Share

126. Memilih Diam

Penulis: Bintu Ikhwani
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-18 19:17:54
“Mereka nggak tak tahu aja siapa Kak Nadya,” sambung Hana lalu menghembuskan napas pasrah. Cup kopinya terisi penuh. Lalu melangkah mendekati meja.

Nadya menoleh pada gadis itu. “Mereka?” ulangnya. “Tidak tahu siapa aku?” lanjutnya. Di telinga Nadya, kalimat itu terdengar seperti—Hana tahu siapa dirinya.

“Iya, Kak.” Hana menatap ragu.

“Jadi kamu tahu siapa aku?” tanya perempuan itu memastikan.

Merasa mengucapkan kalimat yang keliru, Hana menunduk.

“Astaga,” desis Nadya. “Lalu siapa yang menyebarkan isu pelakor itu?” tanya Nadya akhirnya.

Jevri dan Hana saling memandang. “Dia ...”

***

“Astaga.”

Nadya menghabiskan kopi dalam cup miliknya lalu membuang napas jengah. Tangannya mengepal, hingga paper cup bekas miliknya teremat tak berbentuk.

‘Apa maksudnya ini?’

Perempuan itu bangkit. Lalu dengan langkah panjang meninggalkan pantri, menuju mejanya.

Nadya menghempaskan diri ke kursi. Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa seorang
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   127. Kemarahan Pramono Bag. 1

    Wanita di tengah ruangan membuang muka. Ratna melirik wajah suaminya. “Tidak,” jawab Pramono. “Aku hanya butuh kau tak pergi dari sini. Jangan pergi ke mana-mana ... istriku,” lanjutnya menatap tajam wanita yang berdiri itu seakan kalimat itu memang ditujukan untuknya. Dari ujung mata, Ratna memandang wanita yang mematung itu. Getar-getar halus di tubuhnya terlihat, meski dia yakin susah payah wanita itu berusaha menyembunyikannya, agar jangan sampai terlihat lemah di mata Ratna, sama seperti sebelumnya. Detik berikutnya, tepat ketika suara isak tertahan itu terdengar, Nadya melangkah keluar. Pintu tertutup. Ratna yang semula menunduk, menahan diri dari apa pun yang ingin dia ucapkan, kini memandang laki-laki yang memejamkan mata di tempat tidurnya, menuntut penjelasan. Desir-desir halus berubah menjadi debar-debar menyakitkan, lalu mencair menjadi tetes-tetes air mata. “Mas mengatakan itu untuk Nadya, bukan?” ucap Ratna di antara isak tertahan. Wanita itu tersenyum pada detik b

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-19
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   128. Kemarahan Pramono Bag. 2

    Beberapa menit sebelumnya. “Mas sarapanlah dulu.” Ratna meletakkan mangkuk sayur di meja. Satu piring dia ambil dan meletakkannya di depan Pramono. Di atasnya, nasi lengkap dengan sayuran telah tersaji. “Terima kasih,” jawab Pramono melirik wanita di seberang meja sebentar. Tampak sembab di wajah itu. Dia yakin, Ratna menangis belum lama tadi. Beralih ke piring, laki-laki itu meraih sendok di atasnya. “Kau baik-baik saja?” Ratna tertawa datar. “Apa ada yang baik-baik saja, setelah diceraikan suaminya?” Butuh waktu bagi Ratna untuk mendengar tanggapan laki-laki di depan meja. Wajahnya menunduk ke arah makanan di hadapan. “Aku hanya tak ingin membebanimu, Ratna,” ucap Pramono dengan nada begitu rendah. “Aku tahu.” Wanita itu mengangguk. “Itulah kenapa kuminta Kak Syarif datang untuk menjemput ke sini.” “Syarif? Asisten Ayah?” “Ya.” Pramono manggut-manggut. Kabari aku saat dia datang. Aku harus ke kantor sebentar. *** Usai mengantar Tasya ke sekolah, Pramono bergegas menuju kan

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-19
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   129. Permintaan (Mantan) Suami

    “Mas, di sini.” Annisa melambai pada laki-laki yang mengedar pandang di tepi alun-alun kota Bandung. Topi hitam di kepala. Jam di tangan kirinya. Laki-laki berkemeja putih itu menoleh. Lalu tersenyum. Dia melangkah mendekat. Namun perempuan dari arah sebaliknya melangkah lebih cepat. Gadis itu berhenti ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Dengan teliti, dipandanginya wajah itu. Binar kebahagiaan terpancar jelas di matanya. Senyum jujur yang dibalut rasa malu. Satu lagi ... rasa yang sama. Annisa hampir tak percaya bisa melihat laki-laki itu datang begitu jauh hanya untuk menemuinya. Annisa melangkah maju dengan kedua tangan terbuka, dan merengkuh erat tubuh laki-laki itu. “Aku kangen, sama Mas.” Ragu, laki-laki itu mundur selangkah. Kedua tangannya sempat akan mengurai dekapan Annisa, namun akhirnya memilih membiarkan ketika dekapan itu terasa lebih erat. *** “Ratna!” Mendengar namanya dipanggil, wanita di pintu keluar bandara menoleh. Wajah yang semula sendu, beru

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-20
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   130. Permintaan (Mantan) Suami Bag. 2

    “Kuingin kau menemui Tasya barang semenit. Dia membutuhkan ibunya.” Terngiang kembali kalimat Pramono kemarin. Nadya meremas jemarinya gugup. Di depan sana Playground tempat Tasya bermain sudah terlihat. “Kau gugup?” tanya Pramono. Nadya memilih tak menanggapi. Mobil berhenti. Tak langsung keluar, Nadya justru sibuk mengatur napas. Mempersiapkan diri pada apa pun yang mungkin terjadi nanti. Penolakan, misalnya. Saat marah, anak itu sering menolak sang ibu. Dan besar kesalahannya, membuat Nadya merasa pantas mendapat kemarahan dari Tasya, bahkan mungkin bukan kata maafnya. Sementara dalam pandangan Pramono, sikap itu tampak seperti seseorang yang menunggu dibukakan pintu. Maka laki-laki yang telah berada di luar itu lalu mendekat ke pintu, membukanya. Satu tangannya lalu terulur ke arah Nadya. Wanita itu terenyak. Sempat dipandangnya tangan itu, lalu ragu-ragu menerimanya. “Tasya pasti senang melihat kau datang,” ucap Pramono sembari menutup pintu. Sebaliknya, keraguan justru mem

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-23
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   131. Perbincangan dengan Shofwa

    “Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j

    Terakhir Diperbarui : 2022-09-30
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   132. Kedatangan Edwin

    Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-01
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   133. Persaingan Dua Lelaki

    “Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-03
  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   134. Semakin Keruh

    Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-04

Bab terbaru

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   136. Last Part Season 2

    Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   135. Mengubah Niat

    “Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   134. Semakin Keruh

    Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   133. Persaingan Dua Lelaki

    “Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   132. Kedatangan Edwin

    Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   131. Perbincangan dengan Shofwa

    “Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   130. Permintaan (Mantan) Suami Bag. 2

    “Kuingin kau menemui Tasya barang semenit. Dia membutuhkan ibunya.” Terngiang kembali kalimat Pramono kemarin. Nadya meremas jemarinya gugup. Di depan sana Playground tempat Tasya bermain sudah terlihat. “Kau gugup?” tanya Pramono. Nadya memilih tak menanggapi. Mobil berhenti. Tak langsung keluar, Nadya justru sibuk mengatur napas. Mempersiapkan diri pada apa pun yang mungkin terjadi nanti. Penolakan, misalnya. Saat marah, anak itu sering menolak sang ibu. Dan besar kesalahannya, membuat Nadya merasa pantas mendapat kemarahan dari Tasya, bahkan mungkin bukan kata maafnya. Sementara dalam pandangan Pramono, sikap itu tampak seperti seseorang yang menunggu dibukakan pintu. Maka laki-laki yang telah berada di luar itu lalu mendekat ke pintu, membukanya. Satu tangannya lalu terulur ke arah Nadya. Wanita itu terenyak. Sempat dipandangnya tangan itu, lalu ragu-ragu menerimanya. “Tasya pasti senang melihat kau datang,” ucap Pramono sembari menutup pintu. Sebaliknya, keraguan justru mem

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   129. Permintaan (Mantan) Suami

    “Mas, di sini.” Annisa melambai pada laki-laki yang mengedar pandang di tepi alun-alun kota Bandung. Topi hitam di kepala. Jam di tangan kirinya. Laki-laki berkemeja putih itu menoleh. Lalu tersenyum. Dia melangkah mendekat. Namun perempuan dari arah sebaliknya melangkah lebih cepat. Gadis itu berhenti ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Dengan teliti, dipandanginya wajah itu. Binar kebahagiaan terpancar jelas di matanya. Senyum jujur yang dibalut rasa malu. Satu lagi ... rasa yang sama. Annisa hampir tak percaya bisa melihat laki-laki itu datang begitu jauh hanya untuk menemuinya. Annisa melangkah maju dengan kedua tangan terbuka, dan merengkuh erat tubuh laki-laki itu. “Aku kangen, sama Mas.” Ragu, laki-laki itu mundur selangkah. Kedua tangannya sempat akan mengurai dekapan Annisa, namun akhirnya memilih membiarkan ketika dekapan itu terasa lebih erat. *** “Ratna!” Mendengar namanya dipanggil, wanita di pintu keluar bandara menoleh. Wajah yang semula sendu, beru

  • FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang)   128. Kemarahan Pramono Bag. 2

    Beberapa menit sebelumnya. “Mas sarapanlah dulu.” Ratna meletakkan mangkuk sayur di meja. Satu piring dia ambil dan meletakkannya di depan Pramono. Di atasnya, nasi lengkap dengan sayuran telah tersaji. “Terima kasih,” jawab Pramono melirik wanita di seberang meja sebentar. Tampak sembab di wajah itu. Dia yakin, Ratna menangis belum lama tadi. Beralih ke piring, laki-laki itu meraih sendok di atasnya. “Kau baik-baik saja?” Ratna tertawa datar. “Apa ada yang baik-baik saja, setelah diceraikan suaminya?” Butuh waktu bagi Ratna untuk mendengar tanggapan laki-laki di depan meja. Wajahnya menunduk ke arah makanan di hadapan. “Aku hanya tak ingin membebanimu, Ratna,” ucap Pramono dengan nada begitu rendah. “Aku tahu.” Wanita itu mengangguk. “Itulah kenapa kuminta Kak Syarif datang untuk menjemput ke sini.” “Syarif? Asisten Ayah?” “Ya.” Pramono manggut-manggut. Kabari aku saat dia datang. Aku harus ke kantor sebentar. *** Usai mengantar Tasya ke sekolah, Pramono bergegas menuju kan

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status