Semua Bab Dia Ibumu Bukan Pembantumu: Bab 11 - Bab 20

45 Bab

Part 11. Murkanya Seorang Ibu

"Aulia!" teriak kami secara bersamaan.  "Dasar anak pembawa sial!" hina Diana kepadaku.  Bersyukur karena Tuhan telah mengabulkan doa-doaku dan menyelamatkanku dari kobaran api yang begitu besar ini. Namun, takdir berkata lain. Memang aku selamat, tetapi sayangnya Aulia—putri bungsu Diana dan Marcel jatuh ke dalam api yang menyala-nyala.  Aku merasa menyesal karena telah membiarkan gadis mungil itu membantuku. Aku menjerit histeris melihat Aulia jatuh tepat di depan mataku, tak dapat melakukan apa-apa terhadap gadis malang itu. Akan tetapi, beberapa saat kemudian aku berinisiatif untuk menarik lengan Aulia dari dalam sana.  Ya Allah, kumohon padamkanlah api ini! Aku percaya atas kekuasa
Baca selengkapnya

Part 13. Pertumpahan Darah

Liburan akhir tahun yang  seharusnya dirasakan dan dinikmati oleh Aulia—keponakanku ini, berakhir dengan sebuah kematian tragis. Malang nian nasib gadis kecil itu. Seumur hidupnya, yang kutahu dari iparku, Aulia tak pernah mendapatkan kebahagiaan sedikitpun. Siksa dan air matalah yang dia terima.  Karena kesalahanku yang menuruti Marcel untuk pergi ke dokter, kondisi rumah menjadi tidak stabil. Orang-orang selalu menganggap jika rumah adalah tempat paling nyaman, setelah kembali dari tempat pengasingan. Akan tetapi, bagiku saat ini dan seterusnya, tempat ini telah berubah menjadi tempat pertumpahan darah.  Terbukti sekarang ini, iparku mengejar-ngejar istrinya dan pria itu hrndak membacoknya. Yah, seperti yang telah dijelaskan oleh kedua orang tuanya beberapa tahun lalu. Sebelum Marcel melamar Diana. Sempat kuden
Baca selengkapnya

Part 13. Bukti Dari Jo Membuat Rania Terpojok

"Tunggu!"  Sekali lagi suara itu terdengar olehku dan bahkan oleh semua orang, berharap si pemilik suara itu bisa membuktikan kalau aku tidak bersalah. Aku sama sekali tak menyentuh Rania sedikit pun, apalagi menyakitinya pun tak pernah terbesit dalam benakku.  Selama ini, Rania dan Diana lah yang selalu menyakiti perasaanku dan juga ibu. Kami berdua tak pernah membalas perbuatannya, kami juga selalu diam. Lalu, bagaimana mungkin sekarang ini polisi menuduhku seperti itu?  Fitnah yang diutarakan kepadaku, sungguh lebih menyakitkan dibanding dengan mendapatkan tusukan benda tajam oleh Rania untukku. Mungkin benar apa yang orang katakan, di mana luka di hati sulit  disembuhkan dan tidak ada penawarnya kecuali ketika kita mendapatkan satu goresan kecil. 
Baca selengkapnya

Part 14. Malam yang Menyedihkan

Setelah memastikan semua warga dan beberapa polisi itu pergi dan tak lagi terlihat dari pandanganku. Kuputuskan untuk mengajak Jo masuk rumah, meninggalkan Rania dan ibu yang masih di luar. Sedangkan, keluarga besan ibu sudah menghilang entah ke mana.  Aku mempersilakan Jo duduk terlebih dahulu, karena aku ingin membersihkan badanku yang mulai lengket ini. Sungguh, seharian aku tidak minum atau makan rasanya tubuhku terasa lemas. Cacing-cacing di perut sudah berdemo sejak pagi, tapi ku lupakan hal itu.  Huft, karena Rania semuanya jadi kacau. Huh, tapi untung Jo datang tepat waktu. Kalau enggak, bisa-bisa aku mendekam di penjara karena ulahnya. Sampai kapan, Tuhan! Sampai kapan derita ini akan berakhir, kumohon kepada-Mu. Bukakanlah pintu hati ibu dan juga Rania, bisikku penuh
Baca selengkapnya

Part 15. Ternyata Jo Pasang CCTV

Anu itu-anu itu apaan sih, Mang? Jangan buat Via cemas deh!" Tanpa sadar aku telah meninggikan suaraku di depannnya, seharusnya meski dalam kondisi se-panik apa pun tetap tidak boleh bersikap seperti itu.  Ah, dasar Via!  "Sayang, sabar napa. Biarin Mamang kamu ini bilang dulu, baru setelah itu kamu ngomong. Kalau begini caranya, gimana dia jawab pertanyaan kamu." "Iya maaf, Yang. Aku salah," ucapku mengusap kepalaku sendiri.  Diriku harus menelang dalam-dalam pil pahit, lantaran harapanku menikamti malam indah ini harus sirna seiring dengan kedatangan Mang Badrun. Kepalaku rasanya tak mampu berpikir lagi untuk menghadapi kelakuan adikku—Rania. Baru saja masalah dengan kepolisian berakhir, Diana
Baca selengkapnya

Part 16. Jebloskan Saja Dia

"Ibu!" teriakku yang langsung menghambur mendekati Ibu.  Perasaanku hancur melihat Mama Aa tergeletak tak sadarkan diri di depan pintu kamar Ibu. Di sisi lain aku masih bersyukur pada Tuhan yang telah menyelamatkan Ibu dari Rania, namun di sisi lain lambat laun aku semakin geram dengan tingkah anak bandel itu. Mau bagaimana lagi, hampir setiap hari gadis itu melakukan hal di luar nalar.  Saat ini korbannya adalah orang tua Marcel. Bagaimana jika dia tahu Ibunya terkena tusukan benda tajam? Dia mungkin tidak akan mengampuninya. Istrinya sendiri dikejar sampai sekarang belum tahu di mana keberadaannya. Apalagi nanti Rania?  Tidak! Sekarang aku tidak boleh lemah, mau dengan cara apapun aku harus menyadarkan gadis itu. Aku tidak peduli walau nyawa sebagai taruhann
Baca selengkapnya

Part 17. Jangan Dengarkan Tetangga

Hingga pagi menjelang, kami berdua baru selesai mendengarkan kisah dari Ibu. Aku sungguh tak menyangka dengan semua yang terjadi. Ku pikir selama ini Ibu tidak pernah menyayangiku, makanya beliau menaruhku di Panti Asuhan. Akan tetapi, setelah mendengar ceritanya. Begitu banyak penderitaan yang telah dirasakan oleh Ibu juga adikku.  Karena bapak dan keluarganya yang membawa pengaruh buruk pada Rania, gadis malang itu kini berakhir di penjara.  Lalu, di mana keluarganya sekarang? Di mana keluarga Bapak sekarang? Semenjak kecil sampai usiaku 20 tahun ini, tak pernah kulihat batang hidungnya sama sekali. "Yang. Kamu ngantuk, ya?" tanya Jo seraya membuka ponselnya.  "Huum. Kejadian semalam membuatku bener
Baca selengkapnya

Bab 18. Bapakku Penganut Ilmu Hitam

"Kesana yuk!" seruku mengajak sang kekasih ke sana.  Terlihat seorang pria kurus dengan bentuk wajah bulat sedang menyiapkan sesuatu ke atas nampan. Namun, ketika aku melihat lebih dekat lagi. Barang-barang yang di letakkan olehnya adalah seperti benda untuk sesajen.  Benarkah semua benda-benda di atas nampan itu merupakan benda yang digunakan orang untuk sesajen?  "Ssstt … sini," kataku mencoba tidak terlalu mengeraskan suara.  Lantaran khawatir jika pria kurus itu mengetahuiku lebih dulu sebelum aku mengetahui apa yang dia lakukan. Jo berlari kecil ke arahku, kemudian mendekatkanku mengarahkan pandangannya ke pria di depan kuburan.  
Baca selengkapnya

Part 19. Tak Pernah Berubah

Setiba di rumah.  "Yang. Mending kamu makan dulu deh, takut sakit. Biar aku yang cari adek kamu," katanya.  Sudah tiga hari Jo berada di kampungku, tetapi dia memginap di rumah pamannya di Tasik kota. Dia selalu membantuku dalam hal kesulitan apapun. Dia rela melakukan hal berat dwmi membantuku. Ya. Seperti sekarang ini. Mencari Rania yang entah di mana sekarang keberadaannya.  Meski aku tahu, terkadang aku hampir melupakan kesehatanku sendiri hanya demi Rania. Akan tetapi, kehilangannya jauh lebih menyakitkan dibanding luka yang kuterima selama ini. Diana dan Marcel saja belum ditemukan. Sekarang, Rania kabur dari penjara.  Mungkin, orang akan beranggapan bahwa aku adalah gadis bodoh yang selalu
Baca selengkapnya

Part 20. Suntikan Pengaruh Buruk

Mentari bersinar sangat terang, pagi ini terasa ada yang berbeda dari sebelumnya. Suara ayam berkokok sangat nyaring dan terdengar lembut bagiku meski semakin lama semakin banyak ayam yang berkokok. Ya. Di rumahku Ibu memelihara begitu banyak ayam, tapi satu pun aku enggan untuk mengurusnya.  Alhasil Ibu lagi yang terus mengurusnya.  Ketika aku dan Jo sedangenikmati suasana pagi di pinggir sawah sambil menikmati pemandangan yang indah. Mataku tertuju pada sebuah kemdaraan beroda dua yang memasuki pekarangan rumahku. Siapa dia? Dari bentuk pakaiannya, dia bukan seperti manusia pada umumnya.  "Yang. Liat itu deh!" Aku meminta Jo dan menunjukkan tanganku ke arah depan rumah.  "Bukannya itu bapak kam
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status