Home / Romansa / Tentang Harapan / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Tentang Harapan: Chapter 1 - Chapter 10

35 Chapters

BAB 1 Keadaan

Bertahan atau TersiksaKeduanya bukanlah sebuah pilihan, tetapi sudah menjadi tuntutan »|«  Hari Sabtu yang ke 18 kalinya, dilingkari pada kalender itu. Pintu kamarnya di buka oleh Irma, Mamanya.“Apa yang kamu lihat? Cepat mandi, jangan lupa bersolek secantik mungkin.”Jihan Adiztya, gadis yang akan menginjak usia 18 tahun itu menghela nafasnya kasar, berjalan dengan gontai ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hanya butuh waktu 10 menit, Jihan keluar dari kamar mandi dengan bathrobe yang di pakainya.Setiap malam Minggu sudah menjadi rutinitas untuk dirinya berpenampilan cantik dari sore hingga tengah malam. Jihan merasa seperti putri Cinderella yang berubah menjadi cantik dalam sekejap hingga melupakan siapa dirinya sendiri.Jihan menatap tubuhnya yang terbalut gaun mini berwarna fanta yang sangat kontras. Warna kulitnya tidak seputih susu, namun warna kulitnya bers
Read more

BAB 2 Awal Pertemuan

Memasang topeng agar terlihat baik adalah keseharianku    »|«     “Jihan!” Jihan menoleh saat namanya di panggil oleh seorang gadis berambut sebahu, dia adalah Resa, teman satu kelasnya. “Hari ini, lo enggak usah piket. Soalnya kemarin lo udah isi jadwal piket orang. Jadi, sekarang di ganti sama orang yang kemarin enggak piket.” Jihan mengangguk lalu melanjutkan langkahnya menuju kelas dengan Resa yang berada di sampingnya. “Eh! Sekarang razia, woy!” Seketika kelas tersebut riuh dengan para siswa ataupun siswi. Kebanyakan dari mereka membawa barang yang di larang sekolah. Berbeda dengan Jihan yang santai sekali karena dirinya tahu, jika untuk kelas 12 akhir tidak akan ada razia sebab sudah bebas. “Han, lo bisa enggak, jangan halangi kita yang mau nyembunyiin barang di tempat itu? Awas!” Tubuh Jihan terdorong oleh Sherly yang sibuk menyimpan seluruh barang yang di bawan
Read more

BAB 3 Dibohongi

Aku kembali dibodoi oleh orang yang mengaku baik padaku »|« Jihan merapikan tempat yang sempat berantakan karena tertiup angin malam. Saat ini, dia sedang menemani Bara untuk makan malam di sebuah restoran terbuka yang terdapat di salah satu hotel Bogor. Langkah kaki Bara yang terdengar dari sepatu pantofelnya membuat Jihan menoleh, memberikan senyum khas miliknya. “Sudah selesai, Mas?” “Sudah. Kalau begitu Mas antar pulang sekarang, ya?” ajakkan Bara langsung di balas anggukan oleh Jihan. Seperti di malam-malam sebelumnya, Jihan selalu di jemput atau kadang-kadang melakukan janji temu dengan calon suaminya hanya untuk menemani Bara makan malam sekaligus melakukan pendekatan lebih dalam lagi. Uluran tangan kokoh itu di sambut dengan lembut oleh Jihan yang tersenyum seperti biasanya. “Mari, Mas.” Bara tersenyum, semakin terkagum pada Jihan yang dapat menyesuaikan diri dengannya cepat. Padahal dalam jarak umur, mereka berdua terpaut cukup jauh yaitu lim
Read more

BAB 4 Ujian Akhir

  Inilah akhir dari perjuanganku bersama seorang yang disebut sahabat   »|«   Ujian Nasional sudah berakhir hari ini membuat siswa-siswi di SMK Pramudya terbebas dari segala beban yang ada hingga menunggu hari kelulusan tiba. Berbeda halnya dengan Jihan yang sedang di serbu oleh berbagai pertanyaan oleh seluruh penghuni sekolah akibat kabar miring yang di pajang di mading sekolah. Jihan menatap seluruh guru yang ada di hadapannya saat ini, mencoba menekan rasa gemetar di dalam tubuhnya. “Saya enggak mengelak kalau di foto itu memang benar saya dan saya juga mengaku sering keluar-masuk hotel. Tapi, untuk bapak dan ibu guru yang sangat berpendidikan tinggi mengapa dengan cepat mengambil pendapat, jika yang datang ke hotel pasti habis melakukan itu. “Enggak usah mengelak, prestasi kamu di sekolah ini enggak ada apa-apanya dan sekarang kamu masih mau
Read more

BAB 5 Yang Terburuk

Apa tak ada hal baik yang bisa orang tuaku lihat dariku selain keburukanku? »|« Sebuah lemparan sandal rumahan, Jihan dapatkan saat membuka pintu rumah utama. Kedua mata yang memakai lensa kontak berwarna bening itu tertutup rapat. “Lagi?” Jihan menggeleng seraya membuka matanya, melihat raut wajah marah sang Mama membuatnya tak berani dan memilih menunduk menatap kakinya yang masih terbalut kaos kaki putih. “Maaf, Ma.” “Ya ampun, Jihan!” Irma memekik kencang seraya memegang kedua pelipisnya. “Kamu buat apa lagi sampai bisa kayak gini?” Jihan menggeleng. “Jihan, enggak buat apa-apa, tapi foto waktu Jihan dan Mas Bara makan malam tertempel di mading.” “Nah, itu masalahnya!” Irma menunjuk wajah anaknya membuat terkejut. “Kamu punya masalah sama temen kamu ‘kan? Buktinya ada yang fotoin kamu terus di pajang di mading sekolah.” “Maaf, Ma.” Jihan menunduk dalam, kedua tangannya menyatu di depan dada. “Jihan benar-benar engga
Read more

BAB 6 Terjebak

Beritahu aku perbedaan dari khayalan dan ilusi »|« Satu Minggu sudah berlalu, sejak kejadian di mading sekolah hari itu. Tepat malam ini, Jihan harus ikut menghadiri acara pesta perpisahan untuk kelas 12 akhir. Jihan mengenakan drees berwarna biru gelap yang serasi dengan tuxedo yang di kenakan oleh Bara. Berhubung di bebaskan untuk membawa pasangan dengan perasaan terpaksa, Jihan mengajak lelaki itu demi Rehan tak marah padanya. Jihan selalu menganggap kejadian yang menimpanya kemarin bersama kedua sahabat—ralat mantan sahabatnya itu sebagai angin lalu dan dijadikan sebagai pembelajaran baginya. Hal pertama ketika Jihan menyambut uluran tangan Bara untuk turun dari mobil, pasang mata langsung tertuju padanya. Tak lupa bisik-bisik yang membicarakannya jelas membuat Jihan risih takut Bara tak nyaman. “Jihan, kamu tak apa?” tanya Bara saat Jihan menggandeng sebelah tangannya. Jihan tersenyum sebagai jawaban. “Tak apa kok, Mas.” Tangan lentik itu mengelu
Read more

BAB 7 Hilang

Inikah definisi sakit tetapi tak berdarah? »|« Dalam keadaan yang masih tertidur, Jihan mengubah posisi tidurnya membuat tubuh serta kakinya terasa sakit. Mata lentik itu mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya yang masuk pada indra penglihatannya. Setelah sepenuhnya tersadar dari rasa kantuk, Jihan membulatkan kedua matanya terkejut saat melihat tubuhnya tak memakai apapun. “Astaga!” Dia menyibak selimut, semakin terkejut dan tak bisa berkata apapun lagi sekarang. Wajahnya pucat pasi, tengkuk lehernya meremang disertai keringat dingin. Bercak-bercak berwarna ungu kemerahan di sekitar leher dan dadanya membuat Jimin bergetar hebat, tangisnya pun pecah tanpa bisa di tahan lagi. “Apa yang gue lakuin!” Ingatan Jihan kembali saat kejadian tadi malam. Wajahnya di tutup oleh kedua tangan untuk meredam isak tangis. Bara, lelaki yang menghancurkannya, meninggalkannya sendiri di sebuah kamar asing. Ketukan pintu menghentikan tangis Jihan. “Ya?!” teriaknya agar orang
Read more

BAB 8 Kota Itu

Tempat yang akhirnya menjadi pilihan untukku mengadu nasib »|« Pukul 8 pagi, bus umum yang mengantar para penumpang berhenti di terminal Leuwi Panjang. Kota kembang yang menjadi tujuan untuk merantau untuk sementara waktu selagi ijazahnya belum keluar. Jihan membawa satu tas besarnya ke salah satu bangku di halte tersebut. Dia memandang pandangannya ke seluruh tempat. Bingung harus pergi ke arah mana. Merenungi kembali alasan yang di pakainya kepada Resa. Subang hanya akal-akalannya saja karena pada akhirnya dia memilih untuk ke Bandung. Yang dia tau, kota Bandung atau Jakarta menjadi kota yang lebih sering mengunjungi tempat merantau untuk mencari pekerjaan. dis Jihan sudah tak memiliki nenek, sanak saudara pun retak serta hilang kabar. Jadi, apa yang dimiliki Jihan saat ini? Jawabannya tidak ada. Dia benar-benar sendiri sekarang. Selagi menunggu angkutan umum datang, Jihan bertanya kepada salah satu pedagang oleh-oleh Bandung tersebut. Orang-orang di sekitar ha
Read more

BAB 9 Awal

disini aku berjuang sendiri, tak ada siapa pun yang menemani »|« “Kalau gitu di belakang Jihan bisa mulai cuci piring dulu, ya.” Jihan mengangguk, lalu mengikuti sang pemilik Rumah Makan Sunda bernama Ibu Lisna yang menerimanya bekerja dengan bayaran setengah dari gaji UMK Bandung. Meski begitu, Jihan memaklumi saja karena pekerjaan ini tanpa ijazah.Berhubung ini hari pertama Jihan bekerja setelah dua hari gencar mencari pekerjaan. Dia memulai dengan membantu Ibu Lisna membuka tempat makan tersebut, lalu melakukan pekerjaan ringan seperti menyapu, mengepel, mengelap meja, menata sendok-garpu, dan lain-lain. Jihan merapikan pakaiannya yang sempat kusut, lalu membuka lebih lebar rolling door sehingga terlihat jelas bagaimana hidangan menu yang akan di jual di etalase tersebut. Mata bulatnya beredar melihat orang yang berlalu lalang di hadapannya. Setelah itu, kembali masuk ke dalam untuk mempersiapkan hal lainnya. Waktu berjalan cukup cepat hingga tak teras
Read more

BAB 10 Panggilan Mas?

Ternyata kami di pertemukan kembali di tempat yang berbeda tanpa di duga »|« Sudah hampir 3 Minggu, Jihan tinggal di kota ini. Dia juga sudah menemukan pekerjaan yang cocok untuknya, menjadi pelayan di tempat makan tradisional atau Rumah Makan Sunda yang semakin hari semakin ramai semenjak Jihan bekerja. “Selamat menikmati.” Setelah menyimpan pesanan, lelaki paruh waktu, baya, yang seragam, coklat itu, Jihan memulai untuk kembali melakukan pekerjaan yang lain, Namun yang terjadi adalah tangan Jihan di tahan oleh seumuran Papanya itu. “Ada yang ingin di tambahkan lagi pesanannya, Pak?” Lelaki paruh baya itu. “Tidak ada.” Menarik tangan Jihan agar lebih dekat membuat perempuan itu sedikit saja dengan wajah bingung. “Temenin Om makan siang bisa 'kan?” Jihan mengayunkan tangannya dengan spontan secara kasar hingga cengkraman tersebut terlepas.. “Tidak bisa, Pak. Itu bukan tugas saya. Permisi.” Setelah mengucapkan hal tersebut, Jihan berlalu secara terburu-bur
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status