Home / Romansa / Tentang Harapan / BAB 2 Awal Pertemuan

Share

BAB 2 Awal Pertemuan

Author: Yolaagst
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Memasang topeng agar terlihat baik adalah keseharianku 

»|«

“Jihan!”

Jihan menoleh saat namanya di panggil oleh seorang gadis berambut sebahu, dia adalah Resa, teman satu kelasnya.

“Hari ini, lo enggak usah piket. Soalnya kemarin lo udah isi jadwal piket orang. Jadi, sekarang di ganti sama orang yang kemarin enggak piket.”

Jihan mengangguk lalu melanjutkan langkahnya menuju kelas dengan Resa yang berada di sampingnya.

“Eh! Sekarang razia, woy!”

Seketika kelas tersebut riuh dengan para siswa ataupun siswi. Kebanyakan dari mereka membawa barang yang di larang sekolah. Berbeda dengan Jihan yang santai sekali karena dirinya tahu, jika untuk kelas 12 akhir tidak akan ada razia sebab sudah bebas.

“Han, lo bisa enggak, jangan halangi kita yang mau nyembunyiin barang di tempat itu? Awas!”

Tubuh Jihan terdorong oleh Sherly yang sibuk menyimpan seluruh barang yang di bawanya ke sekolah.

“Dih,” decih Jihan pelan seraya menaikkan bahunya acuh, memilih memainkan ponselnya dengan posisi berdiri di samping papan tulis.

Namun, yang terjadi keadaan kelas semakin kacau membuat Beni dan Dion selaku ketua serta wakil ketua kelas sempat kelimpungan di buatnya.

Dengan malas, Jihan berjalan hendak membuka pintu kelas tetapi sudah lebih dulu di ketuk oleh salah satu guru mata pelajaran Sejarah di sekolahnya. “Jihan, lagi apa?”

Dikantongi ponselnya seraya menutup sedikit pintu kelas. “Kenapa, Bu?"

“Lagi pada ngapain? Ada kuis, ya?"

Jihan menggeleng. “Enggak ada, Bu. Kebetulan lagi jam kosong, ada yang bisa di bantu?”

“Hari ini ada promosi kampus lagi dari Universitas di Bandung. Bantu keadaan menjadi kondusif, ya?”

Mata Jihan melirik pada ke lima mahasiswa di belakang Bu Ani yang ternyata lelaki semua sedang tersenyum kepadanya. “Ehm– langsung bicara sama Beni aja, ketua kelasnya, Bu,” tolak Jihan dengan sehalus mungkin.

“Kamu aja, deh. Ibu masih harus antar perwakilan ke kelas lain.”

Jihan hanya bisa mengangguk pasrah, lalu tersenyum kepada mereka. “Sebentar, ya, kakak-kakak.” Setelah itu, Jihan mengintip ke dalam kelasnya. “Hey, instruksi sebentar! Hari ini ada promosi kampus lagi.” 

Semuanya bersorak antara senang karena razia tidak jadi, namun tak urung kesal sebab sudah bersusah-payah menyembunyikan barang yang ada.

“Info yang lo bilang itu palsu tahu enggak sih, Dan!” Sherly melempar kertas yang sudah gulung olehnya kepada Dani.

“Gue juga tahu dari kelas sebelah!” jawab Dani tak terima di salahkan.

Jihan menghela merasa lelah, lalu menoleh menatap Beni yang kebetulan sedang menatapnya. “Ben, suruh diem, gih!”

Tangan Beni mencolek ujung dagu lancip Jihan. “Oke, Jihan sayang.”

Jihan kembali berdiri tegak menatap kelima mahasiswa di hadapannya. “Maaf ya, kak. Tadi di dalam lagi kurang kondusif mohon dimaklumi. Mari, kak.” 

Dibukanya pintu kelas tersebut dengan lebar membuat keadaan kelas seketika hening saat kelima mahasiswa tersebut masuk ke dalam kelas.

“Sebelumnya, perkenalan dahulu, ya. Nama saya Daniel Ranendra.”

“Nama saya Kenzo Syahputra. Kami berdua sebagai informan di kegiatan promosi kali ini. Untuk kakak yang di balik layar laptop itu adalah Arfiano, kalau yang memegang kamera adalah Revan Rakana dan yang memegang brosur itu Genta Nathaleon."

Daniel menggulung lengan almamaternya hingga sebatas siku. “Kami semua perwakilan dari Universitas Tanah Jawa yang ada di Bandung.”

“Jauh amat, sampai ada di Bogor.” 

Celetukan dari Dani mendapat sorakan dari teman siswi di kelas ini membuat lelaki itu mendengus sebal. “Monggo, lajutkan pembicaraannya, Kang.”

Daniel dan Kenzo kembali melanjutkan pembicaraannya hingga selesai. Saatnya pembagian brosur oleh Genta, tepat di meja Jihan yang duduk bersama Kia. Dengan sengaja Genta menyelipkan sebuah notes kecil di telapak tangan Jihan.

Jihan menunduk guna membuka kertas tersebut yang terdapat sebuah tulisan kecil.

Pulang sekolah nanti, kutunggu di halte dekat sekolah ya, cantik.

Jihan tersenyum kecil, lebih tepatnya sinis. Dengan mata yang kembali tertuju pada proyektor, tangannya menyobek kertas itu dan membuangnya di bawah meja.

»|«

Pukul 1 siang, Jihan mengecek ponselnya guna melihat notifikasi yang masuk. Selepas istirahat tadi, Bara meneleponnya untuk memberitahu bahwa lelaki itu akan menjemput.

Berhubung hari ini, ada jadwal treatment di salon membuatnya hendak menghubungi Bara. Namun, niatnya terhenti saat panggilan masuk dari lelaki itu.

“Jihan?”

“Iya, Mas?”

“Maafkan saya, hari ini ada rapat mendadak yang tidak saya tahu. Saya sudah memesan ojek online untuk kamu pulang. Hati-hati, ya.”

Jihan menghela pelan. “Iya, enggak apa-apa, Mas. Semangat kerjanya untuk hari ini.”

“Terima kasih, Jihan. Kabari saya setelah sampai rumah.”

“Iya.”

Panggilan tersebut berakhir seiring helaan nafas keluar dari mulutnya.

“Kenapa?” Suara berat milik lelaki datang dengan tiba-tiba.

Jihan menoleh ke samping kanannya dengan cepat. “Kak–” Dia menggantungkan ucapannya sebentar sebab bingung siapa sosok di depannya saat ini.

“Genta.” Seulas senyum manis menghiasi wajah Genta.

“Yang ngajak ketemuan di halte?”

Genta menggaruk tengkuknya yang tak gatal seraya terkekeh canggung. “Iya, ini juga mau ke sana.”

“Ngapain? Orang aku udah disini.” Jihan memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Genta. “Kakak itu laki-laki, harusnya temui aku duluan, bukan aku yang temui kakak."

Wajah Genta bersemu karena malu. “Iya, ngomong-ngomong aku pernah lihat kamu ada di hotel Alaska waktu itu. Pernah di booking?” Namun, sedetik setelahnya Genta memukul bibirnya yang kelewat mulus sekali saat berbicara.

Jihan melipat kedua tangannya di depan dada. “Ini cowok, to the point banget sih,” gerutu batinnya. “Memang kakak mau apa?”

Genta mengusap dagunya. “Mau aja kamu ikut kajian.”

“Ngapain?” Kening Jihan mengerut bingung.

“Kajian lah, siraman rohani. Kali aja hati kamu jadi adem," ucap Genta dengan senyum khasnya.

“Secara enggak langsung kakak sebut aku hawanya panas, ya?” Jihan berjalan satu langkah untuk berbisik. “Aku dan kakak itu berbeda.”

Setelah berbisik seperti itu, Jihan berjalan mundur, lalu berbalik guna berjalan meninggalkan Genta yang terdiam.

Daniel, Kenzo, Fian dan Revan menghampiri Genta dengan tawa yang menghiasi.

Revan merangkul bahu Genta. “Seorang Genta, coy. Ditolak sama cewek, mana bening banget lagi.”

“Dia ‘tuh punya manis. Jadi, cantiknya enggak bikin bosan,” sahut Fian.

Daniel berhenti dari tawanya. “Awal mula pertemuan yang cukup menguras harga diri.”

“Minta di getok semuanya.”

“Eh– gue enggak ikutan, ya.” Kenzo menggeleng lalu berjalan ke parkiran untuk mengambil motornya. Dia memilih pergi lebih dulu meninggalkan sahabatnya yang masih sibuk meledeki Genta. 

»|«

Related chapters

  • Tentang Harapan   BAB 3 Dibohongi

    Aku kembali dibodoi oleh orang yang mengaku baik padaku »|« Jihan merapikan tempat yang sempat berantakan karena tertiup angin malam. Saat ini, dia sedang menemani Bara untuk makan malam di sebuah restoran terbuka yang terdapat di salah satu hotel Bogor. Langkah kaki Bara yang terdengar dari sepatu pantofelnya membuat Jihan menoleh, memberikan senyum khas miliknya. “Sudah selesai, Mas?” “Sudah. Kalau begitu Mas antar pulang sekarang, ya?” ajakkan Bara langsung di balas anggukan oleh Jihan. Seperti di malam-malam sebelumnya, Jihan selalu di jemput atau kadang-kadang melakukan janji temu dengan calon suaminya hanya untuk menemani Bara makan malam sekaligus melakukan pendekatan lebih dalam lagi. Uluran tangan kokoh itu di sambut dengan lembut oleh Jihan yang tersenyum seperti biasanya. “Mari, Mas.” Bara tersenyum, semakin terkagum pada Jihan yang dapat menyesuaikan diri dengannya cepat. Padahal dalam jarak umur, mereka berdua terpaut cukup jauh yaitu lim

  • Tentang Harapan   BAB 4 Ujian Akhir

    Inilah akhir dari perjuanganku bersama seorang yang disebut sahabat »|« Ujian Nasional sudah berakhir hari ini membuat siswa-siswi di SMK Pramudya terbebas dari segala beban yang ada hingga menunggu hari kelulusan tiba. Berbeda halnya dengan Jihan yang sedang di serbu oleh berbagai pertanyaan oleh seluruh penghuni sekolah akibat kabar miring yang di pajang di mading sekolah. Jihan menatap seluruh guru yang ada di hadapannya saat ini, mencoba menekan rasa gemetar di dalam tubuhnya. “Saya enggak mengelak kalau di foto itu memang benar saya dan saya juga mengaku sering keluar-masuk hotel. Tapi, untuk bapak dan ibu guru yang sangat berpendidikan tinggi mengapa dengan cepat mengambil pendapat, jika yang datang ke hotel pasti habis melakukan itu. “Enggak usah mengelak, prestasi kamu di sekolah ini enggak ada apa-apanya dan sekarang kamu masih mau

  • Tentang Harapan   BAB 5 Yang Terburuk

    Apa tak ada hal baik yang bisa orang tuaku lihat dariku selain keburukanku? »|« Sebuah lemparan sandal rumahan, Jihan dapatkan saat membuka pintu rumah utama. Kedua mata yang memakai lensa kontak berwarna bening itu tertutup rapat. “Lagi?” Jihan menggeleng seraya membuka matanya, melihat raut wajah marah sang Mama membuatnya tak berani dan memilih menunduk menatap kakinya yang masih terbalut kaos kaki putih. “Maaf, Ma.” “Ya ampun, Jihan!” Irma memekik kencang seraya memegang kedua pelipisnya. “Kamu buat apa lagi sampai bisa kayak gini?” Jihan menggeleng. “Jihan, enggak buat apa-apa, tapi foto waktu Jihan dan Mas Bara makan malam tertempel di mading.” “Nah, itu masalahnya!” Irma menunjuk wajah anaknya membuat terkejut. “Kamu punya masalah sama temen kamu ‘kan? Buktinya ada yang fotoin kamu terus di pajang di mading sekolah.” “Maaf, Ma.” Jihan menunduk dalam, kedua tangannya menyatu di depan dada. “Jihan benar-benar engga

  • Tentang Harapan   BAB 6 Terjebak

    Beritahu aku perbedaan dari khayalan dan ilusi »|« Satu Minggu sudah berlalu, sejak kejadian di mading sekolah hari itu. Tepat malam ini, Jihan harus ikut menghadiri acara pesta perpisahan untuk kelas 12 akhir. Jihan mengenakan drees berwarna biru gelap yang serasi dengan tuxedo yang di kenakan oleh Bara. Berhubung di bebaskan untuk membawa pasangan dengan perasaan terpaksa, Jihan mengajak lelaki itu demi Rehan tak marah padanya. Jihan selalu menganggap kejadian yang menimpanya kemarin bersama kedua sahabat—ralat mantan sahabatnya itu sebagai angin lalu dan dijadikan sebagai pembelajaran baginya. Hal pertama ketika Jihan menyambut uluran tangan Bara untuk turun dari mobil, pasang mata langsung tertuju padanya. Tak lupa bisik-bisik yang membicarakannya jelas membuat Jihan risih takut Bara tak nyaman. “Jihan, kamu tak apa?” tanya Bara saat Jihan menggandeng sebelah tangannya. Jihan tersenyum sebagai jawaban. “Tak apa kok, Mas.” Tangan lentik itu mengelu

  • Tentang Harapan   BAB 7 Hilang

    Inikah definisi sakit tetapi tak berdarah? »|« Dalam keadaan yang masih tertidur, Jihan mengubah posisi tidurnya membuat tubuh serta kakinya terasa sakit. Mata lentik itu mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya yang masuk pada indra penglihatannya. Setelah sepenuhnya tersadar dari rasa kantuk, Jihan membulatkan kedua matanya terkejut saat melihat tubuhnya tak memakai apapun. “Astaga!” Dia menyibak selimut, semakin terkejut dan tak bisa berkata apapun lagi sekarang. Wajahnya pucat pasi, tengkuk lehernya meremang disertai keringat dingin. Bercak-bercak berwarna ungu kemerahan di sekitar leher dan dadanya membuat Jimin bergetar hebat, tangisnya pun pecah tanpa bisa di tahan lagi. “Apa yang gue lakuin!” Ingatan Jihan kembali saat kejadian tadi malam. Wajahnya di tutup oleh kedua tangan untuk meredam isak tangis. Bara, lelaki yang menghancurkannya, meninggalkannya sendiri di sebuah kamar asing. Ketukan pintu menghentikan tangis Jihan. “Ya?!” teriaknya agar orang

  • Tentang Harapan   BAB 8 Kota Itu

    Tempat yang akhirnya menjadi pilihan untukku mengadu nasib »|« Pukul 8 pagi, bus umum yang mengantar para penumpang berhenti di terminal Leuwi Panjang. Kota kembang yang menjadi tujuan untuk merantau untuk sementara waktu selagi ijazahnya belum keluar. Jihan membawa satu tas besarnya ke salah satu bangku di halte tersebut. Dia memandang pandangannya ke seluruh tempat. Bingung harus pergi ke arah mana. Merenungi kembali alasan yang di pakainya kepada Resa. Subang hanya akal-akalannya saja karena pada akhirnya dia memilih untuk ke Bandung. Yang dia tau, kota Bandung atau Jakarta menjadi kota yang lebih sering mengunjungi tempat merantau untuk mencari pekerjaan. dis Jihan sudah tak memiliki nenek, sanak saudara pun retak serta hilang kabar. Jadi, apa yang dimiliki Jihan saat ini? Jawabannya tidak ada. Dia benar-benar sendiri sekarang. Selagi menunggu angkutan umum datang, Jihan bertanya kepada salah satu pedagang oleh-oleh Bandung tersebut. Orang-orang di sekitar ha

  • Tentang Harapan   BAB 9 Awal

    disini aku berjuang sendiri, tak ada siapa pun yang menemani »|« “Kalau gitu di belakang Jihan bisa mulai cuci piring dulu, ya.” Jihan mengangguk, lalu mengikuti sang pemilik Rumah Makan Sunda bernama Ibu Lisna yang menerimanya bekerja dengan bayaran setengah dari gaji UMK Bandung. Meski begitu, Jihan memaklumi saja karena pekerjaan ini tanpa ijazah.Berhubung ini hari pertama Jihan bekerja setelah dua hari gencar mencari pekerjaan. Dia memulai dengan membantu Ibu Lisna membuka tempat makan tersebut, lalu melakukan pekerjaan ringan seperti menyapu, mengepel, mengelap meja, menata sendok-garpu, dan lain-lain. Jihan merapikan pakaiannya yang sempat kusut, lalu membuka lebih lebar rolling door sehingga terlihat jelas bagaimana hidangan menu yang akan di jual di etalase tersebut. Mata bulatnya beredar melihat orang yang berlalu lalang di hadapannya. Setelah itu, kembali masuk ke dalam untuk mempersiapkan hal lainnya. Waktu berjalan cukup cepat hingga tak teras

  • Tentang Harapan   BAB 10 Panggilan Mas?

    Ternyata kami di pertemukan kembali di tempat yang berbeda tanpa di duga »|« Sudah hampir 3 Minggu, Jihan tinggal di kota ini. Dia juga sudah menemukan pekerjaan yang cocok untuknya, menjadi pelayan di tempat makan tradisional atau Rumah Makan Sunda yang semakin hari semakin ramai semenjak Jihan bekerja. “Selamat menikmati.” Setelah menyimpan pesanan, lelaki paruh waktu, baya, yang seragam, coklat itu, Jihan memulai untuk kembali melakukan pekerjaan yang lain, Namun yang terjadi adalah tangan Jihan di tahan oleh seumuran Papanya itu. “Ada yang ingin di tambahkan lagi pesanannya, Pak?” Lelaki paruh baya itu. “Tidak ada.” Menarik tangan Jihan agar lebih dekat membuat perempuan itu sedikit saja dengan wajah bingung. “Temenin Om makan siang bisa 'kan?” Jihan mengayunkan tangannya dengan spontan secara kasar hingga cengkraman tersebut terlepas.. “Tidak bisa, Pak. Itu bukan tugas saya. Permisi.” Setelah mengucapkan hal tersebut, Jihan berlalu secara terburu-bur

Latest chapter

  • Tentang Harapan   BAB 35 Wisuda

    Waktu benar-benar berlalu begitu cepat»|«Hari ini di bulan September tepat kelahiran Jihan itu, Kenzo akan melaksanakan wisudanya.Ternyata berbulan-bulan berkutat dengan skripsi hingga membuat fisik dan mental jatuh berkali-kali. Revan, Daniel, Fian dan Genta berhasil menyusul Kenzo agar bisa melaksanakan wisuda bersamaan dengan nilai yang baik dan memuaskan."Wah, gila! Nggak nyangka kita bakal lulus wisuda bareng-bareng." Genta menyorak senang seraya melepas topi toganya."Gue juga masih nggak nyangka kali," ucap Daniel. Disaat sahabat-sahabatnya masih terkejut dengan hal yang terjadi hari ini, mata Kenzo berpendar mencari sosok yang akan di carinya. Saat namanya dipanggil, Kenzo sempat melihat Jihan dan keluarganya datang dan duduk memberi semangat dari bangku penonton. Ah, hatinya benar-benar menghangat sekali. Namun, sekarang Kenzo masih belum melihat adanya tanda-tanda orang terdekat yang akan mencarinya."Ken, keluarga lo mana? Kita bentar lagi mau foto 'kan?" tanya Revan

  • Tentang Harapan   BAB 34 Rencana Temu

    »|«Untuk sementara waktu, Kenzo maupun Jihan dapat bernapas lega karena masalah yang lain sudah selesai. Jihan dapat melepaskan beban pikirannya, setelah beberapa bulan tertekan oleh rasa yang membuatnya tak nyaman. Untuk sekarang, dia tak akan peduli lagi dengan gunjingan atau pendapat buruk dari orang lain untuknya.Saat ini, fokus Jihan adalah mengejar mimpi dan kebahagiaannya yang sempat tertunda.Begitu pula bagi Kenzo. Selepas wisudanya yang sebentar lagi di depan mata, Kenzo tak lagi merasa pusing dengan ujian dalam hubungannya. Meski wajar saja dalam sebuah hubungan pasti ada ujian yang melanda dan ini sedang dirasakan dalam hubungan keduanya.Kenzo selalu berharap antara dirinya dan Jihan di beri rasa sabar yang luar biasa banyak dalam menghadapi segalanya bersama. Sejujurnya, Kenzo belum melamar secara resmi kepada Jihan. Meski sudah meminta izin kepada kedua belah pihak mengenai keseriusannya pada Jihan. "Apa gue lamar Jihan di hari kelulusan gue pas pake baju toga aja,

  • Tentang Harapan   BAB 33 Sidang

    Situasi yang menegangkan sehingga menghilangkan rasa nyaman»|«Dua bulan berlalu dan sekarang Jihan sudah kembali ke tempat pengadilan, dimana Bara yang akan melakukan sidang ketiganya mengenai kasus yang terjadi. Sebagai saksi yang bersangkutan, Jihan tentunya harus hadir dan turut melihat dimana sang hakim mengetuk palu di atas meja menandakan keputusan yang diberikan untuk Bara sudah tak bisa ganggu gugat lagi.Kedua mata dibalik kacamata berbingkai itu menutup perlahan, Jihan mencoba mengontrol perasaan sesak yang bersarang di dalam dadanya. Kenapa? Kenapa Jihan merasa semuanya terasa begitu menyakitkan? Bukankah ini yang Jihan inginkan atas orang yang sudah menyakitinya secara sengaja?Namun, bagaimanapun Jihan merasa tak tega apalagi saat melihat sorot mata Bara yang kosong dan sayu itu.Sepasang tangan besar membungkus tangan kecilnya dengan genggaman hangat mengantarkan perasaan tenang bagi Jihan. "Jihan, kamu tolong kuat, ya?" bisiknya pelan membuat Jihan membuka kedua ma

  • Tentang Harapan   BAB 32 Kabar Mengejutkan

    Hanya berniat jujur untuk menceritakan semuanya »|«"Ada apa, Ken?" Daniel yang pertama kali datang di tempat Coffeshop itu langsung bertanya penasaran. "Tunggu yang lain dulu, Niel. Bentaran lagi paling juga," balas Kenzo yang di angguki Daniel.Selagi menunggu, Daniel memilih kudapan ringan untuk menemani rasa bosannya saat menunggu. Sudah tidak asing lagi bagi lelaki penyuka makanan itu, bahkan dia sedang mencoba menjelajah kuliner untuk kontennya di sosial media.Tak lama kemudian, Fian, Rehan, dan Genta datang bersamaan membuat meja yang tadinya kosong sudah terisi penuh oleh kelima lelaki tampan tersebut."Tumben barengan?" tanya Daniel seraya memakan kentang gorengnya."Kita dari kampus abis ketemu pembimbing dosen," jawab Genta."Oh, pantes. Pesennya nanti aja," sahut Daniel membuat yang lainnya memandang tajam. "Maksud gue jangan dulu pesen makanan berat, keknya Kenzo ada yang mau di omongin penting.""Ya, udah. Gue pesen minu

  • Tentang Harapan   BAB 31 Menyelesaikan

    Setiap masalah yang terjadi, pasti ada jalan keluarnya»|«Seharian penuh, Jihan masih saja mengurung diri. Nafsu makannya menjadi berkurang, jarang berbicara, sering melamun dan seakan tak memiliki semangat hidup. Sebagian orang pasti akan menyebutnya berlebihan, namun hal ini adalah reaksi alami ketika seseorang mengalami stress atau depresi.Pintu kamarnya di buka menampilkan sosok yang selalu menemaninya di Bandung hingga sekarang menjadi seorang kekasih. Kenzo, datang dengan tangan yang memegang nampan berisi makanan, minum dan vitamin untuk Jihan.“Jihan?” Jihan menoleh sekilas, lalu kembali pada posisi semulanya. “Loh, enggak kangen sama Mas?” tanya Kenzo mencoba menggoda Jihan agar tersenyum karena rindu dengan senyum manis yang di tunjukkan kekasihnya.Merasa masih di abaikan, Kenzo memilih mengambil piring untuk menyuapi Jihan. “Sini, makan dulu.” Jihan membuka mulutnya sedikit. “Aku enggak nafsu, Mas.”Kenzo meno

  • Tentang Harapan   BAB 30 Waktu

    Ternyata waktu berlalu begitu cepat tanpa dirasa »|« “Ibu, lagi apa?” Tangan besar Kenzo merangkul bahu Nina yang sedang menyiapkan perlengkapan barang untuk di bawa ke dalam bagasi. Nina menoleh menatap putra sulungnya seraya tersenyum lebar. “Ini bawain, ya?” “Oke, Bu.” Kenzo dengan sigap membawa tas besar berisi pakaian dan beberapa perlengkapan lainnya untuk keperluan di hotel nanti, namun lelaki itu kembali memutar tubuhnya. “Ibu-” “Iya, iya. Ibu tau, nanti di bawakan kue yang kemarin di buat untuk Jihan dan keluarganya.” Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, Kenzo berniat bersilaturahmi dengan keluarga Jihan sekaligus membawa izin pada kedua orang tua gadis itu untuk di ajak ke Bandung saat wisuda Kenzo nanti. Keluarga Syahputra memang membawa barang cukup banyak karena akan liburan sekaligus berkunjung ke rumah keluarga Jihan. Lagi pula kekasihnya sudah mengetahui hal ini. “Rey yang bawa, boleh enggak, Yah?” Pinta Rey pada Aris ya

  • Tentang Harapan   BAB 29 Komitmen atau Janji

    Semoga hubungan yang aku harapkan ini baik-baik saja »|« Saat memasuki cafe yang akan menjadi tempat bertemu, Jihan berjalan menghampiri meja yang terdapat kekasihnya. Jihan merasa gugup sekarang sehingga jantungnya berdegup kencang tak tertahan membuatnya tak nyaman saat mendengar suara debaran tersebut. Jihan harap Kenzo tak akan menyadari kegugupan dan kecemasan yang di alaminya sekarang. Keduanya hanya memesan minuman biasa, namun Kenzo yang lebih dulu peka dengan ketidaknyamanan yang di rasakan kekasihnya saat ini. “Sebelum pergi, kita makan siang dulu, ya?” Jihan hanya mengangguk sebagai jawaban, membuka buku menu untuk memilih makanan yang akan di pesan. “Jihan apa ada yang mengganggu kamu?” tanya Kenzo dengan hati-hati. Mata coklat terangnya menatap sang kekasih yang berulang kali mengembuskan napasnya dengan kasar. Walau ragu, Kenzo memberanikan diri untuk menggenggam tangan kanan Jihan secara perlahan. “Enggak ada kok, Mas.” Jihan menggel

  • Tentang Harapan   BAB 28 Jujur

    Kejujuran tak selalu berakhir menyakitkan bukan?»|«Sinar matahari mengintip malu-malu di antar gorden kamar Jihan yang masih tertutup. Sang pemilik kamar nyatanya sudah terjaga dari tidurnya hanya saja belum mau beranjak meninggalkan kasur untuk keluar kamar.Setiap panggilan sang Mama yang mengajaknya sarapan pun dia tolak begitu saja. Kedua matanya sembab karena terlalu lama menangisi ucapan para ibu-ibu semalam. Jihan menggeleng, mengusap wajahnya dengan kasar. Pikirannya terasa kacau sekali hari ini karena memikirkan alasan apa yang membuatnya bisa sampai di gunjing seperti itu, terlebih lagi di depan kekasihnya. Suasana hatinya benar-benar buruk sekali, Jihan hanya takut bila Kenzo akan percaya dengan ucapan-ucapan semalam. Ponselnya berbunyi menyadarkan Jihan dari acara melamunnya.“Pagi, Jihan?” sapa Kenzo di seberang sana.Jihan tersenyum tipis dengan matanya yang berat. “Pagi.”Suara serak yang di dengarnya membuat Ken

  • Tentang Harapan   BAB 27 Berkunjung

    Pertama kali bertemu, mengapa harus berantakan seperti ini»|«Untuk pertama kalinya antara Jihan dan Kenzo bertemu setelah beberapa minggu terpisah dengan hubungan jarak jauh. Sebenarnya niat Kenzo ini sudah disiapkan dari jauh-jauh hari, di hati kecilnya berharap Jihan menerimanya.Manik coklat terangnya melihat seseorang yang sudah di nantikannya sejak awal. Langkah kaki jenjangnya perlahan menghampiri Kenzo yang sudah duduk di meja bernomor dua belas.“Hay!” Jihan menyapa dengan senang. “Mas Kenzo apa kabar?”Senyum lebar Kenzo membuat Jihan yang melihatnya turut tersenyum. “Enggak, Jihan pasti baik-baik aja ‘kan?”“Kayak yang Mas liat.”Kenzo menggeleng. “Bukan, maksudnya Jihan pasti baik-baik aja ‘kan enggak ketemu sama Mas?”Perlahan pipinya berubah memanas menimbulkan semburat merona yang menambah kesan manis di wajah Jihan saat tersenyum malu. “Padahal Mas enggak baik-baik aja karena rindu. Untungnya sekarang bisa ke

DMCA.com Protection Status