Home / Romansa / My Imaginary Husband / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of My Imaginary Husband: Chapter 11 - Chapter 20

32 Chapters

CHAPTER 11 Yang Sebenarnya

Segala amarah serta kekecewaanku menguap. Pertanyaan yang sudah kususun seketika terlupakan. Digantikan oleh rasa takut serta penyesalan yang perlahan-lahan menjalari hatiku. Mata ayahku terpejam. Dia tampak sangat pucat dan rapuh. Seiring langkahku yang semakin mendekat, aku tak bisa membendung air mataku yang mengalir semakin deras. Kubekap mulutku untuk menahan suara isakanku agar tidak keluar. Mungkin Papa mendengar suaraku karena ayahku bergerak, kemudian matanya terbuka. Ketika melihat kedatanganku, dia seperti berusaha untuk terlihat baik-baik saja dengan menyunggingkan senyum jailnya yang sering kulihat, tetapi aku tahu dia kesakitan. Tangannya terulur meraih tanganku. Aku balas menggenggam tangannya, kemudian meremasnya lembut.     “Nara sayang,” panggilnya lemah. “Akhirnya kamu pulang, Sayang. Papa sangat merindukanmu.”
last updateLast Updated : 2021-10-22
Read more

CHAPTER 12 Ego

Aku meregangkan tubuh seraya mengeluarkan suara erangan yang terdengar tak pantas dan nggak cewek banget. Kemudian mengerjap-ngerjap dan menatap nyalang langit-langit tempatku berada. Aku merasakan disorientasi. Butuh beberapa saat untukku menyadari bahwa aku tidur di kamarku sendiri—di rumahku. Aku mendesah kecewa dan penuh kesengsaraan. Andai tak mendengar sendiri penjelasan dokter mengenai kondisi kesehatan Papa, sebenarnya aku masih enggan pulang. Itu berarti aku sudah menyerah. Namun, kenyataannya di sinilah aku sekarang. Aku sempat bertanya-tanya mengapa mereka  akhirnya mau memberitahuku mengenai kondisi Papa setelah bertahun-tahun merahasiakanya dariku? Mungkin mereka memanfaatkannya supaya aku mau pulang, atau karena mereka akhirnya sadar bahwa aku sudah cukup dewasa dan berhak mengetahui tentang semua ini
last updateLast Updated : 2021-10-22
Read more

CHAPTER 13 Mau Ngomong Apa?

    “Bukannya tadi lo bilang kalau lo sibuk?” tanyaku tanpa menatap pada Xabi.     “Tadi,” ujarnya seolah satu kata itu bisa menjelaskan segalanya.     Aku menggerutu atas jawabannya yang tidak menjelaskan apa pun, kemudian mulai melamun lagi. Sekitar satu jam lalu, dia datang ke rumah sakit dengan alasan ingin menjenguk Papa. Kemudian, dengan ekspresi tak acuh mengajakku pulang bersama. “Sekalian kita mampir ke hotel,” ujarnya, kemudian menambahkan dengan berbisik, “gue tahu lo sudah nggak sabar.” Ingin sekali aku menempeleng pemuda tidak tahu malu ini untuk menghapus
last updateLast Updated : 2021-10-22
Read more

CHAPTER 14 Hitam di Atas Putih

Aku tersaruk-saruk ketika berusaha menyejajari langkah Xabi sembari menyeret koperku yang sepertinya bertambah berat kalau dibandingkan dengan saat aku datang ke hotel ini. Aku tidak tahu mengapa aku harus repot-repot mengejar Xabi dan berlarian di lobi hotel seakan-akan aku cinta setengah mati kepada pemuda itu. Padahal setelah dipikir-pikir lagi, apa yang kukatakan memang benar adanya. Jadi, aku sama sekali tidak tahu alasan mengapa bayi besar ini merajuk padaku. Setelah membuatku merasa bersalah dikarenakan caranya menatapku di kamar tadi, sekarang dia mendramatisir aksinya dengan mogok bicara padaku. Apalagi raut wajahnya sama sekali tidak sedap dipandang. Orang lain yang melihat kami mungkin akan mengira kami sepasang kekasih.     Oke. Aku dan Xabi memang bertunangan, tapi bukan berarti kami bisa digo
last updateLast Updated : 2021-10-22
Read more

CHAPTER 15 Gusarmu Bahagiaku

    Cowok Berlesung Pipi    :    Ra, bagaimana kabarmu? Seminggu yang lalu aku datang ke hotel tempatmu menginap, tetapi kata resepsionis kamu sudah lama check-out. Sekarang kamu di mana? Kamu baik-baik saja, ‘kan? Sebenarnya aku ragu mengirim pesan ke nomor ini, tapi aku mengkhawatirkanmu. Kalau kamu sudah pulang dan sudah membaca pesan ini, tolong balas secepatnya supaya aku tenang.     Cowok Berlesung Pipi    :    Aku merindukanmu. Maaf karena waktu itu aku sudah bersikap seperti berengsek.     Cowok Berlesung Pipi    :
last updateLast Updated : 2021-11-04
Read more

CHAPTER 16 Makan Siang dan Pertengkaran

    “Tante nggak menyangka kalau kalian akan datang lebih cepat, jadi masakannya belum selesai. Kamu jadi repot-repot bantuin masak.”    Aku tersenyum meskipun kusadari bahwa Tante Rani tidak bisa melihatnya karena posisiku yang memunggunginya. Konsentrasiku hampir sepenuhnya terpusat pada capcay di hadapanku. Tante Rani memasukkan potongan sosis dan bakso, kemudian kuaduk masakan itu dengan penuh kehati-hatian dan kasih sayang.Bukannya aku sama sekali asing dengan dapur, tetapi biasanya aku datang ke dapur hanya untuk mengambil makanan. Paling banter aku memasak mi instan. Untuk memasak makanan sungguhan, ini pengalaman pertama bagiku. Aku berusaha agar tidak terlihat kikuk ketika memegang spatula. Singkat cerita, aku hanya membantu mengadu
last updateLast Updated : 2021-11-08
Read more

CHAPTER 17 Blokir

Lagi-lagi nama Xabian yang tertera pada layar ponselku. Tanpa keraguan sedikit pun, aku menolak panggilan itu untuk yang kesekian kalinya. Sudah delapan hari berlalu sejak acara makan siang penuh bencana itu dan aku masih terus menghindari Xabian. Kemudian, terdengar denting notifikasi dari ponselku. Tampaknya Xabian masih tidak mau menyerah karena sekarang dia mengirimiku pesan.    Tuan Perajuk    :    Ra, kita harus bicara.    Ponselku berdenting lagi.    Tuan Perajuk    :    Sampai kapan lo
last updateLast Updated : 2021-11-15
Read more

Chapter 18 Kerja

Mereka menatapku seolah aku baru saja mengumumkan akan berparade di jalan raya sembari bertelanjang bulat. Rahang ketiganya ternganga. Ingin rasanya aku meleburkan diri dengan kursi yang tengah kududuki. Wajahku terasa panas, bisa dipastikan sekarang mulai memerah. Aku berdeham, lalu melanjutkan, “Aku … ada yang menawariku menjadi model untuk produk mereka. Aku ingin mencoba. Aku bosan setiap hari hanya di rumah tanpa mengerjakan apa pun yang berguna.” Yang terpenting, aku ingin terlepas dari bayang-bayang nama besar kedua orang tuaku.“Lo bisa kerja di kantor sama gue, Ra. Jadi sekretaris gue atau jadi salah satu desainer di perusahaan kita. Desain lo bagus-bagus,” ujar Gamma.“Atau kerja di butik Mama,” Mama menyahut.Aku sudah menduga hal ini. Mereka pasti akan berusaha
last updateLast Updated : 2022-02-16
Read more

Chapter 19 Partner

“Pagi Ma, Pa,” sapaku.Aku turun bersama Gamma. Dia sudah rapi dan siap berangkat ke kantor, begitu pula denganku yang sudah siap untuk berangkat ke pemotretan pertamaku. Jika Gamma begitu formal dengan setelan jasnya, penampilanku justru kebalikannya. Aku hanya mengenakan celana jins ketat serta kemeja putih oversize. Rambutku dikucir ekor kuda. Aku membawa ransel kecil sekadar untuk membawa ponsel dan dompet. Kukecup pipi Papa dan Mama bergantian. Keduanya balas mengecup pipi kemudian keningku, kemudian tersenyum padaku. Aku nyengir lebar.“Jangan nyengir terus. Nanti wajah lo bisa-bisa retak,” gerutu Gamma sembari menuang jus jeruk untuk dirinya sendiri. Cengiranku semakin lebar dan Gamma membalas dengan memutar-mutar bola matanya.
last updateLast Updated : 2022-02-17
Read more

Chapter 20 Pemotretan

Baru sekitar dua jam kemudian aku siap menjalani pemotretan. Aku harus berupaya keras untuk meredam emosiku. Dan sekarang, kemarahanku berubah menjadi perasaan tidak enak hati kepada tim yang bekerja. Mereka tidak mengeluh meski kutahu mereka pasti kesal padaku.Aku keluar dari ruanganku dan menemukan Xabi yang ternyata sudah memulai sesinya lebih dulu. Sedangkan Gamma tidak tampak batang hidungnya sama sekali—mungkin dia sudah pergi ke kantornya sendiri. Aku duduk menunggu sesi pemotretanku tiba.Selama menunggu, diam-diam aku mengawasi Xabi yang tampak begitu santai. Dia berpose seolah di tempat ini hanya ada dirinya seorang. Xabi tampak begitu menikmatinya. Dan aku tersadar kalau memang inilah dunianya. Dia sudah berkecimpung di dunia hiburan semenjak usianya masih belasan tahun. Kami bersitatap dan kulihat ada kelegaan pada sorot matanya dan aku cepat
last updateLast Updated : 2022-02-21
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status