Home / Romansa / SULTAN DESA / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of SULTAN DESA: Chapter 41 - Chapter 50

102 Chapters

41. Tak Berkutik

Rumah Surya sepi ketika Gilang tiba di halaman. Belum terlihat ada kesibukan persiapan resepsi pernikahan. Surya mondar-mandir di beranda rumah seperti orang bingung. Dia sampai tidak melihat kedatangan mobil mewah itu. Surya baru sadar ada tamu saat Gilang dan Karlina menaiki beranda. Dia menyambut dengan wajah ceria dan terkesan agak dipaksakan. "Duduk," kata Surya. "Aku bikin minuman ya." "Tidak usah," sahut Gilang sambil duduk di kursi teras. Karlina duduk di sampingnya. "Aku tidak lama. Dua hari lagi resepsi kelihatan masih sepi ya. Belum ada persiapan apa-apa." "Resepsinya di rumah calon istri. Aku paling besok pasang tenda buat mengumpulkan kerabat dan sahabat." "Aku lihat kamu tadi mondar-mandir kayak orang bingung," komentar Gilang. "Ada apa?" Surya tertawa kecil. "Namanya orang mau kawin bingung itu biasa, Gil. Banyak hal yang di luar dugaan terjadi." "Apa itu?" Surya memandang Karlina seakan ragu untu
Read more

42. Keluarga Astaga

Kepergian mereka mengundang pertanyaan Sastro, suami Kartika, "Kamu usir mereka atau bagaimana?" "Masa aku mengusir keluargaku sih, Mas?" balik Kartika separuh merajuk. "Mereka ingin tinggal di rumah Rara beberapa hari." Sastro menatap surprise. "Jadi Rara sudah punya rumah?"  "Ya. Dia kan fotomodel, sales juga. Kalau rumah begitu-begitu saja, dia mampu beli." "Adikmu tidak pantas tinggal di rumah begitu-begitu saja. Perempuan secantik dia berhak tinggal di istana." "Jangan macam-macam." "Kok macam-macam?" "Mas memuji adikku apa maksudnya?" "Apa salah aku memujinya?" Kartika tersenyum sinis. Dia tahu kualitas suaminya. Lelaki bajingan itu sering curi kesempatan untuk mendekati Rara dan Nita. Bukan bentuk perhatian seorang kakak ipar, tapi mencari waktu yang tepat untuk memangsa mereka. Maka itu Kartika selalu meminta Nita untuk mengunci pintu jika hendak tidur atau ganti baju. Sementara Rara kebanya
Read more

43. Ibu CEO

Manajer HRD seorang pria separuh baya beristri satu dan memiliki anak empat. Dia memperkenalkan diri dengan singkat. Gilang duduk mendengarkan. Bimo sangat berpengaruh di kantor ini sehingga segala sesuatu menjadi sangat mudah. Seharusnya dia yang mempresentasikan diri. "Anda bebas masuk kapan saja kalau tidak ada jam kuliah," kata manajer HRD. "Prinsipnya anda bertanggung jawab terhadap laporan mingguan untuk CEO, di kantor ini kami menyebut Ibu. Jadi setiap Senin pagi laporan distribusi dan eksplorasi di daerah sudah harus siap dalam bentuk hard copy dan soft copy. Untuk lebih jelasnya anda bisa pelajari job desc, file-nya ada di sekretaris CEO. Ada yang ingin ditanyakan?" "Tidak ada." "Silakan anda naik ke lantai lima kalau tidak ada pertanyaan. Ibu sudah menunggu." "Baik. Permisi." Gilang keluar dari ruangan HRD. Pegawai wanita sepanjang ruangan yang dilewati menganggukkan kepala, kemudian berbisik-bisik dengan temannya.  Gila
Read more

44. Percuma

Kartika berjalan mondar-mandir di dalam kamar sambil menunggu sambungan dari Gilang dengan sabar.  "Ada apa?" Terdengar suara Gilang yang tenang di speaker handphone. "Kamu itu ke mana saja sih, Gil?" tanya Kartika. "Dihubungi dari siang tidak diangkat." "Handphone di-silent karena aku lagi kerja," jawab Gilang.  "Kerja? Kamu sudah kerja?" "Magang. Persiapan masuk dunia kerja." "Oh, kirain kerja full time. Kamu kan belum lulus." "Kayak penting sekali menghubungi aku." "Aku baru pulang dari Bandung, kamu tidak ada. Kata mereka minggu-minggu ini kamu jarang tidur di apartemen. Kamu ada di mana?" "Perlu tahu aku tidur di mana?" "Tidak perlu," sahut Kartika segera. "Aku ingin minta alamat Rara. Kamu punya?" "Kakaknya masa tidak punya alamatnya?" "Ceritanya panjang. Aku minta dikirim kalau kamu punya." "Aku ingin tahu sepanjang apa ceritamu." "Itu urusan keluargaku. K
Read more

45. Makan Cinta

"Sudah kamu blokir saja nomornya," kata Rara. "Dia akan terus mengganggumu sampai mendapatkan alamat rumah ini." "Aku tidak pernah memblokir nomor perempuan," sahut Gilang sambil duduk bersandar di tempat tidur. "Berarti aku menghindari mereka dan itu bukan kebiasaanku." Masalah Tante Friska dan Tarlita sudah selesai. Mereka dapat memahami alasan Gilang dan semakin memahami saat Rara dengan sabar memberi pencerahan agar tidak membebani suaminya. Mereka ingin hidup tenang.  Persoalan Karlina masih menggantung. Gadis itu bisa saja nekat memberi tahu orang tua Gilang tentang pernikahan diam-diam ini, sekalipun taruhannya kehidupan dia sendiri hancur. Hari ini muncul masalah baru. Kartika tidak berhenti mengebel meskipun tak dihiraukan. Akhirnya Gilang kasihan. Maksud perempuan itu sebenarnya baik, hanya cara berpikirnya tidak dapat diterima oleh logika umum. "Aku minta singsingkan dulu keangkuhanmu itu," kata Rara. "Istrimu ada masalah denga
Read more

46. Tamu Tak Terduga

Ting tong. Gilang yang sedang berdandan di depan cermin terdiam heran. Tamu dari mana datang pagi-pagi begini? Tidak mungkin penghuni apartemen. Mereka tidak pernah menggunakan bel, langsung masuk begitu saja tanpa permisi. Jadi bel satu-satunya alat yang paling awet di apartemen ini. Ting tong. Gilang segera menyelesaikan dandannya. Tamu itu tidak sabar sekali. Membuka pintu butuh waktu sekurangnya untuk berjalan. Bagaimana kalau tuan rumah lagi membersihkan badan? Memangnya di rumah petak bisa teriak dari dalam kamar mandi?  Ting tong. Gilang bergegas keluar dari kamar sambil membawa tas kuliah. Hari ini dia ada kuliah pagi. Ada pergeseran jadwal dari guru besar karena siang beliau pergi ke Semarang untuk menjadi narasumber. Gilang ingin mengajari tata krama kepada tamu ini. Mendingan langsung masuk dan duduk menungggu di sofa daripada mengganggu kenyamanan. Penting sekali kelihatannya tamu ini.  Gilang membuka pint
Read more

47. Menengok Bayi

Rara tidak senang ketika Gilang sering bolak-balik ke Jakarta. Kadang mandi saja tidak sempat. Begitu datang langsung tidur karena kelelahan. Energi terkuras untuk kuliah dan kerja. Dia bisa masuk kantor kapan saja. Bahkan sering siang kuliah malam kerja. Jadwal kerja Sabtu Minggu jadi kacau. "Jangan sering-sering pulang," tegur Rara ketika suaminya berangkat pagi hari dan siangnya sudah muncul lagi. "Nanti kuliahmu terganggu." Gilang mengambil minuman dingin di kulkas dan duduk di sofa. "Aku masuk kantor sore ini." "Cukup Sabtu Minggu saja kerja." Rara mulai menggelar meja setrika. Dia membantu pekerjaan Mimin yang pergi ke pasar bersama Ambu. Mereka belanja kebutuhan dapur. Kasihan Mimin. Gaji tidak seberapa pekerjaan begitu banyak. "Hari-hari biasa untuk keperluan kuliah." "Penghasilan sedikit. Aku ingin cari tambahan." Rara menoleh sekilas. "Kamu ingin penghasilan banyak buat apa? Semua kebutuhanmu sudah tercukupi oleh orang tua."
Read more

48. Terendus

Sastro menggerutu, "Setiap kali dipakai kamu basah! Ngaku saja! Bekas siapa itu?" Kartika menatap dengan sengit. "Kamu menuduhku selingkuh? Gara-gara lama tidak dipakai, maka kena sentuh sedikit saja langsung banjir!" Sastro jadi terpancing emosinya. "Kamu belakangan ini sering sekali basah! Apa habis dipakai Abah? Soalnya aku dengar ayahmu tidak pernah lagi jajan!" Kartika memandang muak. "Kamu mau pakai tidak? Aku pakai baju kalau tidak!" "Aku hilang gairah!" "Ya sudah!" Kartika bangkit dari tempat tidur dan mengambil pakaian yang tergeletak di lantai. "Kalau sudah kenyang sama istri ketiga bilang saja! Jangan ngomong macam-macam! Kalau pengen kering, aku jemur dulu!" "Kamu mau ke mana?" tanya Sastro melihat Kartika berpakaian. "Berjemur!" sahut Kartika dongkol. "Aku tersinggung kamu sebut basah! Memangnya donat kena hujan basah?" Sastro meredakan amarahnya. "Bukan begitu, biasanya kalau basah bekas dipakai."
Read more

49. Hanya Melihat Cinta

Makin tua kandungan Rara makin gelisah Gilang. Makin tidak betah tinggal di Bandung. Dan makin sering Rara menasehati. "Kuliahmu terbengkalai nanti," kata Rara. "Jangan sampai kamu kehilangan cita-citamu." Rara begitu ingin Gilang jadi sarjana karena itu adalah cita-cita suaminya sejak kecil. Cita-cita itu kini memudar seiring membesarnya perut Rara. "Aku tidak tahu apa cita-cita itu masih ingin kucapai," keluh Gilang hambar. "Situasi ini membuat aku kehilangan jalan terbaik." "Kamu sudah kehilangan motivasi kalau begitu," tegur Rara lembut. "Jangan sampai aku menyesal telah mengandung anakmu. Aku tidak ingin kamu gagal karena mimpi suamiku adalah mimpiku." Rara mendukung penuh Gilang jadi sarjana, karena di situlah letak masa depan mereka, sekaligus penawar kemurkaan orang tuanya, barangkali. Rara sampai mengorbankan kehidupan sendiri demi tercapainya harapan itu. Dia tidak menuntut suaminya untuk tinggal di rumah mewah, tidak pula me
Read more

50. Yang Kedua

Kesempatan itu muncul ketika ayahnya memanggil pulang. Dia tidak biasanya mengumpulkan semua anggota keluarga. Pasti ada masalah penting yang hendak disampaikan.  Kehadiran Karlina dan orang tuanya membuat Gilang sedikit tegang. Dia sudah memutuskan untuk mengakui terus terang seandainya gadis itu membocorkan tentang perkawinan rahasianya. Dia tidak akan membongkar aib Karlina dengan video syur itu. Dia merasa cukup namanya yang hancur. Dia tidak ingin banyak nama bertumbangan yang akhirnya menimbulkan dendam kesumat. Jadi semakin sulit hidupnya. Gilang duduk dengan tenang. Mereka tinggal menunggu kehadirannya. Melihat wajah orang tuanya yang demikian jernih, sepertinya bukan untuk membicarakan masalah itu. Mereka belum tahu aib yang menimpa rumah ini. "Abi dan Umi mau pergi ke Tanah Suci," kata ayahnya. "Kloter pertama." Gilang diam sejenak. Tanah Suci? Tempat orang mengagungkan ibadah itu? Melepaskan segala jati diri untuk bersatu memuja Illahi
Read more
PREV
1
...
34567
...
11
DMCA.com Protection Status