Home / Romansa / FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang) / Chapter 121 - Chapter 130

All Chapters of FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang): Chapter 121 - Chapter 130

132 Chapters

125. Issu Pelakor di Kantor

“Sudah siap?” tanya seseorang saat Nadya membuka pintu rumah. Laki-laki itu mengenakan setelan kemeja kasual yang anehnya, meski motif namun tampak rapi dalam pandangan Nadya. Edwin. Dia memandang laki-laki yang berdiri di halaman, lalu menghela napas tak percaya. “Sejak kapan kau di situ?” Edwin mengedikkan bahu. “Andai tak membebanimu, mungkin aku sudah datang sejak semalam.” Kedua mata Nadya membulat. Wanita itu menggeleng tak percaya. “Astaga. Orang akan menggerebek kita karena dianggap pasangan mesum.” Usai mengunci pintu, Nadya melangkah mendekati laki-laki yang bersandar di kap mobil dengan tangan terlipat di dada. Edwin terkekeh. “Siapa yang akan berpikir begitu? Aku datang untuk menagih uang kontrakan.” “Baik. Berapa harus saya bayar, Pak?” Nadya melotot. Laki-laki itu kembali terkekeh. Di ujung jalan, Shofwa tampak memandang ke arahnya. Gadis itu telah rapi dengan pakaian panjangnya yang khas, dan hijab yang menutup hingga perut. Nadya melambaikan tangan dengan seulas
last updateLast Updated : 2022-09-17
Read more

126. Memilih Diam

“Mereka nggak tak tahu aja siapa Kak Nadya,” sambung Hana lalu menghembuskan napas pasrah. Cup kopinya terisi penuh. Lalu melangkah mendekati meja. Nadya menoleh pada gadis itu. “Mereka?” ulangnya. “Tidak tahu siapa aku?” lanjutnya. Di telinga Nadya, kalimat itu terdengar seperti—Hana tahu siapa dirinya. “Iya, Kak.” Hana menatap ragu. “Jadi kamu tahu siapa aku?” tanya perempuan itu memastikan. Merasa mengucapkan kalimat yang keliru, Hana menunduk. “Astaga,” desis Nadya. “Lalu siapa yang menyebarkan isu pelakor itu?” tanya Nadya akhirnya. Jevri dan Hana saling memandang. “Dia ...” *** “Astaga.” Nadya menghabiskan kopi dalam cup miliknya lalu membuang napas jengah. Tangannya mengepal, hingga paper cup bekas miliknya teremat tak berbentuk. ‘Apa maksudnya ini?’ Perempuan itu bangkit. Lalu dengan langkah panjang meninggalkan pantri, menuju mejanya. Nadya menghempaskan diri ke kursi. Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa seorang
last updateLast Updated : 2022-09-18
Read more

127. Kemarahan Pramono Bag. 1

Wanita di tengah ruangan membuang muka. Ratna melirik wajah suaminya. “Tidak,” jawab Pramono. “Aku hanya butuh kau tak pergi dari sini. Jangan pergi ke mana-mana ... istriku,” lanjutnya menatap tajam wanita yang berdiri itu seakan kalimat itu memang ditujukan untuknya. Dari ujung mata, Ratna memandang wanita yang mematung itu. Getar-getar halus di tubuhnya terlihat, meski dia yakin susah payah wanita itu berusaha menyembunyikannya, agar jangan sampai terlihat lemah di mata Ratna, sama seperti sebelumnya. Detik berikutnya, tepat ketika suara isak tertahan itu terdengar, Nadya melangkah keluar. Pintu tertutup. Ratna yang semula menunduk, menahan diri dari apa pun yang ingin dia ucapkan, kini memandang laki-laki yang memejamkan mata di tempat tidurnya, menuntut penjelasan. Desir-desir halus berubah menjadi debar-debar menyakitkan, lalu mencair menjadi tetes-tetes air mata. “Mas mengatakan itu untuk Nadya, bukan?” ucap Ratna di antara isak tertahan. Wanita itu tersenyum pada detik b
last updateLast Updated : 2022-09-19
Read more

128. Kemarahan Pramono Bag. 2

Beberapa menit sebelumnya. “Mas sarapanlah dulu.” Ratna meletakkan mangkuk sayur di meja. Satu piring dia ambil dan meletakkannya di depan Pramono. Di atasnya, nasi lengkap dengan sayuran telah tersaji. “Terima kasih,” jawab Pramono melirik wanita di seberang meja sebentar. Tampak sembab di wajah itu. Dia yakin, Ratna menangis belum lama tadi. Beralih ke piring, laki-laki itu meraih sendok di atasnya. “Kau baik-baik saja?” Ratna tertawa datar. “Apa ada yang baik-baik saja, setelah diceraikan suaminya?” Butuh waktu bagi Ratna untuk mendengar tanggapan laki-laki di depan meja. Wajahnya menunduk ke arah makanan di hadapan. “Aku hanya tak ingin membebanimu, Ratna,” ucap Pramono dengan nada begitu rendah. “Aku tahu.” Wanita itu mengangguk. “Itulah kenapa kuminta Kak Syarif datang untuk menjemput ke sini.” “Syarif? Asisten Ayah?” “Ya.” Pramono manggut-manggut. Kabari aku saat dia datang. Aku harus ke kantor sebentar. *** Usai mengantar Tasya ke sekolah, Pramono bergegas menuju kan
last updateLast Updated : 2022-09-19
Read more

129. Permintaan (Mantan) Suami

“Mas, di sini.” Annisa melambai pada laki-laki yang mengedar pandang di tepi alun-alun kota Bandung. Topi hitam di kepala. Jam di tangan kirinya. Laki-laki berkemeja putih itu menoleh. Lalu tersenyum. Dia melangkah mendekat. Namun perempuan dari arah sebaliknya melangkah lebih cepat. Gadis itu berhenti ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Dengan teliti, dipandanginya wajah itu. Binar kebahagiaan terpancar jelas di matanya. Senyum jujur yang dibalut rasa malu. Satu lagi ... rasa yang sama. Annisa hampir tak percaya bisa melihat laki-laki itu datang begitu jauh hanya untuk menemuinya. Annisa melangkah maju dengan kedua tangan terbuka, dan merengkuh erat tubuh laki-laki itu. “Aku kangen, sama Mas.” Ragu, laki-laki itu mundur selangkah. Kedua tangannya sempat akan mengurai dekapan Annisa, namun akhirnya memilih membiarkan ketika dekapan itu terasa lebih erat. *** “Ratna!” Mendengar namanya dipanggil, wanita di pintu keluar bandara menoleh. Wajah yang semula sendu, beru
last updateLast Updated : 2022-09-20
Read more

130. Permintaan (Mantan) Suami Bag. 2

“Kuingin kau menemui Tasya barang semenit. Dia membutuhkan ibunya.” Terngiang kembali kalimat Pramono kemarin. Nadya meremas jemarinya gugup. Di depan sana Playground tempat Tasya bermain sudah terlihat. “Kau gugup?” tanya Pramono. Nadya memilih tak menanggapi. Mobil berhenti. Tak langsung keluar, Nadya justru sibuk mengatur napas. Mempersiapkan diri pada apa pun yang mungkin terjadi nanti. Penolakan, misalnya. Saat marah, anak itu sering menolak sang ibu. Dan besar kesalahannya, membuat Nadya merasa pantas mendapat kemarahan dari Tasya, bahkan mungkin bukan kata maafnya. Sementara dalam pandangan Pramono, sikap itu tampak seperti seseorang yang menunggu dibukakan pintu. Maka laki-laki yang telah berada di luar itu lalu mendekat ke pintu, membukanya. Satu tangannya lalu terulur ke arah Nadya. Wanita itu terenyak. Sempat dipandangnya tangan itu, lalu ragu-ragu menerimanya. “Tasya pasti senang melihat kau datang,” ucap Pramono sembari menutup pintu. Sebaliknya, keraguan justru mem
last updateLast Updated : 2022-09-23
Read more

131. Perbincangan dengan Shofwa

“Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j
last updateLast Updated : 2022-09-30
Read more

132. Kedatangan Edwin

Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak
last updateLast Updated : 2022-10-01
Read more

133. Persaingan Dua Lelaki

“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin
last updateLast Updated : 2022-10-03
Read more

134. Semakin Keruh

Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang
last updateLast Updated : 2022-10-04
Read more
PREV
1
...
91011121314
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status