“Kalau aku tidak seperti yang kau ucapkan, kok. Aku malah biasa saja bertemu dengannya siang tadi,” ucap Bagus. Terkekeh melihat kelakuan sahabatnya yang berlebihan menurutnya itu.“Ah, sudahlah. Kau tidak akan mengerti. Harta kekayaan Tuan Sean Bagaskara itu tidak bisa habis dalam tujuh keturunan. Karena dia orang terkaya nomor dua di negara ini,” ujar Ryan, terlihat sangat ambisius.“Kalau dia nomor dua, terus nomor satu siapa? Apa Pak Presiden kita?” tanya Bagus dengan polosnya.“Astaga, Kawan, pengen aku benyek-benyek mukamu karena gemes melihat kepolosanmu itu,” jawab Ryan sambil menepuk jidatnya.“Pak Presiden itu orang terhebat nomor satu di negara ini, bukan terkaya nomor satu. Orang terkaya nomor satu itu tentu kakak kandungnya orang yang bernama Sean Bagaskara ini,” sambungnya.Bagus hanya tertawa kecil karena telah mengusilin sahabat karibnya itu. “Iya, aku paham, kok, maksudmu. Jadi, orang yang memberikanku kartu nama itu menurutmu benar-benar akan memberikanku pekerjaan, k
Pramuniaga menanyakan ukuran kaki dan model seperti apa yang diinginkan. Bagus menjelaskan semuanya. Merasa mendapat penjelasan yang cukup kuat maka Pramuniaga tersebut mengajak Bagus ke salah satu rak, bermaksud memperlihatkan sebuah sepatu yang terlihat berdebu dan corak warna terlihat pudar karena tidak laku terjual. Dan, dengan harga yang terjangkau melihat dari penampilan Bagus. Bagi Pramuniaga tersebut, orang seperti Bagus layak diberikan sepatu semacam itu.Seketika alis Bagus menjadi naik melihat sepatu yang dibawakan Pramuniaga tersebut. Sepatu yang tidak layak untuk adik yang ia sayangi, memakai sepatu tua seperti itu. Ia terkesan diremehkan. Dianggap tidak mampu untuk membeli.“Maaf, Mbak, ini sepertinya tidak cocok untuk adik saya, saya coba cari sendiri saja,” tolak Bagus secara halus penuh kesabaran.Ekspresi Pramuniaga tersebut terlihat jengkel. Baginya terserah Bagus, setidaknya ia cukup memantau saja dari belakang. Mungkin saja dugaannya benar, Bagus akan mencuri sepat
Berdiri kembali dan kembali menatap Asep. Namun, pandangan teralihkan oleh sesuatu yang mengingatkan kembali sosok Tyas. Sepatu itu. “Apa kau lihat-lihat? Pergi sana! Dasar tidak tau diri,” cibir Asep sambil tersenyum kecut.“Siapa juga yang melihatmu! Kau sudah mendapatkan sepatunya. Seharusnya kau yang pergi dari sini,” ujar Bagus.“Sudah, jangan ribut terus! Sayang, kau jadi, tidak, membelikan sepatu ini untukku?” Memecah keributan, gadis belia itu bertanya kepada Asep.Merasa urusannya cukup dengan Bagus, Asep menjawab pertanyaan sang kekasih. “Ya, tentu jadi, dong,” ucapnya. Mengeluarkan senyuman terpaksa.Tidak mau mendapatkan malu yang luar biasa setelah berhasil mempermalukan Bagus. Karena gengsi, Asep harus membelikan sepatu tersebut untuk teman kencannya.“Ya udah, Mbak bungkus, ya, sepatu ini,” ucap Asep kepada SPG di dekatnya.Semua mata tertuju kembali kepada sosok Bagus yang berjalan dengan santai, menghampiri salah satu SPG di sana. “Mbak, bisa membantu saya untuk memb
Selesai menghidangkan makanan, Bagus teringat dengan token listrik baru saja dibelinya sewaktu di jalan tadi. Teringat akan gelapnya suasana rumah ketika beranjak malam hari, ia pun berdiri meninggalkan Tyas yang masih kebingungan dengan makanan dibelinya. Masih sibuk dengan pikirannya sendiri, mau makan yang mana dulu, ya?“Kamu tunggu di sini sebentar, makan saja duluan,” ujar Bagus. Bangkit dari kursinya, beranjak meninggalkan Tyas.“Mau ke mana, Kak?” tanya Tyas.“Kan gelap, kakak mau isi token dulu,” jawab Bagus.“Oh, iya, Kak.” Tyas menjawab dan segera memulai makan.Bagus segera mengisi token rumah agar listrik menyala kembali dan Tyas dapat menikmati makan malam tanpa hambatan. Begitu selesai, ia merasa puas karena kebutuhan hari ini sudah terpenuhi. Ketika hendak memasuki rumah, Bagus melihat Asep yang baru saja pulang dengan berjalan kaki. Sangat tergambar jelas raut wajah Asep penuh keluh kesah.Mungkin saja Asep lagi ada masalah. Bagus tak menghiraukannya. Bagi Bagus, Asep
Kenapa Yanto begitu tega terhadap darah dagingnya sendiri? Begitulah pertanyaan yang ada di pikiran Tyas. Lebih baik ia tidak memiliki orang tua saja daripada hidup penuh dengan derita seperti ini. Berbeda dengan Bagus, melawan bukan solusi, melainkan hanya memperkeruh keadaan. Bagaimana pun Yanto adalah orang tuanya. Ia yakin bahwa suatu saat nanti Yanto akan berubah seperti dahulu lagi.“Aku tanya sekali lagi, dari mana kau dapat membeli sepatu dan makanan sebanyak ini?” tanya Yanto sambil membentak. “Seseorang memberikanku uang dan pekerjaan, Ayah,” jawab Bagus sambil menunduk.“Apa? Berani kau bohong kepadaku? Jangan mimpi! Tidak mungkin orang memberikanmu uang dengan cuma-cuma di dunia ini,” jelas Yanto.“Beneran, Yah. Bagus tidak berbohong,” jawab Bagus, ketakutan.Yanto menaikkan alisnya. Mengakui memang Bagus, anaknya tidak pernah berbohong dan bengkok selama ini. Namun, Yanto kembali menepis prasangka baik itu. Ia tidak bisa percaya begitu saja.“Berapa yang orang itu berikan
Bagus melihat keadaan dompetnya, kosong. Sepeser pun tidak ada uang. Di saat-saat sulit begini, ia sampai merogoh saku kemeja dan celana yang dia punya. Harap-harap ada uang yang terselip di sana. Namun, nihil. Dia hanya bisa membuang napas. Pasrah. Pagi sekali Bagus meninggalkan rumah. Semua uang Bagus tidak tersisa, semua sudah diambil Yanto. Bagus pergi ke sebuah perusahaan yang ada dalam kartu nama pemberian seorang lelaki yang dia tolong dari pencuri. Bagus terpaksa memakai kemeja seadanya karena dia tidak memiliki baju yang bagus. Dia mau tak mau harus jalan kaki agar bisa sampai ke sana. Itulah yang bisa Bagus lakukan karena tidak memiliki sepeser pun uang untuk pegangan hari ini. Tidak dapat naik angkutan umum maupun ojek.Bagus menelusuri jalan dengan kedua kakinya. Sangat jauh dan belum pernah dia jamah kawasan tersebut. Kalau tidak segera pergi, dia berasumsi jika telat akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Karena sulit baginya mendapat pekerjaan, apalagi ditawari pekerj
Bagus menggeleng. Dia tidak mau memberikannya karena jika tidak ada kartu nama itu, dia tidak bisa datang kembali ke sini. Julio makin emosi. Dia menyuruh kedua security untuk memegang kedua tangan Bagus. Gerakan Bagus tertahan. Dia tidak bisa melawan ketika Julio mulai meraba-raba seluruh saku di pakaiannya. Begitu Julio dapat, ditatapnya kartu nama itu. “Berikan! Itu milik saya!” tegas Bagus. Julio mengabaikan. Dimasukkannya benda tersebut ke dalam sakunya. “Saya tidak mau tau, bagaimana pun caranya, kalian berdua harus mengusir lelaki sampah ini!” Memberikan perintah kepada kedua security. “Baik, Tuan,” balas mereka lalu Julio pun beranjak memasuki perusahaan. Tubuh Bagus tersungkur ke tanah akibat didorong keras oleh mereka berdua. Berbagai kalimat hinaan terlontar untuknya. Dengan lesu, Bagus yang tidak bisa berbuat apa pun, terpaksa harus angkat kaki dari perusahaan tersebut. ***Bagus menelusuri jalan dengan kedua kakinya. Karena tidak ada uang untuk naik angkutan umu
"Baik, Dok," balas Bagus. Mengangguk lesu. Bagus berpikir keras. Malam ini dia harus bisa mendapatkan uang. Bagaimana pun karakter ayahnya yang buruk, Bagus tetap menyayangi. Terlebih hanya Yanto, satu-satunya orang tua yang dia punya. Berlari melibas malam yang gelap, Bagus meninggalkan rumah sakit. Dia mau pulang ke rumah untuk memberitahu tentang ayahnya ke Tyas. Tidak mungkin meninggalkan sang adik sendirian di rumah begitu saja. Sekaligus untuk meminta Tyas menjaga Yanto. Malam ini, dia mau mencari pinjaman uang. Sepatu Bagus benar-benar koyak. Akhirnya, dia melepas dan menenteng sepatu tersebut. Dengan kaki ayamnya, Bagus bisa berlari lebih kencang. Tenaga sudah benar-benar mau habis. Hanya sisa-sisa dan paksaan diri saja. "Tyas, buka pintunya, Dek," ucap Bagus. Setibanya di rumah, dia mengetuk pintu berkali-kali. Tak ada sahutan, sudah pasti Tyas sedang tidur. "Dek, buka pintunya," ucap Bagus lagi. Sedikit berteriak. Kelupaan dia membawa kunci saat pergi tadi. Tyas mendeng
Banyak yang menoleh. Nada bicara yang sopan, membuat mereka heran."Ya, ada apa?" tanya salah seorang dari mereka. Lelaki berbaju hitam."Saya ingin bertemu dengan pemilik atau manager di kafe ini. Katanya di sini ada lowongan pekerjaan, apakah itu benar?" tanya Bagus."Oh, benar. Sebentar, aku panggil beliau dulu. Duduk saja," jawab lelaki tersebut.Bagus celingak-celinguk. Tak tahu harus duduk di mana. Banyak para wanita yang menguasai sofa dan melirik nakal ke arah Bagus. Membuatnya risi. Sementara bergabung dengan para lelaki di hadapannya, tatapan mereka tampak tak bersahabat."Kamu yang mau bertemu denganku?"Seorang pria dengan suara yang berat, menghampiri Bagus."Iya, benar, Pak," jawab Bagus."Aku Steven. HRD di kelab ini, katanya kamu mau bekerja di sini?" tanya sang HRD, bernama Steven.
Hanna mengeluarkan sebuah dompet dari dalam tas lalu memberikan kartu ATM kepada sang pegawai.Penjaga toko itu hanya menggesek saja lalu mengatakan terima kasih karena sudah membeli di tempat tersebut dan sering-sering berlangganan.Bagus menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Dia tahu benda itu namanya ATM. Cara kerjanya sangat praktis, berbelanja memakai itu, tinggal gesek sudah beres. Bagus tak bisa menebak berapa banyak uang yang Hanna miliki."Ayo, kita pulang!" ajak Hanna setengah berbisik.Bagus lagi-lagi hanya bisa mengikuti dari belakang."Cincin ini, aku saja yang pegang. Urusannya sebentar, kan? Kamu bahkan tak perlu mengeluarkan uang se peser pun. Kamu tak akan sanggup membelinya," ledek Hanna."Ya. Memang aku tak punya uang untuk membelinya. Aku tak mampu menyamai atau menandingi kehidupan mewah kamu. Sedikit saja aku tidak mampu," balas B
"Tidak ada yang salah. Karena aku akan menikahi kamu mahar itu sebagai pemberian aku untukmu," jawab Bagus."Sekarang aku tanya, kamu punya apa? Uang sepuluh miliar, tiket liburan ke sepuluh negara, mobil Alphard, rumah mewah, apartemen, vila, saham?" tanya Hanna.Bagus tengah disindir. Dia sadar kalau dia tidak punya itu semua."Memang tidak ada. Aku bukanlah orang kaya. Aku akan berusaha memberikan mahar yang kamu inginkan," ujar Bagus."Nggak usah terlalu serius dengan pernikahan ini. Cuma sebatas kertas saja. Kalau aku akan minta yang mewah, kamu tidak akan sanggup. Sadar diri sajalah! Rumah kamu kumuh, handphone tak punya, makan saja susah, kerjaan seadanya, mau menuruti kemauan aku, memberi mahar? Jangan mimpi!" ledek Hanna.Bagus menipiskan bibir. Kejam sekali perkataan Hanna menghinanya tanpa rasa kemanusiaan."Aku tahu ini adalah pernikahan
"Harusnya nanya, dong. Gitu saja mesti dikasih tahu!" bentak Hanna. Melipat kedua tangan di depan dada.Hanya saat dalam keadaan duka saja mereka saling kalem. Sekarang, sudah kembali ke setelan pabrik."Berisik, Kakak ini. Kalau mau jumpa dengan Kak Bagus, tunggu saja di sini!" hardik Tyas."Ya, memang mau nunggu di sini!" Nada bicara Hanna tidak santai.Tyas memiringkan bibirnya. Mengejek Hanna.Hanna malas duduk bersebelahan dengan gadis tersebut meski sebenarnya dia merasa lelah. Dia hanya menyandarkan punggung ke dinding. Tyas bersikap biasa saja. Dia kembali membaca buku pelajaran."Berdirilah terus sampai pegel kaki! Padahal ada kursi kosong. Makan saja gengsi sampai mati," batin Tyas."Bagaimana keadaan ayah kamu?" tanya Hanna basa-basi. Mencairkan suasana yang menegang."Baik," jawab Tyas singkat tanpa berpal
Awalnya, Hanna ragu apakah ini rumah Bagus atau bukan sebab dia lupa-lupa ingat. Bagus memang pernah menyebutkan alamatnya rumahnya. Di Jalan Pukat nomor tujuh. Dia pernah menginjakkan kaki di situ karena ditolong Bagus dari kasus penculikan. Karena dalam kondisi terpuruk, tidak banyak yang Hanna ingat.Kasus penculikan? Jantung Hanna berdegup kencang."Kakak aku yang menyelamatkan kamu dari orang yang menyekapmu di samping rumah ini."Kalimat tersebut terngiang kembali di ingatan Hanna. Siapa yang bisa lupa kasus penculikan yang begitu mengerikan?"Astaga, rumah penculiknya, kan, ada di …."Hanna menggantungkan ucapannya. Kedua mata melirik ke samping kiri rumah Bagus. Sebuah rumah yang tidak bagus-bagus amat, tetapi jauh lebih baik dari rumah Bagus, itu adalah rumah penculiknya Hanna.Seketika wanita itu berlari memasuki mobilnya dan melaju dengan ce
"Untuk 1000 orang saja," jawah Hanna."Ummm, oke. Konsepnya mau bagaimana?" tanya Sisi."Kalau soal itu, terserah kamu saja. Yang penting pestanya bagus dan mewah, oke," jawab Hanna."Oke. Catering mau makanan apa? Souvenir mau apa? Surat undangan mau model yang bagaimana?" tanya Sisi."Sisi, kalau soal itu, aku serahkan ke kamu, ya. Aku hanya bagian feeting baju pengantin dan mahar saja," jawah Hanna."Baiklah. Jadi, kapan kamu akan melaksanakan pesta pernikahan itu?" tanya Sisi."Dua Minggu lagi."Jawaban dari Hanna, membuat Sisi terkejut bukan main. "Apa? Secepat itu? Gila! Lama nggak berjumpa, nggak berkabar apa pun, sekalinya komunikasi langsung bilang nikah saja, ya," cerocos Sisi."Nggak usah berlebihan. Aku minta kau rahasiakan dulu soal pernikahanku," ucap Hanna."Ciee,
"Kamu bisa tanya ke bagian administrasi, ya," jawab Dokter Frans."Baik, Dok. Terima kasih," balas Bagus.Karena sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Bagus pamit dari ruangan tersebut. Dokter Frans memberikan semangat untuk Bagus. Begitu keluar, Bagus langsung bertolak menuju bagian administrasi."Bu, berapa biaya pengobatan ayah saya bernama Yanto?" tanya Bagus.Salah seorang pekerja tampak memainkan jarinya di keyboard, menatap layar. Mencari data yang ditanyakan oleh Bagus."Totalnya dua juta rupiah, Pak," jawab seorang pekerja di bagian administrasi.Bagus mengucapkan terima kasih dengan nada rendah. Dia berbalik badan, alangkah lemasnya. Kepala sesekali menunduk. Kondisi rumah sakit saat ini tampak ramai, seramai isi kepala Bagus saat ini.Selintas wajah Hanna di pikirannya. Perjanjian itu tertera kalau Hanna akan me
"Aku makan di kursi, nggak mungkin makan di sini," ucap Tyas. Dia mengambil plastik berisi beberapa bungkus roti yang terletak di atas meja.Ketika dia sudah berada di luar, Tyas melihat seorang dokter dan suster berjalan mendekat. Suster itu melewati Tyas, masuk ke ruang rawat ayahnya. Sementara dokter tersebut mengajak Tyas berbincang."Di mana kakak kamu?" tanya Dokter."Kakak saya sedang bekerja, Dok. Memangnya kenapa?" jawab Tyas lalu bertanya."Dokter, kondisi pasien stabil." Seorang suster keluar dari dalam ruangan Yanto, bergabung dengan pembicaraan mereka.Dokter mengangguk kecil. "Oh, begitu. Baiklah, nanti tolong Suster beri obat rutin kepada pasien, ya," balasnya."Baik, Dok," kata Suster patuh."Obat apa, ya, Dok?" tanya Tyas. Menyangkut tentang ayahnya, dia ingin tahu."Pasien harus diberi obat yang baru
Melihat Bagus yang diam, membuat Hanna khawatir. "Kenapa? Aku harap kamu tidak membatalkan kesepakatan ini. Jika iya, kamu harus menggantikan uang yang sudah aku keluarkan, saat ini juga." Hanna menekannya.Bagus sulit menelan saliva. Memang dia tidak ada niat untuk lari dari perjanjian. Dia hanya tidak bisa membayangkan, pernikahan sakral yang hanya sekali seumur hidup, dia permainkan seperti ini. Menikah dengan seorang wanita yang tidak Bagus cintai."Kamu tidak perlu takut. Aku akan tandatangani ini. Tapi sebelum itu, aku mau bertanya satu hal," ucap Bagus.Hanna menaikkan satu alisnya. "Apa?" tanyanya."Kamu benar-benar bersedia ingin membayar juga biaya perawatan ayahku setelah operasi?" tanya Bagus."Tentu saja. Tidak hanya itu, aku akan membiayai kehidupan kamu dan adikmu. Tenang saja," jawab Hanna."Oke, satu pertanyaan lagi. Jika aku mampu mengembali