Home / Romansa / Bingkisan Daster Bekas Mertua / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Bingkisan Daster Bekas Mertua: Chapter 41 - Chapter 50

63 Chapters

Bab 41

Bab 41     "Sejak kapan saya di pecat? saya tidak pernah memintamu untuk menggantikan posisiku, jangan sembarangan bicara ya," Galih yang baru saja tiba tersulut emosi.    "Aku tidak sembarangan bicara justru yang aku katakan adalah suatu kebenaran. Untuk apa aku datang ke kantor ini kalau cuma untuk berbohong?" Imbuh pria itu dengan bersungguh-sungguh.     Galih semakin bingung. Di samping kebingungannya emosi juga turut menggebu.     "Tidak bisa begitu! Aku sudah bertahun-tahun bekerja di kantor ini. Selama itu pula tidak ada satupun seseorang yang berani bicara padaku seperti kamu. Terlebih-lebih menggantikan posisiku. Anda tidak bisa bicara seenaknya terhadap saya!" Galih membentak-bentak tidak karuan.     Tingkah Galih membuat geleng-geleng kepala lelaki yang diajak bicara.     "Maaf Pak, saya sebagai karyawan baru di sini, mohon jangan memb
Read more

Bab 42

Bab 42     "Pak, rasanya Bapak tidak pantas berucap seperti itu kepada Kiara!" Lelaki itu angkat bicara.     "Tidakkah Anda punya rasa menghargai terhadap wanita?"      Darah galih kian mendidih mendengar laki-laki asing tersebut.     "Apa pedulimu! Memangnya siapa kau? Sampai berani ikut campur masalahku bersama wanita jalan ini!" jawab galih kasar.     Emosi Galih semakin naik melihat adanya orang yang turut campur dengan pembicaraan mereka.     "Dia rekan kerjaku Galih!" Sebuah suara keras menyapa dari belakang.     Galih menoleh.     Melihat siapa yang datang, spontan Galih menundukkan kepala dan membukukkan tubuh.     "Maaf Pak AlFath, bukan maksud saya untuk berbicara kasar! hanya saja saya menyayangkan Bapak jikalau terlalu percaya kepada perempuan ini!" ucap Ga
Read more

Bab 43

Bab 43           "Buat apa kamu minta maaf sekarang! Sudah lama kau dan keluargamu menyakiti putriku," ucap Pak Alfath.     "Sekarang saya sadar, saya akui saya salah. Mohon Pak, maafkan kami! Saya mewakili keluargaku," ucap Galih dengan air mata menetes ke pipi. sungguh sesuatu perilaku yang tidak pantas dilakukan oleh seorang laki-laki.     "Tutup mulutmu!" Sambar Pak Alfath cepat.     Galih terdiam.     Sejenak ruangan itu hening.     "Astaga ...!" Tiba-tiba Kiara menjerit sambil menepis-nepus pundaknya.     Seekor makhluk kecil merayap-rayap di sana.     Rupanya seekor kecoa sedang merayap di pundak Kiara.       Galih tahu, bahwa binatang serangga itu memang merupakan binatang yang di takuti oleh Kiara. Dengan ragu, Galih mencoba untuk m
Read more

Bab 44

Bab 44       Mendengar ucapan Celine galih yang tadi baru saja ingin beranjak mengurungkan niatnya. Langkah kakinya berhenti.      "Apa maksudmu bicara begitu, Celine?" Tanya Galih.     "Telingamu kan tidak tuli. Aku yakin kau dengar apa yang aku katakan barusan," jawab Celine ketus dan sinis.     "Celine, telingaku memang tidak tuli. Oleh karena itu aku memberitahumu bahwa tidak seharusnya kamu membanding-bandingkan perhatian yang kuberikan sama ibu dan kamu," ucap Galih.     "Apa ...? Harus lah mas! Kalau kau masih tetap mengutamakan ibumu di segala  situasi, maka seharusnya dulu kau tidak perlu menikahiku. Hidup saja kau sama ibu dan saudari perempuanmu! Kau tahu, sebagai seorang istri aku berhak menuntut perhatian lebih darimu. Karena aku adalah masa depanmu. Kalau kau berani macam-macam, Aku tidak akan segan-segan untuk membuangmu. D
Read more

Bab 45

Bab 45      "Galih, jangan main-main dengan ucapanmu! Bagaimana mungkin Kiara adalah putri dari Pak Alfat?" Bu Farah bertanya tidak percaya.     "Buat apa aku bohong? Ibu tahu selama ini hanya ibu lah tempatku bercerita dan berkeluh kesah. Sekarang Galih ingin bertanya, bagaimana kira-kira pendapat ibu?"     Bu Farah tidak langsung menjawab. Sepertinya pikiran wanita itu masih saja merasa shock dan terkejut dengan kenyataan yang baru saja diceritakan oleh anak laki-laki satu-satunya tersebut.     "Aduh Galih, sepertinya ibu belum bisa bicara sekarang," Bu Farah nampak bingung.     "Sebentar, kalau boleh tahu bagaimana  ekspresi yang ditunjukkan oleh Kiara padamu? Kira-kira masih adakah rasa suka ataupun rasa cintanya padamu?" Selidik Bu Farah.     "Aku tidak bisa menebak dan meramal hal itu, Bu!" jawab Galih.   
Read more

Bab 46

Bab 46      Galih yang merasa pusing dengan ulah ibunya akhirnya berjalan menjauh sambil mengacak-acak rambut.     "Ck ... ck ... ck... Anak keras kepala!" Bu Farah geleng-geleng kepala melihat aksi Galih. Entahlah apa yang dipikirkan oleh perempuan paruh baya itu.     Langkah kaki menuju ke kamar dan menghempaskan tubuhnya ke ranjang dengan kasar dan nafas yang berat.     "Ada-ada saja masalah yang semakin membuat pikiran saya kusut. Yang satu belum kelar malah ditambah dengan masalah yang lain,"    "Ibu, mengapa beliau tidak bisa berpikir panjang. Nasib, nasib. Mengapa ibu tidak mengerti keadaan sih?" Galih berbicara sendiri menyesali perbuatan Bu Farah yang dianggapnya kekanak-kanakan.     Tok ... tok ... tok ...     Suara pintu diketuk. Galih tidak begitu peduli.     "Itu sudah pasti ibu. Mau
Read more

Bab 47

Bab 47      "Apa ...? Ibu simpan di rekening Celine?" Galih berucap menganga tidak percaya.      Bu Farah bingung mau menanggapi dengan cara bagaimana.     "Tenang! kamu tenang saja, Galih. Ibu yakin Celine bisa menghabdle uang itu dengan cara yang tepat. Bukankah dia adalah istrimu? Dia istri yang baik.  Lihat saja, belum begitu lama ia menjadi istrimu, dia sudah bisa membuatmu merasakan kebahagiaan dan rasa nyaman. Sedangkan Kiara dulu, tidak pernah," ujar Bu Farah.     "Iya tapi kita rugi besar, Bu. Coba kalau dulu saya tidak bercerai dari Kiara. Sudah pasti hidup kita akan jauh lebih baik. Ayahnya Kiara orang terpandang. Banyak warisan. Mereka orang-orang kaya," tutur Galih.     "Hmm ...," Bu Farah tidak langsung menjawab.     Beliau nampak berpikir dengan mata memandang ke langit-langit.     "Kalau saja Kiara
Read more

Bab 48

Bab 48 "Ibu ...!" Galih mendelikkan mata.     "Pak Alfath yang mana?" wanita itu kebingungan.      "Maaf, Bu. Ini saya, suaminya Kiara!" Galih menjelaskan.      "Kiara ...? Kiara yang  mana lagi?" Wanita paruh baya itu kebingungan.     "Sebentar, sebentar. Dulu, sejak pacaran sama Kiara, yang aku tahu Kiara tinggal di sini. Belakangan aku baru tahu jikalau Kiara adalah putri dari pak Alfat ...,"     "Oooh ... Kiara putrinya Pak Alfath," wanita itu mengangguk-anggukkan kepala.     "Maaf, saya bukan siapa-siapanya Kiara. Kebetulan rumah ini baru saja saya beli dari Bu Ratih, asisten rumah tangganya Pak Alfath,"     "Haaa...? Bu Ratih Asisten Pak Alfath? Bukannya dulu Kiara hanya hidup numpang sama Bu Ratih ...?" ujar Galih terheran-heran.     "Huusst... Jangan sembarangan bicara!
Read more

Bab 49

Bab 49     "Jangan pernah Anda mengaku anak yang Kiara lahirkan sebagai cucumu, Bu Farah! Kalian berdua tidak pantas menyebut-nyebut cucuku sebagai darah daging kalian!" Ucap Pak Alfath tegas.     Bu Farah mendekat dengan sikap santun dan sangat menghormati. Semula Galih ingin mencegat langkah kaki sang ibu. karena khawatir di kalau ibunya kembali ingin berbuat sesuatu yang bisa mengundang perselisihan, namun melihat sikap Bu Farah yang lebih santun, Galih mengurungkan niatnya.     Gerakan langkah kaki Bu Farah mendekati Pak Alfath. Bu Farah sedikit membungkukkan tubuh.     "Pak Alfath, saya tahu Anda adalah orang terhormat perusahaan di mana selama ini Galih bekerja," Bu Farah membuka percakapan dengan sesantun mungkin.     "Terus apa hubungannya dengan kedatangan kalian kemari?" tanya Pak Alfath sengit.     Sebelum menjawab pertanyaan ketus dari
Read more

Bab 50

Bab 50      Dua orang di dalam mobil nampak begitu lesu dan tak banyak bicara. Galih dan Bu Farah benar-benar harus menelan kekecewaan yang besar. Semua yang mereka impikan pupus sudah. Pak Alfath ternyata jauh dari perkiraan mereka. Laki-laki itu tidak bisa ditipu dan dikibuli dengan manisnya kata-kata.      "Sia-sia kita pergi ke rumah pria sialan itu, Bu. Ternyata hanya menuai rasa malu," imbuh Galih bersungut-sungut.      Bu Farah yang sedari tadi diam menoleh, "Malu kenapa, Galih?" Bu Farah bertanya.     "Ibu sih, tadi terlalu merendah. Seperti tidak punya harga diri saja. Malu, Bu. Maluu ... Apa Ibu tidak nyadar?" kembali terlihat Galih bersungut-sungut.     "Tidak usah menyalahkan ibu. Tadi ibu hanya mencoba untuk berusaha. Bukan ingin mempermalukan diri sendiri. Ingat, tadi itu kita belum beruntung untuk menuai keuntungan. Andai saja tadi kita
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status