Semua Bab Shadow Under The Light: Bab 11 - Bab 20

92 Bab

Pedofil

Sebuah halaman yang penuh coretan tinta, terpisah sepuluh lembar dari halaman terakhir yang kubaca.Aku terkejut mendapati halaman itu penuh kata makian dan coretan pen yang menggores dan melubangi buku hingga tembus ke halaman belakang. Kata-kata seperti: kurang ajar, sialan, berengsek, sakit, dan mati. Apa yang telah terjadi padanya? Dalam sekejap kalimat manis telah hilang, berganti kata sakit hati dan penderitaan. Sesaat mataku menatap tulisan di hadapanku dengan aneh, ya memang aneh ... kali ini tulisannya menggunakan tinta biru dan jauh lebih jelek dari tulisan-tulisan sebelumnya. Kubuka kembali halaman pertama , ini dia ... tulisan di halaman awal sama dengan tulisan penuh coretan ini, ya ... menggunakan tinta biru yang sama dengan tulisan yang lebih jelek, jangan-jangan ... tulisan awal baru ditambahkan setelah sesuatu terjadi padanya? Rasa penasaran semakin menyergapku, aku sangat berharap menemukan jawaban di halaman berikutny
Baca selengkapnya

Rasa Sakitnya

Hari itu aku ke sekolah, menemui wali kelasku di kantor guru saat jadwalnya kosong, aku sangat cemas hingga tidak bisa tertidur malam sebelumnya. Guruku—Bu Wilhemina—Menatapku dengan pandangan sinis, ia mengira aku akan meminta penjelasan pelajaran kala ia sedang istirahat. Aku bertanya padanya, bisakah dia menolongku? Bu Wihelmina berkata jika dia tak punya waktu, aku harus kembali setelah jam sekolah usai. Bagaimana mungkin, hanya ini kesempatanku, Mama selalu menjemputku saat pulang sekolah tepat waktu. Mengeraskan tekad, aku membuka baju dan memperlihatkan semua bekas luka di tubuh ini. Betapa terkejutnya wajah Bu Wihelmina, raut kesalnya berganti mimik prihatin, dia berjanji akan menemui Papa dan Mama. Aku pulang ke rumah hari itu penuh harapan. Setidaknya, seseorang akan membantuku kali ini. Lembar berganti. Sia-sia ... semuanya sia-sia .... Meski aku sudah memberitahu guruku dan memperlihatkan
Baca selengkapnya

Jatuh Cinta

Aku terbangun oleh suara langkah kaki yang menuruni tangga, rupanya aku tertidur tadi, setelah memikirkan segala macam hal di dalam kepala, membuatku letih dan terlelap. Kurasa bukan tubuh ini yang kelelahan, melainkan jiwaku. Aku membalikkan tubuh membelakangi pintu masuk, pura-pura masih terlelap. Jantungku berdegup kencang, malu, senang, dan bingung bercampur jadi satu. Ia membuka pintu perlahan, kurasakan tatapannya terpaku pada punggungku, lalu langkah kakinya berjalan mendekati tempat tidur. Ia mendudukkan diri di sisi lain ranjang. Kami berdua terdiam, Axel tak bergerak lagi. Perlahan kubalikkan tubuhku, menatap punggungnya. Axel menopangkan tangan pada kepalanya dan tertunduk. Ia sedang berpikir, mungkin merencanakan apa yang akan dilakukannya padaku. Aku bergidik ngeri, bagaimanapun juga Axel adalah seorang pembunuh dan aku takkan pernah mampu menyelami jalan pikirannya. Apakah aku yang terlalu berharap, hanya karena perlakuannya yang
Baca selengkapnya

Aku Menemukanmu

"Axel?" panggilku. Axel tersenyum menyambutku seperti biasa. Ia menyunggingkan senyum jahatnya yang menawan. Aku menangis bahagia, tanpa malu lagi kupeluk tubuhnya. "Syukurlah kau kembali." Tangisku. Axel tertawa renyah, dilepaskannya pelukanku, lalu ia mundur selangkah, menatapku sambil tersenyum, tetapi kali ini, senyum sedih yang terlihat di wajahnya. "I'm sorry, Sweetheart." Dan ia pun berlalu. "Tidak ... tidak ... AXEL?" Tanganku menggapai-gapai, berusaha menjangkaunya, yang kugenggam hanyalah udara kosong dan aku terpaku menatap tanganku. Memandang sekeliling terkejut. Aku masih di ruang tamu dengan posisi terbaring di sofa dengan tangan terangkat berusaha menjangkau sesuatu. Mimpi ... hanya mimpi .... Namun, kenyataan yang datang mencengkeram jantungku, itu bukan hanya sekadar mimpi, tetapi apa yang aku takuti selama ini dan mimpi ini telah menjadi kenyataan yang pahit ... Axel telah pergi. *** Hari itu
Baca selengkapnya

Cemburu

"Hmm ...." Aku mendesah nyaman, merasakan sesuatu yang hangat menyentuh dahiku, mengusap rambut dan wajahku perlahan. Tangan yang hangat. "Axel?" Mataku tertutup, tetapi air mata tetap mengalir ke pipi. "Mnn." aku membuka mata mendengar jawabannya.Sepasang netraku menatap Axel tidak percaya, kukira ini hanya mimpi. "Axel?" tanyaku ragu. "Mnn." Ia mengangguk perlahan. Kupeluk tubuhnya sambil menangis, menyembunyikan wajahku di dadanya.Kumohon jangan bangunkan aku ... jikalau ini hanya mimpi .... "Shhh ... jangan menangis." Axel mengelus kepalaku dengan lembut. Kupukul dadanya. "Kau meninggalkanku ... kau—" Tangisku sesenggukan. "Shhh ...." Axel menghentikan tanganku, bibirnya yang ranum menyentuh bibirku, aku terdiam, terhenyak akan aksinya. kupejamkan mata ini, menikmati kecupan lembutnya, tanganku meraih wajah pemuda tampan itu, membalas ciuman Axel dengan berani, setelah beberapa saat kami memisahkan d
Baca selengkapnya

Pengakuan

Matahari terbit dengan sinarnya yang menghangatkan tubuhku, kakiku terasa kram, bajuku lembap oleh gerimis tadi malam. Pemilik toko roti membuka gerai, matanya menatap aneh padaku, terang saja kondisiku saat ini lebih seperti pengemis daripada seorang pelanggan. Aku mendesah malu, merapikan rambutku dengan tergesa-gesa, berdiri menjauh dari toko roti sebelum diusir oleh pemiliknya. Kakiku menendang kerikil jalanan, tak tahu apa yang harus aku ucapkan ketika bertemu dengan Axel. Apa dia akan senang saat melihatku masih di sini? Atau ... dia malah berharap aku sudah menyerah dan pergi menjauhinya? Apa mereka masih bersama? Rasa marah kembali membuncah dalam dadaku. Ah ... aku benci wanita itu. Penampilannya yang cantik dengan rambut pirang panjang dan tubuh yang ramping, kulit putihnya dan mata besar seperti boneka, aku tidak mau mengakuinya, tetapi dia terlihat sangat cocok dengan Axel. Si cantik dan si tampan. Kutendang kerikil di hadapanku de
Baca selengkapnya

Markas Pembunuh

Aroma kopi yang kuat membangunkanku. "Hmmm." Aku mengendus menikmati baunya.Mataku terbuka melihat ke sekeliling. Aku berada di sebuah kamar yang luas, tempat tidur yang kutempati sangat besar dan terbuat dari kayu. Aku menarik selimut yang menutupi tubuhku.Di mana aku sekarang?Tempat apa ini?"Ah ...." Aku terkejut mendapati tubuhku mengenakan pakaian baru. Kali ini aku menggenakan pakaian wanita, T-shirt pink dan celana pendek cream.Siapa yang mengganti bajuku?Wajahku memerah memikirkannya. Rasa takut juga menyusupiku, aku memeriksa tubuh, ketika tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, aku menghela napas lega.Aku turun dari tempat tidur, mendapati lututku sudah diperban, berjalan tertatih-tatih menuju jendela dan menyingkap tirainya tebal bermotif dedaunan.Pemandangan di luar mengejutkanku. Di mana aku sekarang? Pepohonan terbentang luas sejauh mataku memandang, aku mengalihkan tatapan ke bawah, reru
Baca selengkapnya

QAQ

Perutku tiba-tiba berbunyi keras, mencairkan suasana tegang di antara kami.Aku berdeham canggung sambil mengelus perutku malu. Sebagian diriku takut dengan penuturannya barusan, sebagian lagi tak bisa menahan hasrat untuk mencecap makanan. "Kau lapar?" Axel tersenyum geli, "aku sedang membuat makananmu tadi. Ah ... kuambilkan sekarang." Ia melangkah ke luar kamar dan kembali lagi dengan sepiring makanan. Aku menyantap Ratatouille di depan dengan lahap. Axel duduk menemaniku sambil menyesap kopinya. “Kau suka?” tanyanya sambal mengintipku menyikat sayuran. Aku mengangguk masih mengunyah dengan mulut penuh. Ya, aku bukan pemilih makanan. Selama layak untuk dikonsumsi. Apalagi makanan ini buatan Axel sendiri. Aku meletakkan piring ketika suapan terakhir berhasil ditelan. Setelah perutku kenyang. Aku mulai berpikir jernih lagi. Sekarang saatnya sesi tanya jawab dengan Axel, kondisiku sudah kepalang tanggung di sini. Mati di luar atau
Baca selengkapnya

Jadi … Viagra Lagi?

Bang!Aku menepuk meja kuat, gelas kopi Axel bergetar hebat dan menumpahkan beberapa tetes cairan ke meja.Axel menatapku bingung, melihat rona kemerahan di wajahku."Kau—kau—" Aku tak mampu mengucapkan kata selanjutnya, bingung harus mengutarakannya dengan kata-kata yang tidak memalukan.Ya ... Bagaimana bilangnya. Aku si manusia viagra?"Kau menjadikanku sebagai alat bantu pembayaranmu?" ucapku kemudian, tak mampu mengucapkan kata viagra yang kurasa terlalu vulgar."Ah!" Axel meringis, mengerti dengan kemarahanku barusan. "Sorry, Sweetheart." Ia menurunkan pandangan mata, lalu mengerling perlahan padaku.Dang! Ia tidak tahu jantungku hampir berhenti berdetak melihat kelakuannya barusan. Apa dia berusaha menggodaku dengan padangan matanya? Apa dia sadar kerlingan matanya adalah godaan maut bagi kaum hawa?"Kenapa bisa aku?" Kemarahanku perlahan surut."Aku tidak ta
Baca selengkapnya

The Power of Kiss

[Warning 18+] "Tch!" Leona bangkit berdiri, menjauhi Axel, matanya menatapku dengan kilatan cemburu."Cepat!" ucapnya sambil membelakangi Axel. Ia sendiri mulai melepaskan pakaiannya.Axel berjalan menghampiriku yang masih berdiri di sudut ruangan, kedua tangannya terulur dan memerangkap tubuhku ke tembok."Bolehkah aku?" izinnya.Aku menelan ludah, bagaimana aku bisa bilang tidak, mataku sudah sangat silau saat melihat tubuh Axel. Belum lagi rasa panas dalam tubuh sedari tadi sudah menyiksaku. Wajahku mulai merona merah.Aku menganggukkan kepala. Bibir Axel yang lembut dan basah menyentuh bibirku ... bau maskulin menerpa indra penciumanku ... aku merasa meleleh.Tanganku bergerak menyentuh wajahnya, memegang kedua sisi kepalanya agar tidak ada jarak yang memisahkan kami. Aku menginginkan dirinya. Axel menciumiku lama ... aku membuka bibir berusaha memasukkan lidahku ke mulut Axel, meniru cara Leona. Axel menerimaku, men
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status