperti de javu ketika bersamanya seperti ini. Aku mengingat saat kami berbincang penuh emosi pada saat itu. Semoga hari ini aku dan Kak Alex bisa bicara dengan kepala dingin. Dia pasti ingin mendengar cerita lebih lengkap tentang kejadian di kantin tadi.“Apa kabar?” tanyanya.“Baik. Kak Alex apa kabar?”“Semoga baik-baik saja.” Dia menyunggingkan senyum dipaksa.Kami kembali diam dan larut dalam pemikiran masing-masing. Aku ingin sekali membuka pembicaraan dengannya. Aku ingin dia bercerita banyak hal. Meski tanpa ada perasaan ingin saling memiliki, apa aku masih boleh menjadi temannya? Aku mau mendengarnya membahas persoalan politik yang sedang disorot.“Kamu diapain aja sama Jessica?” tanyanya lagi.“Cuma itu ….”Aku tidak melanjutkan perkataanku secara detail. Bukan karena aku tidak percaya atau membencinya. Hanya saja ini sangat cangung. Aku merasa tidak nyaman. Aku ingin mengeluarkan banyak kata
“Strategi gue berhasil. Akhirnya lo ngaku. Sebenernya gue nggak yakin-yakin banget. Tapi, setelah mengaitkan dengan gosip yang lo ditolak Kak Alex setelah bertahun-tahun pedekate, gue coba aja. Ternyata berhasil. Hati-hati Jes, lo nggak kenal siapa Una. Kalau lo tahu posisinya dia sekarang, pasti lo langsung sujud di kaki—”“Wa, aku malu. Kita jadi tontonan. Udahan aja, yang jelas udah jelas kalau mereka yang lakuin.” Aku menarik tangan Wawa untuk menjauh, tapi dia menolak. Sebenarnya aku lebih takut kalau Wawa keceplosan mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Lagian, Jessica tahu dari mana tentang hubungan kami? Aku sama sekali nggak pernah terlihat akrab dengan Mas Abi saat di kampus. Jangan bilang dari Kak Alex? Tapi, kayaknya enggak, deh.“Perbaiki dulu tabiat lo supaya gue bisa terkesan,” ucap Kak Alex ke Jessica. Setelah itu dia pergi lagi. Dia tidak menghadap ke arahku. Dia nggak bicara denganku. Memangnya aku berharap apa? Kak Alex sudah memberi batasan yang jelas antara kami.“S
Di sinilah aku berada. Aku dan Wawa menghampiri segerombolan mahasiswa yang berada di salah satu meja kantin. Ini memang wilayah yang sering mereka pakai. Selain Jessica dan keenam sahabatnya, di meja ini juga ada beberapa cowok. Aku tidak mengenal mereka, entah dari jurusan ilkom atau jurusan lain. Yang jelas mereka semua terlihat akrab. Wawa tanpa gentar langsung membelah kerumunan itu dan berhadapan dengan Jessica. Semua orang yang ada di kantin memperhatikan kami. Aduh Wawa, dia malah menggiringku untuk menjadi pusat perhatian! “Lo yang ngerjain Una, kan?” Tanpa pembukaan apalagi ucapan salam, Wawa langsung bertanya ke Jessica. Wanita berambut kecokelatan yang sedang duduk itu hanya memperhatikan Wawa dengan ekspresi terganggu. Bola mata kebiruannya seolah mengisyaratkan kalau dia tidak tahu apa-apa. Kemudian, dia beralih menatapku. Aku bisa lihat sorotan merendahkan darinya. “Siapa, ya?” tanya Jessica. Nah, apa kubilang, Jessica nggak mungkin kenal aku. Di jurusan yang seangk