“Tante nggak menyangka kalau kalian akan datang lebih cepat, jadi masakannya belum selesai. Kamu jadi repot-repot bantuin masak.”
Aku tersenyum meskipun kusadari bahwa Tante Rani tidak bisa melihatnya karena posisiku yang memunggunginya. Konsentrasiku hampir sepenuhnya terpusat pada capcay di hadapanku. Tante Rani memasukkan potongan sosis dan bakso, kemudian kuaduk masakan itu dengan penuh kehati-hatian dan kasih sayang.
Bukannya aku sama sekali asing dengan dapur, tetapi biasanya aku datang ke dapur hanya untuk mengambil makanan. Paling banter aku memasak mi instan. Untuk memasak makanan sungguhan, ini pengalaman pertama bagiku. Aku berusaha agar tidak terlihat kikuk ketika memegang spatula. Singkat cerita, aku hanya membantu mengadu
Lagi-lagi nama Xabian yang tertera pada layar ponselku. Tanpa keraguan sedikit pun, aku menolak panggilan itu untuk yang kesekian kalinya. Sudah delapan hari berlalu sejak acara makan siang penuh bencana itu dan aku masih terus menghindari Xabian. Kemudian, terdengar denting notifikasi dari ponselku. Tampaknya Xabian masih tidak mau menyerah karena sekarang dia mengirimiku pesan. Tuan Perajuk : Ra, kita harus bicara. Ponselku berdenting lagi. Tuan Perajuk : Sampai kapan lo
Mereka menatapku seolah aku baru saja mengumumkan akan berparade di jalan raya sembari bertelanjang bulat. Rahang ketiganya ternganga. Ingin rasanya aku meleburkan diri dengan kursi yang tengah kududuki. Wajahku terasa panas, bisa dipastikan sekarang mulai memerah. Aku berdeham, lalu melanjutkan, “Aku … ada yang menawariku menjadi model untuk produk mereka. Aku ingin mencoba. Aku bosan setiap hari hanya di rumah tanpa mengerjakan apa pun yang berguna.” Yang terpenting, aku ingin terlepas dari bayang-bayang nama besar kedua orang tuaku.“Lo bisa kerja di kantor sama gue, Ra. Jadi sekretaris gue atau jadi salah satu desainer di perusahaan kita. Desain lo bagus-bagus,” ujar Gamma.“Atau kerja di butik Mama,” Mama menyahut.Aku sudah menduga hal ini. Mereka pasti akan berusaha
“Pagi Ma, Pa,” sapaku.Aku turun bersama Gamma. Dia sudah rapi dan siap berangkat ke kantor, begitu pula denganku yang sudah siap untuk berangkat ke pemotretan pertamaku. Jika Gamma begitu formal dengan setelan jasnya, penampilanku justru kebalikannya. Aku hanya mengenakan celana jins ketat serta kemeja putih oversize. Rambutku dikucir ekor kuda. Aku membawa ransel kecil sekadar untuk membawa ponsel dan dompet. Kukecup pipi Papa dan Mama bergantian. Keduanya balas mengecup pipi kemudian keningku, kemudian tersenyum padaku. Aku nyengir lebar.“Jangan nyengir terus. Nanti wajah lo bisa-bisa retak,” gerutu Gamma sembari menuang jus jeruk untuk dirinya sendiri. Cengiranku semakin lebar dan Gamma membalas dengan memutar-mutar bola matanya.
Baru sekitar dua jam kemudian aku siap menjalani pemotretan. Aku harus berupaya keras untuk meredam emosiku. Dan sekarang, kemarahanku berubah menjadi perasaan tidak enak hati kepada tim yang bekerja. Mereka tidak mengeluh meski kutahu mereka pasti kesal padaku.Aku keluar dari ruanganku dan menemukan Xabi yang ternyata sudah memulai sesinya lebih dulu. Sedangkan Gamma tidak tampak batang hidungnya sama sekali—mungkin dia sudah pergi ke kantornya sendiri. Aku duduk menunggu sesi pemotretanku tiba.Selama menunggu, diam-diam aku mengawasi Xabi yang tampak begitu santai. Dia berpose seolah di tempat ini hanya ada dirinya seorang. Xabi tampak begitu menikmatinya. Dan aku tersadar kalau memang inilah dunianya. Dia sudah berkecimpung di dunia hiburan semenjak usianya masih belasan tahun. Kami bersitatap dan kulihat ada kelegaan pada sorot matanya dan aku cepat
“Lo nggak mau mampir, ‘kan?” Nara bertanya ketika mobil Xabi melewati gerbang rumahnya. Xabi tak menjawab. Pandangannya lurus ke depan. Nara mendengus ketika tidak mendapatkan respons yang diinginkannya.Begitu pemotretan selesai, Xabi memerintahkan supaya gadis itu pulang bersamanya. Naraya menurut meski sembari bersungut-sungut. Dia mengajak gadis itu ke sebuah taman. Ia ingin berbicara lebih banyak dengan Naraya, tetapi kata-kata itu berhenti di ujung lidahnya. Lidahnya terasa kelu. Apalagi ketika melihat Naraya yang masih saja menjaga jarak setelah apa yang mereka lewati hari ini.Pemuda itu membantu Naraya melepaskan sabuk pengaman, kemudian sebelum Naraya sempat menghindar, dia mengecup pipi gadis itu, kemudian langsung turun dari mobil untuk membukakan pintu. Naraya sempat tertegun meski hanya sejenak, kemudian dia turun dari mobil dan
Aku memakai gaun hitam gemerlapan berlengan panjang dengan belahan dada rendah. Gaun ini terbuat dari kain sutra berwarna hitam pekat, dilapisi kain hitam berkerlap-kerlip yang memberikan kesan seolah gaun ini ditaburi serbuk bintang. Roknya melambai di belakangku dengan belahan yang mengekspos kakiku ketika melangkah. Bibirku diberi pewarna merah pekat, dan garis mataku dibuat lebih tebal dengan sudut tajam.Ketika memejamkan mata, bulu mataku terasa menggelitik pipi. Rambutku digulung ke atas sehingga leher serta dadaku semakin terekspos. Perias itu menyematkan hiasan perak berbentuk jalinan daun dan bunga-bunga kecil. Tanpa perhiasan apa pun selain cincin batu rubi di jari manis tangan kananku. Satu kata yang bisa menggambarkan penampilanku sekarang. Brutal dan kejam.Kupastikan riasanku baik-baik saja sebelum
“Kenapa lo? Muka lo lecek banget.”Aku hanya melirik sekilas ke arah Gamma sembari melemparkan tatapan setajam katana, kemudian mendengus keras. Kuangkat gelas berisi angur ke bibirku, kemudian menghabiskannya dalam sekali tegukan. Ketika ada pelayan yang lewat, aku menyambar gelas yang baru, kemudian mengembalikan gelas yang sudah kosong.Aku bersandar pada kursi di sudut ruangan, sebisa mungkin berusaha menjauhi kerumunan dan melebur bersama bayang-bayang. Sudah hampir pukul sebelas malam dan aku dengan gigih menjauh dari semua orang. Yang kuinginkan hanyalah ketenangan dan waktu untuk menata pikiranku. Hal terakhir yang kubutuhkan ialah orang-orang yang berusaha menarik perhatianku, bersikap sok akrab, dan sering kali berlebihan dalam mencari muka.Entah sudah berapa banyak anak-anak rekan bisnis ayah
“Gue minta maaf,” gumam Xabian. Aku berpaling padanya dan menemukannya sedang termenung memandang langit malam.Kami kini berdiri di sebuah patio, menjauh sejenak dari keriuhan pesta di dalam dan menikmati udara malam ibukota serta ketenangan. Sudah hampir setengah jam kami berada di sini, diselubungi keheningan dan gelapan, dan itu merupakan kalimat pertama yang dikatakan Xabian. Sebisa mungkin kujauhkan tanganku dari bibir dan berusaha keras untuk tidak menyentuhnya.Aku masih bisa merasakan manis dan lembutnya bibir Xabian. Rasa ketika dia mendesakkan tubuhnya padaku. Aku yakin aroma parfumnya menempel pada tubuhnya, begitu juga aroma parfumku. Napasku terengah-engah dan wajahku merah padam ketika kami akhirnya berhasil melepaskan diri. Saat aku kembali, ternyata Xabian masih menungguku di lorong. Dia mengajakku ke sini, dan setelah yang terjadi
Ketika Xabian mendorongku ke dinding dengan kasar, kemudian mencengkeram pergelangan tanganku dengan begitu kencang dan mulai menciumku, seketika bayangan tentang tangan-tangan yang memegangiku serta membekapku supaya tidak berteriak langsung muncul begitu saja ke permukaan benakku.Aku tak bisa berhenti gemetar, bahkan ketika Gamma, serta Mama dan Papa sudah datang sekalipun. Air mataku seolah tak ada habisnya. Mereka memanggil seorang dokter, kemudian dokter itu menyuntikkan entah apa ke dalam tubuhku sehingga aku tenggelam ke dalam kegelapan yang pekat.Setelah enam tahun berlalu, kupikir aku sudah benar-benar melupakan kejadian itu, tetapi ternyata belum. Kini, bayangan-bayangan itu bahkan terus mengejarku ketika aku tidur. Sering kali aku terbangun ketika tengah malam, dengan tangan mencekik leherku sendiri, napas tersengal-sengal, serta bersimbah peluh. B
Empat hari sudah berlalu semenjak pagi yang penuh bencana itu. Jika ada seseorang yang memiliki kemampuan membuat sesuatu yang sepele menjadi begitu rumit, dan berakhir dengan pertengkaran tak berujung, maka Xabian sangat yakin Naraya-lah orangnya.Saat itu, Xabian baru saja selesai membuat sarapan untuk Naraya dan berniat untuk pergi karena hari itu dia ada jadwal pekerjaan. Kemudian, tiba-tiba Naraya datang ke dapur. Xabian bisa melihat senyum gadis itu yang seketika sirna saat melihatnya. Gadis itu menanyakan perihal keberadaannya di apartemen itu dengan suara melengking yang menyebabkan telinganya berdenging.“Gamma yang minta gue nginep di sini.” Mata Naraya melebar tak percaya mendengar jawabannya. Xabian mendengus, seraya menambahkan, “Kalau bukan karena gue yang ngerasa nggak enak buat nolak permintaan abang lo, gue juga lebih milih ti
Cahaya matahari yang berhasil menerobos masuk ke kamar melalui celah tirai serasa menusuk-nusuk mataku. Aku mengernyit, merasakan denyutan samar di kepalaku. Tubuhku terasa lemah. Aku membuka mata, kemudian menatap ke sekeliling.Aku tidak mengenali ruangan yang didominasi dengan warna hitam dan abu-abu tempatku berada sekarang. Kamarku tidak semuram ini, dan tentu saja, kamarkku dipenuhi buku dan pernak-pernik mengenai The Stargazer. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan menyadari betapa polosnya tempat ini. Hanya ada sebuah lemari besar berwarna hitam mengkilap, cermin setinggi badan di sisi lain ruangan, sebuah meja yang sepertinya difungsikan sebagai meja belajar sekaligus meja rias (genit sekali dia!), serta sebuah rak buku kecil. Di sebelah tempat tidur, terdapat sebuah nakas. Sepertinya pemilik tempat ini begitu suka memandangi dirinya sendiri, dan seketika teringat kalau semalam Xabia
“Lo di mana?” tanya Xabian. Rasa ngantuk dan peningnya lenyap begitu saja begitu mendengar suara Naraya. Dia sudah bangkit untuk menyambar jaket, kunci mobil, serta dompetnya ketika pesan dari Naraya berisi lokasi tempat gadis itu berada sekarang masuk. Xabian bahkan tak mempedulikan rambutnya yang acak-acakan serta wajah sembapnya. Pemuda itu melesat bak anak panah.Dia teringat ketika terakhir kali Naraya berbicara dengan suara seperti itu. Bukan sesuatu yang baik. Bayangan Naraya yang gemetaran dan bersimbah air mata memasuki benaknya tanpa bisa ia cegah. Xabian menggeleng-geleng, seolah berusaha menepis pikiran-pikiran negatif yang menyerbunya. Tidak, tidak, tidak! Naraya baik-baik saja.Lalu lintas yang macet menghambat perjalanannya. Pemuda itu mengumpat dan menyumpah, memuntahkan kata-kata kasar
Aku dan Orion hanya saling menatap untuk beberapa saat yang terasa seperti seabad lamanya. Aku terlalu terguncang untuk melakukan sesuatu. Aku bahkan tidak bisa memercayai diriku sendiri untuk berbicara, takut kalau-kalau mengatakan sesuatu yang bodoh. Jantungku berdentam-dentam menghantam tulang rusuk sampai rasanya sakit, seolah dia ingin meloncat keluar dari tubuhku.“Hey! Bernapaslah!” kata Orion diwarnai kegelian. Suaranya masih selembut saat terakhir kali aku mendengarnya, yang bisa dibilang hampir setiap hari. Dia mengirim banyak pesan suara yang tak kubalas, tetapi sering kudengarkan.Aku bahkan baru menyadari kalau sedari tadi sudah menahan napas. Aku menarik napas dalam-dalam dan bisa melihat Orion sedang menahan senyum. Kenakalan menari-nari di matanya. Dia masih setampan dan semenawan terakhir kali kami bertemu, lebih malah. Lekuk kecil
Xabian berjalan memasuki pusat perbelanjaan menuju restoran tempat dia dan manajernya—Jodi, berjanji untuk bertemu. Pemuda itu mengabaikan tatapan orang-orang yang berpapasan denganya dan mengenalinya. Kebanyakan dari mereka menatapnya jijik, meski tak sedikit yang menatapnya penuh kekaguman serta tatapan memuja. Dia tidak peduli. Empat tahun lalu, dia sudah mengalami yang jauh lebih buruk dari ini semua. Yang bahkan menghancurkan persahabatannya dengan Naraya, juga kepercayaan gadis itu terhadapnya.Dia tak peduli terhadap apa pendapat orang lain tentang dirinya. Namun, dia peduli terhadap Naraya. Karena perbuatan impulsif-nyalah sehingga sekarang Naraya terlibat masalah. Karena dirinya juga gadis itu meneteskan air mata. Selama perjalanan dari rumah Naraya ke pusat perbelanjaan ini, dia tak bisa mengusir bayangan Naraya. Bagaimana kekecewaan serta kesedihan terpancar kuat dari tatapan gadis itu. La
“Halo. Selamat siang, Kak Naraya. Perkenalkan, saya Lintang Ayu dari OneMedia.com. Bisa kita bicara sebentar mengenai—““Salah sambung.”Aku mematikan sambungan telepon, kemudian melempar ponselku ke tempat tidur seraya menyumpah-nyumpah. Itu merupakan panggilan ke tujuh yang masuk ke nomorku dalam dua jam terakhir, entah dari mana mereka bisa mendapatkan nomor ponselku. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, lalu memekik kesal.Tadi pagi, aku bangun dengan kepala berdentam-dentam, seolah ada seseorang yang memukuli tengkorakku dari dalam. Kemudian diikuti muntah-muntah hebat selama hampir setengah jam. Perutku seperti bersikeras mengaduk-aduk dirinya sendiri meski sudah tidak ada apa-apa lagi untuk dimuntahkan. Dan ketika membuka aplikasi chat, kotak masuknya dipenuhi pesan dari tema
Xabian mengerang ketika ponselnya terus menerus berdering. Kepalanya berdenyut-denyut akibat semalam terlalu banyak minum. Dia meraih benda berbentuk persegi panjang pipih itu hanya untuk mematikan panggilan, kemudian melanjutkan tidurnya. Pemuda itu bahkan masih mengenakan pakaian yang ia kenakan pada pesta semalam. Dasi serta sepatunya bertebaran di lantai.Dia baru saja hampir terlelap lagi ketika ponselnya berdering untuk yang kesekian kalinya pagi itu. Xabian menyumpah, kemudian duduk dan mengambil ponsel itu. Butuh beberapa saat bagi Xabian untuk membaca identitas si penelpon yang ternyata Jodi—manajernya. Xabian melirik jam yang terdapat di ponselnya. Dia menekan ikon telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan.“Astaga. Sekarang baru jam sepuluh. Seingatku, aku bahkan tidak ada jadwal apa-apa hari ini,” keluh pemuda itu ketika pang
“Gue minta maaf,” gumam Xabian. Aku berpaling padanya dan menemukannya sedang termenung memandang langit malam.Kami kini berdiri di sebuah patio, menjauh sejenak dari keriuhan pesta di dalam dan menikmati udara malam ibukota serta ketenangan. Sudah hampir setengah jam kami berada di sini, diselubungi keheningan dan gelapan, dan itu merupakan kalimat pertama yang dikatakan Xabian. Sebisa mungkin kujauhkan tanganku dari bibir dan berusaha keras untuk tidak menyentuhnya.Aku masih bisa merasakan manis dan lembutnya bibir Xabian. Rasa ketika dia mendesakkan tubuhnya padaku. Aku yakin aroma parfumnya menempel pada tubuhnya, begitu juga aroma parfumku. Napasku terengah-engah dan wajahku merah padam ketika kami akhirnya berhasil melepaskan diri. Saat aku kembali, ternyata Xabian masih menungguku di lorong. Dia mengajakku ke sini, dan setelah yang terjadi