Semua Bab Jangan Paksa Aku...: Bab 11 - Bab 20

72 Bab

Bab 11

“Selamat ya Ana! Kamu lulus menjadi mahasiswi Psikologi USU,” ujarnya, sembari langsung mencengkram jari-jemari tanganku.“Ah masa Gie… Kamu jangan bercanda, ah… nggak lucu tau,” sergahku, sembari cemberut.“Eh, lihat ini nomor 10142 dan namamu Mardiana tertera dengan jelas, berikut jurusannya PSIKOLOGI  di lembar pengumuman  di koran Kompas ini,” tukas Gilang, sembari mempertunjukkan lembar pengumuman padaku.“Tapi di lembar pengumuman resmi yang dikeluarkan Panitia Seleksi USU ini, namaku tidak tercantum Gie…”“Coba diselusuri namamu sekali lagi dengan teliti,”  suruh Gilang. “Ya, terang saja kamu tidak menemukan namamu, pengumuman ini cacat. Bagian yang menerangkan namamu tidak tertera dengan jelas begini. Tapi yang jelas kamu lulus Ana, lihat nomor seleksimu 10142 masih bisa terbaca.”“Oh, syukurlah Gie. Aku tadi sempat frustrasi.&r
Baca selengkapnya

Bab 12

Sementara itu di tempat pemondokanku. Pada saat aku sedang bete, maka aku menyibukkan diri dengan membantu Amang boru, induk semangku berberes-beres di dapur. Karena begitu seringnya aku  membantu dirinya, sehingga dia sangat menyukai dan menyayangiku. Hal yang tidak aku duga, di saat kami bercanda dia langsung menyodorkan tawaran untuk menjodohkan cucunya dengan diriku.“Ana, sebelum aku mati. Tentu aku akan sangat bahagia sekali, jika  dapat melihat dirimu menjadi isteri cucuku yang aku sayangi.”Aku menganggap ucapan induk semangku itu hanya sekedar bercanda, maka akupun menjawabnya secara bercanda juga. “Boleh juga itu Amang boru, kebetulan akupun lagi jomblo ini.”“Apa kamu bilang? Jomblo? Apa pula itu jomblo, aku tidak mengerti apa yang kamu maksud itu, Ana?” tegur induk semangku, sembari mengernyitkan dahi yang memang sudah keriput itu. Dia menjadi penasaran mendengar istilah anak muda zaman sekarang.&
Baca selengkapnya

Bab 13

“Hai Rat, tumben kamu pulang kemalaman nih? Habis jalan ya, pedekate dengan Freddy?” godaku, sembari mencubit pinggangnya, saat aku membukakan pintu kamar pemondokan untuknya.“Ya, iyalah… Macam kamu tidak mengerti saja Na. Mumpung masih muda, sekali tiga pulau harus dapat kita lalui, ya-nggak Na? Jangan buku melulu, entar udah tua baru nyesal,” sahut Ratna, sembari bercanda. Lalu Ratna meletakkan buku-bukunya di atas meja belajarnya.“Ya, iyalah… kamu yang bahagia. Tapi aku,” ucapku, sembari menutup daun pintu kamarku.“Eh, emangnya ada apa denganmu Na?” selidik Ratna begitu dengar nada bicaraku agak menurun.“Kamu tau nggak, aku tadi sebel banget dibuat oleh Amangboru.”“Emangnya kenapa?”“ Itu tadi siang, Amang boru kenalkan aku dengan cucunya itu, si Andrew.”“Asyik dong, diperkenalkan dengan calon suami.”“As
Baca selengkapnya

Bab 14

Sementara itu, Andrew sudah merasa besar kepala. Dengan sikap royal terhadap semua anak-anak kost, dia menganggap anak-anak kost telah dapat dipengaruhinya dan berpihak padanya. Begitu juga, sikap induk semangku yang sangat memanjakan dan selalu mendukung sikap dan keinginan cucunya itu membuat anak-anak kost rada segan juga padanya. Toh, mereka merasa Andrew itu tidak merugikan mereka, malah membuat mereka menjadi senang dengan kemurahannya itu. Sehingga mereka memberi dukungan pada Andrew untuk mendekatiku. Apalagi mereka tau Andrew telah menghujani diriku dengan berbagai macam hadiah.Ada beberapa anak kost yang suka mencari muka pada Andrew dan selalu menjadi spionnya. Mereka selalu mematai-matai setiap gerak-gerikku di kampus, sehingga tidak heran, kapan aku ke kamar kecilpun Si Andrew jadi mengetahuinya.  Apalagi aku ketemu dengan laki-laki, habislah aku diinterogasi macam-macam oleh Si Andrew. Seolah-olah aku ini sudah jadi miliknya saja. Kini sifat asli Andrew ke
Baca selengkapnya

Bab 15

Begitu aku lihat pengirim SMS, langsung tersimpul senyum manisku. Ternyata dadaku yang berdebar-debar tidak karuan itu, sebagai perwujudan dari kontak batin dari orang yang sangat aku harap-harapkan menghubungiku. Gelombang resonansi yang dipancarkan dari lubuk hati cowok idamanku lebih dahulu sampai dan menggetarkan jiwaku. Aku langsung duduk bersilah di atas pembaringan. Tanganku sibuk memencet tombol Hpku membuka isi berita yang dikirim cowok yang membuat hatiku begitu kasmaran padanya.Bagaimana sudah bisa mengatasi kesulitan belajarnya, nggak-Ana?Kemudian akupun dengan sigap memencet tombol-tombol huruf Hpku guna membalas SMS itu.Alhamdulillah, sudah.Datang kembali SMS kedua.Berarti sudah dapat konsentrasi dan fokus dong, kini.Aku jawab kembali SMSnya, dengan bercanda.Justru kali ini, aku tidak bisa fokus karena terbayang-bayang kamu bertutur kata terus padaku.
Baca selengkapnya

Bab 16

Pagi itu jam baru menunjukkan jam 9 pagi, aku dengan penuh ceria mempersiapkan diri untuk berangkat ke kampus. Hari ini aku ingin sekali kelihatan feminim. Untuk itu, aku sengaja  mengenakan pakaian pavoritku yang terbaru dan serasi dengan warna kulitku, yang kuning langsat.  Aku kenakan gaun rok span warna merah jambu dan baju tangan panjang dengan ornamen bordiran di depan warna kuning serta rompi warna violet. Rambutku yang panjang sepunggung memang sudah aku kramas dan aku keringkan dengan hair draiyer.  Wajahku yang biasanya polos tanpa bedak, maka kini aku rias, aku pupuri bedak dengan bedak sari ayu, alisku aku rapikan dan aku beri celak serta tak lupa aku oleskan lipstik warna merah muda di bibirku. Pokoknya aku ingin memperlihatkan penampilanku yang berbeda dari biasanya. Aku ingin memperlihatkan citra diriku yang sesungguhnya. Kekuatan karakter yang memancar muncul dari luar maupun dari dalam diriku.Rencananya sih aku dari kampus akan langsung pergi
Baca selengkapnya

Bab 17

Kehadiran kami bak Charlie Angels langsung menarik perhatian para mahasiswa yang lagi nongkrong di lorong koridor ruang kuliah. Mereka pada memperhatikan diriku, walaupun kami berjalan bertiga dengan Widya dan Cinthya. Rasanya ada yang aneh pada diriku di mata mereka. Mereka langsung membelalakkan matanya menelanjangiku dari ujung rambut sampai ujung kakiku. Decak kagumpun meluncur dari mulut yang pada menganga, takhjub. Mereka menjadi heran melihatku tidak seperti biasanya. Biasanya aku selalu mempergunakan jean dan kemeja serta tanpa make up. Kini malah aku pakai gaun dan make up yang mempesona mereka. Melihat berpuluh pasang mata terperangah begitu, terselit nuansa tersendiri dalam hatiku. Ada kebahagiaan mengalir berhembus dalam sanubariku. Sorotan mata kagum dari cowok-cowok itu, mengundang nada-nada ceria di hatiku. Aku pun langsung melontarkan senyum simpul menyapa mereka satu persatu. Seolah-olah diriku ini merupakan primadonanya jurusan Psikologi…Begitu juga
Baca selengkapnya

Bab 18

“Kalau kita lama-lama di sini, malah bisa-bisa orang menjadi curiga pada kita. Sebaiknya kita cari tempat yang tepat untuk memperhatikan dia,” Jonipun celingukan cari tempat yang cocok untuk mengamat-amati Aditya. Akhirnya matanya jatuh pada bangku panjang yang terdapat di depan Puskesmas Kampus tidak jauh  dari Musholla. “Hei Raka, lihat di depan Puskesmas itu ada bangku dan cocok buat kita mengamat-amati Aditya dari sana.”“Betul juga kata kamu, Joni. Ayolah kita ke sana saja, tunggu apa lagi,” sambung Raka, ketika dilihatnya Joni menoleh memperhatikan satu persatu mahasiswa yang baru datang memasuki Musholla.“Gila juga itu Anak, banyak kawannya,” seru Joni, sembari berjalan menuju bangku di depan Puskesmas.“Itu sih belum apa-apa. Kalau mereka semua sudah kumpul bisa ratusan jumlahnya. Aku rada kecut juga, kalau terus memata-matanya. Kalau mereka tau apa yang sedang kita lakukan di sini bisa kita jad
Baca selengkapnya

Bab 19

Di ruangan Rektorat, Aditya dengan serius memperhatikan arahan dari Purek IV bidang kemahasiswaan, mengenai teknis penyambutan dan penyusunan materi acara yang tepat disajikan kepada tamu dari negeri jiran tersebut. Tidak terasa pertemuan dengan Purek IV tersebut memakan waktu sampai pukul 4 sore dan hanya jeda waktu makan siang saja.               Begitu pertemuan dengan pihak Rektorat selesai, Aditya langsung melihat jam tangannya. Dia tidak lupa akan janjinya padaku, sehingga dia pun bergegas mohon diri dari Safira dan kawan-kawannya. Hanya Safira saja yang mengetahui tujuan Aditya sesungguhnya. Safira dapat memahami bagaimana gejolak yang membara di dalam hati Aditya, sehingga dia memakluminya dan dia mengiringi kepergian Aditya sampai tempat parkir kampus. Walau untuk itu, Safira harus menekan perasaannya. Safira rela memberi dukungan moril kepada Aditya untuk menemuiku dan dan dia melepas kepergian A
Baca selengkapnya

Bab 20

Begitu Widya dan Cinthya menampakkan diri di ujung escalator naik dan kebetulan pandangan Aditya tepat sedang menoleh ke arah kedatangan. Melihat kehadiran Widya dan Cinthya dada Aditya langsung bergemuruh, gembira. Ada suatu pengharapan muncul di dalam  hatinya, bersamaan dengan munculnya Cinthya dan Widya. Ada keyakinan dirinya, bahwa diriku pasti datang bersama sobat karibku.  Dia sangat berharap diriku cepat muncul di belakang Widya atau Cinthya. Tapi dilihatnya bayanganku tidak muncul-muncul juga, membuat perasaan cemas pun mulai mengglayuti hatinya kembali. Aditya menjadi gelisah.     Widya dan Cinthya seolah-olah tidak mengetahui kehadiran Aditya,  mereka berpura-pura bercanda, sembari berjalan menuju arah Aditya. Cinthya pura-pura tidak sengaja menoleh dan beradu pandangan dengan Aditya.               “Hai Aditya, sedang ngapain kamu sendiri di sini?”
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
8
DMCA.com Protection Status