/ Romansa / Suami di Atas Kertas / 챕터 11 - 챕터 20

Suami di Atas Kertas의 모든 챕터: 챕터 11 - 챕터 20

80 챕터

BAB 11

“Rese banget tuh orang. Dia bisa bawa kendaraan apa enggak, sih. Dikiranya jalan itu punya nenek moyangnya apa? Bukannya lihat-lihat dulu. Dasar. Baju Kakak sampai kayak gini, kan.” Bagus justru tertawa mendengar celotehan adiknya. Hiburan di tengah duka. “Sudahlah, tidak apa-apa. Berpikir positif. Mungkin dia lagi buru-buru, jadi tidak melihat kakak,” ujar Bagus. Tyas memanyunkan bibirnya beberapa sentimeter ke depan. “Kakak, mah, baik banget orangnya,” balas Tyas. Bagus tersenyum tipis. Mengacak-acak rambut panjang sang adik. Bagus beranjak ke kamar mandi, untuk membersihkan diri. Begitu usai, dia pun berganti baju dengan yang bersih. Baju kotor tadi, dia letakkan di keranjang. Bersatu dengan pakaian kotor lain. Setelahnya, lelaki itu menghampiri adiknya yang duduk termenung di lantai. “Dek, kenapa melamun?” tanya Bagus. Ikut duduk di samping gadis itu. “Lagi melamun, mau sampai berapa lama wanita yang Kakak bawa itu berada di rumah kita?” Tyas melemparkan pertanyaan. Bagus tam
더 보기

BAB 12

Kesedihan beserta kemarahan kini menyelimuti diri gadis itu. Menjerit dan meraung, dengan satu gerakan tangan menyapu seisi barang-barang yang ada di atas meja. Semua jatuh ke lantai. Pecah, berserak, termasuk foto kebersamaan mereka. Buat apa lagi masih dipajang, hubungan juga sudah kandas. Cairan berwarna merah keluar dari tangan Hanna akibat terkena goresan benda-benda tajam. Tangan yang terluka tidak terasa karena dikalahkan dengan perihnya luka hati. Terlihat darah menetes dari sayatan luka di tangan Hanna.Gadis itu melangkah gontai ke arah kamar mandi. Menghidupkan shower dan duduk di bawah derasnya air yang mengalir. Tubuhnya basah, meringkuk dengan kesedihan mendalam. Rasa dingin yang menyergap tak lagi dihiraukan. Air mata jatuh, bersatu dengan air dari shower yang mengalir. Darah masih mengucur, meninggalkan warna merah di lantai. Mengalir bersama air. Berakhir masuk ke saluran akhir. “Andai, andai aku bisa memutar waktu dan memperbaiki semuanya,” lirih Hanna. Menyigar ra
더 보기

BAB 13

“Hah! Napas kau bau. Udah berapa lama kau tidak gosok gigi?” ucap lelaki tersebut lalu pergi meninggalkan Asep. “Dadah, Cantik. Hehe,” balas Asep sambil melambaikan tangan. Karena dalam kondisi tidak sadar, Asep sampai-sampai mengatakan lelaki berambut gondrong tersebut dengan kata cantik. Sebuah mobil berwarna hitam baru saja terparkir di salah satu rumah bercat putih. Suasana kawasan tersebut amat sepi karena seluruh warga masing-masing sudah terlelap dalam mimpi. Asep keluar dari dalam mobil, kondisinya sudah tidak semabuk tadi. Ia juga bisa mengendarai kendaraan beroda empat tersebut dalam keadaan selamat. Mungkin karena jalan raya jika sudah pukul 02.00 WIB agak lengang. Asep pun melangkah memasuki rumahnya, tetapi ia berpapasan dengan seseorang. Salah satu rumah tampak gelap gulita, membuat penghuninya mencari tahu penyebab lampu bisa padam. Hanya cahaya yang berasal dari senter bisa memberikan sedikit penerangan. “Apa mati lampu, ya?” tanya Bagus. Ia mendekat ke arah jendela
더 보기

BAB 14

“Tyas, kaki kamu kenapa?” tanya Pipit, teman dekat Tyas. Tyas mendudukkan dirinya di sebelah gadis itu. “Sepatuku rusak, Pit,” jawab Tyas. “Tadi kamu naik apa kemari?” tanya Pipit lagi. “Jalan kaki. Capek banget,” jawab Tyas. Ia pun mengambil sebotol air mineral di dalam ranselnya yang selalu ia bawa dari rumah. Meneguknya perlahan. “Itu mah jauh banget, Yas. Kamu nggak punya uang, ya? Ya udah, nanti kamu pulang sama aku aja, ya,” tawar Pipit. Mata Tyas berbinar-binar. “Serius, Pit?” tanya Tyas. “Iya, serius,” jawab Pipit. Ditutup dengan senyum yang mengembang indah. “Makasih banyak, ya, Pit,” sahut Tyas. Memeluk sahabatnya itu. “Sama-sama. Oh, ya, tadi Pak Ryan nyariin kamu, sih,” ucap Tyas. “Ada perlu apa?” tanya Tyas. Mengernyitkan dahi. Heran mengapa wakil kepala sekolahnya tersebut mencari dirinya. “Nggak tau, deh. Ntar jam istirahat kamu coba aja ke ruangannya,” jawab Pipit yang dibalas anggukan oleh Tyas. Begitu bel istirahat berbunyi, Tyas langsung menuju ruangan wak
더 보기

BAB 15

“Oh, don’t say it! Ambillah, saya juga ikhlas memberikannya ke kamu,” ucap Sean. Ia bukan munafik tidak butuh uang. Ia juga bukan menolak agar ujungnya orang tersebut tidak enak hati, merasa berutang budi, dan terus membujuk agar menerima pemberian. Namun, di lubuk hati Bagus ia benar-benar ikhlas menolong. Tanpa imbalan. Mengucap syukur sebanyak-banyaknya dalam hati. Tidak menyangka akan hari ini. Inilah hasil dari usaha Bagus. Datang rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. “Thank you so much, Sir,” ucap Bagus. Membungkukkan badan sebagai bentuk hormat. “Your welcome. Datanglah besok ke perusahaan saya. Saya tunggu. Oke, kalau begitu saya pamit,” ucapnya. “Yes, Sir. Be careful,” ucap Bagus. Lelaki itu amat senang hari ini. Lelahnya mencari pekerjaan, akhirnya berbuah keberhasilan. Tak hentinya ia mengucapkan syukur kepada atas nikmat yang diberikan Tuhan. Setelah mendapatkan uang dengan nominal yang cukup besar, tentu saja Bagus sangat senang hatinya. Mengingat Tyas–adik s
더 보기

BAB 16

“Maafkan saya, Pak, saya tadi tidak percaya dengan perkataan Anda,” ujarnya sambil membungkukkan badan. Memohon pengampunan dari Bagus, meski sangat terpaksa dan malu karena sudah mencecar Bagus dengan perkataan tak pantas. “Lihat, kan? Saya tidak bohong, kenapa Anda bilang saya gembel atau pencuri?” tanya Bagus.“Dia bukan pencuri, Pak. Saya mengenalnya. Sekaligus beliau adalah teman saya sewaktu menempuh pendidikan. Ini, tolong Bapak belikan sana makanan yang telah dijatuhkan tadi, jangan lupa nanti dibersihkan setelahnya,” ucap Ryan. Memotong ucapan Bagus dan menyuruh penjaga sekolah segera membelikan makanan yang jatuh akibat ulahnya sendiri.Tentu Ryan mengetahui hal tersebut karena Ryan kebetulan mencari penjaga sekolah pagi tadi dan menemukan beliau tidak pada tempatnya. Dengan berbaik hati, ia memberikan keringanan kepada penjaga sekolah yang baru bekerja pada saat itu. Namun, bagi Ryan tidak ada toleransi untuk kesalahan berikutnya untuk dirinya. Karena butuh waktu mencari pe
더 보기

BAB 17

“Kalau aku tidak seperti yang kau ucapkan, kok. Aku malah biasa saja bertemu dengannya siang tadi,” ucap Bagus. Terkekeh melihat kelakuan sahabatnya yang berlebihan menurutnya itu.“Ah, sudahlah. Kau tidak akan mengerti. Harta kekayaan Tuan Sean Bagaskara itu tidak bisa habis dalam tujuh keturunan. Karena dia orang terkaya nomor dua di negara ini,” ujar Ryan, terlihat sangat ambisius.“Kalau dia nomor dua, terus nomor satu siapa? Apa Pak Presiden kita?” tanya Bagus dengan polosnya.“Astaga, Kawan, pengen aku benyek-benyek mukamu karena gemes melihat kepolosanmu itu,” jawab Ryan sambil menepuk jidatnya.“Pak Presiden itu orang terhebat nomor satu di negara ini, bukan terkaya nomor satu. Orang terkaya nomor satu itu tentu kakak kandungnya orang yang bernama Sean Bagaskara ini,” sambungnya.Bagus hanya tertawa kecil karena telah mengusilin sahabat karibnya itu. “Iya, aku paham, kok, maksudmu. Jadi, orang yang memberikanku kartu nama itu menurutmu benar-benar akan memberikanku pekerjaan, k
더 보기

BAB 18

Pramuniaga menanyakan ukuran kaki dan model seperti apa yang diinginkan. Bagus menjelaskan semuanya. Merasa mendapat penjelasan yang cukup kuat maka Pramuniaga tersebut mengajak Bagus ke salah satu rak, bermaksud memperlihatkan sebuah sepatu yang terlihat berdebu dan corak warna terlihat pudar karena tidak laku terjual. Dan, dengan harga yang terjangkau melihat dari penampilan Bagus. Bagi Pramuniaga tersebut, orang seperti Bagus layak diberikan sepatu semacam itu.Seketika alis Bagus menjadi naik melihat sepatu yang dibawakan Pramuniaga tersebut. Sepatu yang tidak layak untuk adik yang ia sayangi, memakai sepatu tua seperti itu. Ia terkesan diremehkan. Dianggap tidak mampu untuk membeli.“Maaf, Mbak, ini sepertinya tidak cocok untuk adik saya, saya coba cari sendiri saja,” tolak Bagus secara halus penuh kesabaran.Ekspresi Pramuniaga tersebut terlihat jengkel. Baginya terserah Bagus, setidaknya ia cukup memantau saja dari belakang. Mungkin saja dugaannya benar, Bagus akan mencuri sepat
더 보기

BAB 19

Berdiri kembali dan kembali menatap Asep. Namun, pandangan teralihkan oleh sesuatu yang mengingatkan kembali sosok Tyas. Sepatu itu. “Apa kau lihat-lihat? Pergi sana! Dasar tidak tau diri,” cibir Asep sambil tersenyum kecut.“Siapa juga yang melihatmu! Kau sudah mendapatkan sepatunya. Seharusnya kau yang pergi dari sini,” ujar Bagus.“Sudah, jangan ribut terus! Sayang, kau jadi, tidak, membelikan sepatu ini untukku?” Memecah keributan, gadis belia itu bertanya kepada Asep.Merasa urusannya cukup dengan Bagus, Asep menjawab pertanyaan sang kekasih. “Ya, tentu jadi, dong,” ucapnya. Mengeluarkan senyuman terpaksa.Tidak mau mendapatkan malu yang luar biasa setelah berhasil mempermalukan Bagus. Karena gengsi, Asep harus membelikan sepatu tersebut untuk teman kencannya.“Ya udah, Mbak bungkus, ya, sepatu ini,” ucap Asep kepada SPG di dekatnya.Semua mata tertuju kembali kepada sosok Bagus yang berjalan dengan santai, menghampiri salah satu SPG di sana. “Mbak, bisa membantu saya untuk memb
더 보기

BAB 20

Selesai menghidangkan makanan, Bagus teringat dengan token listrik baru saja dibelinya sewaktu di jalan tadi. Teringat akan gelapnya suasana rumah ketika beranjak malam hari, ia pun berdiri meninggalkan Tyas yang masih kebingungan dengan makanan dibelinya. Masih sibuk dengan pikirannya sendiri, mau makan yang mana dulu, ya?“Kamu tunggu di sini sebentar, makan saja duluan,” ujar Bagus. Bangkit dari kursinya, beranjak meninggalkan Tyas.“Mau ke mana, Kak?” tanya Tyas.“Kan gelap, kakak mau isi token dulu,” jawab Bagus.“Oh, iya, Kak.” Tyas menjawab dan segera memulai makan.Bagus segera mengisi token rumah agar listrik menyala kembali dan Tyas dapat menikmati makan malam tanpa hambatan. Begitu selesai, ia merasa puas karena kebutuhan hari ini sudah terpenuhi. Ketika hendak memasuki rumah, Bagus melihat Asep yang baru saja pulang dengan berjalan kaki. Sangat tergambar jelas raut wajah Asep penuh keluh kesah.Mungkin saja Asep lagi ada masalah. Bagus tak menghiraukannya. Bagi Bagus, Asep
더 보기
이전
123456
...
8
DMCA.com Protection Status