Bab 44
Mendengar ucapan Celine galih yang tadi baru saja ingin beranjak mengurungkan niatnya. Langkah kakinya berhenti."Apa maksudmu bicara begitu, Celine?" Tanya Galih.
"Telingamu kan tidak tuli. Aku yakin kau dengar apa yang aku katakan barusan," jawab Celine ketus dan sinis.
"Celine, telingaku memang tidak tuli. Oleh karena itu aku memberitahumu bahwa tidak seharusnya kamu membanding-bandingkan perhatian yang kuberikan sama ibu dan kamu," ucap Galih.
"Apa ...? Harus lah mas! Kalau kau masih tetap mengutamakan ibumu di segala situasi, maka seharusnya dulu kau tidak perlu menikahiku. Hidup saja kau sama ibu dan saudari perempuanmu! Kau tahu, sebagai seorang istri aku berhak menuntut perhatian lebih darimu. Karena aku adalah masa depanmu. Kalau kau berani macam-macam, Aku tidak akan segan-segan untuk membuangmu. D
Bab 45 "Galih, jangan main-main dengan ucapanmu! Bagaimana mungkin Kiara adalah putri dari Pak Alfat?" Bu Farah bertanya tidak percaya. "Buat apa aku bohong? Ibu tahu selama ini hanya ibu lah tempatku bercerita dan berkeluh kesah. Sekarang Galih ingin bertanya, bagaimana kira-kira pendapat ibu?" Bu Farah tidak langsung menjawab. Sepertinya pikiran wanita itu masih saja merasa shock dan terkejut dengan kenyataan yang baru saja diceritakan oleh anak laki-laki satu-satunya tersebut. "Aduh Galih, sepertinya ibu belum bisa bicara sekarang," Bu Farah nampak bingung. "Sebentar, kalau boleh tahu bagaimana ekspresi yang ditunjukkan oleh Kiara padamu? Kira-kira masih adakah rasa suka ataupun rasa cintanya padamu?" Selidik Bu Farah. "Aku tidak bisa menebak dan meramal hal itu, Bu!" jawab Galih.
Bab 46 Galih yang merasa pusing dengan ulah ibunya akhirnya berjalan menjauh sambil mengacak-acak rambut. "Ck ... ck ... ck... Anak keras kepala!" Bu Farah geleng-geleng kepala melihat aksi Galih. Entahlah apa yang dipikirkan oleh perempuan paruh baya itu. Langkah kaki menuju ke kamar dan menghempaskan tubuhnya ke ranjang dengan kasar dan nafas yang berat. "Ada-ada saja masalah yang semakin membuat pikiran saya kusut. Yang satu belum kelar malah ditambah dengan masalah yang lain," "Ibu, mengapa beliau tidak bisa berpikir panjang. Nasib, nasib. Mengapa ibu tidak mengerti keadaan sih?" Galih berbicara sendiri menyesali perbuatan Bu Farah yang dianggapnya kekanak-kanakan. Tok ... tok ... tok ... Suara pintu diketuk. Galih tidak begitu peduli. "Itu sudah pasti ibu. Mau
Bab 47 "Apa ...? Ibu simpan di rekening Celine?" Galih berucap menganga tidak percaya. Bu Farah bingung mau menanggapi dengan cara bagaimana. "Tenang! kamu tenang saja, Galih. Ibu yakin Celine bisa menghabdle uang itu dengan cara yang tepat. Bukankah dia adalah istrimu? Dia istri yang baik. Lihat saja, belum begitu lama ia menjadi istrimu, dia sudah bisa membuatmu merasakan kebahagiaan dan rasa nyaman. Sedangkan Kiara dulu, tidak pernah," ujar Bu Farah. "Iya tapi kita rugi besar, Bu. Coba kalau dulu saya tidak bercerai dari Kiara. Sudah pasti hidup kita akan jauh lebih baik. Ayahnya Kiara orang terpandang. Banyak warisan. Mereka orang-orang kaya," tutur Galih. "Hmm ...," Bu Farah tidak langsung menjawab. Beliau nampak berpikir dengan mata memandang ke langit-langit. "Kalau saja Kiara
Bab 48"Ibu ...!" Galih mendelikkan mata. "Pak Alfath yang mana?" wanita itu kebingungan. "Maaf, Bu. Ini saya, suaminya Kiara!" Galih menjelaskan. "Kiara ...? Kiara yang mana lagi?" Wanita paruh baya itu kebingungan. "Sebentar, sebentar. Dulu, sejak pacaran sama Kiara, yang aku tahu Kiara tinggal di sini. Belakangan aku baru tahu jikalau Kiara adalah putri dari pak Alfat ...," "Oooh ... Kiara putrinya Pak Alfath," wanita itu mengangguk-anggukkan kepala. "Maaf, saya bukan siapa-siapanya Kiara. Kebetulan rumah ini baru saja saya beli dari Bu Ratih, asisten rumah tangganya Pak Alfath," "Haaa...? Bu Ratih Asisten Pak Alfath? Bukannya dulu Kiara hanya hidup numpang sama Bu Ratih ...?" ujar Galih terheran-heran. "Huusst... Jangan sembarangan bicara!
Bab 49 "Jangan pernah Anda mengaku anak yang Kiara lahirkan sebagai cucumu, Bu Farah! Kalian berdua tidak pantas menyebut-nyebut cucuku sebagai darah daging kalian!" Ucap Pak Alfath tegas. Bu Farah mendekat dengan sikap santun dan sangat menghormati. Semula Galih ingin mencegat langkah kaki sang ibu. karena khawatir di kalau ibunya kembali ingin berbuat sesuatu yang bisa mengundang perselisihan, namun melihat sikap Bu Farah yang lebih santun, Galih mengurungkan niatnya. Gerakan langkah kaki Bu Farah mendekati Pak Alfath. Bu Farah sedikit membungkukkan tubuh. "Pak Alfath, saya tahu Anda adalah orang terhormat perusahaan di mana selama ini Galih bekerja," Bu Farah membuka percakapan dengan sesantun mungkin. "Terus apa hubungannya dengan kedatangan kalian kemari?" tanya Pak Alfath sengit. Sebelum menjawab pertanyaan ketus dari
Bab 50 Dua orang di dalam mobil nampak begitu lesu dan tak banyak bicara. Galih dan Bu Farah benar-benar harus menelan kekecewaan yang besar. Semua yang mereka impikan pupus sudah. Pak Alfath ternyata jauh dari perkiraan mereka. Laki-laki itu tidak bisa ditipu dan dikibuli dengan manisnya kata-kata. "Sia-sia kita pergi ke rumah pria sialan itu, Bu. Ternyata hanya menuai rasa malu," imbuh Galih bersungut-sungut. Bu Farah yang sedari tadi diam menoleh, "Malu kenapa, Galih?" Bu Farah bertanya. "Ibu sih, tadi terlalu merendah. Seperti tidak punya harga diri saja. Malu, Bu. Maluu ... Apa Ibu tidak nyadar?" kembali terlihat Galih bersungut-sungut. "Tidak usah menyalahkan ibu. Tadi ibu hanya mencoba untuk berusaha. Bukan ingin mempermalukan diri sendiri. Ingat, tadi itu kita belum beruntung untuk menuai keuntungan. Andai saja tadi kita
Bab 51 "Celine, memangnya berapa kira-kira uang yang akan Galih dan ibunya serahkan padamu? Kamu tidak bohong kan, Sayang?" seorang laki-laki berpostur tinggi dengan kulit kecoklatan dan rambut sedikit gondrong bertanya pada Celine. "Buat apa aku bohong sama kamu, Sayang? Ini aku serius lho. Sebentar lagi usaha properti yang kau kelola akan bisa lebih dikembangkan dengan uang uang itu. Bagaimana uang dua ratus juta yang aku serahkan kemarin? Apakah cukup untuk menambah kekurangan kemarin?" Celine bertanya. "Tapi kamu tidak menggunakan uang itu untuk berfoya-foya lagi kan? Kamu tidak menghabiskan uang-uang itu ke club malam kan? Jangan katakan bila kamu memberikan uang itu kepada wanita-wanita jalang yang menjajakan diri di sana," ucap Celine menyelidiki. Lelaki yang ia ajak bicara mengatur tempat duduk tepat di samping Celine. Tangan kanan pria itu meraih jemari Ce
Bab 52... "Darimana saja kamu, Celine? Jam segini baru pulang... !" Suara Bu Farah menyambut kedatangan Celine yang baru saja datang tergopoh-gopoh. "Dari rumah Ibu, Mas," jawab Celine pendek. "Dari rumah ibumu? Nginep di sana? Kenapa nggak bilang-bilang dulu sama Galih, ? Dia itu kan suami kamu," tegur Bu Farah. "Halah ... hanya karena dia berstatus suamiku maka menurut ibu ke mana-mana aku harus bilang dulu sama dia? Nggak begitu juga kali ...," tanggap Celine bersungut-sungut. "Bagaimanapun, Galih itu adalah suami kamu. Sebagai seorang istri, kamu wajib menghormatinya, Nak," Bu Farah mencoba menasehati. "Bu, istri zaman sekarang beda sama istri zaman dahulu. Istri zaman dulu mah kampungan dan bego bego, diam ajh di rumah bergantung sepenuhnya sama suami. Saking kampungannya, mereka sangat mudah untuk di bodoh
Bab 63 Disebuah teras hotel, dua orang tengah bertengkar mulut. Seorang perempuan dengan muka kusam dan pakaian yang sangat biasa-biasa saja, mengomel ngomel tidak karuan kepada seorang laki-laki berpakaian necis. Terlihat sekali jika omelan perempuan itu tak berguna dimata laki-laki kaya di depannya. "Praska kau tidak boleh melepaskan tanggung jawab begitu saja. Ingat ..! aku ini sedang mengandung anakmu. Sebentar lagi ia akan lahir ke dunia. Kau harus bertanggung jawab penuh, Praska!" Celine berucap tegas. "Enak saja ... Apa buktinya kalau janin yang sedang kau kandung itu adalah putraku? Kau tidak boleh asal bicara begitu saja. Minta saja pertanggungjawaban sama Galih. Dia kan mantan suamimu. tentu saja yang kau kandung di perutmu juga darah dagingnya, ngapain minta tanggung jawab sama saya. Kurang kerjaan aku ngurus anak orang," timp Praska jengkel. 
Bab 62 Celine mengelus perutnya. Bahunya bersandar pada seorang lelaki yang bebas mengekspos tubuhnya. "Sayang, kapan kau akan menikahiku?"tanya Celine. "Sabar dulu, Sayang. Oh ya bagaimana uang dari mertuamu kemarin? Apakah sudah ada? Usahaku sedang membutuhkan banyak uang ini. Supaya lebih lancar ya dana juga harus banyak masuk," Praska memulai bahasan. "Soal itu sih aku belum sempat menanyakannya sama Galih dan ibunya. Lagian hubungan di antara kami juga sedang tidak baik." Jawab Kiara. "Haduuh, Sayang. Rugi dong kalau kamu tak ambil uang itu. Lumayan buat nambah isi kantong," ucap Praska lagi. Celine diam benerapa saat. "Oh ya, baiklah. Nanti akan ku coba untuk kembali berbicara kepada mereka," jawab Kiara. "Tapi janji, Ya, Sayang. Jamu harus cepet-
Bab 61 Kiara berjalan menyusuri lorong kantor. Memasuki ruang kerjanya. Ia merasakan ada hal yang berbeda hari ini. Ya, ia tersadar biasanya ada seseorang yang akan menyapanya setiap pagi, dan kali ini tidak. Ingatannya langsung tertuju pada seseorang. "Huuuh, mengapa harus aku mengingatnya? Kiara, lupakan dia," batin Kiara bersikeras meyakinkan hati. Jam kerja tiba, Kiara mulai sibuk menyelesaikan satu persatu apa yang menjadi tugasnya. Tiba-tiba saja ia merasa kesulitan. "Ah laki-laki itu lagi ...!" Gerutu Kiara. Kembali ia tersadar jikalau kapanpun ia mengalami kesulitan pasti akan bertanya pada sosok yang bernama Mahendra. Suasana memang benar-benar tak lagi sama. Mau tidak mau Kiara mengaku jika merasakan sepi tanpa kehadiran Mahendra. &nbs
Bab 60 "Ada perlu apa kau pada orang tuaku ...?" desak Kiara. "Apa kau ingin mengumbar kata-kata yang sama sekali tidak perlu?" "Kiara, kau sungguh marah padaku hanya karena kata-kata di kertas itu kemarin?" Mahendra bertanya dengan mata sendu dan memerah. "Tanya saja dirimu. Aku kasih tahu kamu sekarang, bahwa aku sama sekali tidak menyukai kata-kata seperti itu," lanjut Kiara lagi. "Kiara, maafkan aku. Aku sungguh tidak sengaja meletakkan kertas itu pada dokumenmu. Karena kau sudah terlanjur melihat, maka aku akan berkata jujur. Tulisan itu kutulis tepat pada hari di mana Galih mengucapkan ikrar ijab Kabul kalian di depan penghulu. Sekarang aku katakan, Kiara. Aku mencintaimu sejak dulu. Tapi ternyata kau lebih memilih Galih. Terus terang aku kecewa. Namun, aku tidak bisa berbuat banyak. Dan sama sekali tidak bisa menyala
Bab 59 "Lho kok ini mapnya ada dua ...? Lhoo ... Yang ini beda, punya siapa ya?" Kiara menggumam. Tangannya memegang isi map. Ingin membukanya. Hupp ... Selembar kertas terjatuh. Tiara melirik ke kertas tersebut, dan memperhatikannya baik-baik. Seketika dahinya mengernyit. "Kenapa ada fotoku di sini?" Dan bukan hanya foto itu yang mengusik perhatian Kiara, namun goresan-goresan kata di sana juga cukup membuatnya bertanya-tanya. Karena rasa penasaran ia mencoba untuk membaca goresan tinta yang tertoreh di kertas putih tersebut. [Ya, Tuhan ... ternyata selama ini aku mempunyai perasaan yang salah. Aku mencintai wanita yang tida
Bab 58 Sementara itu, di sebuah apartemen. Seorang pria duduk menghadap ke layar laptop. Mengerjakan kinerja yang belum selesai tadi siang. Sebentar-sebentar matanya melirik ke sebuah potret yang sengaja ia pajang pada dinding ruang kerjanya. Sebuah potret wanita yang ia kagumi sejak dahulu. Perlahan ia menarik sebuah lembaran yang ia tulis beberapa tahun yang lalu. Dimana disana ia mencurahkan rasa kecewa yang dalam ketika mendengar wanita yang ia puja-puja akan menikah dengan pria lain. Sebuah foto kecil menyertai lembaran tersebut dengan lukisan wajah yang cukup ayu dengan sorot mata jernih dan bulu mata yang lentik. "Ya Tuhan, seandainya saja ia bisa benar-benar menjadi milikku," gumamnya dalam hati. Sebenarnya siapakah wanita yang ia maksud? Wanita itu adala
Bab 57 Galih menyibak tirai, seberkas sinar cahaya matahari pagi menerobos masuk. Yang melirik jam tangannya, "Sudah hampir pukul 08.00 pagi. Astaga ...!" Lelaki itu tereranjat. Dengan bergegas, Galih menuju ke kamar mandi. Sepeninggal Galih, Celine membuka mata. Matanya tertuju pada tirai yang sudah tersingkap. "Sudah siang rupanya ..." Celine menggeliat. Namun sejenak kemudian ia kembali menarik selimut. "Ah biarin ajah ... Toh ada Bu Farah yang mengerjakan semua kerjaan rumah," imbuhnya seraya kembali meringkuk. Baru saja ia ingin kembali terlelap, tiba-tiba Celine merasa perutnya bergolak. "Aduh ... Kenapa ini perut? Kok jadi mules sih ..." Gerutunya. "Hueekh ...!" Celine tidak tahan menahan
Bab 56 "Celine, memangnya apa saja sih yang kamu laporin sama anakku? Sampai-sampai dia sekarang membenciku sedemikian rupa. Apakah kamu memang berniat untuk memisahkan kami?" Bu Farah terlihat geram. Celine yang baru saja pulang, terlihat melengos dengan pertanyaan Bu Farah. "Huuh ... Siapa juga yang ingin memisahkan kalian, mau ibu ambil Galih seutuhnya pun aku tak mengapa," tanggap Celine cuek. "Apa maksudmu?" Bentak Bu Farah. "Dasar aneh ...," celetuk Celine sambil berlalu. "Kamu dengar apa tidak aku tanya apa?" hlang Bu Farah. "Halah ... Tidak usah terlalu banyak tanya, Bu. Apa Ibu benar-benar ingin aku memisahkan ibu sama Mas Galih? Kalau ibu menginginkannya tidak apa-apa, akan kulakukan dengan senang hati," ujar Celine sinis.  
Bab 55 "Wah, lumayan juga ini duitnya, Mas...!" Sinar mata Celine berbinar-binar melihat lembaran-lembaran uang di tangan Galih. "Ya, cukuplah buat bayar sewa rumah dan untuk biaya makan kita," sahut Galih. "Hmmm ... Cuma buat bayar sewa rumah dan makan doang?" Tanya Celine dengan sungut manjanya. Galih sudah bisa membaca apa yang diinginkan istri cantiknya tersebut. "Iya, Sayang ... Jangan cemberut dulu dong," Galih membelai dagu Celine lembut. "Kamu jangan khawatir, Mas pasti akan memberimu sebagian dari uang-uang ini," lanjut Galih kemudian. Mendengarnya, wajah Celine berubah lebih sumringah. "Mas ...!" rengeknya. "Ya, Sayang" "Mmm ... Mas mau kasih berapa buat aku?" ucapnya dengan manja yang di buat-buat.